Halaman

Selasa, 14 Februari 2012

Corak Pesantren di Indonesia


Oleh: Abdullah Amin

A. Pendahuluan

Pesantren adalah bentuk pendidikan Islam yang sudah melembaga secara permanen di pedesaan. Bentuk-bentuk pendidikan Islam di pedesaan paling tidak dapat disebutkan dalam beberapa istilah, yaitu perguruan formal, serikat tolong-menolong seperti kelompok yasinan, majelis latihan seperti pesantren kilat dan kuliah tujuh menit (Kuntowijoyo,1988:105).

           Gejala tren  pesantren dewasa ini juga muncul dilingkungan perkotaan, seperti fenomena kemunculan beberapa pesantren mahasiswa/pelajar, seperti di Malang misalnya Al-Hikam, Ulil Absor, Firdaus, Dar al-Hijrah, dan beberapa yang lain.  Kecenderungan ini menunjukkan, bahwa meskipun sistem pendidikan pesantren memiliki beberapa kelemahan, namun ternyata masih dianggap sebagai tempat paling efektif untuk memperkenalkan Islam.

B. Pengertian Seputar Pesantren
Menurut pendapat para ilmuwan, istilah pondok pesantren adalah merupakan dua istilah yang mengandung satu arti. Orang Jawa menyebutnya “pondok” atau “pesantren”. Sering pula menyebut sebagai pondok pesantren. Istilah pondok barangkali berasal dari pengertian asrama-asrama para santri yang disebut pondok atau tempat tinggal yang terbuat dari bambu atau barangkali berasal dari bahasa Arab “funduq” artinya asrama besar yang disediakan untuk persinggahan.
Jadi pesantren secara etimologi berasal dari kata santri yang mendapat awalan pe- dan akhiran -an sehingga menjadi pe-santria-an yang bermakna kata “shastri” yang artinya murid. Sedang C.C. Berg. berpendapat bahwa istilah pesantren berasal dari kata shastri yang dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau seorang sarjana ahli kitab-kitab suci agama Hindu. Kata shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku suci agama atau buku-buku tentang ilmu pengetahuan.
Dari pengertian tersebut berarti antara pondok dan pesantren jelas merupakan dua kata yang identik (memiliki kesamaan arti),  yakni asrama tempat santri atau tempat murid / santri mengaji.
Sedang secara terminologi pengertian pondok pesantren dapat penulis kemukakan dari pendapatnya pada ahli antara lain:
M. Dawam Rahardjo memberikan pengertian pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan dan penyiaran agama Islam, itulah identitas pesantren pada awal perkembangannya. Sekarang setelah terjadi banyak perubahan di masyarakat, sebagai akibat pengaruhnya, definisi di atas tidak lagi memadai, walaupun pada intinya nanti pesantren tetap berada pada fungsinya yang asli, yang selalu dipelihara di tengah-tengah perubahan yang deras. Bahkan karena menyadari arus perubahan yang kerap kali tak terkendali itulah, pihak luar justru melihat keunikannya sebagai wilayah sosial yang mengandung kekuatan resistensi terhadap dampak modernisasi.

C. Sistem Nilai dalam Pesantren

Dalam pembahasan sistem yang dikembangkan oleh pesantren adalah sebuah pranata yang muncul dari agama dan tradisi Islam. Secara khusus Nurcholis Madjid menjelaskan, bahwa akar kultural dari sistem nilai yang dikembangkan oleh pesantren ialah ahlu’l-sunnah wa-‘l-jama’ah. Dimana, jika dibahas lebih jauh akar-akar kultural ini akan membentuk beberapa segmentasi pemikiran pesantren yang mengarah pada watak-watak ideologis pemahamannya, yang paling nampak adalah konteks intelektualitasnya terbentuk melalui “ideologi” pemikiran, misalnya dalam fiqh- lebih didominasi oleh ajaran-ajaran syafi’iyah, walaupun biasanya pesantren mengabsahkan madzhab arba, begitu juga dalam pemikiran tauhid pesantren terpengaruh oleh pemikiran Abu Hasan al-Ash’ary dan juga al-Ghazali. Dari hal yang demikian pula, pola rumusan kurikulum serta kitab-kitab yang dipakai menggunakan legalitas ahlu sunnah wal jama’ah tersebut (madzhab Sunni).
            Secara lokalistik faham sentralisasi pesantren yang mengarah pada pembentukan pemikiran yang terideologisasi tersebut, memengaruhi pula pola sentralisasi sistem yang berkembang dalam pesantren. Dalam dunia pesantren legalitas tertinggi adalah dimiliki oleh Kiai, dimana Kiai disamping sebagai pemimpin “formal” dalam pesantren, juga termasuk figur yang mengarahkan orientasi kultural dan tradisi keilmuan dari tiap-tiap pesantren. Bahkan menurut Habib Chirzin, keunikan yang terjadi dalam pesantren demikian itu, menjadi bagian tradisi yang perlu dikembangkan, karena dari masing-masing memiliki efektivitas untuk melakukan mobilisasi kultural dan komponen-komponen pendidikannya.
D. Tipologi Pesantren : Macam-Macam Jenis Pesantren
Jika dikelompokkan, setidaknya ada tiga jenis pesantren, yaitu: pesantren salaf, pesantren khalaf, dan pesantren takmili (penyempurna). Berikut ini adalah sekilas perbedaan tiap-tiap jenis pesantren.
1. Pesantren Salaf (Tradisional)
Yaitu pesantren yang tetap mempertahankan sistem (materi pengajaran) yang sumbrnya kitab–kitab klasik Islam atau kitab dengan huruf Arab gundul (tanpa baris apapun). Sistem sorogan (individual) menjadi sendi utama yang diterapkan. Pengetahuan non agama tidak diajarkan. Pesantren salaf adalah pesantren dalam bentuk aslinya, yaitu pesantren yang diasuh oleh kiai yang mengajarkan kitab kuning, diberikan dengan bentuk bandongan, wekton, dan sorogan. Para santri belajar ke kiai tidak semata-mata mendapatkan ilmu, tetapi juga berkah dan ridho kiai. Untuk mendapatkan keuntungan itu, para santri sangat tawadhu' dan thoat pada kiai.
a. Tujuan Pesantren Salaf
Berbeda dengan lembaga pendidikan yang lain, yang pada umumnya menyatakan tujuan pendidikan dengan jelas, misalnya dirumuskan dalam anggaran dasar, maka pesantren salaf pada umumnya tidak merumuskan secara eksplisit dasar dan tujuan pendidikannya. Hal ini terbawa oleh sifat kesederhanaan pesantren yang sesuai dengan motivasi berdirinya, di mana kiainya mengajar dan santrinya belajar, atas dasar untuk ibadah dan tidak pernah dihubungkan dengan tujuan tertentu dalam lapangan penghidupan atau tingkat dan jabatan tertentu dalam hirarki sosial maupun ekonomi.
b. Kurikulum di Pesantren Salaf
Pada pesantren-pesantren salaf, istilah kurikulum tidak dapat diketemukan, walaupaun materinya ada di dalam praktek pengajaran, bimbingan rohani dan latihan kecakapan dalam kehidupan sehari-hari di pesantren. Materi kurikulum pesantren salaf cenderung berkiblat ke model pendidikan ribath di Hadramaut ini bisa kita maklumi karena para dai pertama di Jawa memang berasal dari sana. Yang mencolok adalah penekanannya dalam bidang fikih yang sudah jadi dan tasawuf serta ilmu alat. Barangkali inilah yang memunculkan predikat pesantren salaf.
Bahkan dalam kajian atau hasil penelitian pembahasan kurikulum secara sistematik jarang diketemukan, seperti jika kita melihat hasil penelitian Karel A. Steenbrink. Tentang pesantren, ketika membahas sistem pendidikan pesantren, lebih banyak mengemukakan sesuatu yang bersifat naratif, yaitu menjelaskan interaksi santri dan kiai serta gambaran pengajaran agama Islam, termasuk Al-Qur’an dan kitab-kitab yang dipakai sehari-hari.
c. Pola Lama Pesantren Salaf
Sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional, pesantren salaf memiliki kecenderungan untuk mempertahankan tradisi yang berorientasi pada pikiran-pikiran ulama ahli fikih, hadis, tafsir dan tasawuf yang hidup antara abad 7 sampai dengan abad 13, sehingga muncul kesan yang melekat bahwa dalam beberapa hal muslim tradisional mengalami stagnasi.
d. Pesantren Salaf dan Tantangannya
Peranan pesantren tradisional (salaf) telah terbukti dalam sejarah perjuangan kemerdekaan. Sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia, pesantren salaf telah berhasil membuktikan diri sebagai pusat pengkaderan ulama, pemimpin yang tangguh dan benteng akidah umat. Bahkan hampir semua Pesantren—baik kiai maupun santrinya--ikut aktif berperan serta dalam sejarah perjuangan merebut kemerdekaan Indonesia maupun saat mengisi kemerdekaan. Tak sedikit santri-santri pesantren tempo dulu yang menjadi tokoh nasional terkemuka dan disegani karena perannya sebagai pahlawan, ilmuwan dan pemimpin umat yang ikhlas.
Akan tetapi, di tengah problematika dunia pendidikan yang kompleks, pesantren salaf juga dihadapkan pada sejumlah tantangan. Sepanjang sejarah pendidikan Indonesia terus dikuasai dan dikendalikan kaum nasionalis dengan kendaraannya yang tangguh dan selalu berganti-ganti merek mulai dari P dan K sampai Diknas dengan segala kekuatannya mereka berusaha memarjinalkan pendidikan tradisional (baca: pesantren salaf dan madrasah) dalam sejarah pendidikan Indonesia. Puncaknya adalah lahirnya keputusan pemerintah yang tidak mengakui jjazah pesantren dan madrasah diniyah dalam sistem pendidikan pemerintahan. Kenyataan itu ternyata membuat kaum tradisionalis tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengamininya. Padahal sesungguhnya itu semua adalah kiat politik orde baru dalam mengebiri pendidikan agama Islam yang menjadi hak setiap warga negara dan membendung peran dan kesempatan agamawan dari kelompok tradisionalis dalam pemerintahan.
Secara eksternal, pesantren harus bersaing dengan model lembaga pendidikan lain yang secara finansial menjajikan masa depan. Jangankan meluaskan jangkauan basis konsumennya dengan mempromosikan segala keunggulan model dan materi pengajarannya, untuk sekadar eksis dalam mempertahankan basis konsumennya saja, pesantren salaf mengalami kesulitan. Fakta menunjukkan, di sebagian daerah, para alumni pesantren salaf tidak lagi memercayakan urusan pendidikan putra-putranya di almamaternya, pesantren salaf. Ada kesan, mereka–para alumni pesantren salaf–merasa kapok mondok. Karena, dengan mondok di pesantren salaf, mereka merasa masa depannya tidak secerah jika menempuh pendidikan di sekolah dan perguruan tinggi umum, sehingga mereka tidak ingin putra-putra mereka mengalami hal yang sama. Dan, secara umum, memang ada kecenderungan sejumlah pesantren salaf mengalami penurunan jumlah santri.
Belum lagi, secara internal, pesantren salaf dihadapkan pada tren penurunan kualitas keilmuan para alumni dan santrinya. Lepas dari apa penyebab utama yang melatarbelakanginya, yang jelas, secara kultur juga dirasakan mulai memudarnya budaya salaf, mulai dari penghormatan dan rasa ta’zhim pada guru dan kiai, kegigihan belajar yang disertai sejumlah ritual tirakat; puasa, wirid dan lainnya, hingga kepercayaan pada mitos barakah yang selama ini diidam-idamkan para santri. Meski tidak begitu “parah”, ada tanda-tanda budaya salaf ini mulai berkurang.
Dalam menyiasati sejumlah problematika ini, pesantren salaf selayaknya berbenah diri dan melakukan perubahan atau improvisasi. Namun, perubahan dan improvisasi ini semestinya tidak sampai melunturkan atau bahkan menghilangkan identitas khas pesantren salaf. Perubahan semestinya diarahkan hanya sebatas aspek teknis operasionalnya, bukan substansi pendidikan pesantren salaf itu sendiri. Sebab, jika perubahan dan improvisasi itu menyangkut substansi pendidikan, maka pesantren yang mengakar ratusan tahun lamanya, akan tercerabut dan kehilangan elan vital sebagai penopang moral yang menjadi citra utama pendidikan pesantren. Teknis operasional dimaksud bisa berwujud perencanaan pendidikan yang lebih komprehensif, pembenahan kurikulum pesantren dalam pola yang mudah dicernakan, dan tentu saja adalah skala prioritas dalam pendidikan[13].
 
2. Pesantren Khalaf (Modern)
Yaitu sistem pesantren yang menerapkan sistem madrasah yaitu pengajaran secara klasikal, dan memasukan pengetahuan umum dan bahasa non Arab dalam kurikulum. Dan pada akhir-akhir ini menambahnya dengan berbagai keterampilan. Pesantren khalaf ialah pesantren yang telah beradaptasi dengan pendidikan modern, setidak-tidaknya telah menyelenggarakan pendidikan dengan kepemimpinan dan manajemen modern, misalnya lembaga pendidikan itu berjenjang, berkelas (madrasi), menggunakan kurikulum, evaluasi dan para guru yang mengajar bukan sebatas menjadi otoritas kiai, tetapi juga para ustadz-ustadz yang dipercaya.
a. Corak Pembaharuan Pesantren
Menghadapi perubahan zaman yang begitu cepat, dunia pesantren mengalami pergeseran kearah perkembangan yang lebih positif, baik secara struktural maupun kultural, yang menyangkut pola kepemimpinan, pola hubungan pimpinan dan santri, pola komunikasi, cara pengambilan keputusan dan sebagainya, yang lebih memperhatikan prinsip-prinsip manajemen ilmiah dengan landasan nilai-nilai Islam. Dinamika perkembangan pesantren semacam inilah yang menampilkan sosok pesantren yang dinamis, kreatif, produktif dan efektif serta inovatif dalam setiap langkah yang ditawarkan dan dikembangkannya. Sehingga, pesantren merupakan lembaga yang adaptif dan antisipatif terhadap perubahan dan kemajuan zaman dan teknologi tanpa meninggalkan nilai-nilai religius.
b. Pioneer Pondok Pesantren Modern
Menurut penulis, Pondok Gontor merupakan pioneer pondok pesantren modern. Pondok Gontor yang nama aslinya adalah Daarus Salaam itu didirikan pada 10 April 1926 di Ponorogo, Jawa Timur oleh tiga bersaudara putra Kiai Santoso Anom Besari. Tiga bersaudara ini adalah KH Ahmad Sahal, KH Zainudin Fananie, dan KH Imam Imam Zarkasy dan yang kemudian dikenal dengan istilah Trimurti.
Pada masa itu pesantren ditempatkan di luar garis modernisasi, dimana para santri pesantren oleh masyarakat dianggap pintar soal agama tetapi buta akan pengetahuan umum. Trimurti kemudian menerapkan format baru dan mendirikan Pondok Gontor dengan mempertahankan sebagian tradisi pesantren salaf dan mengubah metode pengajaran pesantren yang menggunakan sistem watonan (massal) dan sorogan (individu) diganti dengan sistem klasik seperti sekolah umum. Jadi pesantren modern tidak membuang semua tradisi pesantren salaf. Lebih tepatnya, pesantren modern telah memadukan antara metode pesantren salaf dan metode pendidikan modern.           
3. Pesantren Takmili (penyempurna)
Adalah pesantren yang keberadaannya sebagai penyempurna terhadap lembaga pendidikan yang ada, misalnya Diniyah untuk melangkapi pendidikan umum mulai dari SD, SMP, SMA dan juga lembaga pendidikan ma'had 'ali yang akhir-akhir ini mulai dirintis di perguruan tinggi agama semacam UIN/IAIN dan STAIN.
Ma'had 'ali (Pesantren Tinggi) keberadaannya sebagai penyempurna terhadap perguruan tinggi yang ada. Para santrinya adalah para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi atau universitas yang biasa disebut mahasantri. Ma'had 'ali memiliki metode pendidikan yang merupakan kombinasi antara sistem pesantren dan perguruan tinggi.        
Di antara ma'had 'ali yang ada di Banten adalah Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah yang diasuh oleh Prof KH Ali Mustafa Ya'qub MA.
a. Format dan Masa Pendidikan Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah
Metode pendidikan di Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah merupakan kombinasi antara sistem pesantren dan perguruan tinggi, antara dzikir dan fikir, antara penghayatan pengamalan ilmu dan penalaran kritis intelektual. Masa pendidikan adalah delapan semester atau empat tahun, dengan waktu belajar pukul 05.00 - 06.30 WIB dan pukul 19.15-21.30 WIB. Sistem pengajian pada tiap waktu tersebut tidaklah sama. Pada pukul 19.15-21.30 WIB, metode yang digunakan adalah diskusi mahasantri yang dibagi ke dalam beberapa kelompok (usrah), guna memahami dan mendiskusikan materi yang telah ditentukan dalam silaby yang akan dikaji keesokan harinya bersama kiai atau ustadz pengajar.
Sementara pengajian pagi hari menggunakan metode sorogan, yaitu mahasantri membaca materi dan menjelaskan apa yang telah dibacanya. Dan jika dianggap perlu, kiai atau pengajar dapat memberikan pertanyaan kepada santri untuk mengetahui seberapa besar pemahaman mahasantri terhadap materi yang sedang dibahas. Kiai atau pengajar memilih mahasantri yang membaca secara acak (random).
Metode sorogan digunakan pada materi Kutub Sittah (Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan al-Tirmidzi, Sunan al-Nasa`i, dan Sunan Ibnu Majah), Ilmu Hadis, Fiqh, Ushul Fiqh, dan Akidah. Sementara mata kuliah lain disampaikan dengan metode taken for granted, di mana pengajar menjelaskan materi lalu diikuti sesi tanya jawab dan diskusi kelas.
Dalam kegiatan belajar-mengajar, dan kegiatan-kegiatan resmi lainnya digunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar.
b. Kualifikasi Mahasantri Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah
Mahasantri Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah dikategorikan menjadi dua kelompok, yaitu muntazhim dan muntasib. Mahasantri muntazhim adalah mahasantri yang berhak tinggal di asrama, sementara mahasantri muntasib adalah mereka yang tinggal di luar asrama. Penentuan kategori muntazhim atau muntasib ini dilakukan dengan mekanisme ujian seleksi masuk Pesantren. Namun demikian, baik mahasantri muntazhim maupun muntasib, keduanya memperoleh pelajaran dan hak-hak yang sama.
Pengkategorian ini dilakukan karena terbatasnya lokal asrama, sehingga tidak semua mahasantri yang telah memenuhi kualifikasi dapat tinggal di asrama. Hal ini juga dilakukan karena metode sorogan yang dilakukan pada pengajian pagi tidak memungkinkan dilakukan bersama mahasantri yang jumlahnya banyak. Pembatasan jumlah mahasantri muntazhim juga dimaksudkan agar pembinaan dan pengawasan mahasantri dapat dilakukan dengan optimal.
Selama 4 tahun mengaji di Darus-sunnah, mahasantri telah membaca seluruh Kutub Sittah (sekitar 20 jilid), mengkaji Fiqh dan Ushul Fiqh serta Fiqh Muqarin (perbandingan), mempelajari Akidah, Ilmu Hadis, Bahasa dan Sastra Arab. Dan bagi mahasantri muntazhim yang tamat dari Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah serta menyerahkan tugas akhir berupa takhrij hadis yang ditugaskan oleh khadim ma’had (pengasuh pesantren) dan akan diberikan Ijazah Licence (Lc).
c. Tipologi Mahasantri Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah
Mahasantri Darus-Sunnah berasal dari berbagai daerah di Indonesia dengan prosentasi 75 % berasal dari pulau Jawa, baik dari Jawa Barat (Jakarta, Tangerang, Bekasi, Karawang, Subang, Bogor, Tasik, Cirebon, Banten, Bandung, Sumedang, dan lain sebagainya), Jawa Tengah (Batang, Tegal, Pati, Solo, dan Kudus), dan Jawa Timur (Madura, Lirboyo, Jombang, Lamongan, Tuban, dan Kediri), dan 24 % berasal dari Sumatera Barat (Payakumbuh, Batu Sangkar, Pariaman, Sawah Lunto), Riau, Jambi dan Lampung. Sementara selebihnya (1%) adalah utusan dari luar Jawa dan Sumatera (Maluku, Lombok. Kalimantan, dan Bali). Hampir seluruhnya (100%) memiliki latar belakang pesantren, dalam artian sudah pernah mengenyam pendidikan pesantren sebelumnya. 
Darus-sunnah adalah Pesantren mahasiswa, sebagian besar di antaranya adalah mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, meskipun dengan fakultas dan jurusan yang berbeda-beda. Jurusan dan konsentrasi yang diambil bervariasi, dari Fakultas Tarbiyah, dan Dirasat Islamiyah hingga Sains-Teknologi, dan Kedokteran. Namun demikian, sebagian besar (96%) merupakan mahasiswa jurusan keagamaan. Beberapa mahasantri bahkan mengambil dua kuliah sekaligus di universitas yang berbeda. Dan kebanyakan mahasantri Darus-sunnah adalah aktivis kampus.
E. Kesimpulan 
Secara garis besar, pesantren dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu pesantren salaf (tradisional), pesantren khalaf (modern), dan pesantren takmili (penyempurna) seperti Diniyah dan Ma'had Ali.
Masing-masing corak pesantren memiliki latar belakang sejarah yang berbeda. Pesantren salaf pada masa perintisannya dimulai dengan adanya seorang kiai yang menetap di suatu desa, lalu kapasitas ilmunya dipercaya masyarakat sehingga muncullah santri-santri yang bermukim dengan tempat permukiman yang ala kadarnya. Kemudian setelah itu barulah dibangun gedung atau sarana-sarana penunjang yang permanen. Hal ini berbeda dengan kebanyakan pesantren modern zaman sekarang. Kebanyakan pesantren modern pada awal perintisannya dimulai dengan penggalangan dana oleh suatu organisasi atau yayasan untuk membangun bangunan permanen dan mengadakan berbagai sarana penunjang, baru dicari kiai yang dianggap layak, kemudian dibuka pendaftaran santri. Dari sinilah tampak pertumbuhan dan eksistensi yang berbeda antara pesantren salaf dan pesantren modern.
Pesantren salaf tumbuh alami dan bergantung pada asas kepercayaan masyarakat kepada kiainya. Pesantren modern tumbuh berkembang sesuai dengan program unggulannya yang diminati dan menjadi tuntutan masyarakat.                          
Pada gaya kepemimpinannya, pesantren salaf menjadikan legalitas tertinggi dan otoritas mengajar milik Kiai, dimana Kiai disamping sebagai pemimpin “formal” dalam pesantren, juga termasuk figur yang mengarahkan orientasi kultural dan tradisi keilmuan dari tiap-tiap pesantren. Hal ini berbeda dengan pesantren modern dan pesantren takmili yang menjadikan otoritas mengajar tidak hanya milik kiai, tapi para ustadz yang dipercaya juga memiliki otoritas mengajar.
Pesantren salaf tidak memiliki kurikulum, visi, misi, dan tujuan yang sistematis dan jelas. Proses belajar berjalan alami tanpa pembatasan waktu dan jenjang tertentu. Berbeda dengan pesantren modern yang memiliki visi, misi, tujuan, dan kurikulum yang jelas dan sistematis. Proses belajar dilakukan sesuai jenjang pendidikan tertentu.
Gaya belajar di pesantren salaf cenderung kurang dinamis. Komunikasi dalam belajar hanya terjadi satu arah, kiai berceramah atau mengajar, santri mendengarkan dan menyimak dengan sikaf menerima dan mematuhi semua yang disampaikan Kiai. Gaya belajar di pesantren modern cenderung lebih dinamis dan didukung dengan sarana yang memadai.
Dan masih banyak lagi perbedaan antara pesantren salaf dan modern. Insya Allah anda lebih tahu.                          
F. Penutup
Nurcholish Madjid, secara umum, menyoroti 3 aspek dalam sistem pendidikan pesantren, yaitu; pertama, segi metodologi pengajaran pesantren yang masih sentralistik pada satu kekuasaan tertinggi kiai. Kedua, segi tujuan dari pendidikan terlalu melulu mengurus akhirat sedangkan dunia selalu terabaikan, dan ketiga, adalah segi kurikulum, dimana materi pengajaran pesantren hanya berkutat di bidang agama dan moral.
Modernisasi yang diusung lebih bertujuan agar pesantren yang notabene sangat kuat keagamaannya sangat cocok untuk menerapkan sistem pendidikan modern, dimana manusia liberal yang lebih mengedepankan akal akan terimbangi dengan kuatnya segi keagaman yang didapat di pesantren. Nurcholish Madjid melihat potensi pesantren Indonesia bisa menjadi solusi bagi sistem pendidikan nasional dengan syarat harus membenahi sedikitnya 3 aspek di atas. Yaitu dengan memaknai kembali pemahaman pembaharuan pesantren, memiliki jiwa kepemimpinan yang legitimate dan mempunyai skill dalam proses perubahan dan visi pendidikan pesantren harus dipertegas dan dikembangkan.
Pesantren saat ini mungkin dapat dikategorikan sebagai satu-satunya lembaga Civil Society yang mampu menjaga kemandirian pada negara, menyesuaikan diri dengan melakukan perubahan lewat detradisionalisasi tanpa harus meninggalkan tradisi atau Al-muhâfadzatu ‘alal qadîmis shâlih wal-akhdzu bil jadîdil ashlah (mempertahankan tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Dan mampu menghindari dari pop culture yang mewabah akibat pengaruh globalisasi.
Secara ekonomi, pesantren juga dapat menjaga kemandirian ekonomi, dengan sedapat mungkin menghidupi sendiri tanpa tergantung pada bantuan asing (luar negeri).
G. Sumber-sumber

1. http://ariefsugianto503.blogspot.com/2011/01/pondok-pesantren-sejerah-kemunculan.html

2. Kertakusuma dalam khozin, jejak-jejak pendidikan Islam Di Indonesia (Malang ;2006) hal 107.

3. Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta:, 1994), 1

4. Muhammad Ya’cub, Pondok Pesantren dan Pembangunan Desa, (Bandung: 1984), hal. 23

5. Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, (Jakarta: 1997), 31

6. M. Dawam Rahardjo, Editor Pergulatan Dunia Pesantren (Jakarta: 1985), hal.  78

8. http://darus-sunnah.webs.com

9. http://khazanahsantri.multiply.com/journal/item/12/pesantren_salaf_di
_simpang_jalan

10.http://edukasi.kompasiana.com/2010/10/05/jika-pesantren-salaf-tidak-lagi-ada/

11. http://rektor.uin-malang.ac.id/index.php/artikel/1396-melegal-formalkan-pesantren-salaf-dan-diniyah.html

12. http://www. nu.or.id

13. http://digilib.uin-suka.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=digilib-uinsuka--narisannim-2560

Tidak ada komentar:

Posting Komentar