Halaman

Selasa, 14 Februari 2012

Manajemen, Gaya Kepemimpinan Pesantren dan teknik Pengambilan Keputusan


Manajemen, Gaya Kepemimpinan Pesantren dan teknik
Pengambilan Keputusan[1]

Oleh: Yogie Elia Ginanjar

I.  PENDAHULUAN
Pesantren telah lama menjadi lembaga yang memiliki kontribusi penting dalam ikut serta mencerdaskan bangsa. Banyaknya jumlah pesantren di Indonesia, serta besarnya jumlah santri pada tiap pesantren menjadikan lembaga ini layak diperhitungkan dalam kaitannya dengan pembangunan bangsa di bidang pendidikan dan moral.
Tantangan era globalisasi dan teknologi yang kian hari kian menjadi, momotivasi pesantren untuk senantiasa mengadakan inovasi terhadap sistem yang sudah ada. Berupa perbaikan-perbaikan yang secara terus menerus dilakukan, baik dari segi manajemen, administrasi, akademik (kurikulum) maupun fasilitas, menjadikan pesantren keluar dari kesan tradisional dan kolot yang selama ini disandangnya. Beberapa pesantren bahkan telah menjadi model dari lembaga pendidikan yang leading. Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang unik. Tidak saja karena keberadaannya yang sudah sangat lama, tetapi juga karena kultur, metode, dan jaringan yang diterapkan oleh lembaga agama tersebut. Karena keunikannya itu, C. Geertz menyebutnya sebagai subkultur masyarakat Indonesia (khususnya Jawa)[2]. Pada zaman penjajahan, pesantren menjadi basis perjuangan kaum nasionalis-pribumi. Banyak perlawanan terhadap kaum kolonial yang berbasis pada dunia pesantren.

Agar makalah yang berjudul “Manajemen dan Gaya Kepemimpinan Pesantren, dan teknik Pengambilan Keputusan” ini terfokus, maka dibagi dalam sub-sub sebagai berikut :
-          Dinamika perkembangan pesantren
-          Manajemen dan administrasi peningkatan mutu pondok pesantren
-          Format pesantren masa depan
-          Gaya kepemimpinan kyai
-          Teknik pengambilan keputusan

II. PEMBAHASAN
A. Dinamika Perkembangan Pesantren
Pesantren sebagai tempat pendidikan agama memiliki basis sosial yang jelas, karena keberadaannya menyatu dengan masyarakat. Pada umumnya, pesantren hidup dari, oleh, dan untuk masyarakat. Visi ini menuntut adanya peran dan fungsi pondok pesantren yang sejalan dengan situasi dan kondisi masyarakat, bangsa, dan negara yang terus berkembang. Sementara itu, sebagai suatu komunitas, pesantren dapat berperan menjadi penggerak bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat mengingat pesantren merupakan kekuatan sosial yang jumlahnya cukup besar. Secara umum, akumulasi tata nilai dan kehidupan spiritual Islam di pondok pesantren pada dasarnya adalah lembaga “tafaqquh fiddin” yang mengemban untuk meneruskan risalah nabi Muhammad saw sekaligus melestarikan ajaran Islam[3].
Sebagai lembaga, pesantren dimaksudkan untuk mempertahankan nilai- niali keislaman dengan titik berat pada pendidikan. Pesantren juga berusaha untuk mendidik para santri yang belajar pada pesantren tersebut yang diharapkan dapat menjadi orang-orang yang berwawasan agama isalam secara luas. Kemudian, mereka dapat mengajarkannya kepada masyarakat, setelah selesai menamatkan pelajarannya di pesantren.
Dunia pesantren sarat dengan aneka pesona, keunikan, kekhasan dan karakteristik tersendiri yang tidak dimiliki oleh institusi lainnya. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam pertama dan khas pribumi yang ada di Indonesia pada saat itu. Tapi, sejak kapan mulai munculnya pesantren, belum ada pendapat yang pasti dan kesepakatan tentang hal tersebut. Belum diketahui secara persis pada tahun berapa pesantren pertama kali muncul sebagai pusat-pusat pendidikan agama di Indonesia. Pesantren yang paling lama di Indonesia namanya Tegalsari di Ponorogo, Jawa Timur[4]. Tegalsari didirikan pada akhir abad ke-18, walaupun sebetulnya pesantren di Indonesia mulai muncul banyak pada akhir abad ke-19[5].
B. Manajemen dan Administrasi Peningkatan Mutu Pondok Pesantren
Manajemen adalah keniscayaan bagi sebuah lembaga atau organisasi sekecil apapun. Tanpa manajemen yang bagus, lembaga maupun organisasi tersebut akan sulit mencapai target ataupun tujuan yang diinginkannya. Tak lepas dari hal tersebut adalah lembaga pesantren. Sebuah institusi dan sistem pendidikan di indonesia yang embrionya mulai muncul sejak masuknya Islam ke nusantara ini pada abad 12 M dengan berbentuk pendidikan al-Qur’an dan pendidikan agama lainnya di surau atau emperan masjid.[6]  
Pesantren memiliki sejarahnya yang panjang. Karena itu wajar kiranya ia disebut sebagai lembaga pendidikan tradisional islam.[7] Beberapa definisi mencoba mengurai tentang pesantren atau pondok pesantren. Pesantren atau pondok pesantren merupakan institusi lokal yang mengajarkan praktik-praktik dan kepercayaan-kepercayaan islam.[8] Ia adalah lembaga keagamaan yang mendidik manusia agar mampu berpegang teguh pada al-Qur’an dan mengikuti sunnah Rasulullah saw sehingga menjadi pribadi yang mempunyai komitmen dan konsistensi dalam setiap waktu dan kondisi.[9] Adapun deskripsi lahiriah pesantren adalah sebuah komplek dengan lokasi yang umumnya terpisah dari kehidupan lingkungan di sekitarnya. Di dalamnya teerdapat beberapa buah bangunan, rumah kediaman pengasuh (Jawa menyebutnya kyai, Sunda ajengan, dan Madura nun atau bendara yang disingkat menjadi ra), sebuah masjid atau surau, dan asrama tempat tinggal siswa pesantren (santri).[10]
Dilihat dari sisi administratif pesantren merupakan sebuah lembaga pendidikan luar sekolah yang berkenan menyelenggarakan program pengajaan pendidikan agama Islam kepada santri sebagai peserta didik. Hal ini sejalan dengan kata pesantren itu sendiri yang berasal dari kata “santri” mendapat awalan “pe” dan akhiran “an” sehingga hal ini mengandung pengertian tempat. Bahasa sangsekerta menyebut istilah santri dengan sebutan “sastri” yang artinya “melek hurup”, adapun dalam bahasa jawa disebutkan bahwa istilah santri berasal dari kata “cantrik” yang artinya seseorang yang senantiasa taat kepada guru serta selalu mengikuti kemana sang guru tersebut pergi dan menetap[11]. Zamakshsyari menyebutkan bahwa istilah santri itu berasal dari kata “sastri” yang memiliki pengertian manusia yang mengetahui kitab-kitab agama Hindu. Digubah menjadi santri yang berarti manusia yang mengetahui kitab-kitab agama Islam.[12]

Ketika menginjak abad ke-20, yang sering disebut sebagai jaman modernisme dan nasionalisme, peranan pesantren mulai mengalami pergeseran secara signifikan. Sebagian pengamat mengatakan bahwa semakin mundurnya peran pesantren di masyarakat disebabkan adanya dan begitu besarnya faktor politik Hindia Belanda.[13] Sehingga, fungsi dan peran pesantren menjadi bergeser dari sebelumnya. Tapi, penjelasan di atas kiranya cukup untuk menyatakan bahwa pra abad ke-20 atau sebelum datangnya modernisme dan nasionalisme, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang tak tergantikan oleh lembaga pendidikan manapun. Dan, hal itu sampai sekarang masih tetap dipertahankan.
Yang menarik di sini adalah bahwa pendidikan pesantren di Indonesia pada saat itu sama sekali belum terstandarisasi secara kurikulum dan tidak terorganisir sebagai satu jaringan pesantren Indonesia yang sistemik. Ini berarti bahwa setiap pesantren mempunyai kemandirian sendiri untuk menerapkan kurikulum dan mata pelajaran yang sesuai dengan aliran agama Islam yang mereka ikuti. Sehingga, ada pesantren yang menerapkan kurikulum Depdiknas (Departemen Pendidikan Nasional) dengan menerapkan juga kurikulum agama (dikenal dengan istilah pesantren modern). Kemudian, ada pesantren yang hanya ingin memfokuskan pada kurikulum ilmu agama Islam saja (dikenal dengan istilah pesantren tradisional). Yang berarti bahwa tingkat keanekaragaman model pesantren di Indonesia tidak terbatasi.
Setelah kemerdekaan negara Indonesia, terutama sejak transisi ke Orde Baru dan ketika pertumbuhan ekonomi betul-betul naik tajam, pendidikan pesantren menjadi semakin terstruktur dan kurikulum pesantren menjadi lebih tetap. Misalnya, selain kurikulum agama, sekarang ini kebanyakan pesantren juga menawarkan mata pelajaran umum. Bahkan, banyak pesantren sekarang melaksanakan kurikulum Depdiknas dengan menggunakan sebuah rasio yang ditetapkannya, yaitu 70 persen mata pelajaran umum dan 30 persen mata pelajaran agama. Sekolah-sekolah Islam yang melaksanakan kurikulum Depdiknas ini kebanyakan di Madrasah.[14]
Seiring dengan keinginan dan niatan yang luhur dalam membina dan mengembangkan masyarakat, dengan kemandiriannya, pesantren secara terus- menerus melakukan upaya pengembangan dan penguatan diri. Walaupun terlihat berjalan secara lamban, kemandirian yang didukung keyakinan yang kuat, ternyata pesantren mampu mengembangkan kelembagaan dan eksistensi dirinya secara berkelanjutan.
Mengutip Sayid Agil Siraj, ada tiga hal yang belum dikuatkan dalam pesantren. Pertama, tamaddun yaitu memajukan pesantren. Banyak pesantren yang dikelola secara sederhana. Manajemen dan administrasinya masih bersifat kekeluargaan dan semuanya ditangani oleh kyainya. Dalam hal ini, pesantren perlu berbenah diri.
Kedua, tsaqafah, yaitu bagaimana memberikan pencerahan kepada umat Islam agar kreatif-produktif, dengan tidak melupakan orisinalitas ajaran Islam. Salah satu contoh para santri masih setia dengan tradisi kepesantrenannya. Tetapi, mereka juga harus akrab dengan komputer dan berbagai ilmu pengetahuan serta sains modern lainnya.
Ketiga, hadharah, yaitu membangun budaya. Dalam hal ini, bagaimana budaya kita dapat diwarnai oleh jiwa dan tradisi Islam. Di sini, pesantren diharap mampu mengembangkan dan mempengaruhi tradisi yang bersemangat Islam di tengah hembusan dan pengaruh dahsyat globalisasi yang berupaya menyeragamkan budaya melalui produk-produk teknologi.[15]
Sebagai sebuah lembaga yang bergerak dalam bidang pendidikan dan sosial keagamaan, pengembangan pesantren harus terus didorong. Karena pengembangan pesantren tidak terlepas dari adanya kendala yang harus dihadapinya. Apalagi belakangan ini, dunia secara dinamis telah menunjukkan perkembangan dan perubahan secara cepat, yang tentunya, baik secara langsung maupun tidak langsung dapat berpengaruh terhadap dunia pesantren.
Terdapat beberapa hal yang tengah dihadapi pesantren dalam melakukan pengembangannya, yaitu:
Pertama, image pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan yang tradisional, tidak modern, informal, dan bahkan teropinikan sebagai lembaga yang melahirkan terorisme, telah mempengaruhi pola pikir masyarakat untuk meninggalkan dunia pesantren. Hal tersebut merupakan sebuah tantangan yang harus dijawab sesegera mungkin oleh dunia pesantren dewasa ini.
Kedua, sarana dan prasarana penunjang yang terlihat masih kurang memadai. Bukan saja dari segi infrastruktur bangunan yang harus segera di benahi, melainkan terdapat pula yang masih kekurangan ruangan pondok (asrama) sebagai tempat menetapnya santri. Selama ini, kehidupan pondok pesantren yang penuh kesederhanaan dan kebersahajaannya tampak masih memerlukan tingkat penyadaran dalam melaksanakan pola hidup yang bersih dan sehat yang didorong oleh penataan dan penyediaan sarana dan prasarana yang layak dan memadai.
Ketiga, sumber daya manusia. Sekalipun sumber daya manusia dalam bidang keagamaan tidak dapat diragukan lagi, tetapi dalam rangka meningkatkan eksistensi dan peranan pondok pesantren dalam bidang kehidupan sosial masyarakat, diperlukan perhatian yang serius. Penyediaan dan peningkatan sumber daya manusia dalam bidang manajemen kelembagaan, serta bidang- bidang yang berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat, mesti menjadi pertimbangan pesantren.
Keempat, aksesibilitas dan networking. Peningkatan akses dan networking merupakan salah satu kebutuhan untuk pengembangan pesantren. Penguasaan akses dan networking dunia pesantren masih terlihat lemah, terutama sekali pesantren-pesantren yang berada di daerah pelosok dan kecil. Ketimpangan antar pesantren besar dan pesantren kecil begitu terlihat dengan jelas.
Kelima, manajemen kelembagaan. Manajemen merupakan unsur penting dalam pengelolaan pesantren. Pada saat ini masih terlihat bahwa pondok pesantren dikelola secara tradisional apalagi dalam urusan penguasaan informasi dan teknologi yang masih belum optimal. Hal tersebut dapat dilihat dalam proses pendokumentasian (data base) santri dan alumni pondok pesantren yang masih kurang terstruktur.
Keenam, pembenahan administrasi. Memang tidak mudah untuk membenahi sistem administrasi pesantren. Sebab, rata-rata masih dikelola secara tradisional. Jangankan buku induk, rapot, struktur kepengurusan pondok, madrasah, dan lain-lain, stempel saja kadang tidak ada. Begitu pula tidak mudah merubah keikhlasan mental santri dan alumni untuk peduli terhadap hal-hal yang sepele -tapi penting-  yang berkaitan dengan administrasi. Seperti soal keistiqamahan dalam menulis ejaan nama, baik di akte kelahiran, ijazah, KTP, SIM, dan sebagainya. Mungkin sudah zamannya, masyarakat yang kental pesantren sekalipun tidak ingin anaknya hanya berhasil dalam pendidikan pesantren dari sisi amaliyahnya saja, namun juga membutuhkan hitam putih legal formalnya.
Ketujuh, kemandirian ekonomi kelembagaan. Kebutuhan keuangan selalu menjadi kendala dalam melakukan aktivitas pesantren, baik yang berkaitan dengan kebutuhan pengembangan pesantren maupun dalam proses aktivitas keseharian pesantren. Tidak sedikit proses pembangunan pesantren berjalan dalam waktu lama yang hanya menunggu sumbangan atau donasi dari pihak luar, bahkan harus melakukan penggalangan dana di pinggir jalan.
kedelapan, kurikulum yang berorientasi life skills santri dan masyarakat. Pesantren masih berkonsentrasi pada peningkatan wawasan dan pengalaman keagamaan santri dan masyarakat. Apabila melihat tantangan kedepan yang semakin berat, peningkatan kapasitas santri dan masyarakat tidak hanya cukup dalam bidang keagamaan semata, tetapi harus ditunjang oleh kemampuan yang bersifat keahlian.[16]
C. Format Pesantren Masa Depan
Sekarang ini, ada fenomena menarik dalam dunia pendidikan di Indonesia yakni munculnya sekolah-sekolah terpadu (mulai tingkat dasar hingga menengah); dan penyelenggaraan sekolah bermutu yang sering disebut dengan boarding school. Nama lainnya adalah sekolah berasrama. Para murid mengikuti pendidikan reguler dari pagi hingga siang di sekolah, kemudian dilanjutkan dengan pendidikan agama atau pendidikan nilai- nilai khusus di malam hari. Selama 24 jam anak didik berada di bawah didikan dan pengawasan para guru pembimbing.
Di lingkungan sekolah ini mereka dipacu untuk menguasai ilmu dan teknologi secara intensif. Selama di lingkungan asrama mereka ditempa untuk menerapkan ajaran agama atau nilai-nilai khusus tadi, tak lupa mengekspresikan rasa seni dan ketrampilan hidup di hari libur. Hari-hari mereka adalah hari-hari berinteraksi dengan teman sebaya dan para guru. Rutinitas kegiatan dari pagi hari hingga malam sampai ketemu pagi lagi, mereka menghadapi makhluk hidup yang sama, orang yang sama, lingkungan yang sama, dinamika dan romantika yang seperti itu pula. Dalam khazanah pendidikan kita, sekolah berasrama adalah model pendidikan yang cukup tua.
Secara tradisional jejaknya dapat kita selami dalam dinamika kehidupan pesantren, pendidikan gereja, bahkan di bangsal-bangsal tentara. Pendidikan berasrama telah banyak melahirkan tokoh besar dan mengukir sejarah kehidupan umat manusia. Kehadiran boarding school adalah suatu keniscayaan zaman kini. Keberadaannya adalah suatu konsekwensi logis dari perubahan lingkungan sosial dan keadaan ekonomi serta cara pandang religiusitas masyarakat. Pertama, lingkungan sosial kita kini telah banyak berubah terutama di kota-kota besar. Sebagian besar penduduk tidak lagi tinggal dalam suasana masyarakat yang homogen, kebiasaan lama bertempat tinggal dengan keluarga besar satu klan atau marga telah lama bergeser kearah masyarakat yang heterogen, majemuk, dan plural. Hal ini berimbas pada pola perilaku masyarakat yang berbeda karena berada dalam pengaruh nilai-nilai yang berbeda pula.
Oleh karena itu sebagian besar masyarakat yang terdidik dengan baik menganggap bahwa lingkungan sosial seperti itu sudah tidak lagi kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan intelektual dan moralitas anak. Kedua, keadaan ekonomi masyarakat yang semakin membaik mendorong pemenuhan kebutuhan di atas kebutuhan dasar seperti kesehatan dan pendidikan. Bagi kalangan mengengah-atas yang baru muncul akibat tingkat pendidikan mereka yang cukup tinggi sehingga mendapatkan posisi-posisi yang baik dalam lapangan pekerjaan berimplikasi pada tingginya penghasilan mereka. Hal ini mendorong niat dan tekad untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi anak-anak melebihi pendidikan yang telah diterima orang tuanya.
Ketiga, cara pandang religiusitas. Masyarakat telah, sedang, dan akan terus berubah. Kecenderungan terbaru masyarakat perkotaan sedang bergerak kearah yang semakin religius. Indikatornya adalah semakin diminati dan semaraknya kajian dan berbagai kegiatan keagamaan. Modernitas membawa implikasi negatif dengan adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan ruhani dan jasmani. Untuk itu masyarakat tidak ingin hal yang sama akan menimpa anak-anak mereka. Intinya, ada keinginan untuk melahirkan generasi yang lebih agamis atau memiliki nilai-nilai hidup yang baik mendorong orang tua mencarikan sistem pendidikan alternatif.
Dari ketiga faktor di atas, sistem pendidikan boarding school seolah menemukan pasarnya. Dari segi sosial, sistem boarding school mengisolasi anak didik dari lingkungan sosial yang heterogen yang cenderung buruk. Di lingkungan sekolah dan asrama dikonstruksi suatu lingkungan sosial yang relatif homogen yakni teman sebaya dan para guru pembimbing. Homogen dalam tujuan yakni menuntut ilmu sebagai sarana mengejar cita-cita.
Dari segi ekonomi, boarding school memberikan layanan yang paripurna sehingga menuntut biaya yang cukup tinggi. Oleh karena itu anak didik akan benar-benar terlayani dengan baik melalui berbagai layanan dan fasilitas. Terakhir dari segi semangat religiusitas, boarding school menjanjikan pendidikan yang seimbang antara kebutuhan jasmani dan ruhani, intelektual dan spiritual. Diharapkan akan lahir peserta didik yang tangguh secara keduniaan dengan ilmu dan teknologi, serta siap secara iman dan amal soleh.
Nampaknya, konsep boarding school menjadi alternatif pilihan sebagai model pengembangan pesantren yang akan datang. Pemerintah diharapkan semakin serius dalam mendukung dan mengembangkan konsep pendidikan seperti ini. Sehingga, pesantren menjadi lembaga pendidikan yang maju dan bersaing dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang berbasis pada nilai-nilai spiritual yang handal.
D. Gaya Kepemimpinan Kyai
1. Tipologi Kyai dan Kedudukanya di Pesantren
Sebelum menguraikan kedudukan (kepemimpinan ) kyai di pesantren, terlebih dahulu penulis uraikan pengertian kyai. Kata "Kyai" berasal dari bahasa Jawa kuno "kiya-kiya" yang artinya orang yang dihormati. Sedangkan dalam pemakaiannya dipergunakan untuk: pertama, benda atau hewan yang dikeramatkan, seperti kyai Plered (tombak), Kyai Rebo dan Kyai Wage (gajah di kebun binatang Gembira loka Yogyakarta), kedua orang tua pada umumnya, ketiga, orang yang memiliki keahlian dalam Agama Islam, yang mengajar santri di Pesantren. Sedangkan secara terminologis menurut Manfred Ziemnek pengertian kyai adalah "pendiri dan pemimpin sebuah pesantren sebagi muslim "terpelajar" telah membaktikan hidupnya "demi Allah" serta menyebarluaskan dan mendalami ajaran-ajaran dan pandangan Islam melalui kegiatan pendidikan Islam. Namun pada umumnya di masyarakat kata "kyai" disejajarkan pengertiannya dengan ulama dalam khazanah Islam[17].
Karisma yang dimiliki kyai merupakan salah satu kekuatan yang dapat menciptakan pengaruh dalam masyarakat. Ada dua dimensi yang perlu diperhatikan. Pertama, karisma yang diperoleh oleh seseorang (kyai) secara given, sperti tubuh besar, suara yang keras dan mata yang tajam serta adanya ikatan genealogis denga kyai karismaik sebelumnya. Kedua, karisma yang diperoleh melalui kemampuan dalam pengausaan terhadap pengetahuan keagamaan disertai moralitas dan kepribadian yang saleh, dan kesetiaan menyantuni masyarakat.
Posisi kepemimpinan kyai di pesantren lebih menekankan pada aspek kepemilikan saham pesantren dan moralitas serta kedalaman ilmu agama, dan sering mengabaikan aspek manajerial. Keumuman kyai bukan hanya sekedar pimpinan tetapi juga sebagai sebagai pemilik persantren. Posisi kyai juga sebagai pembimbing para santri dalam segala hal, yang pada gilirannya menghasilkan peranan kyai sebagai peneliti, penyaring dan akhirnya similator aspek-aspek kebudayaan dari luar, dalam keadaan seperti itu dengan sendirinya menempatkan kyai sebagai cultural brokers (agen budaya).[18]
2. Sistem Peralihan Kepemimpinan di Pesantren
Estafeta pergantian kepemimpinan yang ada di Pesantren biasanya turun-temurun dari pendiri ke anak ke menantu ke cucu atau ke santri senior. Artinya ahli waris pertama adalah anak lai-laki, yang senior dan dianggap cocok oleh kyai dan masyarakat untuk menjadi kyai, baik dari segi kealimannya (moralitas/akhlak) maupun dari segi kedalaman ilmu agamanya. Jika hal ini tidak mungkin, misalnya karena pendiri tidak punya anak laki-laki yang cocok untuk menggantikannya, maka ahli waris kedua adalah menantu, kemudian sebagai ahli waris ketiga adalah cucu. Jika semuanya tidak mungkin, maka ada kemungkinan dilanjutkan oleh bekas santri senior.
Suksesi kepemimpinan pesantren sebagaimana digambarkan di atas, tidak hanya berlaku bagi pesantren yang berstatus sebagai yayasan, tetapi juga berlaku bagi pesantren-pesantren yang berstatus pribadi. Meskipun secara resmi sudah ada ketentuan bahwa ahli waris pendiri tidak dengan sendirinya menjadi pengganti
3. Gaya Kepemimpinan Kyai
 Dari sekian banyak gaya kepemimpinan (leadership style) yang dikemukakan oleh para pakar, namun yang paling populer dan sering dibahas dan dijadikan rujukan oleh para praktisi dan peneliti hanya empat gaya kepemimpinan, yaitu; Otokrastis, Demokratis, The Laisser faire (gaya bebas), dan Situasional[19].
Di dalam pesantren santri, ustadz dan masyarakat sekitar merupakan individu-individu yang langsung ataupun tidak langsung dipengaruhi oleh perilaku pemimpin (kyai) tersebut.
Kepemimpinan di Pesantren lebih menekankan kapada proses bimbingan, pengarahan dan kasih sayang. Menurut Mansur Gaya kepemimpinan yang ditampilkan oleh pesantren bersifat kolektif atau kepemimpinan institusional. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa gaya kepemimpinan di pesantren mempunyai ciri paternalistik, dan free rein leadership, dimana pemimpin pasif, sebagai seorang bapak yang memberikan kesempatan kepada anaknya untuk berkreasi, tetapi juga otoriter, yaitu memberikan kata-kata final untuk memutuskan apakah karya anak buah yang bersangkutan dapat diteruskan atau tidak[20].
Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa Kyai sebagai pimpinan pesantren dalam membimbing para santri atau masyarakat sekitarnya memakai pendekatan situasional. Hal ini nampak dalam interaksi antara kyai dan santrinya dalam mendidik, mengajarkan kitab, dan memberikan nasihat, juga sebagai tempat konsultasi masalah, sehingga seorang kyai kadang berfungsi pula sebagai orang tua sekaligus guru yang bisa ditemui tanpa batas waktu. Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa kepemimpinan kyai penuh tanggung jawab, penuh perhatian, penuh daya tarik dan sangat berpengaruh. Dengan demikian perilaku kyai dapat diamati, dicontoh, dan dimaknai oleh para pengikutnya (secara langsung) dalam interaksi keseharian.
E. Teknik Pengambilan Keputusan
Secara tipikal pembuatan kebijaksanaan merupakan tindakan yang berpola, yang dilakukan sepanjang waktu dan melibatkan banyak keputusan yang diantaranya ada yang merupakan keputusan rutin, ada yang tidak rutin. Dalam praktek membuat kebijaksanaan sehari-hari amat jarang kita jumpai suatu kebijaksanaan yang hanya terdiri dari keputusan tunggal.
a. Pandangan umum tentang pengambilan keputusan
Fred Luthans dalam bukunya Perilaku Organisasi menyebutkan bahwa pengambilan keputusan didefinisikan secara universal sebagai pemilihan alternatif[21]. Pendapat yang senada diungkapkan oleh Chester Barnard dalam The Function of the Executive bahwa analisis komprehensif mengenai pengambilan keputusan disebutkan sebagai suatu “proses keputusan yang merupakan teknik untuk mempersempit pilihan”. Sementara dalam bahan ajar DR. Mohammad Abdul Mukhyi, SE., MM bahwa membuat keputusan adalah “The process of choosing”.[22] Sehingga dapat disimpulkan bahwa pengambilan keputusan erat kaitannya dengan pemilihan suatu alternatif untuk menyelesaikan atau memecahkan masalah serta memperoleh kesempatan.
Herbert Simon, ahli teori keputusan dan organisasi mengonseptualisasikan tiga tahap utama dalam proses pengambilan keputusan yaitu :
a.       Aktivitas intelegensi yakni penelusuran kondisi lingkungan yang memerlukan pengambilan keputusan
b.      Aktivitas desain yakni terjadi tindakan penemuan, pengembangan dan analisis masalah
c.       Aktivitas memilih yakni memilih tindakan tertentu dari yang tersedia

b. Fungsi dan tujuan pengambilan keputusan
Pengambilan keputusan sebagai suatu kelanjutan dari cara pemecahan masalah mempunyai fungsi antara lain sebagai berikut:
1.      permulaan dari semua aktivitas manusia yang sadar dan terarah baik secara individual maupun secara kelompok, baik secara institusional maupun secara organisasional
2.      Sesuatu yang bersifat futuristik, artinya menyangkut dengan hari depan/masa yang akan datang, dimana efeknya atau pengaruhnya berlangsung cukup lama[23].
 Tujuan pengambilan keputusan dapat dibedakan atas dua yaitu :
1.      Tujuan bersifat tunggal yaitu tujuan pengambilan keputusan yang bersifat tunggal terjadi apabila yang dihasilkan hanya menyangkut satu masalah artinya sekali diputuskan dan tidak akan ada kaitannya dengan masalah lain
2.      Tujuan bersifat ganda yaitu tujuan pengambilan keputusan yang bersifat ganda terjadi apabila keputusan yang dihasilkan itu menyangkut lebih dari satu masalah, artinya bahwa satu keputusan yang diambil itu sekaligus memecahkan dua masalah atau lebih yang bersifat kontradiktif atau bersifat tidak kontradiktif[24]
c. Langkah dalam pengambilan keputusan
Mintzberg[25] mengungkapkan bahwa langkah-langkah dalam pengambilan keputusan terdiri dari :
1. Tahap identifikasi
Tahap ini adalah tahap pengenalan masalah atau kesempatan muncul dan diagnosis dibuat. Sebab tingkat diagnosis tergantung dari kompleksitas masalah yang dihadapi
2. Tahap pengembangan
Tahap ini merupakan aktivitas pencarian prosedur atau solusi standar yang ada atau mendesain solusi yang baru. Proses desain ini merupakan proses pencarian dan percobaan di mana pembuat keputusan hanya mempunyai ide solusi ideal yang tidak jelas
3. Tahap seleksi
Tahap ini pilihan solusi dibuat, dengan tiga cara pembentukan seleksi yakni dengan penilaian pembuat keputusan : berdasarkan pengalaman atau intuisi, bukan analisis logis, dengan analisis alternatif yang logis dan sistematis, dan dengan tawar-menawar saat seleksi melibatkan kelompok pembuat keputusan dan semua manuver politik yang ada. Kemudian keputusan diterima secara formal dan otorisasi dilakukan[26].
D. Dasar-dasar pendekatan pengambilan keputusan
Pengambilan keputusan harus dilandasi oleh prosedur dan teknik serta didukung oleh informasi yang tepat (accurate), benar(reliable) dan tepat waktu (timeliness). Ada beberapa landasan yang digunakan dalam pengambilan keputusan yang sangat bergantung dari permasalahan itu sendiri. Menurut George R.Terry dan Brinckloe disebutkan dasar-dasar pendekatan dari pengambilan keputusan yang dapat digunakan yaitu :
a.    Intuisi
Pengambilan keputusan yang didasarkan atas intuisi atau perasaam memiliki sifat subjektif sehingga mudah terkena pengaruh. Pengambilan keputusan berdasarkan intuisn ini mengandung beberapa keuntungan dan kelemahan.
Keuntungan :
-  waktu yang digunakan untuk mengambil keputusan relatif lebih pendek
- untuk masalah yang pengaruhnya terbatas, pengambilan keputusan ini akan memberikan kepuasan pada umumnya
- kemampuan mengambil keputusan dari pengambil keputusan itu sangat berperan, dan itu perlu dimanfaatkan dengan baik.
Kelemahan :
- Keputusan yang dihasilkan relatif kurang baik
- Sulit mencari alat pembandingnya, sehingga sulit diukur kebenaran dan keabsahannya - Dasar-dasar lain dalam pengambilan keputusan seringkali diabaikan.

b. Pengalaman
Pengambilan keputusan berdasarkan pengalaman memiliki manfaat bagi pengetahuan praktis, karena pengalaman seseorang dapat memperkirakan keadaan sesuatu, dapat diperhitungkan untung ruginya terhadap keputusan yang akan dihasilkan. Orang yang memiliki banyak pengalaman tentu akan lebih matang dalam membuat keputusan akan tetapi, peristiwa yang lampau tidak sama dengan peristiwa yang terjadi kini.

c.Fakta
Pengambilan keputusan berdasarkan fakt dapat memberikan keputusan yang sehat, solid dan baik. Dengan fakta, maka tingkat kepercayaan terhadap pengambilan keputusan dapat lebih tinggi, sehingga orang dapat menerima keputusan-keputusan yang dibuat itu dengan rela dan lapang dada.

d.Wewenang
Pengambilan keputusan berdasarkan wewenang biasanya dilakukan oleh pimpinan terhadap bawahannyaatau orang yang lebih tinggi kedudukannya kepada orang yang lebih rendah kedudukannya. Pengambilan keputusan berdasarkan wewenang ini juga memiliki kelebihan dan kekurangan.
Kelebihan :
- Kebanyakan penerimaannya adalah bawahan, terlepas apakah penerimaan tersebut secara sukarela ataukah secara terpaksa
- Keputusannya dapat bertahan dalam jangka waktu yang cukup lama
- Memiliki daya autentisitas yang tinggi
Kelemahan :
- dapat menimbulkan sifat rutinitas
- mengasosiasikan dengan praktik diktatorial
- sering melewati permasalahan yang seharusnya dipecahkan sehingga dapat menimbulkan kekaburan

e.Logika
Pengambilan keputusan yang berdasar logika ialah suatu studi yang rasional terhadap semuan unsur pada setiap sisi dalam proses pengambilan keputusan. Pada pengambilan keputusan yang berdasarkan rasional, keputusan yang dihasilkan bersifat objektif, logis, lebih transparan, konsisten untuk memaksimumkan hasil atau nilai dalam batas kendala tertentu, sehingga dapat dikatakan mendekati kebenaran atau sesuai dengan apa yang diinginkan. Pada pengambilan keputusan secara logika terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu :
- kejelasan masalah
- orientasi tujuan : kesatuan pengertian tujuan yang ingin dicapai
- pengetahuan alternatif : seluruh alternatif diketahui jenisnya dan konsekuensinya
- preferensi yang jelas : alternatif bisa diurutkan sesuai kriteria
- hasil maksimal : pemilihan alternatif terbaik didasarkan atas hasil ekonomis yang maksimal

E. Faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan
Faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan yaitu :
a.       Internal Organisasi seperti ketersediaan dana, SDM, kelengkapan peralatan, teknologi dan sebagainya
b.      Eksternal Organisasi seperti keadaan sosial politik, ekonomi, hukum dan sebagainya
c.       Ketersediaan informasi yang diperlukan
d.      Kepribadian dan kecapakan pengambil keputusan
F. Model Perilaku Pengambilan Keputusan
Berikut empat rangkaian model pengambilan keputusan :
1. Model rasionalitas ekonomi
Model ini berasal dari ekonomi klasik dimana pembuat keputusan sepenuhnya rasional dalam segala hal. Berkaitan dengan aktivitas pengambilan keputusan, terdapat asumsi :
- keputusan akan sepenuhnya rasional dalam hal rencana dan tujuan
- terdapat sistem pilihan yang lengkap dan konsisten yang memungkinkan pemilihan alternatif
- kesadaran penuh terhadap semua kemungkinan alternatif
- tidak ada batasan pada kompleksitas komputasi yang dapat ditampilkan untuk menentukan alternatif terbaik
- probabilitas kalkulasi tidak menakutkan ataupun misterius
Pada model rasionalitas ekonomi terdapat teknik rasional moderen yaitu pendekatan scientific management seperti ABC, EVA dan MVA. Pada teknik ABC (activity-based cosying) menentukan biaya yang berhubungan dengan aktivitas seperti memproses pesanan penjualan, mempercepat pesanan pemasok, dan atau pelanggan, memecahkan masalah kualitas pemasok dan atau masalah pengantaran, dan memperlengkapi mesin. Untuk teknik EVA (economic value added) biaya semua kapital ditentukan misalnya biaya kapital ekuitas (uang yang disediakan pemegang saham), EVA berguna juga sebagai ukuran untuk mengambil keputusan mengenai masalah akuisisi dan pajak sampai masalah kompensasi. Sementara MVA (market value added) dapat menunjukkan keuntungan yang diperoleh perusahaan atau seberapa besar kapital yang terbuang kaitannya dengan nilai pasar saham.
2. Model rasionalitas terbatas dari Simon (Satisficing)
Model ini menyatakan bahwa perilaku pengambilan keputusan dapat dideskripsikan sebagai rasional dan maksimal tetapi terbatas dimana pembuat keputusan berakhir dengan kepuasan minimal karena tidak memiliki kemampuan untuk memaksimalkan. Hal tersebut dikarenakan informasi yang kurang sempurna, terdapat batasan waktu dan biaya, tawaran alternatif kurang disukai dan efek kekuatan lingkungan tidak dapat diabaikan.
3. Model penilaian heuristik dan bias
Model ini diprakarsai oleh ahli teori kognitif yaitu Kahneman dan Tversky yang menyatakan bahwa pembuat keputusan mengandalkan heuristik yakni penyederhanaa strategi atau metode berdasarkan pengalaman. Meskipun heuristik kognitif menyederhanakan dan membantu pembuat keputusan, dalam situasi tertentu penggunaannya dapat menyebabkan eror dan hasil bias secara sistematis. Ada tiga bias utama yang teridentifikasi membantu menjelaskan bagaimana penilaian tersebut menyimpang dari proses rasional.
Heuristik bias tersebut ada tiga yaitu :
a.       Heuristik availabilitas
b.      Heuristik representatif
c.       Heuristik kerangka referensi dan keputusan
4. Model sosial
Sigmund freud memandang manusia sebagai sekumpulan perasaan, emosi dan naluri dengan perilaku yang dipandu oleh keinginan yang tidak disadari. Model ini adalah sisi yang berlawanan dari rasionalitas ekonomi yakni melihat dari sudut pandang psikologi. Hal ini didukung pandangan bahwa pengaruh psikologi mempunyai dampak yang signifikan pada perilaku pengambilan keputusan.
G. Gaya pengambilan keputusan
Selain model rasionalitas, terdapat pendekatan lain untuk perilaku pengambilan keputusan berfokus pada gaya yang digunakan manajer dalam memilih alternatif. Ada empat gaya pengambilan keputusan yaitu :
a.       Gaya Direktif
Pembuat keputusan gaya direktif mempunyai toleransi rendah terhadap ambiguitas dan berorientasi pada tugas dan masalah teknis. Pembuat keputusan ini cenderung lebih efisien, logis, pragmatis, dan sistematis dalam memecahkan masalah. Pembuat keputusan direktif juga berfokus pada fakta dan menyelesaikan segala sesuatu dengan cepat.
b.      Gaya Analitik
Pembuat keputusan gaya analitik mempunyai toleransi yang tinggi untuk ambiguitas dan tugas yang kuat serta orientasi teknis. Jenis ini suka menganalisis situasi; pada kenyataannya, mereka cenderung  terlalu menganalisis sesuatu. Mereka mengevaluasi lebih banyak informasi dan alternatif daripada pembuat keputusan direktif.
c.       Gaya Konseptual
Pembuat gaya konseptual mempunyai toleransi yang tinggi untuk ambiguitas, orang yang kuat dan peduli pada lingkungan sosial. Mereka berpandangan luas dalam memecahkan masalah dan suka mempertimbangkan banyak pilihan dan kemungkinan masa mendatang. Pembuat keputusan ini membahas sesuatu dengan orang sebanyak mungkin untuk mendapat sejumlah informasi dan kemudian mengandalkan intuisi dalam mengambil keputusan.
d.      Gaya Perilaku
Pembuat keputusan gaya perilaku ditandai dengan toleransi ambiguitas yang rendah, orang yang kuat dan peduli lingkungan sosial. Gaya ini cenderung bekerja dengan baik dengan orang lain dan menyukai situasi keterbukaan dalam pertukaran pendapat yakni cenderung menerima saran, sportif dan bersahabat serta menyukai informasi verbal daripada tulisan.
H. Teknik pengambilan keputusan partisipatif
Teknik partisipatif ada dua yaitu teknik partisipatif individu dan kelompok. Untuk individu dimana karyawan mempengaruhi pengambilan keputusan manajer. Sementara untuk kelompok menggunakan teknik konsultasi dan demokrasi. Dalam partisipasi konsultasi, manajer meminta dan menerima keterlibatan karyawan, tetapi manajer mempertahankan hak untuk membuat keputusan. Dalam bentuk demokrasi terjadi partisipasi total an kelompok bukan per individu yaitu dengan suara terbanyak.

III. KESIMPULAN
Pesantren sebagai tempat pendidikan agama memiliki basis sosial yang jelas, karena keberadaannya menyatu dengan masyarakat. Pada umumnya, pesantren hidup dari, oleh, dan untuk masyarakat. Visi ini menuntut adanya peran dan fungsi pondok pesantren yang sejalan dengan situasi dan kondisi masyarakat, bangsa, dan negara yang terus berkembang. Sementara itu, sebagai suatu komunitas, pesantren dapat berperan menjadi penggerak bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat mengingat pesantren merupakan kekuatan sosial yang jumlahnya cukup besar. Kiprah pesantren dalam berbagai hal sangat amat dirasakan oleh masyarakat. Salah satnya adalah pembentukan kader-kader ulama dan pengembangan keilmuan Islam.
Ada tiga hal yang dikuatkan dalam pesantren. Pertama, tamaddun yaitu memajukan pesantren. Kedua, tsaqafah, yaitu bagaimana memberikan pencerahan kepada umat Islam agar kreatif-produktif, dengan tidak melupakan orisinalitas ajaran Islam. Misalnya akrab dengan komputer dan berbagai ilmu pengetahuan serta sains modern lainnya. Ketiga, hadharah, yaitu membangun budaya., bagaimana budaya kita dapat diwarnai oleh jiwa dan tradisi Islam, pesantren diharap mampu mengembangkan dan mempengaruhi tradisi yang bersemangat Islam di tengah hembusan dan pengaruh dahsyat globalisasi yang berupaya menyeragamkan budaya melalui produk-produk teknologi.
Ada beberapa hal dalam melakukan pengembangan pesantren, yaitu: Pertama, image pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan yang tradisional, tidak modern, informal, dan bahkan teropinikan sebagai lembaga yang melahirkan terorisme, telah mempengaruhi pola pikir masyarakat untuk meninggalkan dunia pesantren.Kedua, sarana dan prasarana penunjang yang terlihat masih kurang memadai. Bukan saja dari segi infrastruktur bangunan yang harus segera di benahi, melainkan terdapat pula yang masih kekurangan ruangan pondok (asrama) sebagai tempat menetapnya santri.Ketiga, sumber daya manusia.
Keempat, aksesibilitas dan networking. Kelima, manajemen kelembagaan yang merupakan unsur penting dalam pengelolaan pesantren.Keenam, pembenahan administrasi. Ketujuh, kemandirian ekonomi kelembagaan. Kedelapan, kurikulum yang berorientasi life skills santri dan masyarakat.


BIBLIOGRAPY
1.      Ghozali, M. Bahri, Pesantren Berwawasan Lingkungan, (Jakarta : Prasasti, 2003)
2.      Stenbrink, Karel A., Pesantren, Madrasah, Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta : LP3S, 1986)
3.      Fatoni, Sulthan, Peradaban Islam; Desain Awal Peradaban, Konsolidasi Teologi, Konstruk Pemikiran dan Pencarian Madrasah (Jakarta: eLSAS, 2006)
4.      Lukens-Bull, Ronald Alan, A Peacefull Jihad, diterjemahkan oleh Abdurrahman Mas’ud dkk dengan tajuk, Jihad Ala Pesantren di Mata Antropolog Amerika (Jogjakarta: Gama Media, 2004)
5.      Wahid, Abdurrahman, Islam Kosmopolitan; Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan (Jakarta: The Wahid Institute Seeding Plural and Peaceful Islam, 2007)
6.      Suminto, Aqib, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta ; LP3ES, 1985)
7.      Masyhud, Sulthon dkk., Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta : Diva Pustaka, 2003)
8.      Mas’ud, Abdurrahman, Sejarah dan Budaya Pesantren (Jakarta : Erlangga, 2002)
9.      Rahardjo, Dawam, Pesantren dan Pembaharuan,( Jakarta: LP3ES 1985)
10.  Geertz, Clifford, The Javanese Kijaji: The Changing Role of a Cultural Brokers “Comparative studies on Society” vol.2 (Cambridge, 1960)
11.  Madjid , Nurcholis, Bilik-Bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan, Cet. 1 (Jakarta: Paramadina, 1977) hal. 19
12.  Dhofie, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, cet. 2 (Jakarta: Mizan) hal. 18
13.  http://id.wikipedia.org/wiki/Penelitian/teknik diunduh tanggal 8 Maret 2011
14.  Eksan,Moch.,2000 http://www.blogger.com/rsd.g?blogID=4587073124030814607">   diunduh pada tanggal 13 Maret 2011




[1] Makalah disusun dan disampaikan oleh Yogi E Ginanjar pada mata kuliah Manajemen Pengembangan Pondok Pesantren yang diempu oleh Prof. Dr. H. Jaih Mubarak, MA tanggal 16 Maret 2011
[2] Clifford Geertz, The Javanese Kijaji: The Changing Role of a Cultural Brokers “Comparative studies on Society” vol.2 (Cambridge, 1960) hal 24. Diunduh tgl 9 Maret 2011
[3] M. Bahri Ghozali, Pesantren Berwawasan Lingkungan, (Jakarta : Prasasti, 2003), hal. 1
[4]  Penulis secara langsung pernah beberapa kali berkunjung ke pesantren ini (1998-2004)
[5] Karel A. Stenbrink, Pesantren, Madrasah, Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta : LP3S, 1986), hal. 42
[6] Sulthan Fatoni, Peradaban Islam; Desain Awal Peradaban, Konsolidasi Teologi, Konstruk Pemikiran dan Pencarian Madrasah (Jakarta: eLSAS, 2006), hal. 164
[7] Pesantren juga disebutkan sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional. Hal ini karena kebanyakan yang memiliki pesantren adalah para kyai dari afiliasi Nahdhatul Ulama. Pendapat ini dicantumkan oleh Sulthan Fatoni dalam bukunya Peradaban Islam. Lihat: Ibid, hal. 165
[8] Ronald Alan Lukens-Bull, A Peacefull Jihad, diterjemahkan oleh Abdurrahman Mas’ud dkk dengan tajuk, Jihad Ala Pesantren di Mata Antropolog Amerika (Jogjakarta: Gama Media, 2004), 56
[9] Lihat : Sulthan Fatoni, Peradaban Islam..., 134
[10] Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan; Nilai-Nilai Indonesia dan Transformasi Kebudayaan (Jakarta: The Wahid Institute Seeding Plural and Peaceful Islam, 2007), 90
[11] Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan, Cet. 1 (Jakarta: Paramadina, 1977) hal. 19
[12] Zamakhsyari Dhofie, Tradisi Pesantren, cet. 2 (Jakarta: Mizan) hal. 18
[13] Aqib Suminto, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta ; LP3ES, 1985), hal 76

[14] Sulthon Masyhud dkk., Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta : Diva Pustaka, 2003), hal 73
[15] Abdurrahman Mas’ud, Sejarah dan Budaya Pesantren (Jakarta : Erlangga, 2002) hal 18

[16] Ibid, hal 23
[17]  Moch. Eksan, 2000 http://www.blogger.com/rsd.g?blogID=4587073124030814607" >  diunduh pada tanggal 13 Maret 2011
[18] Dawam Rardjo, Pesantren dan Pembaharuan,(Jakarta: LP3ES 1985), hal 46-47
[19] Fred Fiedler, Model kepemimpinan. (Miftah Thoha, 2003).
[20] Opcit
[21] Luthans F, Perilaku Organisasi Edisi 10, Penerbit Andi, Yogyakarta 2006, hal 15
[23] Asta Qauliyah, Teori-Teori Pengambilan keputusan, http://astaqauliyah.com/wp-content/plugins/wp-greet-box/css/style  Diunduh tgl 8 Maret 2011
[24]  Luthans F, hal 45 http://id.wikipedia.org/wiki/Penelitian/teknik diunduh tanggal 8 Maret 2011
[25] Asta Qauliyah, Teori-Teori Pengambilan keputusan, http://astaqauliyah.com/wp-content/plugins/wp-greet-box/css/style  Diunduh tgl 8 Maret 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar