MANAGEMEN PENGEMBANGAN SDI (SUMBER DAYA INSANI) SANTRI[1]
Oleh: Laila Sabrina
PENDAHULUAN
Memasuki
era globalisasi perkembangan teknologi menjadi begitu pesat di berbagai bidang dan
secara dramatis telah mengubah konsep tentang jarak, waktu, budaya, gaya hidup
dan perilaku. Karena interaksi antar bangsa makin meningkat dengan
berkembangnya teknologi informasi, komunikasi dan transportasi maka akses
terhadap nilai-nilai baru, terutama nilai-nilai budaya dari luar masyarakat
kita makin besar.
Memasuki
era baru ini, dalam kehidupan bangsa kita pun telah terjadi transformasi di semua
segi terutama sosial dan budaya yang sangat cepat dan mendasar pada semua aspek
kehidupan manusia. Modernisasi dan globalisasi menjadi proses yang tidak bisa
ditunda yang menghasilkan benturan besar yang dapat merusak nilai-nilai bangsa
yang sangat mahal kita pertahankan selama ini seperti persatuan dan kesatuan.
Disinilah peranan agama yang menjadi landasan dan penyaring segala segi
kehidupan berbangsa dan bernegara sangat penting peranannya, terutama membendung
nilai yang sama sekali bertentangan dengan budaya dan kepribadian bangsa Indonesia
yang telah terbentuk dan teruji dalam suatu proses yang panjang.
Berbagai
perubahan tersebut menuntut sikap mental yang kuat, disamping efisiensi, produktivitas,
dan peran serta masyarakat. Hal ini berarti meningkat pula tuntutan terhadap pengembangan
SDM yang makin berkualitas dan tangguh, yang mampu mengantisipasi perubahan-perubahan
yang terjadi dan mengatasi ekses-eksesnya.[2]
Pesantren
adalah lembaga pendidikan keagamaan yang secara konvensional melakukan proses
transfer ilmu agama Islam, mencetak kader-kader ulama’, dan mempertahankan tradisipun
juga turut menghadapi tantangan baru modernisasi tersebut. Bahkan pembaharuan di
atas turut mempengaruhi pesantren dari berbagai aspeknya.[3] Sehingga
diharapkan santri-santri didikan pesantren dapat menjadi pribadi yang
berpengaruh sebagaimana yang sering dituturkan oleh beberapa tokoh pendidikan
bahwa pendidikan di pesantren sangat banyak menginspirasi pendidikan formal
untuk mencetak Sumber Daya Insan (SDI) yang mandiri, bermoral dan siap terjun
di dunia modern. Sebagaimana yang diungkapkan oleh KH
Hasyim Muzadi, ketua umum PBNU, karena dunia pesantren tidak
semata mengajarkan ilmu, tetapi juga menanamkan semangat hidup. Dalam pandangan
Hasyim, di era modern ini, seorang santri memang harus memiliki tekad, skill, dan
kemampuan hidup mandiri.[4]
Sehingga dalam makalah ini akan dibahas berbagai aspek yang harus dimiliki
santri guna melawan arus yang tak sepaham dengan tradisi islam dan bangsa dan
bagaimana pesantren dapat melahirkan santri-santri handal tersebut.
II.
PEMBAHASAN
A.
Latar Belakang Pesantren.
Secara terminologis dapat dijelaskan bahwa
pendidikan pesantren, dilihat dari segi bentuk dan sistemnya, berasal dari
India. Sebelum proses penyebaran Islam di Indonesia, system tersebut telah
dipergunakan secara umum untuk pendidikan dan pengajaran agama hindu di Jawa.
Setelah Islam masuk dan tersebar di Jawa, sistem tersebut kemudian diambil oleh
Islam. Istilah pesantren sendiri seperti halnya mengaji bukanlah berasal dari
istilah Arab, melainkan dari India. Demikian juga istilah pondok, langgar di
Jawa, surau di Minangkabau dan rangkang di Aceh bukanlah merupakan istilah
Arab, tetapi dari istilah yang terdapat di India.[5]
Soegarda Poerbakawatja menyebut persamaan itu
dalam penyerahan tanah oleh Negara bagi kepentingan agama yang terdapat dalam
tradisi Hindu. Selanjutnya dia melihat beberapa unsur yang dapat ditemukan baik
dalam system pendidikan Hindu maupun pesantren di Indonesia yang tidak dijumpai
dalam system pendidikan Islam yang asli di Makkah. Unsur tersebut antara lain;
seluruh sistem pendidikannya bersifat keagamaan, guru tidak berorientasi pada
gaji dan adanya penghormatan yang besar terhadap guru.[6]
Peneliti seperti Soegarda Poerbakawatja dan
Amir Hamzah Wirjosukarto menggaris bawahi bahwa asal usul sistem pesantren,
berasal dari masa pra Islam. Lepas dari persoalan di atas, hubungan yang lebih
erat antara Islam Indonesia dengan pusat-pusat Islam, terutama Makkah, terjadi
semenjak dioperasikannya kapal uap dan pembukaan terusan Suez. Semua itu
membuktikan bahwa praktek pendidikan Islam pada abad ke-19, pada garis besarnya
merupakan usaha penyesuaian diri dengan pendidikan Islam yang diberikan di
Makkah.[7]
Pesantren mengemban peran utamanya sebagai
lembaga pendidikan Islam yang memainkan multi peranan, peran sebagai lembaga
bimbingan keagamaan, keilmuan, kepelatihan, pengembangan masyarakat, dan
sekaligus menjadi simpul budaya. Peran-peran itu tidak langsung terbentuk,
melainkan melewati tahap demi tahap. Setelah sukses sebagai lembaga pendidikan
pesantren bisa pula menjadi lembaga keilmuan, kepelatihan, dan pemberdayaan
masyarakat. Keberhasilannya membangun integrasi dengan masyarakat barulah
memberinya mandat sebagai lembaga bimbingan keagamaan dan simpul budaya.[8]
B.
Santri
B.1.
Definisi Santri
Santri adalah sebutan bagi murid yang mengikuti pendidikan di pondok
pesantren. Pondok Pesantren adalah sekolah pendidikan
umum yang persentasi ajarannya lebih banyak ilmu-ilmu pendidikan agama Islam. Kebanyakan muridnya tinggal di asrama yang disediakan di sekolah itu. Pondok Pesantren banyak berkembang di
pulau Jawa.
Panggilan Santri Pondok “X” artinya ia sedang
atau pernah belajar di pondok Pesantren X. sedangkan panggilan Santri Kyai “KH
X” artinya ia sedang atau pernah diajar oleh Kyai KH X. Umumnya, sebutan santri
Kyai juga berarti ia pernah menjadi anak asuh, anak didik, kadang-kadang
mengabdi (biasanya di rumah kediaman) kyai yang bersangkutan.[9]
B.2.
Santri Sebagai Agent of Change.
Santri merupakan suatu komponen masukan dalam
system pendidikan, yang selanjutnya diproses dalam proses pendidikan pesantren,
sehingga menjadi manusia yang berkualitas. Sebagai suatu komponen pendidikan,
santri dapat ditinjau dari berbagai pendekatan, antara lain: pendekatan sosial,
pendekatan psikologis, dan pendekatan edukatif / paedagogis.
1. Pendekatan sosial.
Santri
adalah anggota masyarakat yang sedang disiapkan untuk menjadi anggota
masyarakat yang lebih baik. Sebagai anggota masyarakat, dia berada dalam
lingkungan keluarga pesantren, masyarakat sekitarnya dan masyarakat yang lebih
luas. Santri perlu disiapkan agar pada waktunya mampu melaksanakan perannya
dalam dunia kerja dan dapat menyesuaikan diri dari masyarakat. Dalam konteks
inilah, santri melakukan interaksi dengan rekan sesamanya, guru-guru, dan
masyarakat sekitar pesantren. dalam situasi inilah nilai-nilai sosial yang
terbaik dapat ditanamkan secara bertahap melalui proses pembelajaran dan
pengalaman langsung.
2. Pendekatan Psikologis.
Santri
adalah suatu organisme yang sedang tumbuh dan berkembang. Santri memiliki
berbagai potensi manusiawi, seperti: bakat, minat, kebutuhan,
sosial-emosional-personal, dan kemampuan jasmaniyah. Potensi-potensi itu perlu
dikembangkan melalui proses pendidikan dan pembelajaran di sekolah pesantren,
sehingga terjadi perkembangan secara menyeluruh menjadi manusia seutuhnya.
Perkembangan menggambarkan perubahan kualitas dan abilitas dalam diri
seseorang, yakni adanya perubahan dalam struktur, kapasitas, fungsi, dan
efisiensi. Perkembangan itu bersifat keseluruhan, misalnya perkembangan
intelegensi, sosial, emosional, spiritual, yang saling berhubungan satu dengan
yang lainnya.
3. Pendekatan edukatif / paedagogis.
Pendekatan
pendidikan menempatkan santri sebagai unsur penting, yang memiliki hak dan
kewajiban dalam rangka system pendidikan menyeluruh dan terpadu. Dalam
Undang-undang Pendidikan Nasional, setiap peserta didik pada suatu satuan
pendidikan mempunyai hak-hak berikut:
- mendapatkan
perlakuan sesuai dengan bakat, minat, dan kemampuannya.
- Mengikuti
program pendidikan yang bersangkutan atas dasar pendidikan berkelanjutan,
baik untuk mengembangkan kemampuan diri maupun untuk memperoleh pengakuan
tingkat pendidikan tertentu yang telah dibakukan.
- Mendapat
bantuan fasilitas belajar, beasiswa, atau bantuan lain sesuai dengan
persyaratan yang berlaku.
- Pindah ke
satuan pendidikan yang sejajar atau yang tingkatnya lebih tinggi sesuai
dengan persyaratan penerimaan peserta didik pada satuan pendidikan yang
hendak dimasuki.
- Memperoleh
penilaian hasil belajarnya.
- Mendapat
pelayanan khusus bagi yang menyandang cacat.
Berdasarkan
kutipan tersebut, tampak jelas bagaimana tingkat pengakuan terhadap santri
sebagai peserta didik, yang tentunya harus dilaksanakan pula dalam praktik
pendidikan di sekolah-sekolah pesantren.[10]
C.
Bentuk Pengembangan Santri.
Kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi memberikan dampak tertentu terhadap system pengajaran, sehingga
pengajaran beralih pendekatannya dari cara lama ke cara baru. Beberapa bentuk
perubahan dalam pendekatan tersebut di jelaskan dalam uraian berikut ini:
1. Pengajaran Baru.
Perkembangan
dalam filsafat pendidikan, psikologi pendidikan, dan kemajuan dalam berbagai
bidang keilmuan pada gilirannya mengembangkan kesadaran di kalangan para
pendidik dan tenaga kependidikan mengenai perlunya dilaksanakan prinsip-prinsip
belajar mengajar baru, antara lain sebagai berikut:
1.
Pendidikan bukan hanya mempersiapkan santri
atau peserta didik untuk hidup sebagai orang dewasa, melainkan membantu mereka
agar mampu hidup dalam kehidupan sehari-hari.
2.
Para santri sebaiknya dididik sebagai suatu
keseluruhan dan menempatkan mereka sebagai unit organisme yang hidup yang
sedang tumbuh dan berkembang.
3.
Pendidikan bertujuan untuk memperbaiki kualitas
kehidupan dalam rangkaian pengembangan sumber daya manusia yang bermutu.
4.
Para santri belajar dengan berbuat dan
mengalami langsung serta keterlibatan secara aktif dalam lingkungan belajar.
5.
Belajar dilakukan melalui kesan-kesan penginderaan
yang menumbuhkan tanggapan yang jelas dan nyata, yang pada gilirannya diproses
menjadi informasi dan pengetahuan.
6.
Proses belajar dan keberhasilan belajar
dipengaruhi bahkan bergantung pada kemampuan (abilitas) masing-masing individu
santri.
7.
Belajar adalah suatu proses yang
berkesinambungan bahkan berlangsung seumur hidup, baik secara formal, maupun
non formal.
8.
Kondisi sosial dan alamiah turut menentukan dan
berpengaruh dalam penyusunan dan pelaksanaan situasi-situasi belajar.
9.
Motifasi belajar hendaknya bersifat intrinsik,
orisinaldan alamiah.
10.
Pengajaran hendaknya disesuaikan dengan
kebutuhan-kebutuhan individual.
11.
Hubungan antara guru dan santri, dan antara
santri dengan santri lainnya dilaksanakan melalui kerjasama atau proses
kelompok.
12.
Metode, isi, dan alat pengajaran besar
pengaruhnya terhadap proses belajar santri.
2. Pengajaran konvensional.
Pengajaran
konvensional menitik beratkan pada perkembangan intelektual melalui cara
belajar ingatan mengenai hal-hal yang telah dibaca dan tugas-tugas yang telah
dikerjakan. Pengetahuan yang telah diperoleh langsung dapat ditransferkan ke
dalam situasi kehidupan. Perencanaan belajar dan perkembangan aspek-aspek
keterampilan, sosial, sikap dan apresiasi kurang mendapat perhatian.
Pengajaran
baru tidak hanya bertujuan mengembangkan aspek intelektual tetapi juga meliputi
pengembangan aspek-aspek jasmaniah, sosial, emosional, dan lain-lain. Untuk itu
digunakan bermata ajaran dan sumber bacaan. Guru berupaya mencegah timbulnya
frustasi pada diri santri dengan cara menyesuaikan bahan pelajaran dengan minat
individu, mengurangi kemungkinan terjadinya persaingan dan pertentangan. Santri
belajar hidup dalam kelompok sosial. Pendidikan jasmani juga dikembangkan.
Pendek kata, pendidikan terhadap santri dilakukan secara keseluruhan.
3. Menghormati Individu Santri.
Pengajaran
baru memandang santri sebagai individu dan belajar secara individual. Karena
itu wajar sebagai suatu individu, tiap santri harus berinisiatif dan
bertanggung jawab atas pengalaman dan kesehatan pribadinya. Mereka harus
percaya diri dan mengintegrasikan dirinya sendiri.
Implikasi
dari sikap menghormati diri santri ialah pengajaran harus realistik, belajar
dengan berbuat, hubungan akrab antara guru dan santri dan kerjasama serta
simpati, serta mencegah masalah disiplin.
4. Pengembangan Pribadi.
Pengajaran
konvensional cenderung menjadi faktor yang menjadi penyebab terjadinya
perkembangan pribadi yang tidak stabil dan kesehatan mental kurang, dikarenakan
rasa rendah diri sebagai akibat kondisi sekolah yang kurang menguntungkan bagi
santri. Kondisi tersebut diubah melalui pengajaran yang bertujuan untuk
mengembangkan pribadi yang sehat dan seimbang, dengan cara pemilihan metode dan
bahan, pemberian kesempatan untuk berhasil, menghindarkan terjadinya rasa cemas,
menciptakan situasi yang memungkinkan siswa berperan serta berdasarkan
keinginan dan minatnya.
5. Metode dan Teknik Mengajar.
Pengajaran
baru dengan tanpa mngesampingkan penggunaan metode ceramah dan resitasi, namun
lebih menitik beratkan penggunaan metode yang lebih banyak memberikan peluang
bagi santri untuk berperan serta aktif dalam kegiatan-kegiatan belajar yang
bertujuan dan bermakna baginya. Guru memberikan bimbingan, arahan, fasilitas
lingkungan belajar, memupuk kerjasama dalam proses kelompok, berlatih
menerapkan hasil belajar, memberikan tantangan dan motifasi belajar, dan
menilai atau mengukur kemajuan belajar siswa berdasarkan pola pertumbuhannya,
bukan semata-mata berdasarkan derajat penguasaan pengetahuan saja.
6. Konsep Masalah Disiplin.
Pembinaan
disiplin kelas berangkat dari pandangan tentang hakikat anak sebagai suatu
organisme yang sedang berkembang. Mereka perlu belajar bertanggung jawab atas
tingkah lakunya. Guru memberikan kesempatan baginya untuk berlatih membuat
keputusan dan melakukan control diri. Santri yang malas atau melanggar
ketertiban bukan dihukum, melainkan diberikan bimbingan dan melakukan kerja
kelompok. Pendekatan ini berbeda dengan apa yang dilaksanakan dalam pengajaran
gaya lama, yang lebih banyak memberikan hukuman dan paksaan, khususnya yang
bersifat hukuman fisik, dengan guru yang bertindak secara otoriter.
7. Pengukuran dan Evaluasi.
Pengukuran
dan evaluasi ditujukan untuk mengetahui tingkat perkembangan dan diarahkan
terhadap semua aspek pribadi santri, bukan hanya terhadap aspek penguasaan
pengetahuan belaka. Instrumen penilaian yang digunakan disesuaikan dengan
tujuan dan aspek yang hendak dinilai, dengan menggunakan tes bentuk essay dan
tes bentuk obyektif, serta instrument non tes yang relevan.
Tanggung
jawab melakukan penilaian terletak pada kelompok guru, bukan pada satu orang
guru saja, bahkan santri mendapat kesempatan untuk melakukan penilaian diri
sendiri. Penilaian dilaksanakan baik terhadap hasil belajar santri maupun
terhadap system pembelajaran itu sendiri.
8. Penggunaan Alat-Alat Audio Visual.
Alat-alat
audio visual merupakan alat Bantu bagi guru dan santri untuk meningkatkan
efisiensi dan efektivitas belajar mengajar. Pengajaran masa lampau telah mulai
menggunakan alat-alat tersebut kendatipun masih terbatas pada alat-alat yang
sederhana saja, seperti: media grafis, buku bacaan, gambar dan obyek nyata.
Dewasa ini penggunaan alat-alat audio visual telah menggunakan teknologi maju
berupa elektronik, seperti: slide, film strip, film, rekaman, video cassette,
bahkan televisi pendidikan. Bentuk apapun alat audio visual yang digunakan,
namun tetap sebagai alat Bantu, dan bukan menjadi pesaing atau pengganti guru.[11]
D.
Pola Pengembangan SDM Pesantren
Dalam praktek-praktek empiris, investasi dalam
pengembangan SDM tidak terlepas dari isu-isu pokok yang terjadi dalam suatu
dinamika sosial ekonomi pada berbagai dimensi ruang dan waktu. Di kalangan
pesantren sendiri, setidaknya sejak beberapa tahun terakhir telah muncul
kesadaran untuk mengambil langkah-langkah tertentu guna meningkatkan kualitas
SDM yang mampu menjawab tantangan dan kebutuhan transformasi social di era
blobalisasi.
Dalam upaya pengembangan SDM pesantren, maka
harus dilakukan berbagai pembenahan, meliputi:
1)
pembenahan manajemen leadership;
2)
pembenahan manajemen pendidikan;
3)
pembenahan sarana dan prasarana;
4)
pembenahan dalam pengembangan life skill.
Power and authority pesantren memang dipegang
oleh pimpinan pesantren, namun sebaiknya di pesantren juga dibentuk
bagian-bagian yang akan menangani suatu bagian tertentu, misalnya bagian
pengajian, bagian jama’ah, bagian humas, dan lainnya. Dengan adanya bagian-bagian
ini maka pimpinan pesantren hanya berperan sebagai koordinator saja.
Untuk dapat memainkan peran edukatifnya dalam
pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas, pesantren harus meningkatkan
mutu sekaligus memperbaharui model pendidikannya (kurikulum) secara integratif
dan komprehensif. Rumusan pendidikan harus mencerminkan keseimbangan
professional dan proporsional dalam kebutuhan santri antara dunia dan akhirat,
akal dan kalbu, jasmani dan rohani, potensi diri (internal) dan potensi lingkungan
(eksternal).
Pembenahan kurikulum pesantren dapat dilakukan
pada tiga aspek penting, yaitu: perencanaan; 2) pelaksanaan dan 3) evaluasi. Tahapannya
adalah membuat desain pembelajaran (learning design). Setelah desain tersebut
dibuat maka dilakukan upaya untuk melaksanakan dalam bentuk kegiatan. Untuk
mengetahui apakah pembelajaran tersebut berjalan dengan baik, maka perlu
dilakukan evaluasi. Hasil evaluasi tersebut akan dijadikan dasar pengembangan
pada tahap berikutnya.
Pengembangan SDM juga harus didukung oleh
sarana dan prasarana yang memadai, misalnya perpustakaan yang dilengkapi dengan
sejumlah literatur keilmuan dan manuskrip yang dapat dijadikan sebagai
referensi oleh santri. Pengadaaan laboratorium bahasa juga merupakan salah satu
infrastruktur yang menunjang keahlian berkomunikasi. Penggalian ilmu agama
melalui perangkat komputer (literatur digital) akan lebih efesien bila
dibandingkan dengan membuka kitab yang akan membutuhkan waktu yang lama. Hal
ini bukan berarti menghilangkan tradisi intelektual indigenous khas pesantren,
karena melakukan modifikasi dan improvisasi pada aspek teknis akan membawa
wajah baru bagi pengembangan SDM pesantren.
Berdasarkan teori human kapital, pesantren juga
harus membekali para santri dengan life skill atau life competency sesuai
dengan tuntutan zaman, intinya pesantren dituntut memiliki kompetensi skill,
knowledge, dan ability. Respon pesantren terhadap perkembangan tersebut adalah
dengan menerapkan pendidikan berbasis kompetensi. Dengan semakin banyak memasukkan
ketrampilan dengan dasar pendidikan wirausaha atau entrepreneurship akan mampu
melahirkan generasi yang mempunyai kompetensi unggul.
Pengelola pesantren dapat mengembangkan
berbagai usaha, meliputi budidaya pertanian, perbengkelan, perikanan, tataboga,
dan jahit-menjahit. Rangkaian pengembangan SDM pesantren juga dapat dilakukan
melalui program magang. Program ini dapat meningkatkan interaksi dan komunikasi
antar pesantren. Begitu juga halnya dengan pelatihan, workshop atau lokakarya,
dan berbagai bentuk kajian lainnya yang memberikan kontribusi besar dalam
pengembangan SDM. Selain itu, pihak pesantren juga dapat melakukan ujicoba
kualitas SDM santrinya sebelum dilepaskan ke masyarakat. Sebagaimana yang
dilaksanakan di perguruan tinggi pada umumnya, dimana mahasiswanya diwajibkan
menulis skripsi, tesis, ataupun disertasi dan mengikuti yudisium. Hal semacam
ini juga dapat diberlakukan di pesantren-pesantren. Pada umumnya, setiap
pesantren memberikan ijazah bagi santrinya yang telah menempuh jenjang pendidikan.
Pada jenjang-jenjang selanjutnya diadakan jenjang takhasusus yang merupakan spesialisasi
keilmuan agar profesionalitas santri dapat diberdayakan semaksimal mungkin.
Pada tahap inilah hendaknya para santri dibebankan membuat semacam karya tulis
ilmiah (skripsi) dan diwajibkan ikut sidang munaqasyah sebagai wujud dari
penguasaannya terhadap ilmu yang digelutinya dan juga sebagai persembahan
akademisi bagi almamaternya.
E. Kriteria Santri Unggulan
Perkembangan SDM akan
dengan sendirinya terjadi sebagai hasil dari interaksi antara beberapa aspek
kehidupan seperti pertemuan antara aspek ekonomi dan sosial termasuk kedalaman
pengamalan ajaran dan nilai-nilai agama serta perkembangan iptek. Apabila
dilaksanakan secara terencana dan terkendali, ketiga proses tersebut menjadi
sinergistik. Dalam hal ini pembangunan aspek-aspek tersebut tidak secara
otomatis menjamin terdapatnya peningkatan kualitas SDM. Namun perkembangan SDM yang
berkualitas dapat mempercepat pertumbuhan dan perkembangan kualitas aspek-aspek
tersebut.
Pada akhirnya
pesantren-pesantren diharapkan kelak dapat melahirkan santri unggulan dan intelektual
muslim yang:
1)
selalu berbuat atau bertindak sesuai dengan ketentuan yang
diamanahkan oleh Al Qur’an dan Al Hadis agar dia selalu dapat menempatkan
dirinya sebagai choeru ummah yang dapat menjadi tauladan di tengah masyarakat
sekelilingnya;
2)
takutnya hanya kepada Allah SWT tidak kepada ciptaan Allah SWT
lainnya;
3)
ingin menciptakan kemakmuran serta kedamaian di muka bumi;
4)
takut menyebarkan fitnah, berani menegakkan kebenaran serta
keadilan;
5)
dalam mengerjakan apapun hanya dalam rangka mencari ridho Allah
SWT, karena sadar benar tentang adanya kebahagiaan yang abadi di akhirat;
6)
memiliki sifat-sifat siddiq, amanah, tabliqh, fatonah, serta
selalu tawadhu dan tafakhur
7)
memiliki rasa ingin tahu yang tinggi sehingga mampu menemukan
hal-hal baru yang bermanfaat bagi manusia.[12]
G.
Peran Pendidik dan Lingkungan dalam Mencetak Santri Unggulan
Untuk mewujudkan harapan
tersebut di atas kunci utamanya terletak di tangan para pendidik, yang harus
memiliki karakter kuat, sabar, istiqomah, tegas, penuh perhatian, adil,
menguasai benar-benar materi yang ingin disampaikan.
Guru yang sadar benar
bahwa anak didik bukan sekedar titipan orangtunya untuk dididik menjadi manusia
yang memiliki ahlak mulia, tetapi lebih tinggi lagi adalah amanah dari Allah SWT.
Di sini terasa benar betapa berat tugas seorang guru. Sekali salah didik sulit
diperbaiki lagi, karena tahapan umur anak-anak mempunyai kekhususan tersendiri.
Anak didik kita sebagai kertas putih sekali sudah tercoreng tinta, sulit dapat
dihapus.
Tuntutan jaman
menghendaki agar pembentukan kepribadian harus dilakukan secara lebih seksama,
sehingga SDM diarahkan untuk menghadapi tantangan jaman dan di waktu yang bersamaan
menjadi insan yang taat menjalankan ajaran agamanya. Dengan perkataan lain
Pondok Pesantren harus dapat turut mewujudkan manusia Indonesia yang beriman
dan bertaqwa, yang berilmu dan beramal; juga manusia Indonesia yang modern.
Saya ingin menggarisbawahi peran pondok pesantren sebagai agen modernisasi
seperti di masa yang lalu, pada masa pendidikan di pondok pesanten menduduki
tempat yang unggul di masyarakat. Saya berpendapat keunggulan ini dapat diraih
kembali, yaitu dengan mengembangkan pondok pesantren juga sebagai pusat
pendidikan dan pengembangan budaya modern. Peran pondok pesantren dalam
masyarakat kita sangat besar, terutama pada akar rumput. Oleh karena itu,
proses modernisasi masyarakat kita, akan dapat lebih cepat apabila dipelopori
oleh pondok-pondok pesantren. Untuk itu memang pondok pesantren itu sendiri
perlu menyesuaikan pola pendidikan dan pengajarannya serta kehidupan para
santrinya agar pondok pesantren dapat menjadi lembaga masyarakat yang mandiri
tetapi tetap berada di atas landasan firman Allah SWT dan hadist Nabi Muhammad
SAW.
III.
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Lahirnya santri
unggulan adalah suatu keharusan demi menghadapi arus modernisasi yang segalanya
mudah mempengaruhi dan membawa perubahan keluar dari koridor Islam dan watak
bangsa. Sehingga pesantren-pesantren harus memiliki managemen yang strategis demi mencetak santri-santri
yang siap terjun di dunia globalisasi dan siap mengabdikan diri di setiap
lapisan masyarakat. Di samping itu mengingat bahwa setiap santri adalah
individu yang berbeda yang memiliki keuinikan satu sama lainnya sehingga
dibutuhkan suatu cara yang efektif untuk menjadikan masing-masing mereka
menjadi pribadi muslim yang unggul dalam satu sisi dan di sisi lain menjadi
diri mereka sendiri yang kian berkembang sesuai bakat dan keinginan yang
membawa perubahan baik bagi orang lain dan sekitarnya dan dapat dipertanggung
jawabkan.
B.
Penutup
Penulis
menyadari penulisanmakalah ini belum sempurna dan masih terdapat banyak
kesalahan dalam segala aspeknya. Maka, penulis memohon maaf atas segala
kekurangan dan kekeliruan yang terdapat dalam makalah ini serta meminta kritik
dan saran demi terwujudnya perbaikan pada penulisan makalah yang berikutnya.
Daftar Pustaka
1.
Ginandjar
Kartasasmita. “Peran Pondok Pesantren Dalam Membangun Sumber Daya Manusia
Indonesia yang Berkualitas” www.ginandjar.com.
Diakses pada 7 Maret 2011.
2.
Hamalik, Oemar. Kurikulum dan Pembelajaran,
cet. V (Jakarta: Bumi Aksara, 2005).
3.
Hasyim Muzadi “Saatnya Pesantren Mengintelekkan Santri”,
Republika Newsroom: Rabu, 22 Juli 2009. Diakses pada 7 Maret 2011.
4.
Nafi’, M. Dian [et.al], Praksis
Pembelajaran Pesantren, cet. I (Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara).
5.
Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran,
cet. V (Jakarta: Bumi Aksara, 2005).
6.
Sri Haningsih,
“Peran Strategis Pesantren, Madrasah dan Sekolah Islam di Indonesia”,
Yogyakarta: Journal UII No. 1 Vol. I 2008.
7.
Steenbrink, Karel A., Pesantern Madrasah
Sekolah, cet. II (Jakarta: LP3ES, 1994).
8.
Wahid Hasyim, “Manajemen Pengembangan Peran Santri Dalam
Perubahan Global”, Januari 27, 2010. Diakses pada 7 Maret 2011.
9.
www.wikipedia.com. Diakses pada
7 Maret 2011.
[1] Makalah
disusun dan disampaikan oleh Laila Sabrina pada perkuliahan Managemen
Pengembangan Pondok Pesantren yang diampu oleh Prof. Dr. H. Jaih Mubarok, MA.
tanggal 9 Maret 2011.
[2] Ginandjar
Kartasasmita. “Peran Pondok Pesantren Dalam Membangun Sumber Daya Manusia
Indonesia yang Berkualitas” www.ginandjar.com.
Diakses pada 7 Maret 2011.
[3] Sri
Haningsih, “Peran Strategis Pesantren, Madrasah dan Sekolah Islam di
Indonesia”, Yogyakarta: Journal UII No. 1 Vol. I 2008.
[4] KH
Hasyim Muzadi “Saatnya Pesantren Mengintelekkan Santri”, Republika Newsroom:
Rabu, 22 Juli 2009. Diakses pada 7 Maret 2011.
[5] Wahid Hasyim, “Manajemen Pengembangan Peran Santri Dalam
Perubahan Global”, Januari 27, 2010. Diakses pada 7 Maret 2011.
[6] Wahid
Hasyim, “Manajemen
Pengembangan Peran Santri Dalam Perubahan Global”, Januari 27, 2010.
Diakses pada 7 Maret 2011.
[7] Karel A. Steenbrink, Pesantern Madrasah
Sekolah, cet. II (Jakarta: LP3ES, 1994), hlm. 20-23 .
[8] M. Dian Nafi’ [et.al], Praksis Pembelajaran
Pesantren, cet. I (Yogyakarta: LKiS Pelangi Aksara), hlm. 11.
[9] www.wikipedia.com. Diakses pada
7 Maret 2011.
[10] Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran,
cet. V (Jakarta: Bumi Aksara, 2005), hlm. 7-8.
[11] Ibid, hlm. 10-13.
[12] Ginandjar
Kartasasmita. “Peran Pondok Pesantren Dalam Membangun Sumber Daya Manusia
Indonesia yang Berkualitas” www.ginandjar.com.
Diakses pada 7 Maret 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar