Babak baru format literatur hadis pasca tadwin ditandai dengan masa
tashnif, yang dapat diklasifikasikan dalam dua sistem, yaitu pertama,
penulisan yang berdasarkan tema. Kedua, penulisan berdasarkan susunan
nama shahabat atau tokoh tertentu. Dari sini, setidaknya terlihat lima
macam kitab hadis yang memiliki karakteristik masing-masing, baik dari
segi sumber, tujuan atau cakupan permasalahannya. Yaitu: muwaththa',
mushannaf, sunan, jami' dan musnad.
Meskipun dalam pandangan sarjana
Barat tidak ada perbedaan format karena tinjauannya dari sumber awal
saja. Dari berbagai definisi yang diberikan dan fakta literatur yang
ada, latar belakang dan cakupan kitab muwaththa', mushannaf, sunan dan
jami' tidaklah berbeda. Hanya sistematika antara muwaththa' dan
mushannaf terlihat sedikit berbeda. Dan mushannaf memiliki ragam
permasalahan yang lebih berwarna. Maka pengolahan data kitab-kitab ini
tidaklah berimplikasi signifikan karena sebagai kajian atas hadis
tidaklah cukup dengan data-data yang berhubungan dengan hukum melainkan
perlu adanya pengolahan data dalam kitab yang memuat hadis dari berbagai
tokoh sahabat, yaitu musnad.
b. Ahli Fiqih Vs Ahli Hadis dan Pengaruhnya terhadap penulisan Kitab Hadis
Munculnya aliran fiqih klasik pada awal abad kedua hijrah yang disebut
oleh Schacht sebagai living tradition, melahirkan gerakan oposisi dari
aliran ahli hadis, sampai pada masa Bani 'Abbasiyah yang melahirkan
kembali gerakan Mu'tazilah dan Syi'ah Syu'ubiyyah merupakan fenomena
-heterogenitas politik dan ideology-, yang kemudian menjadi salah satu
penyebab munculnya pemalsuan hadis. Ciri khas ahli fiqih adalah lebih
longgar dalam mengeluarkan fatwa / produk hukum baru dengan tidak
terpaku pada nash dan menggunakan metode Qiyas, sedangkan ahli hadis
hanya memberikan fatwa dalam kondisi mendesak dan lebih memilih Atsar.
Dan pada akhirnya, datang moderat al-Syafi'i dengan prinsip nash berada
di posisi otoritatif dan akal sebagai pendukung. Sehingga gerakan
penyusunan literatur hadis berkembang pesat dengan varian bentuk metode
isnad sebagai klaim otentisitas sejarah, ditandai lahirnya enam kitab
konanik pada abad ketiga hijriyah yang terlahir dari tokoh ahli fiqih
untuk memenuhi kebutuhan kajian hukum Islam.
c. Khazanah Literatur Hadis Abad III H
Literatur hadis mengalami perkembangan dari masa ke masa, dimulai pada
abad pertama sampai kedua dengan Shahifah, Risalah, Nuskhah, Kitab dab
Juz dan beberapa karya non-an sich. Sampai pada abad ketiga, yang
disebut sebagai puncak kejayaan Islam dengan enam koleksi kanonik, kitab
yang hanya menghimpun berdasarkan sifat atau kualitas hadis tertentu,
berdasarkan tema tertentu, berdasarkan tokoh Shahabat, kitab biografis
dan penilaian terhadap perawi hadis dan kitab metodologi kritik hadis.
d. Posisi Kitab Sunan al-Nasa'I dalam Khazanah Literatur Hadis Abad III H
Kitab ini memiliki peranan sangat sentral dalam kajian hadis dan hukum
Islam, dianggap sebagai rujukan utama dalam bidang hadis karena
didominasi dengan hadis-hadis yang berkualitas otentik, bahkan beberapa
peneliti Muslim menganggap kualitas rawi kitab ini lebih tinggi dari
rawi al-Bukhori dan Muslim, yang terlahir dari tokoh fiqih Mesir,
sehingga karya ini dianggap sebagai reaksi atas perkembangan hukum pada
masanya.
Ditulis oleh: Fatihunnada Anis, MA (Kader Ulama Kemenag, Mhsw Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar