Halaman

Selasa, 14 Februari 2012

Manajemen Kurikulum & Teknologi Pesantren


Oleh: Istikhori

PENDAHULUAN

Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua yang khas Indonesia, yang tumbuh dan berkembang dari dan di tengah-tengah tradisi bangsa Indonesia. Oleh karena itu di dalam masa penjajahan tempo dahulu, pesantren merupakan basis pertahanan yang memiliki peran luar biasa penting bagi perjuangan bangsa. Karenanya, pesantren perlu dibaca sebagai warisan sekaligus kekayaan kebudayaan-intelektual Nusantara.
Lebih dari itu, pesantren juga harus difahami sebagai benteng pertahanan kebudayaan itu sendiri karena peran sejarah yang dimainkannya. Harapan ini tentu saja tidak terlalu meleset dari konstruk budaya yang digariskan pendirinya. Selain diangan-angankan sebagai pusat pengembangan ilmu dan kebudayaan yang berdimensi religius, Pesantren juga dipersiapkan oleh pendirinya sebagai motor transformasi bagi komunitas masyarakat dan bangsanya. Menariknya, segala angan-angan ini justru diberangkatkan dari "bandara tradisi" masyarakat setempat.

Dalam perkembangan sejarahnya, peran kebudayaan menonjol dan berpengaruh yang dimainkan pesantren, hingga kini adalah konsentrasi dan kepeloporannya dalam mempertahankan dan melestarikan ajaran-ajaran Islam ala Sunni (Ahlus-Sunnah wal Jamâ'ah) serta mengembangkan kajian-kajian keagamaan melalui khazanah berbagai kitab kuning (al-Kutub al-Qadîmah), yang sering disebut oleh kalangan Pesantren sendiri sebagai "memperdalam agama" (Tafaqquh fid-Dîn). Bahkan, wacana yang berkembang dalam dinamika pemikiran masyarakat umum serta kaum intelektual menegaskan, bahwa pesantren merupakan bagian dari infrastruktur masyarakat yang secara makro telah berperan menyadarkan komunitas masyarakat untuk mempunyai keyakinan, idealisme, kemampuan intelektual dan perilaku mulia (al-Akhlâq al-Karîmah) guna menata dan membangun karakter bangsa yang paripurna.
Pesantren juga rajin dan berusaha membentuk perilaku-perilaku masyarakat dan santrinya, agar lebih menekankan, terutama, dimensi etika-moral dalam kehidupan mereka. Dan memang, hal ini telah teruji dan mampu bertahan mengangkat pesantren menjadi sebuah bengkel moral-spiritual, dan pusat pengkajian dan pengembangan intelektualitas Islam klasik yang pernah mencapai puncak keemasannya dalam peradaban dunia. Eksistensi ini sekaligus memberikan signifikansi yang strategis bagi pesantren dalam proses kebangsaan. Dan demikianlah, hingga saat ini eksistensi dan nilai-nilai pesantren masih terus dipertahankan, dan bahkan secara bertahap dikuatkan dikembangkan agar dapat meningkatkan perannya dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa, dan menciptakan manusia yang seutuhnya, yang cerdas dari sisi intelektual dan spiritualnya.
Kemudian, mengutip pernyataan Sayid Agil Siraj, bahwa ada tiga hal yang justeru masih belum dikuatkan dalam dunia pesantren itu sendiri. Pertama, tamaddun yaitu upaya memajukan pesantren; bahwasanya masih banyak pesantren yang dikelola secara sederhana dan alakadarnya, dimana penanganan manajemen dan administrasinya masih bersifat kekeluargaan dan ditangani oleh kiainya sendiri. Maka dalam hal ini, pesantren perlu berbenah diri. Kedua, tsaqafah, yaitu bagaimana memberikan pencerahan kepada umat Islam agar kreatif-produktif, dengan tidak melupakan orisinalitas ajaran Islam. Maka oleh karena demikian itu, disamping para santri setia dengan tradisi kepesantrenannya, mereka juga dituntut untuk dapat akrab dengan berbagai ilmu pengetahuan serta sains dan teknologi modern lainnya. Ketiga, hadharah, yaitu membangun budaya. Dalam hal ini, bagaimana budaya kita dapat diwarnai oleh jiwa dan tradisi Islam. Di sini, pesantren diharapkan mampu mengembangkan dan mempengaruhi tradisi yang bersemangat Islam di tengah hembusan dan pengaruh dahsyat globalisasi yang berupaya menyeragamkan budaya melalui produk-produk teknologi yang tidak bertanggung jawab. Namun demikian, pesantren akan tetap eksis sebagai lembaga pendidikan Islam yang mempunyai visi mencetak manusia-manusia unggul, dengan selalu berpegang teguh pada prinsip:
"المُحَافَظَةُ عَلىَ اْْلقََدِيْمِ الصَّالِحِ وَاْلأَخْذُ بِالْجَدِيْدِ اْلأَصْلَحِ"
yaitu tetap menjaga tradisi lama yang positif, dan mengimbanginya dengan mengambil hal-hal baru yang positif (lebih baik). [1]
Memang tidak diragukan lagi, bahwa pesantren memiliki kontribusi nyata dalam pembangunan pendidikan di negeri ini. Apalagi dilihat secara historis, pesantren memiliki pengalaman yang luar biasa dalam membina dan mengembangkan masyarakat. Bahkan ia mampu meningkatkan perannya secara mandiri dengan menggali potensi yang dimiliki masyarakat di sekelilingnya. Karena pembangunan manusia, tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah atau masyarakat semata-mata, tetapi menjadi tanggung jawab semua komponen, termasuk dunia pesantren. Pesantren yang telah memiliki nilai historis dalam membina dan mengembangkan masyarakat, kualitasnya harus terus didorong, diperjuangkan dan dikembangkan seiring dengan tuntutan jaman modern.[2] Dalam rangka pemenuhan beberapa point penting tersebut, maka secara mandiri namun pasti pesantren perlu berbenah diri, mengemas kembali materi-materi yang diajarkan, dan mengadopsi materi serta sistem yang konstruktif bagi kesinambungan pesantren yang lebih baik, bermutu, dan memiliki daya saing tinggi, dengan menjadikan managemen sebagai jembatan penghubung yang dapat menunjang tercapainya tujuan yang diharapkan.



MANAJEMEN KURIKULUM DAN TEKNOLOGI PESANREN

1.      Definisi

·     Manajemen Kurikulum Pesantren
Manajemen kurikulum adalah, segenap proses usaha bersama untuk memperlancar pencapaian tujuan pengajaran dengan titik berat pada usaha meningkatkan kualitas interaksi belajar mangajar. Sedangkan kurikulum sendiri mempunyai arti yang sempit dan arti yang luas. Kurikulum dalam arti sempit adalah jadwal pelajaran atau semua pelajaran baik teori maupun praktek yang diberikan kepada siswa selama mengikuti suatu proses pendidikan tertentu. Sedangkan dalam arti luas kurikulum diartikan sebagai berikut.
Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Tujuan tertentu ini meliputi tujuan pendidikan nasional serta kesesuaian  dengan kekhasan, kondisi dan potensi daerah, satuan pendidikan dan peserta didik. Oleh sebab itu kurikulum disusun oleh satuan pendidikan untuk memungkinkan penyesuaian program pendidikan dengan kebutuhan dan potensi yang ada di daerah.[3]
Sehingga dengan demikian dapat dikatakan, bahwa salah satu komponen yang sangat penting pada suatu lembaga pendidikan formal, yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan isi pengajaran, mengarahkan proses mekanisme pendidikan, tolok-ukur keberhasilan dan kualitas hasil pendidikan, adalah kurikulum itu sendiri. [4]
Adapun istilah kurikulum itu sendiri bila kita selidik lebih jauh, akan kita dapati bahwa ia berasal dari bahasa Yunani, yang pada mulanya popular dalam bidang olah raga yaitu “Curere”, yang berarti jarak terjauh yang harus ditempuh dalam olah raga lari mulai start hingga finish. Kemudian dalam konteks pendidikan kurikulum diartikan sebagai “circle of instruction”, yaitu suatu lingkaran pengajaran dimana guru dan murid terlibat langsung di dalamnya. [5]
Adapun menurut Iskandar Wiryokusumo, kurikulum pendidikan adalah: “program pendidikan yang disediakan sekolah untuk siswa”. [6]
Dan menurut S. Nasution, kurikulum pendidikan adalah: “Suatu rencana yang disusun untuk melancarkan proses belajar-mengajar di bawah bimbingan dan tanggung-jawab sekolah atau lembaga pendidikan beserta staf pengajarnya.”[7]
Sementara dalam bahasa Arab menurut Omar Muhammad (1979:478) term kurikulum dikenal dengan istilah manhaj, yaitu suatu jalan terang yang dilalui oleh manusia dalam hidupnya. Dan adapun dalam konteks pendidikan, manhaj itu sendiri dimaknai sebagai suatu jalan terang yang dilalui oleh pendidik dan peserta didik untuk menggabungkan pengetahuan keterampilan, sikap, dan seperangkat nilai.
Kemudian, menurut kebahasaan, kata kurikulum dapat dibedakan menjadi dua bagian utama. Pertama dalam pengertian yang sempit ataupun tradisional, yaitu sebagaimana yang dirumuskan oleh Regan (1960:57) “the curriculummhas mean the subject taught in school or the course of study.” Yang maksudnya adalah bahwa kurikulum merupakan mata pelajaran yang diajarkan di sekolah atau bidang studi. Kedua dalam pengertian yang luas yang disebut juga dengan pengertian modern, yaitu sebagaimana yang dirumuskan oleh Spear (1975:67) “The curriculum has looked as being composed of all the actual experience pupils have under school direction writing a course of study become but small part of curriculum program.” Yaitu kurikulum merupakan semua pengalaman aktual yang dimiliki oleh siswa di bawah pengaruh sekolah, sementara bidang studi merupakan bagian kecil dari program kurikulum secara keseluruhan. 
Dalam kontek pendidikan di pesantren, Nurcholis majid mengatakan sebagaimana yang dikutip oleh Abdurrahman Mas’ud dkk. Bahwa istilah kurikulum tidak dikenal di dunia pesantren (masa pra kemerdekaan) dahulu. Walaupun sebenarnya materi pendidikan telah ada di dalam pesantren, terutama pada praktek pengajaran bimbingan rohani dan latihan kecakapan dalam kehidupan di pesantren. Secara eksplisit, pesantren tidak merumuskan dasar dan tujuan pesatren atau menerapkannya dalam bentuk kurikulum.[8]
Dari beberapa definisi dan pemaknaan di atas dapat disimpulkan, bahwa kurikulum pada dasarnya merupakan seperangkat perencanaan dan media untuk mengantarkan lembaga pendidikan tertentu untuk mewujudkannya menjadi lembaga pendidikan yang diidamkan. Karenanya, dewasa ini banyak kita dapati bahwa pesantren dalam kelembagaannya, mulai nampak mengembangkan dirinya dengan jenis dan corak pendidikan yang bermacam-macam. Meski masih banyak juga pesantren yang masih belum mampu melaksanakannya, karena faktor keterbatasan dan hal-hal lainnya. Dan adapun disaat pesantren mencoba mengembangkan potensinya, terutama dalam mutu pengajarannya, maka kurikulum menjadi komponen utama yang digunakan sebagai acuan untuk menentukan isi pengajaran, mengarahkan proses mekanisme pendidikan, tolak ukur keberhasilan dan kualitas hasil pendidikan.
Adapun diantara contoh pesantren yang mampu mengembangkan dirinya kaitannya dengan hal ini adalah pesantren Tebuireng Jombang, dan pesantren Darussalam Gontor, dimana di dalam keduanya telah berkembang madrasah, sekolah umum, sampai perguruan tinggi yang mana dalam proses pencapaian tujuan institusionalnya selalu menggunakan kurikulum sebagai acuan utama.
Maka, dapat disimpulkan juga bahwa kurikulum pesantren adalah sebuah batasan-batasan atau patokan yang harus dijadikan acuan untuk mekanisme pembelajaran dan mobilitas pesantren, dengan tujuan dan sasaran-sasaran tertentu.
·         Teknologi Pesantren
Demikianlah pengertian dari kurikulum pesantren, sebagaimana yang telah dipaparkan dalam definisi dan pemaknaannya diatas. Selanjutnya adalah definisi tentang Teknologi Pesantren, dan ada baiknya sebelum memasuki pemahasan dari Teknologi Pesantren yang dimaksud, kita mengetahui dahulu pengertian dari teknologi itu sendiri.

Kata “teknologi” seringkali diartikan sebagai suatu alat elektronik yang merupakan produk dari suatu inovasi teknologi industri tertentu, atau yang sedang marak dewasa ini adalah Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) misalnya. Tapi oleh ilmuwan dan ahli filsafat ilmu pengetahuan ia diartikan sebagai pekerjaan ilmu pengetahuan untuk memecahkan masalah praktis. Sehingga dengan demikian, teknologi lebih mengacu pada usaha untuk memecahkan masalah ataupun persoalan manusia.
Sementara itu “teknologi pendidikan” adalah suatu proses yang kompleks yang bersinergi untuk menganalisis dan memecahkan masalah ataupun persoalan belajar manusia, kaitannya dalam dunia pendidikan yang digelutinya. Beberapa tokoh pendidikan, misalnya Mackenzie, dkk (1976) mendefinisikan, bahwa teknologi pendidikan merupakan suatu usaha untuk mengembangkan alat yang digunakan dalam mencapai atau menemukan solusi permasalahan. Teknologi itu sendiri dapat juga terdiri dari segala teknik atau metode yang dapat dipercaya untuk melibatkan pelajaran; strategi belajar kognitif dan keterampilan berfikir kritis.

Berangkat dari pendefinisian Mackenzie terhadap teknologi pesantren, dapat disimpulkan bahwa secara garis besar terdapat lima point penting yang merupakan bagian integral dari teknologi pendidikan, yaitu:

a)      Sistem berpikir:
Dimana sistem berpikir menjadikan seseorang lebih berhati-hati dan tidak ceroboh dalam mengambil keputusan ataupun kebijakan, terutama dengan munculnya beberapa model dalam dunia pendidikan. Hal ini penting sekali dalam mengantisipasi terjadinya suatu perubahan yang tidak diinginkan. Tanpa sistem berpikir ini, kita akan mendapatkan kesulitan dalam mengadakan peningkatan riil dalam bidang pendidikan. Jadi sistem berpikir menghadirkan konsep sistem yang umum, dimana berbagai hal saling memiliki keterkaitan.

b)     Desain system:
Desain sistem merupakan teknologi merancang dan membangun suatu sistem yang baru. Dan ini dimaksud untuk mencapai sebuah perubahan yang cepat dalam meningkatkan harapan. Desain sistem memberi kita peralatan untuk menciptakan suatu sistem yang baru dan suatu strategi untuk perubahan yang kita inginkan.

c)      Kualitas pengetahuan:
Kualitas pengetahuan merupakan sebuah teknologi yang berfungsi memproduksi suatu produk, jasa, ataupun layanan yang sesuai dengan harapan dan pelanggan. Ilmu pengetahuan yang berkualitas telah menjadi alat yang sangat berharga dalam menstimulasi suatu inovasi pendidikan dalam sekolah.

d)     Manajemen Perubahan:
Yaitu suatu cara untuk memandu energi kreatif ke arah suatu perubahan yang positif. Dapat juga difahami sebagai suatu sistem pemikiran yang berlaku pada aspek manajemen inovasi, yang mengacu pada: perencanaan, organisasi, aktualisasi dan control.

e)    Teknologi pembelajaran:

Untuk teknologi pembelajaran ini, kita akan mendapati padanya dua hal utama; yaitu peralatan Pelajar elektronik (Komputer, multimedia, Internet, telekomunikasi), dan pembelajaran yang didesain, metode dan strateginya diperlukan untuk membuat suatu peralatan elektronik yang efektif.
Sehingga dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa teknologi pembelajaran merupakan suatu sistem pemikiran yang berlaku untuk instruksi dan belajar.
Kaitannya dengan hal ini, ada empat pilar yang dapat dijadikan sebagai landasan dalam dunia pendidikan, sebagaimana yang telah ditetapkan UNESCO, yaitu:
1.   Learning to know: “Belajar untuk tahu”, dimana disini bukan sekedar mempelajari materi pembelajaran, tetapi yang lebih penting dri itu adalah mengenal cara memahami dan mengkomunikasikannya.
2.   Learning to do: “Belajar untuk berbuat”, yaitu menumbuhkan semangat kreativitas, produktivitas, ketangguhan, menguasai kompetensi secara professional, dan siap menghadapi situasi yang selalu berubah.
3.   Learning to be; “Belajar untuk menjadi”, Ia terkait pada hal pengembangan potensi diri yang meliputi kemandirian, kemampuan bernalar, berimajinasi, kesadaranestetk, disiplin, dan tangung jawab.
4.   Learning to live together: “Belajar untuk hidup bersama”, yaitu pemahaman hidup selaras seimbang, dengan menghormati nilai spiritual dan tradisi kebhinekaan, dalam konteks keindonesiaan.
 
2.      Latar belakang dari pentingnya sebuah Manajemen Kurikulum bagi pesantren.

Sebagaimana yang telah dimaklumi bersama bahwasanya manajemen yang berlaku di pesantren pada umumnya, merupakan manajemen kultural. Dimana dalam pelaksanaannya ia menggunakan nilai-nilai (keyakinan atau kepercayaan) sebagai dasar pengembangan organisasi, termasuk pendidikan (sekolah) tidak dapat dikelola secara struktural/birokratis yang lebih menekankan pada perintah atasan, pengarahan, dan pengawasan, karena dapat terjadi anggota organisasi hanya bekerja apabila ada perintah dan pengawasan. Setiap orang bekerja dengan dasar nilai (keyakinan) yang mendorong adanya keterlibatan emosional, sosial, dan pikiran demi melaksanakan tugas pekerjaannya.[9]
Dan dalam manajemen kultural, kultur lebih fokus terhadap nilai-nilai, keyakinan-keyakinan dan norma-norma individu dan bagaimana persepsi-persepsi ini bergabung atau bersatu dalam makna-makna organisasi.[10]
Kultur organisasional adalah suatu karateristik semangat dan keyakinan sebuah organisasi, yang ditunjukkan, misalnya, dalam norma-norma dan nilai-nilai yang secara umum berbicara tentang bagaimana seharusnya orang bersikap terhadap orang lain, suatu sifat pola hubungan kerja yang harus dikembangkan dan dirubah. Norma-norma ini sangat dalam, asumsi-asumsi kaku yang tidak selalu diekspresikan, dan selalu diketahui tanpa bisa dipahami”.[11]
Maka sebuah menajemen kurikulum mutlak diperlukan sebuah balai pendidikan pesantren dewasa ini, dalam upaya menigkatkan mutu dan kwaitas penidikan didalamnya agar lebih terencana dan terprogram degan baik. Dengan memahami beberapa hal-hal yang terkait dengan kurikulum itu sendiri dengan baik.

A.    Ruang Lingkup Manajemen Kurikulum

Dalam Undang-Undang nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada pasal 1 butir 9 disebutkan bahwa Kurikulum adalah: (1) seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi dan (2) bahan pelajaran, serta (3) cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar-mengajar.
Butir (1) yang berbunyi “seperangkat rencana dan pengaturan mengenai isi”, pada Kurikulum 1994 diwujudkan dalam Buku Landasan, Program, dan Pengembangan Kurikulum. Butir (2) yang berbunyi “bahan pelajaran”, pada Kurikulum 1994 diwujudkan dalam Buku Garis-Garis Besar Program Pengajaran (GBPP). Sedangkan butir (3) yang berbunyi “cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar”, pada Kurikulum 1994 diwujudkan dalam Buku-buku Pedoman Pelaksanaan Kurikulum.[12]
Kemudian dipertegas lagi pada pasal 37 bahwa kurikulum disusun untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional dengan memperhatikan tahap perkembangan peserta didik dan kesesuaiannya dengan lingkungan, kebutuhan pembangunan nasional, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesenian, sesuai dengan jenis dan jenjang masing-masing satuan pendidikan.
Terdapat tiga jenis organisasi kurikulum yaitu :
1.    Kurikulum Terpisah ( Sparated Subject Curriculum) dimana bahan-bahan disajikan terpisah dan seolah-olah terdapat pembatas antara bidang yang satu dengan yang lain.
2.        Kurikulum Berhubungan ( Correlated Curriculum) yaitu kurikulum yang menunjukan adanya hubungan antara mata pelajarah yang satu dengan yan lain. Seperti IPS (gabungan dari mata pelajaran Sejarah Geografi, Ekonomi, Sosiologi ), IPA (gabungan dari Fisika, Biologi, Kimia).
3.        Kurikulum terpadu (Integrated Curriculum) yaitu kurikulum yang meniadakan batas-batas antara berbagai bidang dan didalam mata pelajaran tersebut terdapat keterpaduan mata pelajaran.

B.     Perencanaan Kurikulum
Perencanaan adalah suatu proses memeprsiapkan serangkaian keputusan untuk mengambil tindakan dimasa yang akan datang yang diarahkan kepada tercapainya tujuan-tujuan dengan sarana yang optimal.
            Pedoman-pedoman perencanaan yang merupakan tujuan pendidikan dan sususna bahan pelajaran, pemerintah pusat mengeluarkan pedoman umumyang harus diikuti oleh sekolah untuk menyusun perencanaan yang bersifat operasional disekolah, pedoman tersebut antara lain :[13]
1.      Struktur Program
Struktur program adalah susunan bidang perajaran yang harus dijadikan pedoman pelaksanaan kurikulum di suatu jenis dan jenjang sekolah. Struktur program merupakan landasan untuk membuat jadwal pelajaran.
2.      Penyusunan Jadwal Pelajaran
Jadwal pelajaran adalah urut-urutan mata pelajaran sebagai pedoman yang harus di ikuti dalam  pelaksanaanpemberian pelajaran. Jadwal pelajran sangat bermanfaat dalam pembelajaran yang dilakukan oleh setiap institusi pendidikan.
3.      Penyusunan Kalender Pendidikan
Tujuan penyusunan kalender pendidikan adalah agar pengunaan waktu selama satu tahun terbagi secara merata dan sebaik-baiknya dari peningkatan mutu pendidikan. Hal yang diatur dalam kalender pendidikan adalah pemerimaan siswa baru, prosedur pengisian haripertama sekolah, kegiatan belajar mengajar, kegiatan dalam Libran sekolah, upacara-upacara sekolah, kegiatan ekstrakurikuler.
4.      Pembagian Tugas Guru
Hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian tugas kepada guru :
a.      Sesuai bidang keahlian guru.
b.      Sistem guru kelas dan system guru bidang studi
c.       Formasi, yaitu susunan jatah petugas sesuai dengan banyaknya dan jenis tugas yang dipikul.
d.     Beban tugas guru menurut ketentuan 24 jam per minggu.
e.      Terdapat kemungkinan adanya perangkapan tugas mengajar jika jumlah guru kurang.
f.        Masa kerja dan pengalaman mengajar dalam bidang studi yang diampu.
5.      Pengaturan atau Penempatan Siswa
Dalam pengaturan kelas siswa biasanya diatur setelah siswa melakukan daftar ulang.
6.      Penyusunan Rencana Mengajar
Penyusunan rencana pembelajaran dilakukan memelui dua tahap yaitu :
a.      Tahap penyusunan rencana terurai, adalah pembuatan program garis besar tetapi terperinci mengenai penyajian bahan pelajaran selama sat tahun.
b.      Tahap penyusunan satuan pelajaran.
7.      Perencanaan kurikulum di bedakan menjadi dua yakni tingkat pusat dan dan yang diaksanakan oleh sekolah.
a.      Perencanaan tingkat pusat, meliputi tujuan pendidikan, bahan pelajaran. Dalam tujuan pendidikan terdapat TIU dan TIK.
b.      Bahan pembelajaran,dari pusat kemudian di serahkan kepada sekolah dalam bentuk Garis-Garis Besar Program Pengajaran ( GBPP).
c.       Perencanaan yang harus dilakukan disekolah.

8.      Pelaksanaan Kurikulum
Pelaksanaan kurikulum merupakan interaksi belajar mengajar yang setidaknya melalui tiga tahap yaitu :
a.      Tahap persiapan pembelajaran, adalah kegiatan yang dialakukan guru sebelum melakukan proses pembelajaran.
b.      Tahap pelaksanaan pembelajaran, adalah kegiatan pembelajaran yang dilakukan oleg guru dan murid mengenai pokok bahasan yang harus di sampaikan. Dalam tahap ini terbagi menjadi tiga bagian yaitu pendahuluan, pelajaran inti, dan evaluasi.
c.       Tahap penutupan, adalah kegiatan yang dilakukan setelah penyampaian materi.

3.     Implementasi Kurikulum dalam dunia pesantren.
Ada banyak pesantren modern yang menerapkan menajemen kurikulum dalam proses belajar mengajar, atau pedidikan di dalam pesantren itu sendiri, namun bagi pesantren yang mengikuti pola salafi (tradisional), mungkin kurikulum belum dirumuskan secara baik. Kurikulum pesantren “salaf” yang statusnya sebagai lembaga  pendidikan non-formal hanya mempelajari kitab-kitab klasik yang meliputi:  Tauhid, Tafsir, Hadits, Fiqh, Ushul Fiqh, Tasawwuf, Bahasa Arab (Nahwu, Sharaf, Balaghah  dan Tajwid), Mantiq  dan  Akhlak.  Pelaksanaan kurikulum pendidikan pesantren ini berdasarkan kemudahan dan kompleksitas ilmu atau masalah yang dibahas dalam kitab. Jadi, ada tingkat awal, menengah dan tingkat lanjutan. Gambaran naskah agama yang harus dibaca dan  dipelajari oleh santri, menurut Zamakhsyari Dhofier mencakup kelompok “Nahwu  dan  Sharaf, Ushul Fiqh, Hadits, Tafsir, Tauhid, Tasawwuf, cabang-cabang yang lain seperti  Tarikh  dan  Balaghah”. [14]
Adapun karakteristik kurikulum yang ada pada pondok pesantren modern, mulai diadaptasikan dengan kurikulum pendidikan Islam yang disponsori oleh Departemen Agama (Kementerian Agama) melalui sekolah formal (madrasah). Kurikulum khusus pesantren dialokasikan dalam muatan lokal atau diterapkan melalui kebijaksanaan sendiri. 
Gambaran kurikulum lainnya adalah pada pembagian waktu belajar, yaitu mereka belajar keilmuan sesuai dengan kurikulum yang ada di perguruan tinggi (sekolah) pada waktu-waktu kuliah. Waktu selebihnya dengan jam pelajaran yang padat dari pagi sampai malam untuk mengkaji ilmu Islam khas pesantren (pengajian kitab klasik). [15]
      Fenomena pesantren sekarang yang mengadopsi pengetahuan umum untuk para santrinya, tetapi masih tetap mempertahankan pengajaran kitab-kitab klasik merupakan upaya untuk meneruskan tujuan utama lembaga pendidikan tersebut, yaitu pendidikan calon ulama yang setia kepada paham Islam tradisional. [16]
Kurikulum pendidikan pesantren modern merupakan perpaduan antara pesantren  salaf dan sekolah (perguruan tinggi), diharapkan akan mampu memunculkan output pesantren berkualitas yang tercermin dalam sikap aspiratif, progresif dan tidak “ortodoks” sehingga santri bisa secara cepat beradaptasi dalam setiap bentuk perubahan peradaban dan bisa diterima dengan baik oleh masyarakat karena mereka bukan golongan eksklusif dan memiliki kemampuan yang siap pakai.
Mencermati hal di atas, bentuk pendidikan pesantren yang hanya mendasarkan pada kurikulum “salafi” dan mempunyai ketergantungan yang berlebihan pada Kiai tampaknya merupakan persoalan tersendiri, jika dikaitkan dengan tuntutan perubahan jaman yang senantiasa melaju dengan cepat ini.
Bentuk pesantren yang demikian akan mengarah pada pemahaman Islam yang parsial karena Islam hanya dipahami dengan pendekatan normatif semata. Belum lagi output (santri) yang tidak dipersiapkan untuk menghadapi problematika modern, mereka cenderung mengambil jarak dengan proses perkembangan jaman yang serba cepat ini.
Pesantren dalam bentuk ini, hidup dan matinya sangat tergantung pada kebesaran kiainya, kalau di pesantren tersebut masih ada Kiai yang “mumpuni” dan dipandang mampu serta diterima oleh masyarakat, maka pesantren tersebut akan tetap eksis. Tetapi sebaliknya, jika pesantren tersebut sudah ditinggal oleh kiainya dan tidak ada pengganti yang mampu melanjutkan, maka berangsur-angsur akan ditinggalkan oleh santrinya. Oleh karena itu, inovasi dalam penataan kurikulum perlu direalisasikan, yaitu merancang kurikulum yang mengacu pada tuntutan masyarakat dewasa ini dengan tidak meninggalkan karakteristik pesantren yang ada, sebab kalau tidak, besar kemungkinan pesantren tersebut akan semakin ditinggalkan oleh para santrinya.
Dalam bentuk kedua, pesantren yang telah mengadopsi kurikulum dan lembaga sekolah, hubungan ideal antara keduanya perlu dikembangkan. Kesadaran dalam mengembangkan bentuk kedua ini, tampaknya mulai tumbuh di kalangan umat Islam. Namun dalam kondisi riil, keberadaan pesantren yang telah mengadopsi kurikulum sekolah (madrasah), ternyata belum sepenuhnya berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Di sana-sini masih banyak terlihat kendala yang dihadapinya sehingga hasilnya pun belum pada taraf memuaskan. Oleh karena itu, upaya untuk merumuskan kembali lembaga yang bercirikan pesantren yang mampu untuk memproduk siswa (santri) yang benar-benar mempunyai kemampuan profesional serta berakhlak mulia senantiasa perlu dilakukan terus-menerus secara berkesinambungan. [17]
Dengan kesadaran ini dapat diyakini bahwa integritas pendidikan sekolah ke dalam lingkungan pendidikan pesantren, sebagaimana tampak dewasa ini, merupakan kecenderungan positif yang diharapkan bisa menepis beberapa kelemahan masing-masing.
Bagi pendidikan pesantren, integrasi semacam itu merupakan peluang yang sangat strategis untuk mengembangkan tujuan pendidikan secara lebih aktual dan kontekstual.
Mastuhu secara praktis memberikan konsep tentang model dan paradigma Pendidikan pesantren yg diharapkan menjadi orientasi dan landasan dalam kurikulum lembaga Pendidikan pesantren di Indonesia, yaitu: [18]
  • Dasar Pendidikan; Pendidikan pesantren harus mendasarkan pada “teosentris’ dengan menjadikan “antroposentris” sebagai bagian esensial dari konsep teosentris. Hal ini berbeda dengan pendidikan sekuler yang hanya bersifat antroposentris semata.
  • Tujuan Pendidikan; kerja membangun kehidupan duniawiyah melalui pendidikan sebagai perwujudan mengabdi kepada-Nya. Pembangunan kehidupan duniawiyah bukan menjadi tujuan final tetapi merupakan kewajiban yang diimani, dan terkait kuat dengan kehidupan ukhrawiyah tujuan final adalah kehidupan ukhrawi dengan ridla Allah SWT.
  • Konsep manusia; Pendidikan Islam memandang manusia mempunyai fitrah yang harus dikembangkan tak seperti pendidikan sekuler yang memandang manusia dengan tabularasa-nya.
  • Nilai; Pendidikan pesantren berorientasi pada Iptek sebagai kebenaran relatif dan Imtaq sebagai kebenaran mutlak. Berbeda dengan pendidikan sekuler yang hanya berorientasi pada Iptek saja. [19]
Pengembangan kurikulum Pendidikan pesantren yang terus menerus menyangkut seluruh komponen merupakan sesuatu yang mutlak untuk dilakukan, agar ia tak kehilangan relevansi dengan kebutuhan riil yang dihadapi komonitas pendidikan Islam yang cenderung terus mengalami proses dinamika transformatif.
Pendidikan pesantren yang dibangun atas dasar pemikiran yang Islami bertolak dari pandangan hidup, dan pandangan tentang manusia, serta diarahkan kepada tujuan pendidikan yang dilandasi kaidah – kaidah Islam. Kurikulum yang demikian biasa mengacu pada sembilan prinsip utama sebagai berikut :
ü  Sistem dan pengembangan kurikulum hendaknya memperhatikan fitrah manusia, agar tetap berada dalam kesucian dan tak menyimpang.
ü  Kurikulum hendaknya mengacu kepada pencapaian tujuan akhir pendidikan Islam, sambil memperhatikan tujuan – tujuan di bawahnya.
ü  Kurikulum perlu disusun secara bertahap, mengikuti periodisasi perkembangan peserta didik.
ü  Kurikulum hendaknya memperhatikan kepentingan nyata masyarakat, seperti kesehatan keamanan administrasi dan pendidikan. Kurikulum hendaknya pula disesuaikan dengan kondisi dan lingkungan, seperti iklim dan kondisi alam yg memungkinkan adanya perbedaan pola kehidupan agraris industri dan komersial.
ü  Kurikulum hendaknya terstruktur dan terorganisasi secara integral.
ü  Kurikulum hendaknya realistis. Arti kurikulum dapat dilaksanakan sesuai dengan berbagai kemudahan yang dimiliki tiap negara yang melaksanakannya.
ü  Metode pendidikan yang merupakan salah satu komponen kurikulum ini hendaknya bersifat fleksibel.
ü  Kurikulum hendaknya efektif untuk mencapai tingkah laku dan emosi yg positif.
ü  Kurikulum hendaknya memperhatikan tingkat perkembangan peserta didik, baik fisik emosional ataupun intelektualnya, serta berbagai masalah yang dihadapi dalam tiap tingkat perkembangan seperti pertumbuhan bahasa kamatangan sosial dan kesiapan religiusitas. [20]

4.      Pemanfaatan teknologi, sebagai bagian dari implemenatasi Teknologi pendidikan dipesantren.
Berangkat dari pemahaman teknologi secara definitive sebelumnya, teknologi juga dapat difahami sebagai bagian integral dalam setiap budaya, makin maju suatu budaya, makin bayak dan makin canggih teknologi yang digunakan, meski teknologi dalam pemahama yang umum bukanlah sebagaimana pemahaman kita tentang teknologi pembelajaran. Namun demikian, teknologi sebagai alat bantu elektronik misalnya, merupakan bagian mutlak yang digunakan dalam memuluskan penerapan teknologi pembelajaran itu sendiri dalam dunia pendidikan, khususnya dalam dunia pesantren.
Objek formal teknologi pendidikan adalah belajar pada manusia, belajar itu sendiri dapat diartikan sebagai perubahan dalam diri seseorang atau lembaga yang relative menetap dan berkembang dalam pengetahuan, sikap dan keterampilan, yang disebabkan oleh pemikiran atau pengalaman. Dan belajar itu sendiri terjadi kapan saja dan dimana saja.
Adapun wujud sumbangan teknologi pendidikan di pesantren adalah sebagai disiplin keilmuan, dan sebagai bidang garapan, serta kontribusinya dalam bidang pembangunan pendidikan. Adapun batasan umum tentang pengertian teknologi itu sendiri yaitu:

1.      Proses, yang meningkatkan nilai tambah
2.      Produk, yang digunakan/ dihasilkan untuk memudahkan dan meningkatkan kinerja.
3.      Struktur atau system, dimana proses dan produk itu dikembangkan dan digunakan.
Teknologi memasak misalnya, adalah proses bagaimana mengolah bahan mentah (sayuran, tempe, dll) dengan menggunakan produk berupa, pisau, wajan, panci dll.  Untuk mengahasilkan produk berupa makanan, dan makanan itu sendiri adalah komponen dari system kelangsungan hidup berupa gizi dan nutrisi, yang perlu dilengkapi dengan komponen lain, seperti minum, makan, oleh raga dan sebagainya.[21]
Perlu disadari bahwa semua bentuk teknologi, termasuk teknologi pendidikan adalah system, yang diciptakan oelh manusia unruk suatu tujuan tertentu, yang pada intinya adalah mempermudah manusia dalam memperingan usahanya. Meningkatkan hasilnya, dan menghemat tenaga,  serta sumber daya yang ada. Maka bertolak pada lantasan palasafah dan pembenaran ilmiah ini, teknologi pendidika didepinisikan sebagai teori dan praktek dalam merancang, menerapkan dan mengelola, menilai dan meneliti proses, sumber dan system belajar. [22]
Terkait dengan ini, diakui atau tidak, pondok pesantren baik secara kelembagaan dan substansi pendidikannya telah begitu banyak mengalami perubahan, dan perubahan itu akan terus berlanjut terkait dengan perubahan sosial dan perubahan peraturan dan kebijakan yang ada.
Oleh karena itu, Pengembangan pesantren bukanlah hal baru, dan akan terus dilakukan baik oleh internal pesantren maupun bekerja sama dengan lembaga lain. Secara internal, pesantren sudah memiliki caranya sendiri, misalnya melalui saling mengambil menantu antar pihak keluarga pesantren atau mengambil menantu dari kalangan santri yang pandai.  Disamping itu, pesantren juga memiliki prinsip menjaga dan berkembang yang hingga saat ini masih dijalankan. Dengan demikian, untuk berkembang, bagi pesantren bukanlah hal baru. [23]
Upaya lain yang perlu ditempuh demi pengembangan mutu pendidikan pesantren adalah penggunaan teknologi di pesanteren dalam rangka meningkatkan mutu SDM pesantren. Mencermati perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada masa kini dan mendatang dan menerapkannya dalam proses KBM. Maka oleh karena itu, pendidikan pesantren tidak boleh mengesampingkan pendidikan Teknologi Informasi (TI), terutama dalam menumbuhkan Islamic technological-attitude (sikap berteknologi secara Islami) dan technological-quotient (kecerdasan berteknologi) sehingga santri memiliki motivasi, inisiatif dan kreativitas yang tinggi untuk memahami teknologi.
Ketersediaan TI dan pemanfaatannya di lembaga pendidikan pesantren, sekalipun sederhana dan terbatas untuk proses, akan meningkatkan pembelajaran dalam hal peningkatan efektifitas, efisiensi, dan daya tarik pembelajaran di pesantren. Namun, kemajuan TI di pesantren tidak mungkin terwujud tanpa adanya sumberdaya manusia yang berkualitas. Dan diantara sumber daya manusia di pesantren adalah para Ustadz ataupun dewan guru, yang secara langsung terlibat langsung dalam proses belajar-mengajar dan sebagainya. karenanya, sumber daya ustadz yang baik dan berkualitas mutlak diperlukan oleh pesantren.
·       e-Pesantren
Kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi telah mendorong terjadinya banyak perubahan, termasuk dalam bidang pendidikan yang melahirkan konsep e-learning.
Dengan e-learning, pembelajaran menjadi lebih efektif dan efisien. Teknologi informasi dan Komunikasi juga sangat memungkinkan dimanfaatkan di pesantren sehingga menghasilkan konsep e-pesantren. e-pesantren memberikan para santri, ustadz, dan pengelola pesantren untuk mengambil banyak manfaat, di antaranya; fleksibilitas program pendidikan, dakwah syiar islam, dan bahan kajian yang dapat dibuat lebih menarik dan berkesan.
Integrasi teknologi informasi dan komunikasi pada pendidikan di pesantren meningkatkan kualitas pendidikan di pesantren dan kemudahan dakwah.
Dampak ikutan dengan integrasi teknologi informasi dan komunikasi pada pendidikan adalah mendorong percepatan computer literacy pada masyarakat Indonesia. [24]

5.      Sumber Daya Ustadz Sebagai Modal Bagi Pelaksanaan Kurikulum dan Teknologi Pesantren.
Sebagaimana dimaklumi, bahwa di antara sumber daya manusia pesantren yang berkualitas, yang harus ada pada unsur pesantren adalah ustadz. Sebagai pembantu kiai, mereka mengayomi para santri di pesantren dalam pelaksanaan dua sistem pengajaran; yaitu system sorogan, yang disebut system individual, dan sistem bandongan atau wetonan, yang sering disebut sistem kolektif. Dengan cara sistem sorogan tersebut, setiap murid mendapat kesempatan untuk belajar secara langsung dari kiai atau pembantu kiai, yang tidak lain adalah para ustadz. [25]
Ternyata ilmu hal sebagaimana termaktub dalam kitab Ta’limul Muta’allim karya Syeh Az-Zarnuji semakin meyakinkan kita akan pentingnya penggunaan teknologi bagi kalangan pesantren dan lembaga keislaman lainnya sebagai persiapan menghadapi tantangan ke depan. Hal ini tentunya dibarengi dengan penguasaan penggunaan teknologi itu sendiri bagi SDM yang ada. [26]
Terkait dengan teknologi pembelajaran di pesantren dalam pemanfaatan Teknologi Informasi (TI), dengan SDM ustadz, bahwa kesesuaian latar belakang pendidikan ustadz, tidak sepenuhnya ustadz di pesantren sasaran berpendidikan sarjana komputer, tetapi ustadz-ustadz tersebut berpendidikan S1 yang menguasai tentang Teknologi Informasi.
Karena secara umum penguasaan TI di sini lebih banyak diasah secara otodidak dan pengalaman, dan tingkat penguasaan para ustadz pun masih sebatas penggunaan tool, atau alat standar pada aplikasi software, dan belum kepada penguasaan program software.
Mereka adalah orang-orang yang memiliki visi dan tahu betul apa yang harus dilakukan, agar teknologi informasi memberikan guyuran manfaat sebesar-besarnya bagi para santri dan bagi pesantren, dalam mencapai tujuan luhur, dan bukan malah menceburkan santri dan institusi pesantren dalam bahaya besar yang selalu mengintai di belantara maya.

PENUTUP
Manajemen kurikulum adalah segenap proses usaha bersama untuk memperlancar pencapaian tujuan pengajaran dengan titik berat pada usaha meningkatkan kualitas interaksi belajar mangajar. Sedangkan Kurikulum adalah seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu.
Perencanaan adalah suatu proses memeprsiapkan serangkaian keputusan untuk mengambil tindakan dimasa yang akan datang yang diarahkan kepada tercapainya tujuan-tujuan dengan sarana yang optimal.
Sementara itu “teknologi pendidikan” adalah suatu proses yang kompleks yang bersinergi untuk menganalisis dan memecahkan masalah ataupun persoalan belajar manusia, kaitannya dalam dunia pendidikan yang digelutinya. Maka jika diterapkan dalam pesantren ia akan berfungsi untuk memecahkan segala persoalan yang dihadapi pesantren degan menggunakan strategi tertentu.
Dari pembahasan di atas juga dapat digarisbawahi bahwa upaya pengembangan kurikulum dan teknologi di pondok pesantren dipandang sangat urgen, terutama untuk menghadapi tantangan perubahan jaman sekaligus sebagai antisipasi terhadap segala konsekuensi yang menyertainya. Dengan demikian, pesantren mempunyai potensi besar untuk menjadi lembaga pendidikan ideal bagi masyarakat Indonesia.
Agar potensi tersebut benar-benar teraktualisasi menjadi kekuatan nyata, maka pesantren harus berbenah diri dalam melaksanakan fungsi kependidikannya, terutama dalam hal yang berkaitan dengan pengembangan/ inovasi pendidikan pesantren, termasuk peningkatan mutu tenaga pendidik (para ustadz) di peantren, dengan pemanfaatan teknologi yang proporsional.
Adapun model pembelajaran dengan metode sorogan dan bandongan sebagai tradisi akademik di pesantren masih tetap relevan, meski perlu dikembangkan menjadi model sorogan dan  bandongan yang dialogis. Di samping itu, perlu pengembangan bahan pembelajaran tertentu, terutama yang menonjolkan penalaran dan pemikiran filosofis. Bagaimanapun juga, keberhasilan upaya-upaya pengembangan pesantren, sangat tergantung kepada pesantren yang bersangkutan karena pengasuh dan para ustadz di pesantren itu sendiri yang seharusnya memiliki posisi sentral untuk menggerakkan roda dan dinamika pesantrennya. Wallahu a’lam bish-Shawab.

****

Daftar Pustaka

Az-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’allim fi Thuruq al-Ta’lim (Semarang: Toha Putra, TT).
Azra, Azyumardi, “Pembaharuan Pendidikan Islam: Sebuah Pengantar”, dalam Marwan Saridjo,  Bunga rampai Pendidikan Agama Islam (Jakarta: CV Amissco, 1996).
Ainurrafiq, “Pesantren dan Pembaharuan: Arah dan Implikasi”, dalam Abuddin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Islam di Indonesia (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2001).
Bawani, Imam, Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam (Surabaya: al-Ikhlas, 1998).
Dhofier, Zamakhsayari, Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3ES, 1982).
Dian, Media Pendidikan (Fakultas Pendidikan dan Keguruan UIN SGD, Bandung) vol. XXIV, No. 1.

Maimun dan Subki, Modernisasi Pengelolaan Pendidikan (Mataram: Fakultas Tarbiyah IAIN Mataram).
Mastuhu, Prinsip Pendidikan Pesantren (Jakarta: P3M, 1988).

Murtiyasa, Budi, MAKALAH; PERAN  TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI UNTUK MENINGKATKAN FUNGSI DAKWAH DAN PENDIDIKAN DI PESANTREN (Universitas Muhammadiyah, Surakarta). disampaikan pada Diksusi Ahli “Pemanfaatan TIK di Pesantren” tanggal 3 April 2008 di Pondok Pesantren Tremas Pacitan.
Nasution,s. Kurikulum dan Pengajaran (Jakarta: Bumi Aksara, 1995).
Wiryokusumo, Iskandardan Usman Mulyadi, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum (Jakarta: Bina Aksara, 1988).


Syifa, Hilda Ainis S.PdI, M.Ag dan Alimudin S.Pd.I, Makalah: Tela’ah Pesantren; Potret dari Masa ke Masa, (Universitas Garut: Pogram Studi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Agama Islam).

Yasmadi, Drs., MA. Modernisasi Pesantren (Jakarta : Ciputat Press, 2002).



[1] Drs. Yasmadi, MA. Modernisasi Pesantren (Jakarta : Ciputat Press, 2002), hal. 61.
[2]Maimun dan Subki, Modernisasi Pengelolaan Pendidikan (Mataram: Fakultas Tarbiyah IAIN Mataram), hal. 1
[3]Depdiknas. 2006. BSNP, Panduan Penyusunan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan Jenjang Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta. Badan Standar Nasional Pendididkan.
[4] S. Nasution, Kurikulum dan Pengajaran (Jakarta: Bumi Aksara, 1995), hal. 13.
[5] http//www.rahmat.blog.,or.id 
[6] Iskandar Wiryokusumo dan Usman Mulyadi, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum (Jakarta: Bina Aksara, 1988), hal. 6.
[7] Nasution, Kurikulum, hal. 5.
[8] Nurcholis Majid, Bilik-bilik pesantren, Sebuah potret perjalanan (Jakarta: Paramadina,1997)
[9] Prof Sodiq Aziz Kuntoro. 2008. Materi Perkuliahan Manajemen Berbasis Pesantren, Madrasah, dan Sekolah. Program Pascasarjana Prodi Pendidikan Islam UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
[10] Tony Bush & Marianne Coleman. 2006. Manajemen Strategis Kepemimpinan Pendidikan (terj.) oleh. Fahrurrozi. Yogyakarta: IRCiSoD., hal. 133 atau Tony Bush and Marianne Coleman. 2000. Leadership and Strategic Management in Education., London:Paul Chapman Publishing Ltd., p. 42.
[11] Ibid., hal 133-134
[12]ttp://zulharman79.wordpress.com/2007/08/04/evaluasi-kurikulum-pengertian-kepentingan-dan-masalah-yang-dihadapi/di akses pada tanggal 10 April 2008.

[13] Suharsimi Arikunto, dkk. 2008. Manajemen Pendidikan. Yogyakarta. FIP-UNY. Hlm. 133-140.
[14] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren (Jakarta: LP3ES, 1982), hal. 50.
[15]Ainurrafiq, “Pesantren dan Pembaharuan: Arah dan Implikasi”, dalam Abuddin Nata, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Lembaga-Lembaga Islam di Indonesia (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2001), hal. 155.
[16] Imam Bawani, Tradisionalisme dalam Pendidikan Islam (Surabaya: al-Ikhlas, 1998), hal. 95-96.

[17] Azyumardi Azra, “Pembaharuan Pendidikan Islam: Sebuah Pengantar”, dalam Marwan Saridjo,  Bunga rampai Pendidikan Agama Islam (Jakarta: CV Amissco, 1996), hal. 2.

[18] Hj. Hilda Ainis Syifa S.PdI, M.Ag dan Alimudin S.Pd.I, Makalah: Tela’ah Pesantren; Potret dari Masa ke Masa, (Universitas Garut: Pogram Studi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Agama Islam).
[19] Ibid.
[20] 28 Mastuhu, Prinsip Pendidikan Pesantren (Jakarta: P3M, 1988), hal. 19.

[21] Prof. Dr. Yusuf Hadi Miarso, M.Sc., Kontribusi teknologi pendidikan dalam pembangunan pendidikan (Maalah; yang disampaikan dalam seminar Internasional dan temu Ilmiah FIP/JIP se-Indonesia, Manado: 2007).
[22] Ibid.
[23] Dian, Media Pendidikan (Fakultas Pendidikan dan Keguruan UIN SGD, Bandung) vol. XXIV, No. 1, 100.
[24]Budi Murtiyasa, MAKALAH; PERAN  TEKNOLOGI INFORMASI DAN KOMUNIKASI UNTUK MENINGKATKAN FUNGSI DAKWAH DAN PENDIDIKAN DI PESANTREN (Universitas Muhammadiyah, Surakarta). disampaikan pada Diksusi Ahli “Pemanfaatan TIK di Pesantren” tanggal 3 April 2008 di Pondok Pesantren Tremas Pacitan, yang diselenggarakan oleh Depkominfo, Jakarta.
[25] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren: Studi tentang Pandangan Hidup Kiai (Jakarta: LP3ES, 1982), hlm. 28. Dan  Mastuhu, Prinsip Pendidikan Pesantren (Jakarta: P3M, 1988), hal. 19.
[26] Az-Zarnuji, Ta’lim al-Muta’allim fi Thuruq al-Ta’lim (Semarang: Toha Putra, TT), hal. 4.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar