Halaman

Minggu, 25 Maret 2012

Dialog dengan A.M. Waskito [2]


Nih lanjutan Dialog dg A.M. Waskito

Said : Ustadz A.M. Waskito, mhn ma’af, saya koment lg :

1. Mengenai kaidah : al-Ashlu fi al-’Ibadah al-Tahrim, itu benar sekali. Setiap ibadah harus ada dalilnya. Hanya saja, dalil itu macam-macam, ada yang bersifat umum, ada yang bersifat khusus. Ada yang berdasarkan ‘Ibarah al-Nash, ada juga yang berdasarkan isyarah al-Nash, dilalah al-Nash, dan Iqtidha’ al-Nash. Ada yang berdasarkan mantuq, dan ada juga yang berdasarkan mafhum, dan lain-lain, sebagaimana dibahas oleh ulama’-ulama’ ushul. Yang bikin kaidah itu adalah para ulama’, masa iya mereka sendiri yg melanggarnya. Imam Ahmad, misalnya, beliau tahu kaidah itu, tetapi mengapa beliau mengeluarkan fatwa sampainya seluruh amal kebaikan orang yang masih hidup untuk orang yg telah meninggal. Pendapat beliau ini, diikuti oleh ulama’ – ulama’ Hanbali seperti, Ibnu Taimiyah, dan Ibnul Qayyim.

 Jadi, kalau kita belum sampai derajat mujtahid, sulit menggunakan kaidah ini, karena boleh jadi, menurut kita, tidak ada dalilnya, tetapi menurut para ulama’, ternyata dalilnya sangat kuat. Saya mempersilahkan antum mengkaji fiqih perbandingan, maka antum akan melihat bahwa semua mazhab tidak ada yang terbebas dari bid’ah sebagaimana yg antum pahami. Apakah mereka semua itu tidak mengerti syari’at ? Mereka tentu jauh lebih mengerti dibanding kita.

2. Mengenai konsep bid’ah, maka, sepanjang yang saya ketahui, sebelum datang al-Syathibi dengan kitab al-I’tisham nya, semuanya sepakat mengenai konsep bid’ah, hanya ‘ibarah yang berbeda. Ada dua konsep yg dikemukakan oleh ulama’ – ulama’ mutaqaddimin, yaitu, Kelompok pertama, mendefenisikan bid’ah sebagai sesuatu yang tidak dikerjakan pada masa Rasulullah SAW. Kelompok ini lah yang membagi bid’ah menjadi 2 macam, yaitu terpuji dan tercela. Perkara baru, menurut mereka, ditimbang dengan neraca syari’at. Yang bertentangan dg syari’at ditolak, dan yang bersesuaian dg syari’at diterima. Yg ditolak itu bid’ah sayyiah, dan yang diterima itu adalah bid’ah hasanah. Pelopornya imam al-Syafi’I, diikuti oleh al-Baihaqi, al-’Izz bin Abdissalam, ibn al-Atsir, al-Nawawi, al-Suyuthi, dan lain-lain.

Kelompok kedua mendefenisikan bid’ah sebagai sesuatu yang tidak dikerjakan pada masa Rasulullah SAW, dan tidak memiliki sandaran dalil sama sekali. Jadi, menurut kelompok ini, untuk disebutkan sebagai bid’ah itu syaratnya 2, yaitu tidak dikerjakan pada masa Rasulullah SAW, dan tidak ada dalil sama sekali. Perkara baru, menurut mereka, ada dua macam, yaitu mempunyai sandaran dalil ( tidak musti zhahir nash ), dan tidak memiliki sandaran dalil. Yg ada sandaran dalilnya, walaupun tidak dikerjakan pada masa Rasulullah, diterima dan dinamakan dengan sunnah hasanah ( bukan bid’ah hasanah seperti kelompok pertama di atas ). Yg tidak ada sandaran dalilnya, dinamakan dengan bid’ah dhalalah.

Kelompok ini tidak membagi bid’ah menjadi 2, tetapi mereka menyatakan semua bid’ah itu sesat. Tetapi kita harus ingat bahwa bid’ah menurut mereka, bukan setiap perkara baru ( urusan dunia atau ibadah ), tetapi perkara baru yang tidak memiliki dalil sama sekali. Pendapat ini didukung oleh Ibnu Rajab al-Hanbali, Ibnu Hajar al-’Asqalani, dan lain-lain.

Sebagai contoh, berjabat tangan setelah shalat adalah perkara baru, tetapi ada dalil yang bersifat umum yang menganjurkan kita untuk berjabat tangan. Kalo menggunakan defenisi bid’ah kelompok pertama, ini adalah bid’ah hasanah, dan kalo menggunakan defenisi kelompok kedua, maka ini adalah sunnah hasanah, bukan bid’ah.

Dengan demikian, kita dapat mengerti celaan-celaan para ulama’ terhadap bid’ah, yaitu bid’ah menurut defenisi mereka, bukan bid’ah seperti yang ada dalam fikiran kita. Berdasarkan penjelasan di atas, juga menjadi jelas, bahwa para ulama’ mutaqaddimin, pada hakikatnya sepakat dengan konsep bid’ah, tetapi beda dalam ‘ibarah dan penerapannya. Untuk menguji tulisan ini, silahkan merujuk kepada kitab-kitab syarah hadits, dan kitab-kitab lainnya yang berkaitan, dan tinggalkan dulu untuk sementara, kitab-kitab yg ditulis oleh ulama’ – ulama’ belakangan.

Mungkin kita berfikir, bahwa walaupun berjuta-juta ulama’ mengemukakan pendapatnya, tetap ucapan Rasulullah SAW lah yang harus didahulukan. Ini benar sekali, tetapi, mungkinkah para ulama’ sepakat menentang Rasulullah SAW ? Atau pemahaman kita terhadap hadits yang tidak sama dengan pemahaman para ulama’? Pemahaman kita terhadap hadits atau pemahaman ulama’ kah yang lebih baik ? Di sini, saya tidak mengemukakan dalil-dalil lain yang digunakan oleh para ulama’ dalam rangka memahami hadits “kullu bid’ah dhalalah” karena akan terlalu panjang.

3. Mengenai kebebasan bersikap, silahkan, tidak ada yg berhak memaksakan pemahamannya kepada orang lain. Antum berhak meyakini sesuatu yang antum anggap benar, tetapi, demi menghargai pendapat orang lain, maka hendaklah kita tidak mengingkari secara berlebihan, sehingga seakan-akan, pemahaman yang lain itu pasti salah dan menyesatkan.

4. Terakhir, sekali lagi, saya mohon ma’af yg sebesar-besarnya. Bukan maksud untuk menggurui, bukan maksud untuk mendebat, dan bukan maksud untuk memaksa orang lain mengikuti pandangan saya. Menukil istilah antum, inilah sikap saya dalam masalah ini. Semoga Allah SWT, menjadikan kita sebagai umat yang bersaudara. Amiin ya Rabb al-’Alamin.

Rudi Taslim : Memang untuk kalangan ahli barangkali bisa melihat batas batas Bid”ah … tetapi fakta dimasyarakat batas itu menjadi sangat bias ..
Yang menjadi pertanyaan ..apakah ada kerugian untuk meninggalkan ” Bid’ah hasanah ” ??????.
Sesungguhnya banyak sunnah sunnah nabi yang jelas di setujui oleh jumhur ulama , mengapa tidak kita amalkan saja sunnah sunnah tsb .Mengapa kita masih bermain di “abu abu ” ?????

A.M. Waskito : Saya sangat setuju dengan perkataan ini. Kalau memang tidak ada dalilnya, mengapa harus diamalkan? Iya kan. Kenapa tidak mengamalkan yang jelas-jelas sudah ada dalilnya saja? Nah, itu dia. Islam sudah memberi kemudahan. Kok malah dipersulit dengan aneka intepretasi yang sebenarnya tidak dibutuhkan.

Misalnya, soal amalan untuk para ahli kubur. Sesuai sunnah, kalau ada orangtua, keluarga, kerabat ingin naik Haji, tapi sudah wafat, silakan di-Haji-kan oleh ahli warisnya. Kalau ada yang belum bayar zakat atau hutang, silakan dibayarkan ahli warisnya. Kalau ada wasiat, wakaf, hibah, sedekah, yang pernah direncanakan, tetapi keburu yang bersangkutan wafat; silakan tunaikan. Kalau ada ilmu-ilmu yang benar dari ahli kubur, silakan diamalkan sebaik-baiknya; kita dapat pahala, ahli kubur juga mendapat. Kalau ada rumah, kekayaan, properti, atau apa saja yang ditinggalkan ahli kubur, yang tidak dibutuhkan oleh ahli warisnya, tetapi bisa dipakai untuk urusan-urusan maslahat kaum Muslimin; hal ini juga bisa menjadi ladang amal bagi yang sudah wafat. Kalau ada teman/sahabat baik ahli kubur, lalu diperlakukan dengan baik oleh yang masih hidup, itu juga perlakuan positif bagi ahli kubur. Kalau ada anak-anak ahli kubur yang mendoakan orangtua, itu juga menjadi kebaikan. Kalau ada doa permohonan ampunan bagi kaum Muslimin, nah para ahli kubur Muslim juga mendapat bagian dari doa itu. Jadi, intinya banyak amal-amal yang baik dan benar. Mengapa harus memilih melakukan tahlilan, selamatan, haul, dan semisal itu?

Semoga mendapat hikmah. Jazakallah khair, Pak Rudi Taslim.

Said : @Rudi Taslim & Ustadz A.M. Waskito
Yang menjadi pertanyaan ..apakah ada kerugian untuk meninggalkan ” Bid’ah hasanah ” ??????.

Komentar : Jika memang bid’ah hasanah itu tidak ada baik atau tidak ada untungnya, mengapa para ulama’ dari 4 mazhab mengakuinya ? Bid’ah hasanah itu hanyalah nama, karena pada hakikatnya itu adalah sunnah yang diperoleh dengan istinbath. Kalau memang itu tidak ada baiknya, maka berarti mayoritas ulama’ telah melakukan hal yang sia-sia, padahal itu tidak layak dilakukan oleh ulama’ ? Jadi, Allah SWT dan Rasul-Nya telah memberikan perintah-perintah dan anjuran-anjuran yang bersifat umum supaya kebaikan apa pun yang dilakukan umat Islam, selagi masih termasuk ke dalam keumuman perintah dan anjuran Allah dan Rasul-Nya, tetap mendapat pahala.
Berikut Pernyataan para ulama’ :

Imam al-Syafi’I : “Sesuatu yang baru itu dua macam : Pertama, sesuatu baru yang menyalahi al-Qur’an, al-Sunnah, Atsar, atau Ijma’, maka itu adalah bid’ah sesat. Kedua, sesuatu baru yang tidak bertentangan dengan salah satu hal tersebut di atas, maka itu tidaklah tercela”.

Al-Qurthubi, seorang ulama besar mazhab maliki, ahli tafsir dan ahli fiqih, berkata dalam tafsirnya : “semua hal baru yang dilakukan oleh makhluq itu tidak keluar dari dua keadaan. Pertama mempunyai sandaran dari syari’at, misalnya masuk dalam sesuatu yang dianjurkan oleh Allah dan Rasul-Nya secara umum ( walaupun bentuk spesialnya belum ada pada masa Rasulullah-pen. ), maka ini termasuk sesuatu yang terpuji. Kedua , hal baru yang tidak mempunyai sandaran sama sekali, maka inilah hal baru yang tercela”.

Al-Nawawi : Hadits bid’ah dhalalah adalah ‘Am Makhshush”.

Ibn al-Atsir : Bid’ah itu dua macam, yaitu bid’ah huda, dan bid’ah dhalal. Perkara baru yang bertentangan dengan perintah Allah SWT dan Rasul-Nya, maka itu bid’ah tercela dan diingkari. Adapun perkara baru yang masuk ke dalam keumuman anjuran Allah SWT dan Rasul-Nya, maka ini terpuji…

Ibnu Hajar al-’Asqalani : Bid’ah dhalalah itu adalah perkara baru yang tidak memiliki dalil, baik secara khusus, maupun secara umum.

al-Suyuthi, ketika men-syarah hadits kullu bid’atin…, berkata : …Apabila ini telah diketahui, maka jelaslah bahwa hadits ini dan yang sejenisnya masuk dalam kategori ‘Am Makhshush.

Ibnu Rajab : “Segala sesuatu baru yang bertentangan dengan syari’at, tertolak. Adapun sesuatu ( baru ) yang memiliki sandaran dari syari’at atau masuk dalam kaidah-kaidah umum syari’at, maka ini tidak tertolak, tetapi diterima”.

Ibnu Baththal : Bid’ah adalah perkara baru yang belum ada sebelumnya. Jika bertentangan dengan al-Sunnah, maka itu bid’ah dhalalah, dan jika bersesuaian dengan syari’at, maka itu bid’ah huda.

Al-Baghawi : Muhdatsat itu adalah perkara baru yang tidak dapat diqiyaskan ke pada prinsip – prinsip agama. Apabila dapat dikembalikan kepada prinsip – prinsip agama, maka tidaklah termasuk sesat.

Al-Zarqani : Hadits “kullu bid’ah dhalalah adalah ‘Am Makhshush”.

Al-Shna’ani : Hadits “kullu bid’ah dhalalah adalah ‘Am Makhshush”.

Para ulama’ telah berijtihad, untuk menentukan mana bid’ah dhalalah, dan mana bid’ah hasanah ( sunnah hasanah / sunnah mustanbathah ). Seandainya ijtihad ini benar, mereka mendapat 2 pahala, dan seandainya salah, mereka mendapat satu pahala. Lalu, kita para pengikut ulama’, apakah harus disalahkan karena mengikuti ijtihad mereka ?.

Coba antum berdua melakukan penelitian lagi, siapakah ulama’ mutaqaddimin yang memiliki pemahaman seperti antum? Atau ilmu antum berdua telah jauh melampaui para ulama’ tersebut, sehingga antum berdua lebih mengetahui mana yang baik dan mana yang tidak baik dibanding para ulama’ ?

Siapa yang mengatakan bahwa “bid’ah hasanah” termasuk wilayah “abu-abu” ? Seandainya itu berada pada wilayah “abu-abu”, tentu para ulama’ akan meninggalkannya karena mereka sangat wara’, sangat berhati – hati dalam beragama? Kalau mereka berani mengamalkan dan bahkan memfatwakan, ini menunjukkan bahwa mereka menganggap itu tidak termasuk wilayah “abu-abu”.

Sekali lagi, kita boleh bersikap menurut apa yang kita yakini, tetapi, orang lain pun memiliki hak untuk bersikap juga. Jangan “seperti memaksa”. Kalau antum ingin orang lain menghormati dan menghargai antum, maka mulailah untuk menghormati dan menghargai orang lain. Antum, misalnya, tidak rela ulama’ – ulama’ panutan atau rujukan antum dicela, maka ketahuilah orang lain pun tidak rela ulama’ – ulama’ panutan dan rujukan mereka dicela.

Semoga Allah SWT memberikan hidayah-Nya kepada kita semua, Amiin ya Rabb al-’Alamin.

Wassalamu’alaikum wa rahmatullahi wa barakatuh.

3 komentar:

  1. Alhamdulillah, saya terkadang bergidik membayangkan orang-orang yang suka menyalahkan (mengkafirkan, memusyrikkan, menilai sesatkan, me-neraka-kan) orang lain dengan pemahaman yang mereka "kuasai", tanpa mengkaji pendapat dan pemahaman para ulama besar dan kompeten mutaqaddimin.

    BalasHapus
  2. Kalo membaca artikel ny pak waskito ni, saya sebagai anak muda merasa bapak ni g pinter,,, kurang tajam analisa ny,,, jadi kesanny cman propaganda,,,

    BalasHapus
  3. saya juga merasakan begitu, jadi cuma sok paham agama tapi dari satu pemahaman saja terus hantam kiri kanan yang berbeda pemahamannya

    BalasHapus