Halaman

Selasa, 09 Juli 2013

Komponen Penetapan Awal Puasa



Penentuan awal puasa atau awal Hari Raya—menurut hemat saya, tak sekadar soal bulan sudah masuk atau belum. Bila kita mau mengacu beberapa riwayat yang kita terima Sang anutan Nabi Muhammad SAW dan atsar para sahabat, sesungguhnya ada beberapa komponen yang menjadi pertimbangan pengambil keputusan. Atau setidaknya, menjadi pertimbangan kita sebagai orang awam dalam memilih ikut siapa. 

Berikut ini adalah beberapa komponen yang seharusnya kita cermati:

1. Hilal Sudah Terlihat


Ini erat sekali dengan sabda Nabi Muhammad SAW yang begitu populer tiap menjelang masuknya Ramadhan atau Idul Fitri. “Puasalah karena melihatnya (hilal), dan berbukalah karena melihatnya.” Aturannya, awal bulan belum dianggap masuk apabila bulan sabit penanda awal bulan belum terlihat. Zaman dulu, orang-orang melihat hanya menggunakan mata telanjang. Sementara sekarang, tim rukyatul hilal sudah dibekali dengan beragam alat teropong canggih dan dibangunkan menara “pengintai” yang cukup tinggi di titik-titik strategis.

2. Ada Mendung, Sempurnakan Jumlah Bulan

“Apabila (tertutup) mendung, maka genapkan bilangan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh.” (HR Bukhari Muslim)
“Apabila (tertutup) mendung, maka perkirakanlah tiga puluh.”

Dalam proses rukyatul hilal, terkadang tim rukyah tidak bisa melihat hilal, sebab terkendala cuaca mendung. Hadis di atas memberikan solusi bagaimana hal itu terjadi, yakni dengan menyempurnakan jumlah hari bulan Sya’ban. Menjadi tiga puluh hari. Kita tahu, hari dalam bulan Hijriyah terdiri dari 29 atau 30 hari.

3. Perkirakan Jumlah Tanggal

Poin ini sesuai dengan hadis: “Apabila (tertutup) mendung, maka perkirakanlah dia (hilal).”

Hadis inilah yang biasanya dijadikan dalil sebagian orang untuk melegitimasi keabsahan ilmu hisab (astronomi) dalam menentukan masuknya bulan. Kata “perkirakan” di hadis ini ditafsirkan dengan ilmu pengetahuan yang ditemukan zaman modern ini. Sehingga, muncullah istilah wujudul hilal. Menurut “perkiraan” ilmu astronomi, hilal sudah ada wujudnya. Begitulah alasan kelompok ini.

4. Puasa Bersama, Lebaran Bersama

“Puasa itu (dilakukan) pada hari ketika orang-orang (banyak) berpuasa. Idul Fitri itu pada hari ketika orang pada berbuka (Idul Fitri).”

Dalam hadis ini ada anjuran untuk selalu bersatu. Menjadi umat yang satu suara. Berpuasa dan berhari raya bersama masyarakat umum. Dalam konteks Indonesia, keadaan tersebut mungkin tercapai dengan inisiatif pemerintah. Di Arab Saudi—meskipun kita tidak semadzhab dengan Saudi—tidak ditemukan kelompok yang terang-terangan berbeda pendapat dengan pemerintah. Ia mungkin akan menerima akibat yang tak mengenakkan jika ngotot dengan keyakinannya.

Ayat Al-Quran bahkan dengan tegas menyatakan: “Taatilah Allah, Rasulullah, dan para pemimpin di antara kalian.”

5. Mathla’ Berlaku Global atau Khusus

Saya merasa kurang pantas menjelaskan mathla’—dengan keterbatasan keilmuan di bidang ilmu hisab/astronomi. Maksud mathla’ global adalah ketika ada satu negara—di mana pun belahan dunia ini—melihat hilal, maka ketentuan awal Ramadhan atau Idul Fithri sudah berlaku bagi seluruh muslim di dunia. Sementara mathla’ berlaku khusus adalah berdasarkan kemungkinan posisi bulan dan garis lintang sebuah negara. Artinya, apabila ada satu negara yang melihat hilal awal Ramadhan, maka negara-negara yang berada dalam satu garis lintang tertentu (maaf, saya kurang menguasai ini) harus mengikuti keputusan tersebut.

6. Larangan Berpuasa Pada Hari Syak

Sebuah riwayat dari Ammar bin Yasir RA, “Siapa yang berpuasa pada hari syak, berarti ia telah bermaksiat kepada Abu Qasim SAW.” Hari syak (artinya: meragukan) adalah tanggal 30 Sya’ban yang mana belum diketahui apakah ia sudah mulai masuk Ramadhan atau belum. Dalam kitab al-Awashim wa al-Qawashim fi adz-Dzubbi An Sunnati Abi al-Qasim, Izzuddin bin Ibnu al-Wazir menyatakan: “Puasa pada hari Syak di awal Ramadhan, tidak wajib hukumnya. Karena pada asalnya hari itu masih bulan Sya’ban.”[1]

Mungkin masih ada beberapa lagi komponen yang bisa menjadi pertimbangan penentuan awal bulan Ramadhan/Idul Fitri. Karena keterbatasan pengetahuan penulis, Anda boleh jadi menambahkannya?


[1] al-Awashim wa al-Qawashim fi adz-Dzubbi An Sunnati Abi al-Qasim, Izzuddin bin Ibnu al-Wazir (2/144)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar