Selama ini, kesalahan besar yang
berkenaan dengan pengumpulan al-Qur’an adalah bahwa pemahaman bahwa Ustman bin
Affan memerintahkan untuk menuliskan al-Quran dalam satu bacaan yang sama dan
menjadikan enam mushaf. Lalu, mushaf-mushaf tersebut di kirim ke daerah-daerah
Islam, seperti Mekkah, Yaman, Kufah, Syam, Bashrah, dan di Madinah sendiri.
“Mulai sekarang, pemahaman
seperti itu harus dicoret besar-besar. Dengan enaknya, mereka bilang kalau
Utsman menyamakan bacaan al-Qur’an dan menjadikannya dalam enam mushaf Utsmani
itu agar bacaan umat Islam sama. Ini harus diluruskan,” tegas Ustadz Fathoni
dalam pengajian rutin Qira’at Sab’ah di Masjid Raudhatul Qur’an, Institut Ilmu
Al-Quran (IIQ), Jumat (26/11).
Lebih lanjut, Ustadz Fathoni
menjelaskan, bahwa ide penulisan Al-Qur’an pada masa Khalifah Utsman adalah
suatu ketika pasukan muslimin sedang berperang di daerah Azerbaijan dan Armenia
(uni Soviet). Prajurit Irak dan Syiria ternyata menemukan adanya perbedaan cara
membaca Al-Qur’an. Karena, dulu Nabi saw. memang mengirimkan sahabat yang
berbeda dengan bacaan yang berbeda ke daerah-daerah untuk mengajarkan al-Qur’an
pada pendudukan setempat. Perbedaan ini membuat mereka saling bertikai. Kabar
pertikaian itu pun sampai didengar Utsman bin Affan.
Maka, oleh Utsman dibentuklah
tim penulisan wahyu. Tulisan-tulisan al-Qur’an (belum dibukukan—masih di tulang
hewan, kulit binatang, atau di kayu) yang dikumpulkan pada masa Abu Bakr pun
ditulis ulang oleh tim penulis wahyu yang terdiri dari Abdullah bin Amr bin
Ash, Abdulah bin Zubair, Abdurrahman bin Harits bin Hisyam, dan Zaid bin
Tsabit.
Ternyata, memang ada perbedaan
cara membaca dalam mushaf-mushaf tersebut. Oleh tim penulis wahyu, semua perbedaan-perbedaan
itu dituangkan dalam enam mushaf (atau dalam pendapat lain 5 mushaf) yang
kemudian dikirim ke beberapa daerah seperti tersebut di atas. Jadilah, enam
mushaf itu sebagai mushaf imam di beberapa daerah. Mengenai pemberian nama
mushaf utsmani, dinisbatkan pada Khalifah Utsman karena penulisan itu dilakukan
pada masa pemerintahana.
Lalu, pertanyaan berikutnya; apa
yang dimaksud dengan qiraat sab’ah itu?
Ustadz Fathoni menjawab, bahwa keseluruhan
Al-Qur’an dari awal hingga akhir itu tidak akan keluar dari tujuh perbedaan bentuk/wajah,
antara lain: bentuk isim (mufrad, mutsanna, dan jama’), fi’il (madhi, mudhari’,
dan amr), i’rab (rafa’, nasb, jar, dan jazm), naqis atau ziyadah, taqdim dan
ta’khir, tabdil, dan perbedaan dalam bentuk dialek (lahjah).
“Jadi, tidak berarti jika
seseorang membaca al-Quran dari seorang imam, dia telah membaca seluruh bentuk
dari qiraah sab’ah yang terkandung dalam al-Qur’an. Akan tetapi, dia hanya
membaca sebagian dari qiraat sab’ah itu,” jelas Ustadz Fathoni.
Masjid Raudhatul Qur’an IIQ sendiri
mengadakan pengajian rutin ilmu langka ini 2 kali seminggu, yakni setiap Senin
dan Rabu malam setelah Shalat Isya’. Masyarakat umum juga bisa mengikuti. [KHO]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar