Oleh: Nur Wahid
c. pesantren mampu menunjukkan eksistensinya di tengah dinamika masyarakat selama ini.
I.
PENDAHULUAN
Pesantren sebagai lembaga keagamaan merupakan
realitas yang tidak dapat dipungkiri. Sepanjang sejarah yang dilaluinya,
pesantren terus menekuni pendidikan dan menjadikannya sebagai fokus kegiatan.
Dalam mengembangkan pendidikan, pesantren telah menunjukkan daya tahan yang
cukup kokoh sehingga mampu melewati berbagai zaman dengan beragam masalah yang
dihadapinya. Dalam sejarahnya itu pula, pesantren telah menyumbangkan sesuatu
yang tidak kecil bagi Islam di negeri ini.
Hampir dapat disepakati bahwa pesantren
merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Jawa. Munculnya pesantren di Jawa
bersamaan dengan kedatangan para Wali Songo yang menyebarkan Islam di daerah
tersebut. Menurut catatan sejarah, tokoh yang pertama kali mendirikan pesantren
adalah Syaikh Maulana Malik Ibrahim. Pola tersebut kemudian dikembangkan dan
dilanjutkan oleh para Wali yang lain. Kemudian pesantren dapat eksis hingga
saat sekarang ini.
Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah
bagaimanakah pesantren dapat eksis hingga sekarang, mengingat masa yang
dilewati tidaklah pendek? Kekuatan apa
yang dimilikinya untuk bertahan, bahkan berkembang? Makalah ini mencoba melakukan analisis SWOT
terhadap pesantren. Karena jumlah pesantren di Indonesia yang terbanyak adalah
dihuni pesantren tradisionalis, maka yang menjadi objek analisis penulis adalah
pesantren tradisional. Pembahasan diawali dengan menganalisis kelebihan yang
dimiliki pondok pesantren hingga bisa survive hingga sekarang dan juga
kelemahan yang dimilikinya berikut dengan hambatan dan ancaman bagi
keberlangsungan pesantren. Di akhir pembahasan, aada langkah-langkah strategis yang mesti ditempuh
setelah mengetahui kelemahan dan kekuatan, ancaman dan peluang pesantren.
II.
PEMBAHASAN
PESANTREN DAN ANALISIS SWOT
A.
Potensi dan Tantangan pesantren
1. Pengembangan
Orientasi Pesantren (Reorientasi)
Pergeseran dari kepemimpinan individual kiai
menjadi kepemimpinan kolektif yayasan bagi pesantren-pesantren modern,
selanjutnya cenderung mengalami babak baru dalam polotik pendidikan pesantren
yang berusaha mendekati system pendidikan nasional.
Gelombang modernisasi yang melanda seluruh
penjuru dunia mengakibatkan pengendali pesantren tidak lagi terisolasi secara kultural.
Demikian pula para ustadz dan santri. Modernisasi menawarkan keistimewaan
pemenuhan kebutuhan hidup duniawi secara multidimensional. Modernisasi
seolah-olah menyadarkan kalangan pesantren melihat bayangannya sendiri sebagai
institusi pendidikan yang serba ketinggalan. Oleh karena itu, pesantren mesti
bereaksi baik sebagai sikap adaptif maupun responsif. Konsekuensinya pesantren
cenderung berupaya menambahkan orientasinya pada pemenuhan kebutuhan duniawi.
Perubahan nilai pesantren menuju ke orientasi
pemikiran yang lebih mendunia, induktif, empiris, dan rasional, mengimbangi
corak pemikiran yang deduktif-dogmatif sebagaimana selama ini mendominasi pola
pemikiran pesantren. Tanda-tanda tersebut antara lain tampak bahwa santri
memerlukan ijazah untuk ke sekolah formal yang lebih tinggi.[1]
Perubahan nilai ini juga untuk memenuhi harapan
santri, sebab pandangan santri sekarang berbeda dengan santri dahulu terhadap
potensi pesantren dalam membentuk pribdinya. Santri dulu biasa menghabiskan
seluruh jenjang pendidikannya di pesantren. Akan tetapi sekarang pesantren
sering dianggap sebagai karantina uji coba pengalaman batiniah dan lompatan
untuk meneruskan ke lembaga pendidikan sekuler yang lebih tinggi. Santri sebagai
kelompok masyarakat yang berpikir jernih kini mampu menentukan seleranya.
Sedangkan orangtuanya memiliki selera yang tidak jauh berbeda. Ada benarnya
pernyataan Dhofier bahwa kiai harus memperhatikan ‘selera’ masyarakat.[2]
Masyarakat terus berubah akibat perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi maupun budaya dan peradaban. Mengikuti selera
masyarakat berarti mengejar dinamika. Pesantren harus mampu membaca kemudian
menterjemahkan kecenderungan masyarakat dalam konteks waktu sekarang maupun
yang akan terjadi mendatang dengan indikasi tantangan yang sedang dihadapinya.
Oleh karena itu, pergeseran nilai itu menuntut kepada pesantren untuk melakukan
reorientasi[3]
tata nilai dan tata laksana penyelenggaraan pesantren untuk mencari bentuk baru
yang relevan dengan tantangan zamannya, tanpa kehilangan identitasnya sebagai
lembaga pendidikan Islam.[4]
Orientasi baru bagi beberapa pesantren
khususnya yang tergolong modern tampaknya secara mendasar berupaya memberikan
pembekalan terhadap santri-santrinya yang akan terjun di tengah-tengah
masyarakat. Terlebih lagi, jika diteropong dari sudut stratifikasi sosial,
mereka (sebagai calon-calon pemimpin) memiliki status sosial cukup tinggi di
lingkungan masyarakatnya. Status sosial ini harus diimbangi kemampuan yang
handal yang dapat dilatih melalui pembekalan-pembekalan, sehingga pesantren
condong menambah kegiatannya pada pendayagunaan aspek psikomotorik[5]
dalam bidang yang berbeda-beda.
Secara umum, bentuk Pengembangan Orientasi
Pesantren (Reorientasi) sebagai berikut:
a.
Reorientasi
perekonomian pesantren
Sesuai dengan perkembangan zaman dewasa ini,
banyak pesantren yang memiliki orientasi baru seperti pondok pesantren Gontor
dan pesantren Luhur. Pesantren masa kini sudah banyak diarahkan ke
jurusan-jurusan tertentu misalnya dengan spesialisasi pendidikan guru,
pertanian, perikanan, dan ketrampilan.
Berbagai penjurusan tersebut dapat
diterjemahkan sebagai upaya mengembangkan orientasi pada bidang ekonomi.
Pesantren tidak bisa
mengelak dari tuntutan ekonomi lantaran masyarakat, khususnya santri sendiri
menempatkan aspek ekonomi sebagai objek kehidupan yang mendapat perhatian besar
di kalangan mereka. Kesimpulannya, pesantren perlu memperhatikan aspekmekonomi
ini sebagai reorientasi pesantren.
b.
Reorientasi
manajemen pesantren
Disamping itu, pesantren sekarang mulai
memperhatikan masukan-masukan gagasan dari berbagai pihak, tidak hanya
bersumber dari kiai. Dari sisi pola penyelenggaraan pendidikan, pesantren tidak
lagi terlalu mengesankan ‘uzlah (mengasingkan diri), melainkan berusaha
mengimbangi institusi-institusi pendidikan lainnya dengan tidak meninggalkan
identitasnya yang prinsipil. Masuknya pengetahuan umum dan berbagai ketrampilan
adalah wujud dari upaya perimbangan itu. Langkah tersebut merupakan orientasi
baru bagi pesantren dilihat dari strategi manajemennya.
Dalam hal strategi atau bentuk penyelenggaraan
pendidikan, dulu pesantren ber’uzlah dari system pendidikan pemeritah kolonial.
Sekarang tidak hanya mau duduk bersanding dengan sistem pendidikan nasional,
bahkan mulai masuk ke dalam sistem pendidikan nasional itu.
c. Perubahan reorientasi
institusional.
Institusi pesantren seharusnya
memang bertujuan untuk tafaqquh fi al-din. Selama ini, secara selintas,
kelihatannya pesantren sama saja dengan madrasah agama yang penguasaan ilmu
pengetahuan umum kurang, ilmu dan pengetahuan agama juga kurang. Ada
resiko memilih yang perlu diambil. Bila sebuah pesantren diharapkan menjadi
wahana kaderisasi ulama, maka pilihan lain tidak ada kecuali memberikan porsi
dominasi subyek ilmu-ilmu agama yang standart yang dominan.
Demikianlah
aspek-aspek dari pesantren yang perlu ada reorientasi guna mengambil langkah
kebijakan pendidikan yang lebih tepat dan efektif sesuai dengan
perkembangan zaman.
2. Kelemahan pondok pesantren dan ancaman terhadapnya
a. Kelemahan
Secara umum, kelemahan yang dimiliki pesantren
tradisional jika dibandingkan dengan pesantren terpadu atau modern adalah yang
terkait dengan akses informasi yang minim, sumber dana yang minim, dan
kurangnya penguasaan alat tekhnologi, serta tidak cakap berbahasa asing,seperti
bahasa inggris misalnya.
b. ancaman
Dalam konteks kekinian, pesantren menghadapi
problematika internal dan eksternal (tradisi keilmuan). Problem internal adalah
out put (alumni pesantren) tingkat kualitas sumber daya manusianya dalam
memahami bidang disiplin ilmu dirasa mengalami penurunan, karena dampak dari
sebagian pesantren yang membuka diri untuk bidang keilmuan umum (sekolah formal
/Perguruan Tinggi) sehingga mengabaikan ketekunannya terhadap bidang disiplin
agama. Maka, tentu harus dicarikan formulasi agar dampak tersebut diatas tidak menjadi
bom waktu dikemudian hari, salah satunya dengan mendirikan kelas takhasus (Ma’ad
‘Aly) dengan kosentrasi bidang tertentu seperti fiqh, hadist, tafsir, ,danlain-lain.
Problem eksternal; masyarakat dihadapkan pada perkembangan
global saat ini, era industri di tengah kebutuhan ekonomi masyarakat mengubah
pola pikir santri pesantren menjadi pragmatis (orientasi kerja), maka tradisi
keilmuan pesantren harus selalu dijaga dengan karakteristiknya yang khas yaitu
kitab kuning, sambil membuka diri untuk memenuhi kebutuhan santri pesantren
yang memang siap/mampu menekenui bidang ilmu pengetahuan sains dan tehnologi.
Disinilah ke-ideal-an serta keunggulan pesantren yang senantiasa tetap memegang
teguh prinsip tujuan awalnya sebagai pendidikan berbasis agama (tafaquh
fiddin), akan tetapi memiliki kesadaran untuk membuka ruang bagi
perkembangan ilmu pengetahuan sain dan tehnologi didunia pesantren, sehingga
bisa diterima oleh segenap lapisan masyarakat serta dinamis dalam menjawab
tantangan kedepan.
Di samping itu, persepsi sebagian masyarakat terhadap dunia
pesantren tidak dapat dipandang sebelah mata. Setelah ratusan tahun berdiri,
pesantren kini dikucilkan. Akibat sedikit sekali media massa atau lembaga
kemasyarakatan yang berusaha mengangkat sisi sesungguhnya dari dunia santri dan
pesantren, santri dan dunia pesantren dipenuhi citra atau cap yang menakutkan. Masyarakat
santri di pesantren dipandang oleh masyarakat umum nonpesantren dalam dua
pemahaman yang merugikan. yaitu:
Pertama, masyarakat
santri di pesantren dipahami sebagai kelompok yang semata-mata berlajar agama
dan kitab-kitab Islam tanpa peduli pada masalah-masalah sosial yang terjadi
dalam masyarakat umum. Kedua, dunia santri dan pesantren dicitrakan
sebagai dunia yang tertutup atau eksklusif sehingga dekat dengan
keterbelakangan, kekumuhan, dan kebodohan atas perkembangan dunia modern.
Masyarakat memandang zaman telah berkembang menuju era globalisasi. mereka
menuntut pesantren sebagai institusi pendidikan untuk melakukan akselerasi dan
transformasi yang cukup signifikan. Jika dahulu ruang lingkup output terbatas
pada dimensi keagamaan saja, maka saat ini lulusan pesantren diharapkan dapat
banyak berkontribusi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.
3. Kekuatan pondok pesantren dan peluang untuk mengatasi ancaman
Sebenarnya pesantren itu sendiri, berikut
dengan hal yang melingkupinya, memiliki beberapa kelebihan dan keunggulan.
Antara lain:
a. Kemampuan pesantren untuk selalu hidup
ditengah-tengah masyarakat yang sedang mengalami berbagai perubahan. Pesantren
mampu memobilisasi sumber daya baik tenaga maupun dana, serta mampu berperan
sebagai benteng terhadap berbagai budaya yang berdampak negatif. Kenyataan ini
juga menunjukkan bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan yang mempunyai
kekuatan untuk survive. Dan pesantren juga mampu mendinamisir dirinya
ditengah-tengah perubahan masyarakatnya. Secara sosiologis, ini menunjukkan
bahwa pesantren masih memiliki fungsi nyata yang dibutuhkan masyarakat.
b. karakter masyarakat pesantren adalah terbuka
(inclusive ), bukan tertutup (exlusive).
Jika merujuk sumber tradisi keilmuan pesantren
yaitu al-Qur’an, Hadist, ijma dan qiyas, yang ditemukan dalam teks-teks kitab
kuning; meliputi berbagai disiplin ilmu yang menyangkut tingkat pemahaman serta
metode dalam pengambilan suatu hukum (mashadirul ahkam), serta mengikuti
salah satu dari empat madzhab dalam bidang fiqh (Imam Syafi’i), bidang tauhid
(teologi) menganut madzhab Imam Abu Hasan Al-Asy’ary dan Imam Abu Mansur
al-Maturidy, bidang tasawuf menganut madhab Imam Ghazali dan Imam Junaidy.
Maka, sesungguhnya kekayaan khazanah literatur
yang dimiliki pesantren di atas, menjadi pesan (medium) bahwa karakter
masyarakat pesantren adalah terbuka (inclusive ), bukan tertutup (exlusive).
Sikap ini berarti menjadi jembatan kemudahan adaptasi/komunikasi untuk
menyampaikan pesan Islam secara damai di tengah pergaulan masyarakat luas.disini ada penegasan bahwa karakteristik masyarakat
pesantren dari mulai awal berdirinya hingga sekarang sangat menjunjung tinggi
nilai-nilai universalitas ajaran Islam.
c. pesantren mampu menunjukkan eksistensinya di tengah dinamika masyarakat selama ini.
Pesantren memiliki semangat menjunjung tinggi
nilai kesadaran lokal (local wisdom), sebagaimana ungkapan populer
masyarakat pesantren “al-mukhafadlatu ‘ala qadimu shalikh wal akhdlu bi al
jadid al ashlakh” (menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil hal baru
yang lebih baik). Hal ini dikuatkan dengan kaidah fiqhiyah sebagai
alat/metode pengambilan keputusan hukum yaitu “al-‘adatu al-mukhkamat”
(adat/tradisi bisa menjadi suatu hukum). Prinsip yang dipegang teguh di atas
menunjukan pesantren mampu menunjukkan eksistensinya di tengah dinamika
masyarakat selama ini.
d. Dalam konteks
keilmuan memiliki nilai perbandingan (muqoronah), sehingga tidak
terjadi stagnasi paradigma.
Selain itu, pesantren juga tidak menutup diri terhadap pandangan-pandangan lintas madzhab selain empat madzhab yang disebut di atas. Dalam konteks keilmuan memiliki nilai perbandingan (muqoronah), sehingga tidak terjadi stagnasi paradigma dalam menyelesaikan suatu persoalan yang mutakhir atau belum ada ditemukan status hukum di leteratur-literatur kitab empat madhab, maka diharapkan diskursus-diskursus keagamaan yang berkembang di pesantren menjadi dinamis.[6]
Selain itu, pesantren juga tidak menutup diri terhadap pandangan-pandangan lintas madzhab selain empat madzhab yang disebut di atas. Dalam konteks keilmuan memiliki nilai perbandingan (muqoronah), sehingga tidak terjadi stagnasi paradigma dalam menyelesaikan suatu persoalan yang mutakhir atau belum ada ditemukan status hukum di leteratur-literatur kitab empat madhab, maka diharapkan diskursus-diskursus keagamaan yang berkembang di pesantren menjadi dinamis.[6]
d. Ketahanan Pesantren
Para analisis menemukan beberapa penyebab
ketahanan pesantren.abdurrahman Wahid menyebut ketahanan pesantren disebabkan
pola kehidupannya yang unik.[7]
Menurut Sumarsono Moestoko et al. hak itu disebabkan telah melembaganya
pesantren di dalam masyarakat.[8]
Azyumardi Azra menilai ketahanan pesantren disebabkan oleh kultur Jawa yang mampu menyerap
kebudayaan luar melalui suatu proses interiorisasi tanpa kehilangan
identitasnya.[9]
Aya sofia mengklaim ketahanannya lantaran jiwa
dan semangat kewiraswastaan.[10]
Hasan langgulung mengamati ketahanan pesantren sebagai akibat dari
pribadi-pribadi kiai yang menonnjol dengan ilmu dan visinya,[11]
sedang bagi Ma’shum, ketahanannya adalah akibat dampak positif dari kemampuan
melahirkan berbagai daya guna bagi masyarakat.[12]
Hal ini menunjukkan bahwa penyebab internal lebih memberikan kontribusi terhadap
ketahanan pesantren dibanding dengan penyebab eksternal.
Ketahanan pesantren ini menjadi lebih menarik
jika dibandingkan dengan lembaga pendidikan serupa di Negara-negara lain.
Abdurrahman Wahid membuat perbandingan bahwa pada masa silam, pesantren di
Indonesia dapat merespon tantangan-tantangan zamannya dengan sukses. Sedangkan
system pesantren yang dikembangkan oleh kaum sufi baik di Malaysia maupun
Thailand bagian utara sekarang ini senantiasa merana ditekan system sekolah
model Barat.[13]
Ini berarti ada langkah-langah strategis yang ditempuh pesantren dalam menahan
tekanan system sekolah sekuler dari Barat.
Asumsi dari sejumlah peneliti tentang
keberadaan pesantren di Indonesia tampaknya meleset. Mereka hanya mendasarkan
pada teori yang sangat spekulatif, bahwa dengan derasnya arus modernisasi maka
institusi-institusi tradisional termasuk pesantren akan segera lumpuh. Bahkan
pernah ada peneliti pesantren dari Amerika yang sangat kaget terhadap
keberadaan pesantren, sebab dia mengira bahwa pesantren tinggal bekas-bekas
bangunannya saja.[14]
Dan ternyata asumsinya itu tidak terbukti.
Demikian juga seorang sosiolog dari Amerika,
Daniel Larner menyatakan bahwa masyarakat tradisional Islam akan luntur
menghadapi dunia modern, dan masuknya semua informasi dari luar akan mengurangi
peran kiai. Namun, keadaan ini tidak akan terjadi di Indonesia, karena kiai
senantiasa menyeleksi informasi yang masuk. Informasi yang baik, masyarakat
disuruh memakai, dan sebaliknya informasi yang jelek, rakyat disuruh
melupakannya.[15]
B. Analisis
SWOT
Analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dsb) untuk
mengetahui keadaan yang sebenarnya
(sebab-musabab, duduk perkaranya, dsb).[16] Sedangkan
SWOT itu sendiri merupakan kependekan dari strength, weakness, opportunity dan
threat
. Strength berarti kekuatan (internal) yang dimiliki oleh seseorang atau
lembaga. Weakness berarti kelemahan (internal, misalnya lembaga
pendidikan ). Opportunity berarti peluang (eksternal) yang diperkirakan
cocok untuk mengatasi kelemahan dan ancaman. Adapun threat berarti
ancaman atau tantangan (eksternal, misalnya globalisasi) yang paling urgen
untuk diatasi secara umum pada semua komponen pendidikan.
Analisis SWOT ini dapat digunakan untuk
menganalisis penyelenggaraan kegiatan pendidikan dalam suatu lembaga. Terkait
dengan reorientasi pesantren pada masa sekarang ini maka seyogyanya pesantren
perlu mengambil langkah strategi-strategi tertentu. Penentuan strategi tertentu
dapat dilakukan setelah melakukan analisis. Salah satu macam analisis yang
dapat digunakan adalah metode analisis SWOT.
Analisi SWOT itu sendiri dapat didefinisikan
dengan suatu identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan
strategi perusahaan.[17]
Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strenghts)
dan peluang (opportunities), akan tetapi secara bersamaan dapat
meminimalkan kelemahan(weakness) dan ancaman( threats).[18]
Ada beberapa tahapan dan langkah yang mesti
ditempuh dalam melakukan analisis SWOT, antara lain:
Langkah pertama, identifikasi kelemahan (internal) dan ancaman
(eksternal, globalisasi) yang paling urgen untuk diatasi secara umum pada semua
komponen pendidikan.
Langkah kedua, identifikasi kekuatan (internal) dan peluang
(eksternal) yang diperkirakan cocok untuk mengatasi kelemahan dan ancaman yang
telah diidentifikasi pada langkah pertama.
Langkah ketiga, lakukan analisis SWOT lanjutan setelah
diketahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam konteks sistem manajemen
pendidikan.
Langkah keempat, rumuskan strategi-strategi yang
direkomendasikan untuk menangani kelemahan dan ancaman, termasuk pemecahan
masalah, perbaikan dan pengembangan lebih lanjut.
Langkah kelima, tentukan prioritas penanganan kelemahan dan ancaman
itu, dan disusun suatu rencana tindakan untuk melaksanakan program penanganan.
Dengan analisis SWOT tersebut diharapkan
pendidikan Islam dapat melakukan langkah-langkah strategis. Strategi adalah suatu cara dimana organisasi
atau lembaga akan mencapai tujuannya, sesuai dengan peluang-peluang dan
ancaman-ancaman lingkungan eksternal yang dihadapi, serta sumber daya dan
kemampuan internal.Setelah melakukan analisis SWOT, berikutnya adalah melakukan
langkah-langkah strategis sebagaimana dapat dibagankan sebagai berikut:
Strategi SO. Inilah yang paling diharapkan, dimana
pendidikan Islam dapat mengkonsolidasikan dan memobilisasikan kekuatan
(sumberdaya: integritas, manusia, governance/penguasaan, organisasi,
informasi, finansial, fisik dan fasilitas) untuk memanfaatkan peluang yang ada
guna melakukan ekspansi. Inilah yang disebut keberuntungan, yaitu bertemunya
kekuatan (kesiapan) dengan peluang.
Strategi WO. Yaitu dengan cara mengeliminir kelemahan
untuk selanjutnya mendayagunakan peluang. Kalau diibaratkan seorang pedagang
yang tidak punya modal tetapi ada keempatan untuk meraup keuntungan, maka yang
dilakukan adalah memfokuskan pada upaya mendapatkan keuntungan sambil berusaha
mendapatkan modal. Bukan meratapi kelemahannya sehingga peluang hilang.
Strategi ST. Yaitu dengan cara melakukan konsolidasi untuk
meningkatkan dan mendayagunakan kekuatan guna menetralisir, menghindari ancaman
atau merubah ancaman menjadi peluang. Dalam realita, apa yang didefinisikan sebagai
ancaman pada dasarnya belum tentu ancaman yang sesungguhnya. Misalnya,
pada pertengahan tahun 1970 an ketika diterbitkan SKB Tiga Menteri tentang
kesetaraan madrasah dengan sekolah umum, banyak kalangan menilai sebagai
ancaman terhadap eksistensi madrasah dan dakwah islamiyah.
Fakta membuktikan SKB itu justru memberikan
peluang bagi madrasah untuk lebih berkembang di masa-masa berikutnya. Contoh
lain misalnya tentang pesantren masuk GBHN. Banyak yang menilai akan merusak
jati diri dan kemandirian pesantren. Padahal bisa jadi dengan pesantren
masuk GBHN akan merupakan amunisi baru untuk kemajuan pesantren.
Stategi WT. Yaitu meminimalkan kelemahan untuk menghidari
ancaman. Ini merupakan keadaan yang paling tidak diharapkan. Pesantren dan
madrasah swasta banyak yang menghadapi masalah ini, dimana secara internal
memiliki kelemahan di hampir di semua komponen, sedang secara eksternal
menghadapi ancaman, seperti persaingan yang ketat atau krisis kepercayaan
masyarakat.
Tradisi keilmuan dengan karakteristik
masyarakat pesantren yang moderat diharapkan berkembang pada tataran yang lebih
tinggi, meliputi sains dan teknologi mutakhir sehingga pangsa pasar masyarakat
konsumen bisa semakin melebar dan tak terbatas. Berhadapan dengan masyarakat
modern yang tingkat kesadaran keberagamaannya lebih menonjolkan simbol dan
ritual semata, maka seyogyanya pemikiran produk tradisi keilmuan pesantren bisa
mewarnai cara berfikir/perilaku masyarakat modern menjadi lebih
subtantif.
Apabila pemahaman subtantif dari tradisi keilmuan
pesantren hanya menjadi konsumsi elit agama, dan tidak terdistribusi secara
baik ke masyarakat luas, maka yang dirugikan justru pesantren itu sendiri. Pertama,
eksistensi pemikiran pesantren (tradisi keilmuan) tidak akan dikenal oleh
publik. Kedua, masyarakat tidak memiliki referensi secara utuh untuk
lebih bisa mengenal pesantren. Ketiga, masyarakat kurang merasa memiliki
terhadap masa depanpesantren.
Demikianlah langkah-langkah dalam melakukan analisis
SWOT untuk selanjutnya mengambil langkah-langkah strategis. Diantara manfaat
yang diperoleh dari melaksanakan analisis SWOT ini bagi lembaga adalah lembaga
tersebut mengetahui posisi perkembangan lembaganya untuk selanjutnya diketahui
langkah-langkah strategis berikutnya guna membawa lembaganya menuju prestasi
yang lebih baik. Maka dari itu, mestinya lembaga pesantren perlu kiranya
melakukan analisis SWOT berikut langkah-langkah strategisnya.
III.
PENUTUP
Dari uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut:
a.
Reorientasi
pesantren merupakan suatu keniscayaan. Adapun bentuk –bentuk Pengembangan
Orientasi Pesantren (Reorientasi) sebagai berikut:
1.
Reorientasi
perekonomian pesantren
2.
Reorientasi
manajemen pesantren
3.
Perubahan reorientasi
institusional.
b.
Pesantren memiliki kelemahan dan
ancaman baik ancaman itu dari dalam maupun dari luar. Akan tetapi pesantren
juga memiliki kelebihan dan peluang. Kelemahan dan kekuatan tersebut dapat
dideteksi dengan cermat salah satunya dengan melakukan analisis SWOT.
c.
Dengan
analisis SWOT tersebut diharapkan pendidikan Islam dapat melakukan
langkah-langkah strategis. Langkah-langkah strategis tersebut adalah: strategi
SO, strategi WO, strategi ST, dan
strategi WT.
DAFTAR PUSTAKA
A’la, Abdul. Pembaruan Pesantren, .Jogjakarta: LKis. 2006.
Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan
Hidup Kiai. Jakarta: LP3ES, 1994.
KBBI( Kamus Besar Bahasa Indonesia)
Abdurrahman Wahid, Pesantren Sebagai Subkultur, (ed.)
Kuntowijaya, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, t.tp.:
Salahuddin Press dan Pustaka Pelajar, 1994 .
Sumarsono Moestoko, Pendidikan
di Indonesia dari Jaman ke Jaman, Jakarta: Balai Pustaka, 1986
Azyumardi Azra, Surau di Tengah Krisis: Pesantren dan Perspektif
Masyarakat, dalam Raharjo (ed.), Pergulatan Dunia Pesantren Membangun
dari Bawah, Jakarta: LP3ES, 1985.
Aya Sofia et.al., Pedoman Penyelenggaraan Pusat Informasi
Pesantren, Proyek Pembinaan dan Bantuan Kepada Pondok Pesantren di Jakarta
1985/1986 Departemen Agama RI.
Hasan Langgulung, Pendidikan Islam menghadapi Abad ke-21,
Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1988.
Abdurrahman Wahid, Pondok Pesantren Masa Depan, Bandung:
Pustaka Hidayah, 1999.
Mujamil Qomar, Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju
Demokrasi Institusi.
Abdurrahman Wahid, Ulama Dulu Menyebabkan Daya Setempat,
dalam Santri, No. 02, Februari 1997.
[1] Abdul A’la, Pembaruan
Pesantren, (Jogjakarta: LKis, 2006), h. 56.
[2] Zamakhsyari
Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta:
LP3ES, 1994), h.
[3] peninjauan kembali wawasan (untuk menentukan sikap dsb).
[4] Abdul A’la, Pembaruan
Pesantren, (Jogjakarta: LKis, 2006), h. 57.
[5] Yaitu yang berhubungan dengan aktivitas fisik yg berkaitan dng proses
mental dan psikologi. KBBI( Kamus Besar Bahasa Indonesia)
[6] Sebagai
bukti monomental kekayaan tradisi ke-ilmuan pesantren adalah lahirnya karya
kitab-kitab klasik dan kitab-kitab kontemporer yang tumbuh berkembang sejak
berdirinya pesantren hingga sekarang, semisal Imam Nawawi al-Bantany dengan
karya kitabnya berjudul ‘Uqudul li-Jain, Syekh Makhfud at-Tarmasi dengan
karya Manhaju Dzawin Nadlar, KH. Hasyim Asy’ari dengan karya Adabul
‘alim wal muta’alim, KH. Bisyri Musthofa dengan karya tafsir al-Ibriz,
dan lainnya.
Tradisi keilmuan itupun tidak hanya pada wujud
media karya kitab, ada juga melalui seminar, halaqah, bahtsul masa’ail, serta
kelompok studi kajian klasik maupun kontemporer diberbagai intelektual pasca
paripurna di kelembagaan pesantren, seperti lakpesdam NU, P3M Jakarta, Fahmina
Jakarta, LKiS Jogjakarta, dan lain-lain. Dari sinilah lahir pemikiran-pemikiran
cemerlang tentang solusi atas persoalan keagamaan, yang meliputi bidang aspek
kehidupan berbangsa dan bernegara. Perkembangan tradisi keilmuan itu juga
selalu berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi secara kontinu dengan
pemikiran-pemikiran masyarkat pesantren satu dengan yang lainnya di berbagai
wilayah nusantara.
[7] Abdurrahman
Wahid, Pesantren Sebagai Subkultur, (ed.) h. 43. Kuntowijaya, Dinamika
Sejarah Umat Islam Indonesia, (t.tp.: Salahuddin Press dan Pustaka Pelajar,
1994), h. 30
[8] Sumarsono
Moestoko, Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman, (Jakarta: Balai
Pustaka, 1986), h. 232
[9] Azyumardi
Azra, Surau di Tengah Krisis: Pesantren dan Perspektif Masyarakat, dalam
Raharjo (ed.), Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah, (Jaarta:
LP3ES, 1985), h. 173 .
[10] Aya Sofia
et.al., Pedoman Penyelenggaraan Pusat Informasi Pesantren, Proyek Pembinaan
dan Bantuan Kepada Pondok Pesantren di Jakarta 1985/1986 Departemen Agama
RI, h. 41.
[11] Hasan
Langgulung, Pendidikan Islam menghadapi Abad ke-21, (Jakarta: Pustaka
Al-Husna, 1988), h. 75.
[12] Abdul A’la, Pembaruan
Pesantren, (Jogjakarta: LKis, 2006), h. 15
[13] Abdurrahman
Wahid, Pondok Pesantren Masa Depan, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999),
h.19-20
[14] Mujamil Qomar,
Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi.
[15] Abdurrahman
Wahid, Ulama Dulu Menyebabkan Daya Setempat, dalam Santri, No.
02, Februari 1997, h. 52-53.
[16]
KBIH, Kamus Besar Bahasa Indonesia.
[17]
Pada dasarnya analisis SWOT ini memang biasa dipakai dalam
perusahaan-perusahaan. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan dan tidak ada
salahnya jika digunakan dalam suatu lembaga pendidikan termasuk pesantren.
[18] Freddy Rangkuti,
Analisis SWOT teknikmembedahkasusbisnis (Jakarta, PT GramediaPustaka
Utama., 2008), hlm. 19.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar