Halaman

Selasa, 14 Februari 2012

ReOrientasi dan Analisis SWOT Pesantren Modern

Oleh: Nur Wahid

I.                 PENDAHULUAN
Pesantren sebagai lembaga keagamaan merupakan realitas yang tidak dapat dipungkiri. Sepanjang sejarah yang dilaluinya, pesantren terus menekuni pendidikan dan menjadikannya sebagai fokus kegiatan. Dalam mengembangkan pendidikan, pesantren telah menunjukkan daya tahan yang cukup kokoh sehingga mampu melewati berbagai zaman dengan beragam masalah yang dihadapinya. Dalam sejarahnya itu pula, pesantren telah menyumbangkan sesuatu yang tidak kecil bagi Islam di negeri ini.
Hampir dapat disepakati bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Jawa. Munculnya pesantren di Jawa bersamaan dengan kedatangan para Wali Songo yang menyebarkan Islam di daerah tersebut. Menurut catatan sejarah, tokoh yang pertama kali mendirikan pesantren adalah Syaikh Maulana Malik Ibrahim. Pola tersebut kemudian dikembangkan dan dilanjutkan oleh para Wali yang lain. Kemudian pesantren dapat eksis hingga saat sekarang ini.

Pertanyaan yang muncul selanjutnya adalah bagaimanakah pesantren dapat eksis hingga sekarang, mengingat masa yang dilewati tidaklah pendek?  Kekuatan apa yang dimilikinya untuk bertahan, bahkan berkembang?  Makalah ini mencoba melakukan analisis SWOT terhadap pesantren. Karena jumlah pesantren di Indonesia yang terbanyak adalah dihuni pesantren tradisionalis, maka yang menjadi objek analisis penulis adalah pesantren tradisional. Pembahasan diawali dengan menganalisis kelebihan yang dimiliki pondok pesantren hingga bisa survive hingga sekarang dan juga kelemahan yang dimilikinya berikut dengan hambatan dan ancaman bagi keberlangsungan pesantren. Di akhir pembahasan, aada  langkah-langkah strategis yang mesti ditempuh setelah mengetahui kelemahan dan kekuatan, ancaman dan peluang pesantren.

II.              PEMBAHASAN
PESANTREN DAN ANALISIS SWOT
A. Potensi dan Tantangan pesantren
1. Pengembangan Orientasi Pesantren (Reorientasi)
Pergeseran dari kepemimpinan individual kiai menjadi kepemimpinan kolektif yayasan bagi pesantren-pesantren modern, selanjutnya cenderung mengalami babak baru dalam polotik pendidikan pesantren yang berusaha mendekati system pendidikan nasional.
Gelombang modernisasi yang melanda seluruh penjuru dunia mengakibatkan pengendali pesantren tidak lagi terisolasi secara kultural. Demikian pula para ustadz dan santri. Modernisasi menawarkan keistimewaan pemenuhan kebutuhan hidup duniawi secara multidimensional. Modernisasi seolah-olah menyadarkan kalangan pesantren melihat bayangannya sendiri sebagai institusi pendidikan yang serba ketinggalan. Oleh karena itu, pesantren mesti bereaksi baik sebagai sikap adaptif maupun responsif. Konsekuensinya pesantren cenderung berupaya menambahkan orientasinya pada pemenuhan kebutuhan duniawi.
Perubahan nilai pesantren menuju ke orientasi pemikiran yang lebih mendunia, induktif, empiris, dan rasional, mengimbangi corak pemikiran yang deduktif-dogmatif sebagaimana selama ini mendominasi pola pemikiran pesantren. Tanda-tanda tersebut antara lain tampak bahwa santri memerlukan ijazah untuk ke sekolah formal yang lebih tinggi.[1]
Perubahan nilai ini juga untuk memenuhi harapan santri, sebab pandangan santri sekarang berbeda dengan santri dahulu terhadap potensi pesantren dalam membentuk pribdinya. Santri dulu biasa menghabiskan seluruh jenjang pendidikannya di pesantren. Akan tetapi sekarang pesantren sering dianggap sebagai karantina uji coba pengalaman batiniah dan lompatan untuk meneruskan ke lembaga pendidikan sekuler yang lebih tinggi. Santri sebagai kelompok masyarakat yang berpikir jernih kini mampu menentukan seleranya. Sedangkan orangtuanya memiliki selera yang tidak jauh berbeda. Ada benarnya pernyataan Dhofier bahwa kiai harus memperhatikan ‘selera’ masyarakat.[2]
Masyarakat terus berubah akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi maupun budaya dan peradaban. Mengikuti selera masyarakat berarti mengejar dinamika. Pesantren harus mampu membaca kemudian menterjemahkan kecenderungan masyarakat dalam konteks waktu sekarang maupun yang akan terjadi mendatang dengan indikasi tantangan yang sedang dihadapinya. Oleh karena itu, pergeseran nilai itu menuntut kepada pesantren untuk melakukan reorientasi[3] tata nilai dan tata laksana penyelenggaraan pesantren untuk mencari bentuk baru yang relevan dengan tantangan zamannya, tanpa kehilangan identitasnya sebagai lembaga pendidikan Islam.[4]
Orientasi baru bagi beberapa pesantren khususnya yang tergolong modern tampaknya secara mendasar berupaya memberikan pembekalan terhadap santri-santrinya yang akan terjun di tengah-tengah masyarakat. Terlebih lagi, jika diteropong dari sudut stratifikasi sosial, mereka (sebagai calon-calon pemimpin) memiliki status sosial cukup tinggi di lingkungan masyarakatnya. Status sosial ini harus diimbangi kemampuan yang handal yang dapat dilatih melalui pembekalan-pembekalan, sehingga pesantren condong menambah kegiatannya pada pendayagunaan aspek psikomotorik[5] dalam bidang yang berbeda-beda.
Secara umum, bentuk Pengembangan Orientasi Pesantren (Reorientasi) sebagai berikut:
a.     Reorientasi perekonomian pesantren
Sesuai dengan perkembangan zaman dewasa ini, banyak pesantren yang memiliki orientasi baru seperti pondok pesantren Gontor dan pesantren Luhur. Pesantren masa kini sudah banyak diarahkan ke jurusan-jurusan tertentu misalnya dengan spesialisasi pendidikan guru, pertanian, perikanan, dan ketrampilan.
Berbagai penjurusan tersebut dapat diterjemahkan sebagai upaya mengembangkan orientasi pada bidang ekonomi. Pesantren tidak bisa mengelak dari tuntutan ekonomi lantaran masyarakat, khususnya santri sendiri menempatkan aspek ekonomi sebagai objek kehidupan yang mendapat perhatian besar di kalangan mereka. Kesimpulannya, pesantren perlu memperhatikan aspekmekonomi ini sebagai reorientasi pesantren.
b.     Reorientasi manajemen pesantren
Disamping itu, pesantren sekarang mulai memperhatikan masukan-masukan gagasan dari berbagai pihak, tidak hanya bersumber dari kiai. Dari sisi pola penyelenggaraan pendidikan, pesantren tidak lagi terlalu mengesankan ‘uzlah (mengasingkan diri), melainkan berusaha mengimbangi institusi-institusi pendidikan lainnya dengan tidak meninggalkan identitasnya yang prinsipil. Masuknya pengetahuan umum dan berbagai ketrampilan adalah wujud dari upaya perimbangan itu. Langkah tersebut merupakan orientasi baru bagi pesantren dilihat dari strategi manajemennya.
Dalam hal strategi atau bentuk penyelenggaraan pendidikan, dulu pesantren ber’uzlah dari system pendidikan pemeritah kolonial. Sekarang tidak hanya mau duduk bersanding dengan sistem pendidikan nasional, bahkan mulai masuk ke dalam sistem pendidikan nasional itu.
c. Perubahan reorientasi institusional.
Institusi pesantren seharusnya memang bertujuan untuk tafaqquh fi al-din. Selama ini, secara selintas, kelihatannya pesantren sama saja dengan madrasah agama yang penguasaan ilmu pengetahuan umum kurang, ilmu dan pengetahuan  agama juga kurang. Ada resiko memilih yang perlu diambil. Bila sebuah pesantren diharapkan menjadi wahana kaderisasi ulama, maka pilihan lain tidak ada kecuali memberikan porsi dominasi subyek ilmu-ilmu agama yang standart yang dominan.
 Demikianlah aspek-aspek dari pesantren yang perlu ada reorientasi guna mengambil langkah kebijakan pendidikan yang lebih tepat dan efektif sesuai dengan perkembangan zaman.

2. Kelemahan pondok pesantren dan ancaman terhadapnya
a. Kelemahan
Secara umum, kelemahan yang dimiliki pesantren tradisional jika dibandingkan dengan pesantren terpadu atau modern adalah yang terkait dengan akses informasi yang minim, sumber dana yang minim, dan kurangnya penguasaan alat tekhnologi, serta tidak cakap berbahasa asing,seperti bahasa inggris misalnya.
b. ancaman
Dalam konteks kekinian, pesantren menghadapi problematika internal dan eksternal (tradisi keilmuan). Problem internal adalah out put (alumni pesantren) tingkat kualitas sumber daya manusianya dalam memahami bidang disiplin ilmu dirasa mengalami penurunan, karena dampak dari sebagian pesantren yang membuka diri untuk bidang keilmuan umum (sekolah formal /Perguruan Tinggi) sehingga mengabaikan ketekunannya terhadap bidang disiplin agama. Maka, tentu harus dicarikan formulasi agar dampak tersebut diatas tidak menjadi bom waktu dikemudian hari, salah satunya dengan mendirikan kelas takhasus (Ma’ad ‘Aly) dengan kosentrasi bidang tertentu seperti fiqh, hadist, tafsir, ,danlain-lain.
Problem eksternal; masyarakat dihadapkan pada perkembangan global saat ini, era industri di tengah kebutuhan ekonomi masyarakat mengubah pola pikir santri pesantren menjadi pragmatis (orientasi kerja), maka tradisi keilmuan pesantren harus selalu dijaga dengan karakteristiknya yang khas yaitu kitab kuning, sambil membuka diri untuk memenuhi kebutuhan santri pesantren yang memang siap/mampu menekenui bidang ilmu pengetahuan sains dan tehnologi. Disinilah ke-ideal-an serta keunggulan pesantren yang senantiasa tetap memegang teguh prinsip tujuan awalnya sebagai pendidikan berbasis agama (tafaquh fiddin), akan tetapi memiliki kesadaran untuk membuka ruang bagi perkembangan ilmu pengetahuan sain dan tehnologi didunia pesantren, sehingga bisa diterima oleh segenap lapisan masyarakat serta dinamis dalam menjawab tantangan kedepan.
Di samping itu, persepsi sebagian masyarakat terhadap dunia pesantren tidak dapat dipandang sebelah mata. Setelah ratusan tahun berdiri, pesantren kini dikucilkan. Akibat sedikit sekali media massa atau lembaga kemasyarakatan yang berusaha mengangkat sisi sesungguhnya dari dunia santri dan pesantren, santri dan dunia pesantren dipenuhi citra atau cap yang menakutkan. Masyarakat santri di pesantren dipandang oleh masyarakat umum nonpesantren dalam dua pemahaman yang merugikan. yaitu:
Pertama, masyarakat santri di pesantren dipahami sebagai kelompok yang semata-mata berlajar agama dan kitab-kitab Islam tanpa peduli pada masalah-masalah sosial yang terjadi dalam masyarakat umum. Kedua, dunia santri dan pesantren dicitrakan sebagai dunia yang tertutup atau eksklusif sehingga dekat dengan keterbelakangan, kekumuhan, dan kebodohan atas perkembangan dunia modern. Masyarakat memandang zaman telah berkembang menuju era globalisasi. mereka menuntut pesantren sebagai institusi pendidikan untuk melakukan akselerasi dan transformasi yang cukup signifikan. Jika dahulu ruang lingkup output terbatas pada dimensi keagamaan saja, maka saat ini lulusan pesantren diharapkan dapat banyak berkontribusi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.
3. Kekuatan pondok pesantren dan peluang untuk mengatasi ancaman
Sebenarnya pesantren itu sendiri, berikut dengan hal yang melingkupinya, memiliki beberapa kelebihan dan keunggulan. Antara lain:
a. Kemampuan pesantren untuk selalu hidup ditengah-tengah masyarakat yang sedang mengalami berbagai perubahan. Pesantren mampu memobilisasi sumber daya baik tenaga maupun dana, serta mampu berperan sebagai benteng terhadap berbagai budaya yang berdampak negatif. Kenyataan ini juga menunjukkan bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan yang mempunyai kekuatan untuk survive. Dan pesantren juga mampu mendinamisir dirinya ditengah-tengah perubahan masyarakatnya. Secara sosiologis, ini menunjukkan bahwa pesantren masih memiliki fungsi nyata yang dibutuhkan masyarakat.
b. karakter masyarakat pesantren adalah terbuka (inclusive ), bukan tertutup (exlusive).
Jika merujuk sumber tradisi keilmuan pesantren yaitu al-Qur’an, Hadist, ijma dan qiyas, yang ditemukan dalam teks-teks kitab kuning; meliputi berbagai disiplin ilmu yang menyangkut tingkat pemahaman serta metode dalam pengambilan suatu hukum (mashadirul ahkam), serta mengikuti salah satu dari empat madzhab dalam bidang fiqh (Imam Syafi’i), bidang tauhid (teologi) menganut madzhab Imam Abu Hasan Al-Asy’ary dan Imam Abu Mansur al-Maturidy, bidang tasawuf menganut madhab Imam Ghazali dan Imam Junaidy.
Maka, sesungguhnya kekayaan khazanah literatur yang dimiliki pesantren di atas, menjadi pesan (medium) bahwa karakter masyarakat pesantren adalah terbuka (inclusive ), bukan tertutup (exlusive). Sikap ini berarti menjadi jembatan kemudahan adaptasi/komunikasi untuk menyampaikan pesan Islam secara damai di tengah pergaulan masyarakat luas.disini ada penegasan bahwa karakteristik masyarakat pesantren dari mulai awal berdirinya hingga sekarang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai universalitas ajaran Islam.

c. pesantren mampu menunjukkan eksistensinya di tengah dinamika masyarakat selama ini.
Pesantren memiliki semangat menjunjung tinggi nilai kesadaran lokal (local wisdom), sebagaimana ungkapan populer masyarakat pesantren “al-mukhafadlatu ‘ala qadimu shalikh wal akhdlu bi al jadid al ashlakh” (menjaga tradisi lama yang baik dan mengambil hal baru yang lebih baik). Hal ini dikuatkan dengan  kaidah fiqhiyah sebagai alat/metode pengambilan keputusan hukum yaitu “al-‘adatu al-mukhkamat” (adat/tradisi bisa menjadi suatu hukum). Prinsip yang dipegang teguh di atas menunjukan pesantren mampu menunjukkan eksistensinya di tengah dinamika masyarakat selama ini.

 d. Dalam konteks keilmuan  memiliki nilai perbandingan (muqoronah), sehingga tidak terjadi stagnasi paradigma.
Selain itu, pesantren juga tidak menutup diri terhadap pandangan-pandangan lintas madzhab selain empat madzhab yang disebut di atas. Dalam konteks keilmuan  memiliki nilai perbandingan (muqoronah), sehingga tidak terjadi stagnasi paradigma dalam menyelesaikan suatu persoalan yang mutakhir atau belum ada ditemukan status hukum di leteratur-literatur kitab empat madhab, maka diharapkan diskursus-diskursus keagamaan yang berkembang di pesantren menjadi dinamis.[6]

d. Ketahanan Pesantren
Para analisis menemukan beberapa penyebab ketahanan pesantren.abdurrahman Wahid menyebut ketahanan pesantren disebabkan pola kehidupannya yang unik.[7] Menurut Sumarsono Moestoko et al. hak itu disebabkan telah melembaganya pesantren di dalam masyarakat.[8] Azyumardi Azra menilai ketahanan pesantren disebabkan  oleh kultur Jawa yang mampu menyerap kebudayaan luar melalui suatu proses interiorisasi tanpa kehilangan identitasnya.[9]
Aya sofia mengklaim ketahanannya lantaran jiwa dan semangat kewiraswastaan.[10] Hasan langgulung mengamati ketahanan pesantren sebagai akibat dari pribadi-pribadi kiai yang menonnjol dengan ilmu dan visinya,[11] sedang bagi Ma’shum, ketahanannya adalah akibat dampak positif dari kemampuan melahirkan berbagai daya guna bagi masyarakat.[12] Hal ini menunjukkan bahwa penyebab internal lebih memberikan kontribusi terhadap ketahanan pesantren dibanding dengan penyebab eksternal.
Ketahanan pesantren ini menjadi lebih menarik jika dibandingkan dengan lembaga pendidikan serupa di Negara-negara lain. Abdurrahman Wahid membuat perbandingan bahwa pada masa silam, pesantren di Indonesia dapat merespon tantangan-tantangan zamannya dengan sukses. Sedangkan system pesantren yang dikembangkan oleh kaum sufi baik di Malaysia maupun Thailand bagian utara sekarang ini senantiasa merana ditekan system sekolah model Barat.[13] Ini berarti ada langkah-langah strategis yang ditempuh pesantren dalam menahan tekanan system sekolah sekuler dari Barat.
Asumsi dari sejumlah peneliti tentang keberadaan pesantren di Indonesia tampaknya meleset. Mereka hanya mendasarkan pada teori yang sangat spekulatif, bahwa dengan derasnya arus modernisasi maka institusi-institusi tradisional termasuk pesantren akan segera lumpuh. Bahkan pernah ada peneliti pesantren dari Amerika yang sangat kaget terhadap keberadaan pesantren, sebab dia mengira bahwa pesantren tinggal bekas-bekas bangunannya saja.[14] Dan ternyata asumsinya itu tidak terbukti. 
Demikian juga seorang sosiolog dari Amerika, Daniel Larner menyatakan bahwa masyarakat tradisional Islam akan luntur menghadapi dunia modern, dan masuknya semua informasi dari luar akan mengurangi peran kiai. Namun, keadaan ini tidak akan terjadi di Indonesia, karena kiai senantiasa menyeleksi informasi yang masuk. Informasi yang baik, masyarakat disuruh memakai, dan sebaliknya informasi yang jelek, rakyat disuruh melupakannya.[15]  

B. Analisis SWOT
Analisis adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa (karangan, perbuatan, dsb) untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya (sebab-musabab, duduk perkaranya, dsb).[16] Sedangkan SWOT itu sendiri merupakan kependekan dari strength, weakness, opportunity dan threat . Strength berarti kekuatan (internal) yang dimiliki oleh seseorang atau lembaga. Weakness berarti kelemahan (internal, misalnya lembaga pendidikan ). Opportunity berarti peluang (eksternal) yang diperkirakan cocok untuk mengatasi kelemahan dan ancaman. Adapun threat berarti ancaman atau tantangan (eksternal, misalnya globalisasi) yang paling urgen untuk diatasi secara umum pada semua komponen pendidikan.
Analisis SWOT ini dapat digunakan untuk menganalisis penyelenggaraan kegiatan pendidikan dalam suatu lembaga. Terkait dengan reorientasi pesantren pada masa sekarang ini maka seyogyanya pesantren perlu mengambil langkah strategi-strategi tertentu. Penentuan strategi tertentu dapat dilakukan setelah melakukan analisis. Salah satu macam analisis yang dapat digunakan adalah metode analisis SWOT.
Analisi SWOT itu sendiri dapat didefinisikan dengan suatu identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi perusahaan.[17] Analisis ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strenghts) dan peluang (opportunities), akan tetapi secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan(weakness) dan ancaman( threats).[18]
Ada beberapa tahapan dan langkah yang mesti ditempuh dalam melakukan analisis SWOT, antara lain:
Langkah pertama, identifikasi kelemahan (internal) dan ancaman (eksternal, globalisasi) yang paling urgen untuk diatasi secara umum pada semua komponen pendidikan.
Langkah kedua, identifikasi kekuatan (internal) dan peluang (eksternal) yang diperkirakan cocok untuk mengatasi kelemahan dan ancaman yang telah diidentifikasi pada langkah pertama.
Langkah ketiga, lakukan analisis SWOT lanjutan setelah diketahui kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman dalam konteks sistem manajemen pendidikan.
Langkah keempat, rumuskan strategi-strategi yang direkomendasikan untuk menangani kelemahan dan ancaman, termasuk pemecahan masalah, perbaikan dan pengembangan lebih lanjut.
Langkah kelima, tentukan prioritas penanganan kelemahan dan ancaman itu, dan disusun suatu rencana tindakan untuk melaksanakan program penanganan.
Dengan analisis SWOT tersebut diharapkan pendidikan Islam dapat melakukan langkah-langkah strategis.  Strategi adalah suatu cara dimana organisasi atau lembaga akan mencapai tujuannya, sesuai dengan peluang-peluang dan ancaman-ancaman lingkungan eksternal yang dihadapi, serta sumber daya dan kemampuan internal.Setelah melakukan analisis SWOT, berikutnya adalah melakukan langkah-langkah strategis sebagaimana dapat dibagankan sebagai berikut:
Strategi SO. Inilah yang paling diharapkan, dimana pendidikan Islam dapat  mengkonsolidasikan dan memobilisasikan kekuatan (sumberdaya: integritas, manusia, governance/penguasaan, organisasi, informasi, finansial, fisik dan fasilitas) untuk memanfaatkan peluang yang ada guna melakukan ekspansi. Inilah yang disebut keberuntungan, yaitu bertemunya kekuatan (kesiapan) dengan peluang.
Strategi WO. Yaitu dengan cara mengeliminir kelemahan untuk selanjutnya mendayagunakan peluang. Kalau diibaratkan seorang pedagang yang tidak punya modal tetapi ada keempatan untuk meraup keuntungan, maka yang dilakukan adalah memfokuskan pada upaya mendapatkan keuntungan sambil berusaha mendapatkan modal. Bukan meratapi kelemahannya sehingga peluang hilang.
Strategi ST. Yaitu dengan cara melakukan konsolidasi untuk meningkatkan dan mendayagunakan kekuatan guna menetralisir, menghindari ancaman atau merubah ancaman menjadi peluang. Dalam realita, apa yang didefinisikan sebagai ancaman  pada dasarnya belum tentu ancaman yang sesungguhnya. Misalnya, pada pertengahan tahun 1970 an ketika diterbitkan SKB Tiga Menteri tentang kesetaraan madrasah dengan sekolah umum, banyak kalangan menilai sebagai ancaman terhadap eksistensi madrasah dan dakwah islamiyah.
Fakta membuktikan SKB itu justru memberikan peluang bagi madrasah untuk lebih berkembang di masa-masa berikutnya. Contoh lain misalnya tentang pesantren masuk GBHN. Banyak yang menilai akan merusak jati diri dan kemandirian pesantren. Padahal bisa jadi dengan pesantren masuk  GBHN akan merupakan amunisi baru untuk kemajuan pesantren.
Stategi WT. Yaitu meminimalkan kelemahan untuk menghidari ancaman. Ini merupakan keadaan yang paling tidak diharapkan. Pesantren dan madrasah swasta banyak yang menghadapi masalah ini, dimana secara internal memiliki kelemahan di hampir di semua komponen, sedang secara eksternal menghadapi ancaman, seperti persaingan yang ketat atau krisis kepercayaan masyarakat.
Tradisi keilmuan dengan karakteristik masyarakat pesantren yang moderat diharapkan berkembang pada tataran yang lebih tinggi, meliputi sains dan teknologi mutakhir sehingga pangsa pasar masyarakat konsumen bisa semakin melebar dan tak terbatas. Berhadapan dengan masyarakat modern yang tingkat kesadaran keberagamaannya lebih menonjolkan simbol dan ritual semata, maka seyogyanya pemikiran produk tradisi keilmuan pesantren bisa mewarnai cara  berfikir/perilaku masyarakat modern menjadi lebih subtantif.
Apabila pemahaman subtantif dari tradisi keilmuan pesantren hanya menjadi konsumsi elit agama, dan tidak terdistribusi secara baik ke masyarakat luas, maka yang dirugikan justru pesantren itu sendiri. Pertama, eksistensi pemikiran pesantren (tradisi keilmuan) tidak akan dikenal oleh publik. Kedua, masyarakat tidak memiliki referensi secara utuh untuk lebih bisa mengenal pesantren. Ketiga, masyarakat kurang merasa memiliki terhadap masa depanpesantren.
Demikianlah langkah-langkah dalam melakukan analisis SWOT untuk selanjutnya mengambil langkah-langkah strategis. Diantara manfaat yang diperoleh dari melaksanakan analisis SWOT ini bagi lembaga adalah lembaga tersebut mengetahui posisi perkembangan lembaganya untuk selanjutnya diketahui langkah-langkah strategis berikutnya guna membawa lembaganya menuju prestasi yang lebih baik. Maka dari itu, mestinya lembaga pesantren perlu kiranya melakukan analisis SWOT berikut langkah-langkah strategisnya.

III.          PENUTUP
Dari uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut:
a.     Reorientasi pesantren merupakan suatu keniscayaan. Adapun bentuk –bentuk Pengembangan Orientasi Pesantren (Reorientasi) sebagai berikut:
1.                 Reorientasi perekonomian pesantren
2.                 Reorientasi manajemen pesantren
3.                 Perubahan reorientasi institusional.
b.     Pesantren memiliki kelemahan dan ancaman baik ancaman itu dari dalam maupun dari luar. Akan tetapi pesantren juga memiliki kelebihan dan peluang. Kelemahan dan kekuatan tersebut dapat dideteksi dengan cermat salah satunya dengan melakukan analisis SWOT.
c.      Dengan analisis SWOT tersebut diharapkan pendidikan Islam dapat melakukan langkah-langkah strategis. Langkah-langkah strategis tersebut adalah: strategi SO, strategi WO, strategi  ST, dan strategi  WT.




DAFTAR PUSTAKA
A’la, Abdul. Pembaruan Pesantren, .Jogjakarta: LKis. 2006.

Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai. Jakarta: LP3ES, 1994.

KBBI( Kamus Besar Bahasa Indonesia)

Abdurrahman Wahid, Pesantren Sebagai Subkultur, (ed.)

Kuntowijaya, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, t.tp.: Salahuddin Press dan Pustaka Pelajar, 1994 .

 Sumarsono Moestoko, Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman, Jakarta: Balai Pustaka, 1986

Azyumardi Azra, Surau di Tengah Krisis: Pesantren dan Perspektif Masyarakat, dalam Raharjo (ed.), Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah, Jakarta: LP3ES, 1985.

Aya Sofia et.al., Pedoman Penyelenggaraan Pusat Informasi Pesantren, Proyek Pembinaan dan Bantuan Kepada Pondok Pesantren di Jakarta 1985/1986 Departemen Agama RI.

Hasan Langgulung, Pendidikan Islam menghadapi Abad ke-21, Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1988.

Abdurrahman Wahid, Pondok Pesantren Masa Depan, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999.

Mujamil Qomar, Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi.

Abdurrahman Wahid, Ulama Dulu Menyebabkan Daya Setempat, dalam Santri, No. 02, Februari 1997.





[1] Abdul A’la, Pembaruan Pesantren, (Jogjakarta: LKis, 2006), h. 56.
[2] Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup Kiai, (Jakarta: LP3ES, 1994), h.
[3] peninjauan kembali wawasan (untuk menentukan sikap dsb).
[4] Abdul A’la, Pembaruan Pesantren, (Jogjakarta: LKis, 2006), h. 57.
[5] Yaitu yang berhubungan dengan aktivitas fisik yg berkaitan dng proses mental dan psikologi. KBBI( Kamus Besar Bahasa Indonesia)
[6] Sebagai bukti monomental kekayaan tradisi ke-ilmuan pesantren adalah lahirnya karya kitab-kitab klasik dan kitab-kitab kontemporer yang tumbuh berkembang sejak berdirinya pesantren hingga sekarang, semisal Imam Nawawi al-Bantany dengan karya kitabnya berjudul ‘Uqudul li-Jain, Syekh Makhfud at-Tarmasi dengan karya Manhaju Dzawin Nadlar, KH. Hasyim Asy’ari  dengan karya Adabul ‘alim wal muta’alim, KH. Bisyri Musthofa dengan karya tafsir al-Ibriz, dan lainnya.
Tradisi keilmuan itupun tidak hanya pada wujud media karya kitab, ada juga melalui seminar, halaqah, bahtsul masa’ail, serta kelompok studi kajian klasik maupun kontemporer diberbagai intelektual pasca paripurna di kelembagaan pesantren, seperti lakpesdam NU, P3M Jakarta, Fahmina Jakarta, LKiS Jogjakarta, dan lain-lain. Dari sinilah lahir pemikiran-pemikiran cemerlang tentang solusi atas persoalan keagamaan, yang meliputi bidang aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Perkembangan tradisi keilmuan itu juga selalu berkesinambungan dan senantiasa berinteraksi secara kontinu dengan pemikiran-pemikiran masyarkat pesantren satu dengan yang lainnya di berbagai wilayah nusantara.

[7] Abdurrahman Wahid, Pesantren Sebagai Subkultur, (ed.) h. 43. Kuntowijaya, Dinamika Sejarah Umat Islam Indonesia, (t.tp.: Salahuddin Press dan Pustaka Pelajar, 1994), h. 30
[8] Sumarsono Moestoko, Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), h. 232
[9] Azyumardi Azra, Surau di Tengah Krisis: Pesantren dan Perspektif Masyarakat, dalam Raharjo (ed.), Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah, (Jaarta: LP3ES, 1985), h. 173 .
[10] Aya Sofia et.al., Pedoman Penyelenggaraan Pusat Informasi Pesantren, Proyek Pembinaan dan Bantuan Kepada Pondok Pesantren di Jakarta 1985/1986 Departemen Agama RI, h. 41.
[11] Hasan Langgulung, Pendidikan Islam menghadapi Abad ke-21, (Jakarta: Pustaka Al-Husna, 1988), h. 75.
[12] Abdul A’la, Pembaruan Pesantren, (Jogjakarta: LKis, 2006), h. 15
[13] Abdurrahman Wahid, Pondok Pesantren Masa Depan, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), h.19-20
[14] Mujamil Qomar, Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokrasi Institusi.
[15] Abdurrahman Wahid, Ulama Dulu Menyebabkan Daya Setempat, dalam Santri, No. 02, Februari 1997, h. 52-53.
[16] KBIH, Kamus Besar Bahasa Indonesia.
[17] Pada dasarnya analisis SWOT ini memang biasa dipakai dalam perusahaan-perusahaan. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan dan tidak ada salahnya jika digunakan dalam suatu lembaga pendidikan termasuk pesantren.
[18] Freddy Rangkuti, Analisis SWOT teknikmembedahkasusbisnis (Jakarta, PT GramediaPustaka
Utama., 2008), hlm. 19.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar