Halaman

Selasa, 20 Desember 2011

SANAD DAN TRADISI ILMIAH



By : Kasan Bisri Al-Qudusy
Tradisi ilmiah dalam dunia akademis, haruslah dijunjung tinggi. Diantara tradisi itu adalah sikap terbuka dan selalu siap menerima kritik, objektif, dan selalu menyebutkan sumber informasi. Poin yang terakhir ini biasa dalam penulisan ilmiah disebut dengan referensi baik berbentuk fotenote, endnote, kutipan langsung dan tidak langsung, maupun daftar pustaka.

Penyebutan sumber referensi atau maraji’ (dalam bahasa arab) menjadi bukti akan kejujuran ilmiah. Mengapa demikian, Karena gagasan maupun informasi yang disajikan tidak selalu original dari diri kita namun dari sumber lain sehingga perlu untuk menyebutkannya. Oleh karena itu tradisi ilmiah sangat mengutuk tindakan ‘cheating’ atau plagiasi dengan mengutip pemikiran orang tanpa disertai sumber asalnya.
Ketika tradisi menyebutkan sumber  atau referensi kita coba tarik jauh kebelakang, ternyata tradisi ini telah eksis pada abad pertama Islam. Sebuah tradisi menyebutkan sumber informasi yang disampaikan, tradisi ini disebut dengan ‘Sanad’. Sanad merupakan rantai informan yang memberi kabar berita atau informasi pengetahuan kepada kita sampai pada sumber asalnya.  Sanad sendiri berasal dari bahasa arab yang artinya sandaran; yang dapat dipegangi atau dipercayai sehingga informasi pengetahuan yang tersampaikan benar-benar memiliki keabsahan dan dapat dipercaya, reliable.
Pada mulanya tradisi sanad ini hanya terbatas pada informasi keagamaan yang berasal dari Rasulallah SAW yang popler dengan ‘hadis Nabi’.  Menurut Ibnu Sirin Kemunculan sanad ini dimulai semenjak terjadinya fitnah dalam komunitas muslim (civil war) pada tahun 40 Hijriyah yang menyebabkan terpecahya kaum muslimin menjadi beberapa kelompok; Syi’ah, Khawarij, dan Ahlu Sunnah.
Fitnah ini mendorong maraknya pemalusan hadis, frekuensi hadis-hadis palsu pun semakin meningkat. Motivasi pemalsuan hadis pada saat itu sangatlah berfariasi mulai motif politis untuk mendukung kelompok-kelompok tertentu, motif teologis, pembelaan madzhab fiqh sampai dengan motif ekonomi untuk memperoleh kekayaan. Fenomena pemalsuan ini menuntut adanya penyebutan rantai informan (sanad) dalam menyampaikan hadis Rasulallah SAW. Sehingga setiap hadis yang diriwayatkan memiliki otentisitas dan benar-benar berasal dari Rasulallah SAW.
Sanad hadis secara jelas dapat kita lihat dalam kitab-kitab hadis seperti Sahih al-Bukhari karya Imam Bukhari, Sahih Muslim karya Imam Muslim, Sunan Abu Dawud karya Abu Dawud, Sunan al-Nasa’i karya Imam al-Nasa’i, dsb. Secara sederhana sanad dalam hadis bisa digambarkan sebagai berikut: Imam Bukhari > A > B > C > D > Nabi Muhammad SAW (sumber asal).
Pada perkembanganya sanad tidak lagi sebatas pada hadis nabi tapi mulai menjalar kedalam disiplin ilmu Islam. Dalam disiplin ilmu Tafsir al-Qur’an misalnya, model penafsiran yang pertama kali muncul adalah tafsir bil ma’tsur yakni menafsirkan ayat-ayat dengan menyandarkan kepada penafsiran prang-orang sebelumnya dari Rasulallah, sahabat, dan tabi’in. Semisal  kitab tafsir Jami’ al-Bayan karya Ibnu Jarir al-Thobari (224-310 H). Jika kita melihat isi kitab ini maka kita akan banyak jumpai kutipan-kutipan penafsiran yang dilakukan pengarangnya, al-Thobari, yang disertai dengan menyebutkan rantai informan  atau sanad.
Begitu pula disiplin ilmu hadis atau yang lebih dikenal dengan ‘Mustholah Hadis’. Karya pertama dalam ilmu ini adalah kitab al-Muhaddis al-Fashil baina al-Rawi wa al-Wa’i karya Qadhi Ibnu Muhammad al-Ramahurmudzi (265-360 H).  Hampir semua pembahasan-pembahasan dalam kitab ini dipaparkan dengan model sanad. Bagi yang pertama kali membaca kitab ini akan merasa pusing karena banyaknya nama-nama informan (perawi) yang disebutkan pengarangnya.
Dengan demikian mulai dari abad pertama Hijiriyah, sanad merupakan wujud dari sebuah tradisi ilmiah. Pengetahuan yang disampaikan dengan model sanad memiliki kualitas yang lebih tinggi dibanding tanpa sanad, tidak bersanad  tidak ilmiah. Ini bisa kita lihat dalam litertaur-literatur Islam klasik yang kebanyakan menggunakan model sanad. Dan ini menjadi bukti bahwa ulama-ulama klasik kita telah memberi contoh untuk menjunjung tinggi kejujuran ilmiah dengan menyebutkan sumber informasi pengetahuan. [waallahu a’lam]

Penulis: Kasan Bisri )Mahasiswa program paska sarjana S2 konsentrasi lmu Hadis, Institut Ilmu al-Quran Jakarta) Email: kasanbisri84@yahoo.com