Halaman

Jumat, 03 Februari 2012

Corak Pendidikan Pondok Pesantren


Ditulis Oleh: Abdullah Ibnu Umar

A. Pendahuluan

Pondok pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tertua yang merupakan produk budaya bangsa Indonesia. Keberadaan pesantren di Indonesia dimulai sejak Islam masuk di negeri ini dengan mengadopsi sistem pendidikan keagamaan yang sebenarnya telah lama berkembang sebelum kedatangan Islam. 

Sebagai sebuah institusi pendidikan yang memiliki karakter khas, telah diyakini mempunyai peran yang sangat signifikan, tidak hanya sebagai kawah condradimuka bagi ilmu-ilmu keagamaan, pengembangan dan pengendali sistem moral masyarakat, tetapi juga mampu mengambil peran sebagai agen transformasi sosial.


Peran keagamaan dan peran sosial yang dimainkan oleh pesantren ini barangkali merupakan alasan tersendiri bagi berdiri dan terlestarikannya pesantren sampai sekarang. Hal ini dapat dibuktikan bahwa pesantren sejak awal munculnya merupakan lembaga kultural yang berfungsi menyebarkan dakwah agama, lokomotif gerakan perlawanan penjajah  dan sekaligus berperan sebagai penggerak transformasi sosial-politik bangsa Indonesia pasca-revolusi.

Pada masa sekarang, pesantren masih membuktikan dirinya mampu memainkan kedua peran tersebut. Produktifitas moral religius dan ketrampilan praksis yang dikembangkan kepada anak didiknya mampu mewarnai atmosfer kehidupan bangsa Indonesia dalam berbagai aspeknya. Pesantren sudah menjadi aset sosial bangsa Indonesia yang sangat berharga. Kini, dengan bertambahnya jumlah pesantren menunjukkan peningkatan kebutuhan masyarakat akan pesantren beserta peran yang dimainkannya. Pesantren, dengan berbagi variannya; baik pesantren berpola tradisional, modern maupun pesantren tinggi, pada gilirannya justru menjadi lembaga pendidikan alternatif yang selalu diminati.

Perjalanan sejarah panjang berdirinya negeri ini, tidak lepas dari kontribusi pesantren dalam mengisi dan mewarnai pola kemasyarakatan berbasis agama serta budaya. Ia acapkali menjadi “anak tiri” dari sebuah sistem kolonial dan tirani. Hanya saja nasibnya tidak tragis seperti yang terjadi di Turki era Musthafa Kemal Ataturk, dan Mesir pada dan Gamal Abdul Nashir yang membekukan sistem medresse (madrasah) dan kuttâb yang ada, dan menggantinya secara masif ke dalam bentuk sistem pendidikan umum. Situasi-situasi sosiologis dan politis yang mengitari medresse di Turki atau madrasah dan kuttâb di Mesir dalam segi-segi tertentu agaknya berbeda dengan situasi sosiologis yang mengitari pesantren di Indonesia. Perbedaan-perbedaan tersebut, pada gilirannya membuat pesantren mampu bertahan (Azyumardi Azhra, Pengantar buku bilik-bilik pesantren karya Nurcholis Majid).

Untuk mendedah corak pesantren-pesantren yang ada di Indonesia saat ini, pendekatan kesejarahan dan proses metamorphosis dari satu bentuk menjadi bentuk yang beragam ini perlu dijabarkan. Hal ini diupayakan untuk mendapatkan informasi yang memadai tentang cakupan pesantren dari masa ke masa. 

B. Terminologi Pesantren dan Santri

Sebagaimana diketahui, pesantren merupakan tempat berkumpulnya para santri. Jadi kalau kita berbicara mengenai pola pergaulan di pesantren tentunya tidak bisa kita lepaskan dari santri itu sendiri. Perkataan santri digunakan untuk menunjuk pada golongan orang-orang Islam di Jawa yang memiliki kecenderungan lebih kuat pada ajaran-ajaran agamanya, sedangkan untuk orang-orang yang lebih mengutamakan tradisi kejawaannya biasanya disebut kaum "abangan". Sebelum tahun 60-an, pusat-pusat pendidikan pesantren di Jawa dan Madura lebih dikenal dengan nama pondok. Istilah pondok sendiri berasal dari pengertian asrama-asrama yang dibuat dari bambu, atau barangkali berasal dari kata Arab Fundug, yang berarti hotel atau asrama.

Mengenai asal-usul perkataan "santri", Nurcholis Madjid memaparkan bahwasannya ada (sekurang-kurangnya) dua pendapat yang bisa kita jadikan acuan;
Pertama, adalah pendapat yang mengatakan bahwa "santri" itu berasal dari perkataan "sastri", sebuah kata dari bahasa Sanskerta, yang artinya melek huruf. Agaknya dulu, lebih-lebih pada permulaan tumbuhnya kekuasaan politik Islam di Demak, kaum santri adalah kelas "literary" bagi orang Jawa. Ini disebabkan pengetahuan mereka tentang agama melalui kitab-kitab bertulisan dan berbahasa Arab. Dari sini bisa kita asumsikan bahwa menjadi santri berarti juga menjadi tahu agama (melalui kitab-kitab tersebut). Atau paling tidak seorang santri itu bisa membaca al-Qur'an yang dengan sendirinya membawa pada sikap lebih serius dalam memandang agamanya. 

Kedua, adalah pendapat yang mengatakan bahwa perkataan santri sesungguhnya berasal dari bahasa Jawa, persisnya dari kata cantrik, yang artinya seseorang yang selalu mengikuti seorang guru ke mana guru ini pergi menetap. Tentunya dengan tujuan dapat belajar darinya mengenai suatu keahlian. Sebenarnya kebiasaan cantrik ini masih bisa kita lihat sampai sekarang, tetapi sudah tidak "sekental" seperti yang pernah kita dengar. Misalnya seseorang seseorang hendak memperoleh kepandaian dalam pewayangan, menjadi dalang atau menabuh gamelan, dia akan mengikuti orang lain yang sudah ahli, dalam hal ini biasanya dia disebut "dalang cantrik", meskipun kadang-kadang juga dipanggil "dalang magang". Sebab dulu, dan mungkin juga sampai sekarang, tidak terdapat cara yang sungguh-sungguh dan "profesional" dalam mengajarkan kepandaian-kepandaian tersebut. Pemindahan kepandaian itu, sebagaimana juga dengan pemindahan obyek kebudayaan lain pada orang Jawa "abangan", lebih banyak terjadi melalui pewarisan langsung dalam pengalaman sehari-hari. 

Selain data di atas, Zamaksyari Dhofier mengumpulkan 3 (tiga) pemaknaan terminologi santri:
1. Profesor Jhon berpendapat bahwa istilah santri berasal dari bahasa Tamil, yang berarti Guru Mengaji. 
2. C.C Berg berpendapat bahwa istilah tersebut berasal dari istilah shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci Agama Hindu.
3. M. Chatuverdi dan Tiwari berpendapat bahwa santri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.  

Terlepas dari apa pun asal kata-kata "ngaji", "santri", dan "kiai" ini, ngaji adalah memang merupakan kegiatan belajar yang dianggap suci atau aji oleh seorang santri yang menyerahkan dan menitipkan hidupnya kepada seorang kiai yang selain sangat dihormati juga biasanya sudah tua dan sudah menunaikan haji karena kemampuan ekonominya. 
Sedangkan Martin Van Bruinessen menyangsikan pandangan-pandangan pendahulunya, dia beranggapan, ketidakpopuleran istilah pesantren dan minimnya data-data ilmiyah pendukung, dan hal ini membuat istilah pesantren / santri tetap berada di areal spekulatif. Karena menurut Martin, istilah tersebut baru muncul belakangan. 

C. Sejarah Metamorfosis Tradisi Pendidikan Pesantren
Babak Pertama:
Tidak banyak informasi sejarah pesantren yang ada di Indonesia, keterbatasan sumber bukti tulis sejarah yang ada sampai-sampai meyakinkan peneliti sekaliber Zamakhsyari Dhofier yang hanya bisa menduga-duga bahwa keberadaan serta geliat pendidikan keagamaan pada awalnya ditengarai dengan merebaknya pengajian al-Qur`an untuk anak-anak yang biasa dilakoni secara serempak di surau-surau selepas Maghrib. Fenomena semacam ini adalah tradisi yang cukup tua, setua datangnya Islam ke Indonesia. 

Selanjutnya, Kebangkitan dunia pesantren mengalami kemajuan yang pesat pada pertengahan abad ke-19, hal ini seiring meningkatnya jamaah haji terutama dari kalangan muda ke tanah suci Mekkah, diantara mereka tidak hanya semata-mata melakukan ibadah haji, sebagian besar dari anak muda nusantara mengenyam pendidikan agama di tanah Haromain. Bahkan pada akhir abad ke-19, banyak diantara mereka menjadi ulama yang terkenal dan menjadi pengajar tetap di Mekkah. Diantara putra terbaik nusantara yang menjadi ulama Mekkah pada saat itu adalah Syaikh Nawawi (dari Banten) dan Syaikh Mahfudz (dari Tremas, Pacitan).

Kepulangan para “santri-santri” haromain, membawa kesan dan pengaruh tersendiri dimata masyarakat Islam Nusantara, kemajuan mutu sistem pendidikan Islam-pun menjadi hal yang niscaya, dari pendidikan pengajian anak-anak atau ritual tarekat ala kadarnya, mengarah pada perubahan yang terkoordinasi dan memiliki target pencapaian. Hal ini dapat dilihat dari bermunculannya sistem pemondokan (peng-asrama-an) dibarengi dengan madrasah-madrasah, menggantikan pola “santri kelana” yang mentradisi pada saat itu, juga dibukanya pondok pesantren yang menampung santriwati pada tahun 1910 (antara lain pesantren Denanyar - Jombang), kemudian pada tahun 1920 beberapa pesantren (antara lain, pesantren Tebuireng di Jombang, Singosari di Malang) mulai mengajarkan pelajaran umum seperti bahasa Indonesia, Bahasa Belanda, berhitung ilmu bumi dan sejarah. 

Babak Kedua:
Sebuah survei yang diadakan oleh Shumubu (Kantor Urusan Agama yang dibentuk oleh Pemerintahan Militer Jepang di Jawa 1942-1945) pada tahun 1942 memperlihatkan bahwa lembaga-lembaga pendidikan Islam ternyata memiliki validitas untuk tetap berkembang meskipun pemerintah Belada menandinginya dengan memperluas jumlah sekolah-sekolah tipe Eropa untuk penduduk golongan pribumi tertentu. Pengaruh yang luar biasa dari partai-partai Islam dalam kehidupan politik Indonesia antara tahun 1910-an sampai dengan tahun 1950-an sebagian besar disebabkan oleh kuatnya perkembangan lembaga-lembaga pendidikan Islam. 
Pengaruh dominan dari pesantren mulai menurun secara drastis setelah penyerahan kedaulatan pada bulan Desember 1949. Setelah penyerahan kedaulatan tersebut, pemerintah Indonesia mengembangkan sekolah umum seluas-luasnya, dan disamping itu jabatan-jabatan adminitrasi modern terbuka luas bagi bangsa Indonesia yang terdidik dalam sekolah-sekolah umum tersebut. 
Hal ini mengakibatkan jumlah anak-anak muda yang tertarik oleh pendidikan pesantren semakin menurun dibandingkan dengan mereka yang mengikuti pendidikan sekolah umum. Kebanyakan pesantren kecil mati dalam tahun 1950-an; pesantren-pesantren besar dapat bertahan, tetapi hanya setelah memasukkan lembaga-lembaga pendidikan umum dalam lingkungan pesantren. Kini semakin banyak pesantren-pesantren yang menyelenggarakan atau membuka jenjang SMP dan SMA; dan sebagian lainnya sudah membuka universitas yang memiliki berbagai fakultas dalam cabang ilmu pengetahuan. 

D. Corak Pesantren
Setelah mengurai metamorfosa pesantren, dari prototipe yang awalnya non-madrasah, kemudian mengadopsi sistem klasikal dengan tahapan-tahapan yang ditentukan, dan dilanjutkan dengan sistem dan metode baru lainnya. Dapat disimpulkan, bahwasannya satu bentuk kata yang sama yakni pesantren, menuntut adanya klasifikasi baru sebagai karakter khusus yang dimiliki berbagai pesantren dalam rupa yang pelangi. 

Pada Era 80-an, pesantren hanya dikenal dengan dua model: 
Pertama: Pesantren Salafi / Tradisional; yang tetap mempertahankan pengajaran kitab kuning sebagai diktat pendidikan di pesantren. Sistem madrasah ditetapkan untuk memudahkan sistem sorogan yang dipakai dalam lembaga-lembaga pengajian bentuk lama, tanpa mengenalkan pengajaran pengetahuan umum. Pesantren yang memakai sistem seperti ini masih cukup besar, diantaranya pondok pesantren Lirboyo dan Ploso – Kediri dan Tremas – Pacitan. 

Terdapat dua macam pengajian di pesantren yang berkembang di pesantren jenis ini, yaitu pengajian ala sorogan dan wetonan/bandongan.
Sorogan adalah sistem individual yang diberikan kepada anak didik setelah menguasai pembacaan al-Qur`an. Santri membacakan teks arab beserta tarkib (struktur gramatikal/morfologi), serta arti yang dikandungnya ditiap kata. Di sini santri dituntut untuk mengerti apa yang dibacanya, dan mampu menjawab jikalau ditanya persoalan I’rab atau perubahan kata (tashrif) oleh ustadznya.
Sedangkan bandongan atau wetonan  adalah suatu sistem dimana santri berperan pasif, hanya mengisi arti dari kata-kata arab yang dibacakan oleh Kyai/ustadz tanpa ditanyai tentang pemahaman pada pelajaran yang terkait. 
Untuk mengetahui gambaran kitab-kitab yang biasa diajarkan di pesantren pada salafi, berikut ini adalah contoh-contoh kurikulum kitab beserta kategorinya: 

A. Cabang Ilmu Fiqh: 
1. Safînat-u 'l-Shalah 
2. Safînat-u 'l-Najâh 
3. Fath-u 'l-Qarîb 
4. Taqrîb 
5. Fath-u 'l-Mu'în 
6. Minhâj-u 'l-Qawîm 
7. Muthma'innah 
8. Al-lqnâ' 
9. Fath-u 'l- Wahâb 
B. Cabang Ilmu Taw_id:
1. 'Aqîdat-u ‘l-'Awâm (nazham) 
2. Bad'-u 'I-Âmâl (nazham) 
3. Sanûsiyyah 
C. Cabang Ilmu Tasawuf:
1. Al-Nashâ'ih-u 'l-Dîniyyah 
2. Irsyâd-u l-'Ibâd 
3. Tanbîh-u'l-Ghâfilîn 
4. Minhâj-u 'l-'Âbidî. 
5. Al-Da'wat -u 'l-Tâmmah 
6. Al-Hikâm 
7. Risâlat-u ‘l-Mu'âwanah wa 'I-Muzhâharah 
8. Bldayat-u 'l-Hidâyah 
D. Cabang Ilmu Nahwu-Sharaf:
1. Al-Maqsûd (nazham) 
2. 'Awâmil (nazham) 
3. 'Imrîthî (nazham) 
4. Ajurumiyah 
5. Kaylani 
6. Mirhât-u'l-l'râb 
7. Alfiyah (nazham) 
8. Ibnu 'Aqîl 

Pola tradisional yang diterapkan dalam pesantren salafi diantaranya adanya para santri bekerja (berkhidmah –ed.) untuk kyai mereka - bisa dengan mencangkul sawah, mengurusi empang (kolam ikan), dan lain sebagainya - dan sebagai balasannya mereka diajari ilmu agama oleh kyai mereka tersebut. Sebagian besar pesantren salafi menyediakan asrama sebagai tempat tinggal para santrinya dengan membebankan biaya yang rendah atau bahkan tanpa biaya sama sekali. Para santri, pada umumnya menghabiskan hingga 20 jam waktu sehari dengan penuh dengan kegiatan, dimulai dari salat shubuh di waktu pagi hingga mereka tidur kembali di waktu malam. Pada waktu siang, para santri pergi ke sekolah umum untuk belajar ilmu formal, pada waktu sore mereka menghadiri pengajian dengan kyai atau ustadz mereka untuk memperdalam pelajaran agama dan al-Qur'an. 

Kedua: Pesantren Khalafi/Modern; yang telah memasukkan pelajaran-pelajaran umum ke dalam madrasah-madrasah yang dikembangkannya, atau membuka tipe sekolah-sekolah umum dalam lingkungan pesantren. Sebagai contoh; Pondok Pesantren Darussalam Gontor dan cabang-cabangnya tidak mengajarkan lagi kitab-kitab Islam Klasik.
Pondok pesantren tipe ini sering disebut dengan istilah Pondok Pesantren Modern, dan umumnya tetap menekankan nilai-nilai dari kesederhanaan, keikhlasan, kemandirian, dan pengendalian diri. Pada pesantren dengan materi ajar campuran antara pendidikan ilmu formal dan ilmu agama Islam, para santri belajar seperti di sekolah umum atau madrasah. Pesantren campuran untuk tingkat SMP kadang-kadang juga dikenal dengan nama Madrasah Tsanawiyah, sedangkan untuk tingkat SMA dengan nama Madrasah Aliyah. Namun, perbedaan pesantren dan madrasah terletak pada sistemnya. Pesantren memasukkan santrinya ke dalam asrama, sementara dalam madrasah tidak
Sementara itu, pesantren-pesantren besar seperti Tebuireng dan Rejoso di Jombang yang membuka SMP, SMA dan universitas, dengan tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab Islam klasik juga dapat dikategorikan ke dalam pesantren tipe khlalafi. 

Kurikulum pendidikan pesantren modern merupakan perpaduan antara pesantren salaf dan sekolah (perguruan tinggi), diharapkan akan mampu memunculkan output kader pesantren berkualitas yang tercermin dalam sikap aspiratif, progresif dan tidak “ortodoks”, sehingga santri bisa secara cepat beradaptasi dalam setiap bentuk perubahan sosial dan bisa diterima dengan baik oleh masyarakat karena mereka bukan golongan ekslusif dan memiliki kemampuan yang siap pakai.
Contoh Kurikulum tetap yang dipakai oleh Pondok Pesantren MODERN MISBAHUL ULUM, Lhoukseumawe – Nanggroe Aceh Darussalam 

Kategori pesantren Ketiga adalah kategori Pesantren Tinggi/Ma’had Aly/Pesantren Luhur. 

Fenomena Ma’had Aly mulai bermunculan pada awal tahun 1990-an. Kini jumlahnya baru dua puluhan. Ada yang mampu survive dan berkembang, dan ada yang baru wacana. 
Bermula dari sebab dan motivasi banyak kalangan, [1] bahwa negeri ini bakal kekurangan pakar ahli agama Islam atau defisit kader ulama, [2] tidak adanya kesinambungan pendidikan dari yang sudah ada. Namun, rasa was-was itu hilang saat menyaksikan dinamika pendidikan di sejumlah Ma’had Aly (Pesantren Tinggi). Jenjang tertinggi pendidikan diniyah ini tak pernah sepi peminat. Bahkan banyak pelamar terpaksa ditolak karena gagal lolos seleksi yang dibuat ketat. Konsep Ma’had Aly memang didesain sebagai tempat penggemblengan santri unggulan.
Model inilah yang membuat Ma’had Aly memiliki reputasi dan gengsi tersendiri bagi kalangan santri muda. Akibatnya, banyak santri yunior yang terstimulasi berjuang keras dengan giat belajar untuk bisa masuk Ma’had Aly. Hal tersebut dikarenakan komitmen keilmuan yang dipompa suasana kompetitif di dalamnya, sehingga menanamkan kebanggaan. Kebanyakan Ma’had Aly dikelola dengan kesederhanaan finansial. Para mahasantri kebanyakan juga berasal dari keluarga kurang mampu.
Tiap Ma’had Aly memiliki strategi sendiri-sendiri dalam mencetak alumninya. Ada yang spesialis fiqh, ada pula yang khusus ilmu hadits. Ada yang merekrut peserta hanya tiap tahun sekali, setelah angkatan sebelumnya lulus, agar pembinaannya lebih fokus. Ada yang enggan menerima supervisi dari pemerintah karena tak mau kurikulumnya diubah. Mereka percaya kurikulum dan metode pengajaran yang berlaku adalah yang terbaik. Model terakhir yang bisa dijumpai dikawasan pendidikan adalah Ma’had Ali yang mensyaratkan bagi para calon penghuninya berstatus Mahasiswa pada salahsatu PTAI, menurut penuturan pemegang kebijakan pesantren ini, hal tersebut sengaja disyaratkan agar para mahasantrinya tak banyak menuntut ijazah pesantren supaya diakui negara.

Ma'had Aly secara garis besar terbagi pada empat materi utama:
Pertama, Materi Dasar (maddah asasiyah) meliputi Tafsir dan Ilmu Al-Quran, Hadits dan ilmu hadits, Aqidah dan Bahasa Arab. 
Kedua, Materi Konsentrasi (maddah ikhtishosiyah) terfokus pada Fiqih dan Ushul Fiqih, Shiroh Nabawiyah, Fiqih Da'wah dan Fiqih Siyasah. 
Ketiga, Materi Pendukung (maddah musaidah) mencakup Metode penelitian, IAD/ISD/IBD, Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia. 
Terakhir, Materi Pelengkap (maddah idhofiyah) meliputi Tehnik penulisan karya ilmiyah dan Program Kerja Lapangan.

Sampel dari kurikulum dari Ma’had Aly di Kuningan 

E. Penutup
Kalau kita tengok keberadaannya, pesantren merupakan institusi pendidikan yang melekat erat dalam kehidupan Indonesia sejak beratus tahun lalu. Sehingga, Ki Hajar Dewantara pernah mencita-citakan model pesantren ini sebagai sistem pendidikan Indonesia. Menurutnya, selain sudah lama melekat dalam kehidupan di Indonesia, model ini (pesantren) juga merupakan kreasi budaya Indonesia –setidak-tidaknya dipulau Jawa– yang patut untuk dipertahankan dan dikembangkan. Tidak bisa dipungkiri bahwa pesantren telah banyak memberikan andil dalam mencerdaskan kehidupan bangsa.
Perubahan demi perubahan yang terjadi dalam sistem belajar mengajar dan kurikulum adalah bentuk dialektika sosial dan respon aktif dari setiap perubahan zaman. Oleh karenanya ikhtiar menuju lembaga pendidikan keagamaan yang lebih baik sudah menjadi keharusan untuk diwujudkan, dengan berbagai pola dan strategi yang lebih baik untuk bisa tetap eksis dan berkompetisi dengan lembaga non-pesantren. 
Oleh karenanya, pengkaderan santri yang berkualitas –dalam artian memiliki kemampuan ekstra dalam mengejawantahkan spirit agama dibelantara kehidupan modern seperti sekarang ini– sudah menjadi kebutuhan mendesak. 
Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua.

WaLlahu Ta’âlâ A’lam


Sumber Bacaan:
Karel A. Steenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah, Pendidikan Islam dalam Kurun Modern (Jakarta : LP3ES, 1994).
Dr. Nurcholis Madjid, Bilik-bilik Pesantren, www.muslims.net
Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta : LP3ES, Cet. V 1985).
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning; Pesantren dan Tarekat, Penerbit Mizan, Cet. I - 1995.
http://www.misbahul-ulum.com
http://www.radartasikmalaya.com
http://id.wikipedia.org/wiki/Pondok_pesantren

Tidak ada komentar:

Posting Komentar