Oleh: Ade Supriadi
A. PENDAHULUAN
Diskursus mengenai dinamika
pesantren senantiasa menjadi tema dan wacana yang up to date. Eksistensi
pesantren yang dialektis dan unik telah memunculkan berbagai penilaian dari
para pengamat dan peneliti. Sebagaimana kita ketahui bahwa pesantren merupakan
salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di bumi nusantara ini dan ternyata keberadaannya
masih dapat kita saksikan hingga saat ini, bahkan semakin menunjukkan
kemajuannya.
Keberadaan
pesantren sampai saat ini membuktikan keberhasilannya menjawab tantangan zaman.
Namun demikian, akselerasi modernitas yang begitu cepat menuntut pesantren
untuk tanggap secara cepat pula agar eksistensinya tetap relevan dan
signifikan. Masa depan pesantren ditentukan oleh sejauh mana pesantren
memformulasikan dirinya menjadi pesantren yang mampu
menjawab tuntutan masa
depan dengan tanpa kehilangan jati dirinya, sehingga pesantren sejatinya mampu
melahirkan manusia paripurna yang mengiringi masyarakat bangsa ini menapaki
modernitas tanpa kehilangan akar spiritualitasnya.
Pesantren merupakan garda terdepan
dalam menanggulangi virus budaya Barat yang notabene banyak yang tidak cocok
dengan budaya ketimuran. Sehingga eksistensi pesantren di tengah-tengah krisis
moral yang terjadi di berbagai tempat termasuk bangsa kita saat ini tetap
signifikan. Pesantren yang secara historis mampu memerankan dirinya sebagai
benteng pertahanan dan penjajahan, kini seharusnya dapat memerankan diri
sebagai benteng pertahanan dari imperialisme budaya yang begitu kuat
menghegemoni. Oleh karena itu pesantren dituntut tetap survive sebagai “transmitor
atau agen akhlakulkarimah” untuk “memfilter” keluar-masuknya budaya
asing demi terimplementasinya akhlakulkarimah dalam berbagai aspek
kehidupan masyarakat.
Pesantren
sebagai salah satu pilar pendidikan modern Islam, tengah menghadapi tantangan
yang tidak ringan. Salah satu masalah pokok yang dialami oleh dunia pesantren
adalah lemahnya visi, misi dan tujuan pendirian pesanteran. Banyak pesantren
yang gagal merumuskan tujuan dan visinya secara jelas. Ini ditambah dengan
kegagalan dalam menuangkan visi tersebut pada tahapan rencana kerja ataupun
program. Akibatnya, sebuah pesantren hanya berkembang sesuai dengan kepribadian
pendirinya, dengan dibantu oleh kiai maupun pembantu-pembantu lainnya. Tidak
mengherankan jika semangat pesantren adalah semangat pendirinya. Keterbatasan
fisik dan mental pendiri pensantren itu dapat membuat pesantren menjadi kurang
responsif terhadap perkembangan-perkembangan yang terjadi dalam masyarakat.
Apabila hal ini tidak selesaikan, maka, pesantren akan dianggap tidak mampu
lagi menghadapai tantangan-tantangan yang dibawa oleh kemajuan jaman dan
modernisasi. Kekurangan inilah yang membuat terjadinya kesenjangan antara
pesantren dengan "dunia luar".
Makalah
ini memaparkan salah satu tawaran model pesantren masa depan yang dapat menjadi
harapan dan tumpuan bagi masyarakat dalam memenuhi kehampaan spiritual sehingga
mampu meredam dampak negative dari arus globalisasi yang begitu kuat dan dengan
sendirinya label negatif terhadap pesantren sebagai lembaga tradisonal yang
ketinggalan zaman dapat dihilangkan.
B. PRESKRIPSI
PESANTREN
Preskripsi
pesantren lebih merujuk
kepada petunjuk-petunjuk atau ketentuan-ketentuan mengenai
apa yang perlu berlangsung
atau
sebaiknya dilakukan
oleh para pemegang kebijakan pesantren. Preskripsi pesantren dilakukan dalam
rangka menghasilkan informasi tentang kemungkinan serangkaian aksi di masa
mendatang untuk menghasilkan konsekuensi yang berharga bagi individu, kelompok,
atau masyarakat seluruhnya yang terikat dengan pesantren. Prosedur preskripsi
pesantren meliputi transformasi mengenai kebijakan pesantren di masa mendatang
ke dalam informasi mengenai aksi-aksi kebijakan yang akan menghasilkan keluaran
(output) yang bernilai. Karena itu, untuk merekomendasikan suatu
tindakan kebijakan, diperlukan adanya informasi tentang konsekuensi-konsekuensi
masa depan setelah dilakukan berbagai alternatif tindakan. Dalam dunia
pesantren preskripsi atau rekomendasi sangat terkait erat dengan persoalan
etika dan moral pesantren, sehingga diharapkan kebijakan yang dibuat pesantren
tidak terlepas dari norma-norma yang telah dipegang dan diyakini oleh
pesantren.
Dilihat
dari sisi metodologi pengajaran (pendidikan) yang diterapkan dunia pesantren
(baca: salafiyah), penyebutan tradisional dalam konteks praktek pengajaran di
pesantren, didasarkan pada sistem pengajarannya yang monologis, bukannya
dialogis-emansipatoris, yaitu sistem doktrinasi sang Kiyai kepada santrinya dan
metodologi pengajarannya masih bersifat klasik, seperti sistem bandongan,
pasaran, sorogan dan sejenisnya. Lepas dari persoalan itu, karakter tradisional
yang melekat dalam dunia pesantren (sesungguhnya) tidak selamanya buruk. Asumsi
ini sebetulnya relevan dengan prinsip ushul fiqh, “al-Muhafadzah ‘ala
al-Qodimi as-Shalih wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah” (memelihara
[mempertahankan] tradisi yang baik, dan mengambil sesuatu yang baru
(modernitas) yang lebih baik). [1]
Tradisionalisme
dalam konteks didaktik-metodik yang telah lama diterapkan di pesantren, tidak
perlu ditinggalkan begitu saja, hanya saja perlu disinergikan dengan
modernitas. Hal ini dilakukan karena masyarakat secara praktis-pragmatis
semakin membutuhkan adanya penguasaan sains dan tekhnologi. Oleh Karena itu,
mensinergikan tradisionalisme pesantren dengan modernitas dalam konteks praktek
pengajaran merupakan pilihan sejarah (historical choice) yang tidak bisa
ditawar-tawar lagi. Sebab, jika tidak demikian, eksistensi pesantren akan
semakin sulit bertahan di tengah era informasi dan pentas globalisasi yang kian
kompetitif.
Pembaharuan
di pesantren, terutama mengenai metodologi pengajarannya, sejatinya tidak harus
meninggalkan praktek pengajaran lama (tradisional), karena memang di sinilah
karakter khas dan indegenousitas pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam di
Indonesia. Justru yang perlu dilakukan adalah adanya konvigurasi sistemik dan
kultural antara metodologi tradisional dengan metodologi konvensional-modern.
Dengan demikian, penerapan metodologi pengajaran modern dan pembangunan kultur
belajar yang dialogis-emansipatoris, bisa seirama dengan watak asli dari kultur
pesantren.
Di
samping itu, agar pesantren menghasilkan SDM yang sesuai harapan, harus dibuat
sebuah sistem pendidikan pesantren yang terpadu. Artinya, pendidikan tidak
hanya terkonsentrasi pada satu aspek saja. Sistem pendidikan yang ada harus
memadukan seluruh unsur pembentuk sistem pendidikan yang unggul.
Pendidikan
pesantren pada dasarnya merupakan pendidikan yang syarat dengan nuansa
transformasi sosial. Pesantren terikhtiarkan meletakkan visi dan kiprahnya
dalam kerangka pengabdian sosial yang pada mulanya ditekankan kepada
pembentukan moral dan kemudian dikembangkan dengan rutinitas-rutinitas
pengembangan yang lebih sistematis dan terpadu. Pengabdian sosial masyarakat
yang dilakukan pesantren itu merupakan manifestasi dari nilai-nilai yang
dipegang pesantren.
C.
DESKRIPSI PESANTREN
Saat
ini perubahan sosial sebagai dampak kemajuan teknologi informasi telah
meletakkan Indonesia kontemporer ke dalam pusaran mega persoalan yang sangat
kompleks. Secara kasat mata, hal ini dapat ditelusuri dari adanya degradasi
moral yang menjamur di mana-mana, semisal korupsi, berkurangnya rasa
solidaritas sosial hingga ancaman terhadap eksistensi Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Kenyataan ini menuntut setiap elemen bangsa untuk ikut serta
terlibat menyelesaikannya, karena pembiaran hal itu akan mengantarkan Indonesia –lambat atau cepat – pada akhir
sejarahnya.
Berbicara
tentang penyelesaian persoalan yang sedang dihadapi bangsa Indonesia, pesantren
sejatinya sama sekali tidak bisa melepaskan diri dari tanggung jawab. Bahkan
sampai pada taraf tertentu, pesantren seharusnya menjadi garda depan yang dapat
mengukir terobosan solusi kreatif untuk masa depan Indonesia yang jauh lebih
baik.
Ada
beberapa alasan dasar yang menjadikan pesantren dituntut untuk berperan
demikian. Selain pesantren (dan elemen-lemennya) sebagai bagian intrinsik umat
Islam yang mayoritas di Indonesia, aspek lain yang tidak bisa diabaikan adalah
posisi pesantren yang sampai derajat tertentu merupakan representasi Islam
Indonesia.
Kondisi
pesantren saat ini untuk berada di garis terdepan dalam memberikan solusi
tampaknya masih jauh dari yang diharapkan. Banyak aspek internal dan eksternal
yang menjadi kendala untuk meraih peran tersebut. Kondisi semacam ini
meniscayakan masyarakat pesantren untuk menyikapi hal tersebut secara serius,
intens, dan berkelanjutan.
Menghadapi
perubahan sosial yang demikian cepat dan rumit dengan ikon globalisasinya,
santri berada dalam inertia yang cukup akut. Mereka bukan saja tidak mampu
merespon perubahan secara kritis dan kreatif, namun lebih dari itu mereka
tampak diam sehingga terseret –sadar atau tidak –dalam gelembung globalisasi
atau perubahan sosial. Ironisnya, ketika mereka jauh terseret dalam pusaran
perubahan itu, pada umumnya mereka terlempar pada salah satu dari dua kondisi
yang sama-sama tidak menguntungkan; at home dalam kungkungan kehidupan
yang tentunya jauh dari nilai-nilai luhur pesantren, atau terjebak dalam sikap
reaksioner yang menjadikan mereka dalam angan-angan utopis.
Banyaknya
masyarakat santri yang tergila-gila dalam dunia politik kekuasaan pada satu
pihak, dan menyeberangnya sebagian mereka ke dalam keberagamaan
literalistik-fundamentalistik pada pihak yang lain merupakan secuil contoh
konkret yang menohok dengan telak peran pesantren. Menguatnya syahwat politik
pada masyarakat santri ini memperlihatkan betapa pragmatisme, kesesatan dan
sejenisnya telah menggantikan posisi nilai keikhlasan dan keserba-ibadahan yang
sebelumnya menjadi simbol kental kepesantrenan. Demikian pula, ketertarikan
mereka ke dalam pandangan keagamaan fundamentalisme merupakan representasi
tercerabutnya mereka dari tradisi sosial dan intelektual pesantren.[2]
Keberlangsungan
fenomena ini selain akan menampar eksistensi keindonesiaan, pada gilirannya
nanti juga akan menggugat eksistensi pesantren dan segala nilai dan ajaran yang
dianutnya. Bila hal itu yang terjadi secara berkelanjutan, maka Indonesia akan berada
dalam ambang kehancuran. Pesantren pun dengan sendirinya akan berada dalam
kondisi yang mengkhawatirkan pula.
Setiap
pesantren mempunyai ragam masalah yang bervariasi. Dari persoalan SDM sampai
sumber dana. Untuk mendeteksi masalah yang ada, perlu upaya identifikasi
masalah. Identifikasi dibutuhkan untuk mencari solusi penyelesaian yang paling
tepat. Secara umum permasalahan yang terdapat di pesantren, yaitu:
1) Sumber
daya manusia,
Keberadaan
pesantren yang umumnya berada di pedesaan acapkali menjadi persoalan tersendiri
dalam hal SDM. Kurangnya SDM di pedesaan ini disebabkan masyarakat pedesaan tak
mampu menjangkau informasi dan tidak memiliki pendidikan yang memadai. Sehingga
SDM pedesaan tertinggal jauh dari SDM perkotaan.
2) Sarana
dan prasarana pendidikan,
Pesantren
yang mayoritas berada di lingkungan pedesaan menimbulkan persoalan tersendiri,
dalam hal sarana dan prasarana pendidikan. Kondisi ini disebabkan karena
lambatnya pertumbuhan ekonomi di pedesaan. Kondisi ini berpengaruh pada kualitas
sarana dan prasarana pesantren.
3)
Akses komunikasi
ke lembaga luar pesantren
Pengembangan
telekomunikasi di pedesaan tidak selengkap di perkotaan sehingga jaringan
komunikasi pesantren yang tidak memiliki alat komunikasi yang memadai sulit
menjangkau informasi.
4) Tradisi
pesantren
Budaya
paternalistik dalam dunia pesantren masih melekat dengan adanya kepatuhan pada
tokoh kyai. Hal ini tidak bisa terlepas dari budaya dan norma kesantunan santri
terhadap gurunya yang terkadang penganggungan secara berlebihan terhadap budaya
tersebut justru dapat membelenggu kreativitas dan inovasi santri. Meskipun
demikian dalam beberapa kasus hal ini masih perlu diuji kembali.
5) Sumber
dana
Sumber
dana pesantren selama ini masih berasal dari swadaya masyarakat dan kadang ada
sedikit pemberian dari pemerintah, itupun kalau pengelola pesantren memiliki
hubungan baik dengan pemerintah. Pada umumnya sumber dana pesantren dikelola
secara swadaya baik berupa hasil pertanian, ternak atau usaha kecil lainnya. Kondisi
tersebut cukup memprihatinkan sebab tidak dapat diperkirakan sejauh mana daya
tahan usaha kecil pesantren dapat membiayai kegiatan pedidikan dan pembinaan
pesantren di kemudian hari.
Di
tengah pergulatan masyarakat informasional, pesantren ‘dipaksa’ memasuki ruang
kontestasi dengan institusi pendidikan lainnya, terlebih dengan sangat maraknya
pendidikan berlabel luar negeri yang menambah semakin ketatnya persaingan mutu out-put
(keluaran) pendidikan. Kompetisi yang kian ketat itu, memposisikan institusi
pesantren untuk mempertaruhkan kualitas out-put pendidikannya agar tetap
unggul dan menjadi pilihan masyarakat, terutama umat Islam. Ini
mengindikasikan, bahwa pesantren perlu banyak melakukan pembenahan internal dan
inovasi baru agar pesantren tetap mampu meningkatkan mutu pendidikannya.
Persoalan
ini tentu saja berkorelasi positif dengan konteks pengajaran di pesantren. Di
mana, secara tidak langsung mengharuskan adanya pembaharuan (modernisasi)-kalau
boleh dikatakan demikian-dalam berbagai aspek pendidikan di dunia pesantren.
Sebut saja misalnya mengenai kurikulum, sarana-prasarana, tenaga kependidikan
(pegawai administrasi), guru, manajemen (pengelolaan), sistem evaluasi dan
aspek-aspek lainnya dalam penyelenggaraan pendidikan di pesantren. Jika
aspek-aspek pendidikan seperti ini tidak mendapatkan perhatian yang
proporsional untuk segera dimodernisasi, atau minimalnya disesuaikan dengan
kebutuhan dan tuntutan masyarakat (social needs and demand), tentu akan
mengancam survival pesantren di masa depan. Masyarakat akan semakin tidak
tertarik dan lambat laun akan meninggalkan pendidikan ‘ala pesantren untuk
kemudian lebih memilih institusi pendidikan yang lebih menjamin kualitas output-nya.
Pada taraf ini, pesantren berhadap-hadapan dengan dilema antara tradisi dan
modernitas.[3]
Ketika
pesantren tidak mau beranjak ke modernitas, dan hanya berkutat serta mempertahankan
otentisitas tradisi pengajarannya yang khas tradisional, dengan pengajaran yang
melulu bermuatan al-Qur’an dan al-Hadis serta kitab-kitab klasiknya, tanpa
adanya pembaharuan metodologis, maka lambat laun pesantren akan tertinggal dari
lembaga pendidikan lainnya. Pengajaran Islam tradisional dengan muatan-muatan
yang telah menjadi ciri khas pesantren, tentu saja harus lebih dikembangkan
agar penguasaan materi keagamaan anak didik (baca: santri) bisa lebih maksimal,
di samping juga perlu memasukkan materi-materi pengetahuan non-agama dalam
proses pengajaran di pesantren.
Tawaran Solusi
Secara
garis besar ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian para pemegang
kebijakan pesantren dalam upaya peningkatan mutu pesantren, yaitu :
1) Perumusan
visi dan misi pesantren yang berorientasi pada pembentukan manusia yang
memiliki kepribadian Islami dan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan.
2) Sinergi
antara pesantren, masyarakat, dan wali
santri. Pendidikan yang integral harus melibatkan tiga unsur di atas. Sebab,
ketiga unsur di atas menggambarkan kondisi faktual obyektif pendidikan. Adanya
kesatuan yang kuat dari ketiga komponen tersebut dapat menjadi katalisator
untuk terciptanya out put pesantren yang siap mengahadapi tuntutan zaman
3) Perumusan
kurikulum pesantren yang terstruktur dan terprogram mulai dari tingkat dasar (Ibtidaiyyah)
hingga tingkat atas (‘Ulya) serta penerapan metode pengajaran yang aktif
dan menumbuhkan minat belajar santri, sehingga diharapkan akan dapat menjadi
jaminan bagi ketersambungan pendidikan pesantren pada setiap jenjangnya.
4) Pembenahan
sistem manajerial pesantren dengan lebih mengedepankan aspek profesionalitas,
efektifitas, transparansi dan akuntabilitas sehingga mampu menghasilkan kerja
yang maksimal.
5) Penguasaan
ilmu pengetahuan dan tekhnologi (IPTEK) serta pemberian ketrampilan yang
memadai kepada peserta didik (santri) seperti rekayasa industri, tekhnologi
tepat guna, pertukangan, dan lain sebagainya, sehingga diharapkan di kemudian
hari santri mampu mencapai kemajuan material dan dapat menjalankan fungsinya
sebagai khalifah Allah di muka bumi dengan baik.
Di
samping pesantren dituntut untuk tanggap terhadap persoalan prinsip yang
dihadapi dunia pesantren yang telah disebutkan di atas, pesantren juga perlu
mengadakan perbaikan terhadap beberapa komponen yang turut menunjang
keberlangsungan pesantren di kemudian hari. Beberapa hal lain yang patut untuk
diseriusi oleh pesantren diantaranya adalah:
1)
Perbaikan sarana
fisik dengan tetap memperhatikan faktor kenyamanan dan kesehatan. Lingkungan
fisik pesantren yang asri, sehat dan menyenangkan akan turut menciptakan iklim
belajar yang kondusif, sehingga santri akan merasa senang dan betah tinggal di
lingkungan pesantren.
2)
Peningkatan
kualitas guru pesantren dalam hal kemampuan mengajarkan ilmu kepada santri,
seperti pemberian pelatihan secara berkesinambungan tentang metode pembelajaran
yang aktif dan mudah dicerna oleh santri dengan tetap mempertahankan tradisi
pengajaran pesantren yang menjadi ciri khas pesantren, seperti bandongan,
wetonan atau sorogan.
3)
Peningkatan kesejahteraan
guru dengan tetap memelihara tradisi ikhlas di dunia pesantren dalam rangka ” nasyr
al-ilmi” (pengamalan ilmu). Hal ini dilakukan dalam rangka agar para guru
lebih konsen dalam melakukan pengabdiannya di pesantren.
D.
MASA DEPAN PESANTREN
Pesantren
sebagai salah satu lembaga pendidikan dan keagamaan merupakan realitas yang
tidak bisa dipungkiri. Sepanjang sejarah yang dialaminya, pesantren terus
menekuni pendidikan dan menjadikannya sebagai fokus kegiatan. Dalam
mengembangkan pendidikan, pesantren menunjukkan daya tahan yang cukup kokoh
sehingga mampu melewati berbagai masalah yang dihadapinya. Dalam sejarahnya itu
pula, pesantren telah menyumbangkan sesuatu yang tidak kecil bagi bangsa ini.
Pada
awal kelahirannya, pesantren tumbuh dan berkembang di berbagai daerah pedesaan.
Di mana keberadaan pesantren sangat kental dengan karakteristik Indonesia yang
memiliki nilai-nilai strategis dalam pengembangan masyarakat.
Realitas
menunjukkan bahwa pesantren sampai saat ini, memiliki pengaruh cukup kuat dalam
setiap aspek kehidupan di kalangan masyarakat muslim pedesaan yang taat.
Kuatnya pengaruh tersebut, membuat setiap pengembangan pemikiran dan
interpretasi keagamaan yang berasal dari luar kaum elit pesantren tidak akan
memiliki dampak signifikan terhadap way of life dan sikap masyarakat
Islam di daerah pedesaan. Kenyataan ini, menunjukkan bahwa setiap upaya yang
ditunjukkan untuk pengembangan masyarakat di daerah-daerah pedesaan perlu
melihat dunia pesantren.
Pesantren
sebagai basis keagamaan yang tidak lepas dari realitas objektif, dituntut untuk
melakukan gerakan-gerakan moral-kultural yang dapat membaca dan memberikan
solusi terhadap persoalan dan perubahan yang ada, mampu menjadi katalisator
yang populis serta menumbuhkan nilai positif pesantren, setidaknya menjadi
“besi” sebagai penangkis dari ketajaman pedang globalisasi, modernisasi,
kapitalisme dan lain-lain yang berdampak negatif terhadap tatanan sosial dan
moralitas bangsa Indonesia.
Realitas
kongkrit yang dihadapi masyarakat itu, menjadi tugas utama bagi sebuah lembaga
pesantren yang menjadi standarisasi masyarakat luas untuk lebih respek terhadap
fenomena yang terjadi guna menata kehidupan dan moralitas bangsa dengan mengacu
pada ajaran Nabi Muhammad.
Di
tengah pergulatan masyarakat informasional, berbangga hati dan puas dengan
sekedar mampu bertahan tanpa menghasilkan sesuatu yang baru khususnya untuk
peningkatan kualitas pendidikan bukan pilihan yang cerdas. Sebaliknya pesantren
dituntut menjawab tantangan modernitas dengan memasuki ruang kontestasi dengan
instiusi pendidikan lainya, terlebih dengan sangat maraknya pendidikan berlabel
internasional, menambah semakin ketatnya persaingan mutu out-put
(keluaran) pendidikan. Kompetisi yang ketat itu turut memposisikan institusi
pesantren untuk mempertaruhkan kualitas out-put pendidikan agar tetap
unggul dan menjadi pilihan masyarakat, terutama umat Islam. Hal ini
mengindikasikan bahwa pesantren perlu banyak melakukan pembenahan internal dan
inovasi agar tetap mampu meningkatkan kualitas pendidikannya.
Dengan
demikian, pesantren yang ideal adalah pesantren yang mampu berdialog dengan
modernitas, tanpa menjalankan tugas utamannya sebagai pengemban amanat moral. Sebab
sebagai sumber nilai, agama Islam yang ditekuni oleh pesantren berfungsi sangat
kuat dalam pengembangan moral masyarakat pesantren pada khususnya dan
masyarakat luas pada umumnya.
Kompleksnya permasalahan yang dihadapi masyarakat saat
ini menuntut pesantren untuk tidak hanya memfokuskan diri sebagai pusat
pendidikan dan pembentukan profil manusia tetapi juga menjadi pusat
perekonomian, dan turut menentukan fluktuasi nilai Islam dalam suatu daerah.
Peran penting pesantren yang demikian hendaknya terus dikembangkan mengingat
potensi pesantren yang begitu besar. Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok
Pesantren Kementrian Agama pada tahun 2009 menyebutkan berdasarkan kategori
pesantren, jenis pesantren salaf (tradisional) di Indonesia sebanyak 8.905,
pesantren khalaf (modern) 878, dan pesantren terpadu
4.284. Total
keseluruhan tak kurang dari 14.000 pesantren di Indonesia.[4]
Dengan jumlah seperti itu bukan tak mungkin pesantren akan
menjadi sebuah kekuatan pendidikan Islam yang melahirkan pemimpin-pemimpin
Islam yang memiliki pandangan maju dan komprehensif.
Landasan
kultural yang ditanamkan kuat di pesantren diharapkan menjadi guidence
dalam implementasi berbagai tugas baik pada ranah sosial, ekonomi, hukum,
maupun politik baik di lembaga pemerintahan maupun swasta yang konsisten,
transparan, dan akuntabel. Ini penting karena pesantren merupakan kawah
candradimuka bagi munculnya agent of social change. Dalam hal ini negara
sangat berkepentingan atas tumbuhnya generasi yang mumpuni dan berkualitas.
Oleh sebab itu, kepedulian dan perhatian negara bagi perkembangan pesantren
sangat diperlukan.[5]
Jika
selama ini pesantren telah menyumbangkan seluruh dayanya untuk kepentingan
warga negara (negara), maka harus ada simbiosis mutualistis antara keduanya.
Sudah waktunya negara (pemerintah) memberikan perhatian serius atas
kelangsungan pesantren. Kalau selama ini pesantren bisa eksis dengan swadaya,
maka eksistensi tersebut akan lebih maksimal apabila didukung oleh negara.
Apalagi tantangan ke depan tentu lebih berat karena dinamika sosial juga
semakin kompleks. Oleh sebab itu, diperlukan revitalisasi relasi antara
pesantren dan pemerintah yang selama ini berjalan apa adanya. Sehingga dengan
adanya hubungan yang sinergis antara pesantren dan pemerintah akan menciptakan
kekuatan baru yang mampu menopang secara kuat keberlangsungan pesantren di era
mendatang.
E. PENUTUP
Pesantren
sebagai salah satu lembaga pendidikan keagamaan di Indonesia memiliki posisi
yang strategis untuk turut menentukan kemajuan bangsa baik di bidang politik,
ekonomi, sosial ataupun budaya. Pesantren dituntut untuk selalu memainkan
peranannya secara kontinu, efektif dan efisien dalam derasnya arus globalisasi
sehingga pesantren akan tetap eksis dan bisa diterima oleh masyarakat luas.
Berbagai kekurangan yang dimiliki oleh sebagian pesantren harus mendapatkan perhatian
serius oleh berbagai pihak baik dari masyarakat umum ataupun dari pemerintah.
Adanya kerja sama yang berkesinambungan ini akan mampu membawa pesantren
mewujudkan visi dan misi yang dirumuskan secara ideal oleh pemegang kebijakan
pesantren.
DAFTAR
PUSTAKA
Abd
A’la, Pesantren dan Peran Santri dalam Perubahan Sosial
http://blog.sunan-ampel.ac.id, diakses pada tanggal 17 April 2011.
Abdul
Munir, Seni Mengelola Lembaga Pendidikan Islam, Ciputat : Lekdis
Nusantara, cetakan kelima, 2010.
Ahmad
El Chumaedy, Membongkar Tradisionalisme Pendidikan Pesantren; “Sebuah
Pilihan Sejarah”, diakses tanggal 15 April 2011.
AM Fatwa, Masa
Depan Pesantren, Republika, Sabtu, 26 Mei 2007.
Anis
Masykhur, Menakar Modernisasi Pendidikan Pesantren, Depok : Barnea
Pustaka, cetakan pertama, 2010
Septian Suhandono, Model Integrasi Pendidikan Pondok Pesantren dan Konsep Kepemimpinan Profetik, http://enewsletterdisdik.wordpress.com, diakses pada
tanggal 15 April 2011.
[1] Ibid.
[2]
Abd
A’la, Pesantren dan Peran Santri dalam Perubahan Sosial
http://blog.sunan-ampel.ac.id, diakses pada tanggal 17 April 2011.
[3]
Ahmad
El Chumaedy, Membongkar Tradisionalisme Pendidikan Pesantren; “Sebuah
Pilihan Sejarah”, diakses tanggal 15 April 2011.
[4]
Septian Suhandono, Model Integrasi Pendidikan Pondok Pesantren dan
Konsep Kepemimpinan
Profetik, http://enewsletterdisdik.wordpress.com,
diakses pada tanggal 15 April 2011.
[5]
AM
Fatwa, Masa Depan Pesantren, Republika, Sabtu, 26 Mei 2007.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar