I.
PENDAHULUAN
Usaha memurnikan hadis Nabi Saw dari pemalsuan telah
dilakukan oleh ulama-ulama semenjak masa awal Islam. Mereka bersungguh-sungguh
dalam usaha memilah hadis-hadis yang memang bersumber dari Nabi Saw (shahih)
dan yang tidak (saqim). Hal ini sangat dimaklumi karena posisi hadis yang
sangat urgen yakni sebagai sumber tasyri’ dalam Islam setelah al-Quran. Di sisi
yang lain, oknum-oknum yang tidak bertanggunjawab telah membajak hadis nabi
dengan memalsukannya demi kenuntungan dan kepentingan individu maupun kelompok.
Pada abad ke-tiga hijriyah munculah tokoh-tokoh besar
ulama hadis seperti Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Abu Dawud, Al-Turmudzi, al-Nasa’i
dan muhadditsin lainnya. Mereka melakukan lawatan ilmiah ke berbagai dareah
untuk mengumpulkan data-data hadis nabi yang kemudian diverifikasi dan
dikritisi sedemikian rupa. Kesungguhan mereka dalam melakukan penelitian
akhirnya melahirkan karya-karya kitab kanonik hadis yang dapat dipertanggung
jawabkan secara ilmiah. Tidak heran jika masa ini disebut masa keemasaan bagi hadis
nabawi.
Dalam makalah yang singkat ini, penulis hendak
memotret metode penelitian hadis yang dilakukan oleh ulama hadis khususnya Imam
al-Bukhari, Imam Muslim dan imam Abu Dawud dalam memverifikasi kesahihan dan
ke-dha’if-an hadis. Sebelum membincangkan metode imam hadis dalam
meneliti hadis, penulis akan memaparkan penelitian hadis secara umum sebagai
pengantar.
II.
PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan dipaparkan mengenai metode
penelitian hadis secara umum, metode penelitian hadis menurut Imam al-Bukhari,
Imam Muslim dan Imam Abu Dawud.
A.
PENELITIAN
HADIS
Penelitian hadis, secara sederhana, dapat dipahami
sebagai sebuah usaha yang dilakuakan secara teliti, sistematis, kritis untuk
mengetahui validitas hadis. Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah sebuah
hadis memiliki nilai kesejarahan yang bersambung pada masa nabi atau tidak.[1]
Usaha penelitian hadis ini lebih dikenal dengan istilah ‘naqd al-hadis’
dalam ilmu hadis.
Berangkat dari kehati-hatian dan selektivitas yang
tinggi, para ahli ahdis mencoba menyodorkan kerangka metodologis penelitian
(penyeleksian) hadis dengan didasarkan kepada unsur-unsur formal yang ada pada
sebuah hadis, yaitu: pertama, rangkaian atau silsilah rawi mulai dari sumber
pertama sampai yang paling akhir. Seluruh rangkaian ini buasa disebut dengan
sanad hadis. Kedua, perawi yang
kepadanya sebuah hadis disandarkan. Ketiga, matan atau redaksi hadis yang
merupakan susunan kata atau bunyi hadis.[2]
Adapun langkah-langkah yang mereka tempuh dalam upaya
melakukan penyeleksian atau kririk hadis adalah sebagai berikut:
1.
Melacak sanad
hadis
Langkah ini dilakukan sebagai
upaya mengetahui mata rantai suatu hadis atau persambungan sanad hadis yang
sesungguhnya; apakah hadis tersebut bersumber dari Rasulallah atau dipalsukan
oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Lewat kajian sanadini, kemudian kita mengenal criteria hadis
muttashil dan hadit munqothi’ dlihat dari persambungan sanad dalam ilmu hadis.
Sedangkan adis mu’an’an, muannan, musalsal, ali, nazil dilihat dari segi eadaan
sifat sanad dan cara periwayatannya.
2.
Metode kritik
perawi
Metode kritik perawi merupakan
sarana ampuh untuk memebersihkan hadis nabi Saw. dari berbagai pemalsuan orang
ang berkedo sebagai perawi.dengan metode ini para ulama kemudian membedakan
criteria hadis dalam Hadis Shahih dan Dha’if.[3]
Para kritikus hadis dengan
sungguh-sungguh mengumpulkan biografi para perawi hadis, menelaah kehidupan
mereka secara kritis da jujur serta member penilaian yang objektif. Tak satupun
kecacatan perawi yang mereka sembunyikan. Singkatnya, dalam masalah Jarh wa
ta’dil para kritikus tidak menegnal keberatan.
3.
Kritik Matan
Hadis
Kritik atas matan sesungguhnya
bukan merupakan hal baru. Para sahabat telah mempraktikkan kririk matan ini
sejak dini yang umumnya dilakukan atas hadis yang diriwayatkan oleh seorang
sahabat yang menerimanya secara tidak langsung dari Nabi Saw., melainkan dari
sahabat lainnya, lalu sahabat tersebut menyampaikan hadis tadi seolah-olah dia
mendengarnya langsung dari Nabi Saw.[4]
Kritik matan hadis ini
kerapkali dilakukan bila dalam sisi substansi matan yang terdapat pertentangan
dengan dalil naqli lainnya seperti dalam al-Quran dan hadis lainnya.
Demikianlah sepintas kerangka metodologis penelitian hadis yang
disodorkan para muhadditsin dan ulama dalam rangka menjamin validitas,
otentisitas dan keabsahan sebuah hadis. Dengan kerangka metodologis tersebut
diharpkan bahwa setiap pengkaji atau peneliti hadis mampu menerapkan nilai
kehati-hatian dan selektivikasi hadis.
Dari langkah penelitian hadis ini ulama hadis akhirnya
merumuskan kriteria hadis yang otentik atau shahih adalah hadis yang memenuhi unsure
kaidah kesahihan atau syarat sebagai berikut:
1.
Perawinya
harus ‘adil dan dhabhit (tsiqqah)
2.
Rantai periwayatan
atau sanad harus bersambung
3.
Terhindar
dari syadz
4.
Dan terhindar
dari ‘llat[5]
B.
METODE
PENELITIAN HADIS MENURUT AL-BUKHARI, MUSLIM DAN ABU DAWUD
Setelah pada sub-bab sebelumnya telah kita jelaskan
sedikit mengenai metode penelitian hadis, dalam sub-bab ini akan penulis akan
menyinggung mengenai metode penelitian
hadis menurut al-Bukhari, Muslim dan Abu Dawud.
B.1. AL-BUKHARI[6]
Adalah Imam al-Bukhari seorang ulama hadis yang
mencurahkan hidupnya untuk
melestarikan warisan nabi yang berupa sunnah maupun hadisnya. Dia adalah
penyusun kitab yang mengumpulkan hadis-hadis yang bersumber dari Nabi saw. dan memilki kualitas sahih. Kitabnya bernama
“Al-Jami’ as-Shahih al-Musnad al-Mukhtashor min Umuri Rasulillah wa Sunanihi
wa Ayyamihi”.[7]
Pada hakikatnya
beliau tidak menyebutkan persyaratan maupun metode menerimaan sebuah hadis.
Namun demikian, Untuk mengetahui metode penelitian hadisnya dapat dipahami
melalui 2 hal; Penamaan kitabnya dan penelitian terhadap karyanya.
Pertama, melalui penamaan
kitabnya.
Dari nama kitabnya,
الجامع الصحيح المسند المختصر من امور رسول
الله وسننه وايامه, itu kita
mengetahui beberapa hal sebagai berikut:
‘al-Jami’ dapat dimengerti bahwa beliau
mengumpulkan dan menghimpun di dalamnya berkenaan masalah aqidah, akhlak, fiqh,
muamalah, sejarah, tafsir, dll.
‘as-Shahih’
mengisyaratkan tiada menulis sesuatu dalam kitab kecuali setelah melalui
seleksi yang ketat sehingga tersaring hadis shahih saja. Beliau menegaskan:
Saya tidak memasukkan dalam kitab Jami’ ini kecuali hadis shahih.
‘al-Musnad’ menunjukkan bahwa kitab ini hanya menghimpun hadis
dari Rasulullah yang sanadnya berasmbung dengan beliau, tidak mengambil sesuatu
yang tidak ada dasarnya.
‘al-Mukhtashar’
beliau tidak mengatakan bahwa hadis shahih itu
hanya sekian, dan hanya ini akan tetapi beliau ingin meringkasnya dan memasukan
hal yang menurut beliau penting. Demikian itu agar supaya tidak terlalu
panjang.[8]
Kedua, melalui
penelitian. Setelah para pentahrij hadis meneliti dan mencermati hadis-hadis
yang terkandung dalam kitabnya, dapat disimpulkan bahwa beliau tidak
meriwayatkan sebuah hadis yang diterima apabila sanadnya tidak berasambung,
tidak adil perawinya serta dhabit, dan terdapat syadz maupun ‘illat.
Ibn Thahir dalam ‘Syarah aimmah’ beliau
menuturkan: ketahuilah bahwasanya kedua imam ini yakni Bukhari-Muslim demikian
muhaddis lainnya tiada menyebutkan persyaratan bahwa saya mengambil dari fulan
dan fulan dengan syarat ini dan itu, akan tetapi hal demikian dapat dimengerti
dari mempelajari sejarah dalam kitab mereka, maka terlihatlah persyaratan itu.
Dan adapun Bukhari dan Muslim ia tidak mengambil hadisnya kecuali mereka yang
telah dikenal di kalangan ahli hadis bahwa ia mumpuni serta sanadnya bersambung
dengan sahabat utamanya para sahabat yang masyhur.
Syarat hadis
shahih sebagaimana yang diungkapkan oleh ar-Ramahurmudzi dan demikian pula oleh
Ibn Shalah hadis dapat dikatakan shahih apabila memenuhi beberapa hal:
1.
Sanadnya
muttashil (bersambung) sampai Rasulullah
2.
Perawinya
‘Adil
3.
Dhabit
yakni perawi yang sempurna hafalannya
4.
Tidak
syadz , yaitu menyelisihi perawi yang lebih kuat,
5.
dan
tidak pula terdapat illat yang dapat merusak status keshahihan hadis
Apabila hal di
atas terpenuhi maka ijma’ ahli hadis menilainya shahih, walaupun belum dapat
dikatakan telah selesai semua permasalah karena ada beberapa perbedaan dalam
memahami maksud dari sanad, syarat adil, pengertian dhabit dan arti syadz serta
illat.
Di sini kami
sebutkan beberapa metode Imam Bukhari dalam menilai sebuah hadis shahih dan
ciri kitabnya as-Shahih diantaranya:
Pertama: ada
kriteria lain yang Imam Bukhari menjadi hal yang penting, sebuah sanad dapat
dinyatakan bersambung apabila seorang perawi penerima hadis bertemu langsung
dengan perawi di atasnya, maka apabila hanya ‘katanya’ atau ‘dari’ (‘an’an atau
mu’an’an) dan perawi ini belum bertemu langsung dan mendengar langsung, maka Imam
Bukhari menganggap sanad demikian belum dikatakan muttashil, berarti munqati’
tidak diterima keshahihannya.[9]
Kedua: apabila
perawi kedua sebagai penerima hadis dengan perawi pertama sebagai pemberi hadis
pernah bertemu akan tetapi dimungkinkan hanya sekali, maka pada sisi ini
dilihat tiga hal: 1. Perawi tsiqah lagi ‘adil. 2. Pertemuan sesama mereka
(kalangan murid-murid syaikh) dalam majlis sering terjadi. 3. Perawi ini tidak
dikenal seorang mudallis. Bila demikian keadaannya maka Imam Bukhari masih dapt
menerima.[10]
Ketiga: meneliti
para perawinya, sehingga hadis yang diambilnya dapat dipastikan keshahihannya.
Ia juga membandingkan hadis yang satu dengan hadis lainnya, kemudian memilih
dan meneliti sesuai standar keshahihan yang dia tentukan.[11]
Keempat: imam Ibn
Hajar menyampaikan klasifikasi hadis dalam kitab shaih Bukhari sebagai berikut:
1. Hadis Bukhari
yang mausul tanpa pengulangan 2.602 hadis.
2. Jumlah matan mu’allaq
tapi marfu’ yang tidak disambung di tempat lain 159 hadis.
3. Jumlah hadis
termasuk yang diulang 7.397 hadis.
4.
Jumlah hadis mu’allaq 1.341 hadis.
5. Hadis mutabi’
344 hadis. 6. Hadis dalam kitab sebanyak 9.082 hadis.[12]
Kelima:
pengulangan hadis. Dalam kiitab
shahihnya, Imam Bukhari biasa mengulang hadis dalam satu bab yang sama atau
dalam beberapa bab yang lainn, akan tetapi beliau berusaha untuk tidak
mengulang suatu hadis dengan sana dan matan yang sama di tempat
lain. Hal ini beliau lakukan disebabkan beberapa hal:
a.
untuk
mengangkat hadis tersebut dari derajat ghari.
b.
Sebagian
hadis disebutkan oleh sebagian rawi secara sempurna
c.
Para
rawi bisa saja memiliki perbedaan redaksi
d.
Hadis-hadis
yang diulang memiliki persesuaian makna yang bisa jadi tidak bisa ditemukan di
tempat lain
e.
Hadis-hadis
yang dipertentangkan ketersambungannya atau kemursalannya.
f.
Hadis-hadis
yang dipertentangkan kemarfu’annya dan kemauqufannya
g.
Hadis-hadis
yang pada sebagian jalur periwayatannya ada tambahan seorang perawi
h.
Hadis-hadis
mu’an ‘an, yakni ia berkata: dari si fulan, beliau menyebutkan juga
jalur yang lain sehingga bisa dipastikan terjadinya as-Sima’ di dalamnya.
Keenam:
Pemotongan hadis, beliau melihat dan mencermati beberapa hukum yang muungkin
menjadikannya merasa perlu memotong atau meringkas sebuah hadis.
Ketujuh: Imam
Bukhari mencantumkan hadis Mursal. Namun jenis ini sangatlah sedikit dan
bukan sesuatu yang bisa mengurangi keshahihan hadis tersebut dikarenakan
sebagai berikut:
a.
Beliau
meriwayatkan hadis mursal sebagai tabi’
b.
Beliau
menyebutkan sebuah hadis mursal langsung setelah riwayat musnad.
Seakan mengingatkan bahwa jalur mursal tidak mengurangi keshahihannya.
c.
Khabar
memiliki bentuk mursal, namun di dalamnya ada indikasi kuat bahwa orang yang
dimursalkan telah mengambil dari si fulan secara liqa’ (ketemu) dan sima’
(mendengar langsung)[13]
Kedelapan: Imam
Bukhari tidak memakai hadis dha’if dalam beramal, dengan alasan cukuplah hadis
shahih sebagai petunjuk yang sempurna.
Akhirnya
kami ungkapkan pernyataan Imam Nawawi yang telah membagi derajat hadis shahih
seperti ini;
1.
Yang
paling shahih, ialah yang disepakati Bukhari-Muslim
2.
Yang
diriwayatkan Bukhari
3.
Yanng
diriwayatkan Muslim
4.
Yang
atas syarat kedua imam ini, meskipun keduanya tidak meriwayatkan
5.
Yang atas syarat Imam Bukhari
6.
Yang
atas syarat Imam Musllim
7.
Yang
dianggap shahih oleh imam-imam hadis lainnya.[14]
Dengan demikian
cukup meyakinkan pada kita semua bahwa persyaratan yang telah ditetapkan oleh
Imam Bukhari adalah jalur yang paling autentik dalam menetapkan sebuah hadis
baik dari segi sanad dan matan.
Abu
al-Hasan Muslim bin Hajjaj mengikuti jejak gurunya, al-Bukhari, untuk
melakukan penelitian hadis. Hadis-hadis yang ia teliti kemudian dia
kumpulkan dalam sebuah kitab yang bernama ‘Al-Musnad As-Shahih[16]’. Kitab ini
menjadi karya terbesarnya dan menjadi rujukan umat muslim sampai saat ini.
Dalam
muqaddimah kitab shahihnya, Imam Muslim, menyebutkan kewajiban meriwayatkan hadis dari orang-orang tsiqqah dan meninggalkan riwayat
yang berasal dari para pendusta, pelaku bid’ah yang ingkar. Kemudian beliau
menyebutkan beberapa hadis yang mengecam keras bagi pendusta dengan
menatasnamakan Rasulallah Saw. dan beliau mengkritik orang yang menceritakan
semua yang didengarnay, lalu menyebutkan beberapa nash dan atsar mengenai hal
itu. Setelah itu beliau menyebutkan larangan al-Syari’
untuk tidak meriwayatkan dari orang-orang lemah dan juga agar berhati-hati
dalam mengambil hadisnya.[17]
Beliau juga menjelaskan
sanad itu adalah bagian dari agama, dan menetapkan al-jarh para perawi
sera membedakan orang tsiqqah dari orang lemah bukanlah termasuk pebuatan
pencemaran nama baik dan ghibah yang diharamkan. Hal ini emata-mata bertujuan
membela dan mempertahankan syariat.[18]
Berdasarkan logika seperti
ini, maka syarat yang beliau tetapkan dalam menyusun kitabnya adalah bahwa
beliau mentakhrij hadis yang bersambung sanadnya, dengan periwayatan orang tsiqqah
dari awal sampai akhir serta hadisnya terhindar dari syadz dan ‘illat.
Inilah batasan shahih yang berlaku di kalangan ulama hadis, dan ini adalah
syarat yang ditetapkan Imam al-Bukhari juga dalam kitab Shahih-nya.
Namun demikian, mengenai kriteria
ittishal as-sanad Imam Muslim berbeda denagn al-Bukhari dalam
keharusan si perawi tsiqqah mendengar dari perawi di atasnya, Imam Muslim
berkata: “Jika telah terbukti mu’asharoh (sezaman) diantara keduanya
sehingga dimungkinkan bertemu dan mendengar, maka ini menjadi sanad yang
bersambung atau muttashil walaupun tidak ada berita bahwa keduanya bertemu
dan berbicara berhadapan, kecuali jika rawinya seorang mudallis atau ada
argumentasi yang membuktikan inqitha’ (keterputusan) diantara keduanya.”[19]
Dalam hal shigat tahdis, Imam Muslim membedakan
penggunan lafal “حدثنا” dan “اخبرنا”. Menurutnya
lafal haddatsana hanya digunakan untuk hadis yang didengar dari seoarang
guru atau syaikh, sedangakan lafal akhbarona digunakan untuk hadis yang
dibacakan pada seorang syaikh. Pendapat ini sejalan dengan madzhab Syafi’i dan
jumhur. Hal ini menunjukkan ketelitian dan kehati-hatian Imam Muslim dalam cara
penyampaian dan penerimaan hadis.[20]
Dalam kitab sahihnya Imam Muslim menyebutkan
sebuah hadis dengan berbagai jalurnya dalam satu tempt. Dan jika ada perbedaan
redaksi hadis diapun menjelaskannya. Ini mempermudah para pengkaji hadis untuk
mengetahui jalur-jalur lain sebuah hadis. Hal ini menunjukkan bahwa Imam Muslim
juga melakukan kritik matan dimana dia mengumpulkan hadis yang beredaksi sama
atau semakna serta menelaahnya dan kemudian ia sebutkan dalam kitabnya.
B.3. ABU
DAWUD[21]
“Abu
Dawud telah melunakkan Hadith, sebagaimana Nabi Dawud melunakkan besi” ungkapan ini dilontarkan oleh Ibrahim
al-Harbi seorang ahli hadis sebagai pujian kepada Abu Dawud as-Sijistani karena kelihaiannya meneliti
hadis. Masih banyak
pujian-pujian ulama menegenai kapasitas Abu Dawud sebagai ahli hadis dan
pengarang kitab as-Sunan.
Kitab Sunannya, yang memuat sekitar 4.800 hadis,
dia susun untuk menjadi dasar para ulama fiqih dalam beristinbat hukum.[22]
Hujatul Islam, Imam Abu
Hamid al-Ghazali berkata: “Sunan Abu Dawud sudah cukup bagi para mujtahid untuk
mengetahui hadis-hadis ahkam.” Demikian juga dua imam besar, An-Nawawi dan Ibnu Al-Qayyim
Al-Jauziyyah memberikan pujian terhadap kitab Sunan ini bahkan beliau
menjadikan kitab ini sebagai pegangan utama di dalam pengambilan hukum.[23]
Imam
Abu Dawud Rahimahullah menjelaskan syarat yang ia tempuh dalam penyusunan
as-Sunan, demikian pula beliau menjelaskan kepada penduduk Makkah yang beliau
sampaikan dalam bentuk surat, beliau menggambarkan karakter kitabnya. Syarat
tersebut:
1.
Beliau
mengungkapkan, “Jika seorang menyebutkan dihadapan Anda sebuah sunnah yang
berasal dari Nabi yang tidak aku keluarkan, ketahuilah bahwa itu adalah sebuah
hadis yng diriwayatkanya, padahal hadis tersebut ada dalam kitabku tetapi dari
jalur lain. Aku sengaja tidak mentakhrij semua jalur tersebut karena jumlahnya
terlalu banyak sehingga memberatkan bagi orang yang mempelajarinya”.
2.
Beliau
mentakhrij hadis yang menurutnya terbukti paling shahih dalam bab tersebut,
kecuali jika dalam sebuah hadis menurutnya terdapat dua sanad shahih, salah
satunya memiliki perawi yang hafalannya lebih kuat, sedang sanad yang lain
perawi lebih senior, maka beliau memprioritaskan riwayat perawi yang lebih
senior tersebut.
3.
Dalam
menetapkan masalah rijal hadis beliau tidak mentakhrij hadis dari orang yang matruk
(ditinggalkan karena dituduh berdusta). Beliau hanya mentakhrij dari
orang-orang tsiqah dan perawi yang daya hafalannya mendekati orang tsiqah,
selain itu belaiu juga mentakhrij hadis dari orang yang tidak disepakati suka
berdusta.
4.
Syarat
yang beliau lalui dalam masalah sanad adalah ketersambungan (ittishal) sanad tersebut, sehingga
beliau tidak mentakhrij hadis munqathi’ atau pun hadis mursal, kecuali
jika dalam bab yang beliau bahas tidak menemukan hadis muttashil; atau
jika khabar munqathi’ dan mursal tersebut hanya sunnah yang bersifat
tambahan.
5.
Imam
Abu Daud menuturkan, “ Aku mencantumkan hadis shahih yang semisalnya, dan hadis
yang derajatnya mendekatii shahih. Adapun jika dalam suatu hadis terdapat
kelemahan yang sangat, maka aku tidak melewatinya kecuali menjelaskannya; dan
apa yang aku tidak komentari, maka hadis itu bisa dipastikan tiada masalah dan
dapat diamalkan”.[24]
6.
Imam
Abu Daud tidak memotong sebuah hadis dalam bab kitabnya, itu semua karena
beliau tidak membebani diri terhadap istinbath hukum. Walau demikian, ia
masih meringkas sebuah hadis tertentu bila hadis itu dalam posisi sebagai syahid.
7.
Menghimpun
mutaba’ah secata berturut-turut dan tidak memisahkannya. Selain itu,
mengingatkan pula adanya perbedaan penyampaian dan perbedaan lafaz periwayatan
diantara perawi.
8.
Sistematika
as-Sunan, beliau membagi as-sunan ke dalam beberapa kitab sesuai dengan
bab-bab fikih pada setiap bab beliau memberi penjelasan tersendiri. Setiap bab
memiliki judul yang menunjukkan kualitas dan baiknya klasifikasi, hal tersebut
bisa kita lihat berikut;
a.
Memperioritaskan
perbuatan mukallaf yang paling penting, dimana beliau memulai pembahasan dengan
masalah ibadah, thaharah, kemudian shalat dan seterusnya. Demikian pula susunan
penjelasan yang ada di setiap kitab ada bab buang hajat kemudian diikuti
bab wudhu dan seterusnya
b.
Mengungkapkan
hal yang mudah dalam penjelasan kitab sehingga bisa menggambarkan persesuaian
yang jelas dengan hadis yang ia sebutkan di bawahnya. Tarjamah yang beliau
cantumkan mirip dengan cabang-cabang fikih yang akan dituliskan dalil-dalilnya.
9.
Apabila
ada hadis mu’allaq yang beliau cantumkan maka sebagian besar hadis mu’allaq
tersebut digunakan sebagai mutaba’ah dan syahid untuk sebuah hadis lain yang
beliau sebutkan sebelumnya.
10. Kitab sunan adalah kitab pegangan dan
sumber rujukan mayoritas ulama Islam, semua itu dikarenakan
dalam penyusunannya mengandung perincian hukum dan penjelasan hujjah
halal-haram.
11. Menjelaskan setiap hadis yang ada illatnya
(memiliki cacat), dan beliau secara konsisten menta’lil yang memiliki illat.
12. Ada beberapa hadis dha’if yang
didiamkan oleh Imam Abu Daud, hal tersebut sebagaimana yang disebutkan Ibn
Hajar, Imam Nawawi serta Ibn Jauzi, sehingga yang memiliki ilmu agar tidak
bertaqlid begitu saja pada kitab ini.
III.
KESIMPULAN
Dari
penjelasan dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut;
1.
Penelitian
hadis dilakukan untuk membedakan hadis yang sahih dan yang tidak. Berhubungan
dengan hal ini ulama menciptakan kerangka metodologis penelitian hadis.
2.
Imam
al-Bukhari, Muslim dan Abu dawud, generasi ulama abad ke-3 H, telah melakukan
kegiatan penelitia hadis. Secara garis besar mereka menyaratkan hal yang sama
pada syarat shahih meskipun terdapat perbedaan-perbedaan juga. Hal ini sangatlah
wajar karena penelitian kesahihan hadis merupakan hal yang ijtihadi.
Wallah a’lam bisshowab.
BIBLIOGRAFI
Abd Allah bin
Abd Allah, Sembilan Pendekar Hadis, terj. Uwais al-Qorni, Bogor: Pustaka
Thriqul Izzah, 2007
Abu Bakr Muhammad bin Musa al-Hazimi, Syurut
al-A’immah al-Khomsah, (Beirut: Dar al-kutub al-Ilmiyah, 1984 M/1405 H)
Adz-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubala’, (Muassasah
ar-Risalah, 1985)
DR. Muhammad al-Dasuqi, Manhaj Al-Bahts fi Al-Ulum
Al-Islamiyah, (Dar al-Auza’I, 1404 H/1984 M)
DR. Muhammad Thohir al-Jawabi, Juhud Al-Muhadditsin
fi Naqd Matn Al-Hadits Al-Nabawi Al-Syarif, Muassasat Abd al-Karim bin
Abdillah
Dr. Subhi as-Shaleh, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis,
(Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009)
Ibnu Ahmad ‘Alimi, Tokoh dan Ulama Hadis, (Sidoarjo:
Buana Pustaka, 2008)
Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, (Mesir:
Dar Ibn al-Jauzi, 2010)
Prof. DR. M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan
Hadis, (Jakarta: Bula BIntang, Cet. 3, 2005)
------------------------------, Metodologi
Penelitian Hadis, (Bandung: Bulan Bintang, 2007)
Prof. Dr. Mustafa Yaqub, MA, Imam Bukhari dan
Metodologi Kritik dalam Ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006)
Wahyudin Darmalaksana, Hadis di Mata Orientalis,
(Bandung: Benang Merah Press, 2004)
[1] M. Syuhudi Ismail menjelaskan bahwa tujuan
penelitian hadis adalah untkuk mengetahui kualitas hadis dalam hubunganya
dengan kehujjahan hadis yang bersangkuan. Metodologi Penelitian Hadis,
(Bandung: Bulan Bintang, cet.2, 2007), hlm. 26.
[2] Wahyudin Darmalaksana, Hadis di Mata
Orientalis, (Bandung: Benang Merah Press, 2004), hlm. 5
[3] Ibid.,
[4] Ibid., hlm. 6, Dr. Muhammad al-Dasuqi
menyatakan ada tiga yang menjadi objek penelitian hadis; sanad, matan
dan tahammul wa ada’. Manhaj Al-Bahts fi Al-Ulum Al-Islamiyah,
hlm. 246
[5] Unsur-unsur ini kemudian disebut dengan unsur-unsur
kaidah mayor kesahihan hadis yang telah disepakati oleh mayoritas ulama
hadis. Kaidah mayor ini kemudian diturunkan menjadi kaidah minor dan para ulama
hadis sering berbeda pendapat dalam hal ini. Prof. M. Syuhudi Ismail, Kaidah
Kesahihan Hadis, (Jakarta: Bula BIntang, Cet. 3, 2005) hlm. 130-131
[6] Imam al-Bukhari lahir di Bukhara, Uzbekistan,
Asia Tengah. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin
Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah Al-Ju'fiy Al Bukhari, namun beliau lebih
dikenal dengan nama Bukhari. Beliau lahir pada hari Jumat, tepatnya pada
tanggal 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M). Kakeknya bernama Bardizbah, turunan Persi yang masih
beragama Zoroaster. Tapi orangtuanya, Mughirah, telah memeluk Islam di bawah asuhan Al-Yaman al-Ju’fiy. Lihat Adz-Dzahabi, Siyar A’lam
al-Nubala’, (Muassasah ar-Risalah, 1985), juz:12, hlm. 383.
[7] Al-’Allamah Ibnu as-Shalah dalam Muqaddimah-nya
menyebutkan, bahawa jumlah hadith Shahih Bukhari sebanyak 7.275 buah hadith,
termasuk hadith-hadith yang disebutnya berulang, atau sebanyak 4.000 hadith
tanpa pengulangan. Perhitungan ini diikuti oleh Al-”Allamah Syaikh Muhyiddin
an-Nawawi dalam kitabnya, at-Taqrib. Dan diceritakan bahwa beliau
meghabiskan waktu 16 tahun untuk menyelesaikan kitabya ‘al-Jami’ as-Shahih’.
[8] Ibnu Hajar al-Asqolani, Muqaddimah Fath
al-Bari, hlm. 7
[9] . Ibnu Ahmad ‘Alimi, Tokoh dan Ulama Hadis,
(Sidoarjo: Buana pustaka, 2008), hlm. 184
[10] . At-tamhid ibn Abdil Barr (1/12)/dapat juga
dilihat: Kuttab Kutub At-Tis’ah, Abdullah bin Abdullah penerjemah, Uwais
al-Qarni. Pustaka Thariqul Izzah 2007 hal: 31
[11] . Tokoh
dan Ulama Hadis, Op.cit.,
[12] . Ibid.
[13] .
Kuttab Kutub At-Tis’ah, Abdullah bin Abdullah penerjemah, Uwais al-Qarni.
Pustaka Thariqul Izzah 2007 hal: 44
[14] . Dr. Subhi
as-Shaleh, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus. Cet.
VIII, 2009) hlm. 149
[15] Nama lengkap beliau adalah Abu
al-Hasan Muslim bin Hajjaj bin Muslim bin Warad bin Kausyaz al-Qusyairi
an-Naisaburi. Al-Qusyairi di sini merupakan nisbah terhadap nasab (silsilah
keturunan) dan An Naisaburi merupakan nisbah terhadap tempat kelahiran beliau, yaitu
kota Naisabur, bagian dari Persia yang sekarang manjadi bagian dari negara
Rusia. Tentang al-Qusyairi, seorang pakar sejarah, ‘Izzuddin Ibnu Atsir,
berkata: “Al-Qusyairi adalah nisbah terhadap keturunan Qusyair bin Ka’ab bin
Rabi’ah bin ‘Amir bin Sha’sha’ah, yang merupakan sebuah kabilah besar. Banyak
para ulama yang menisbahkan diri padanya”.
Para ahli sejarah Islam berbeda
pendapat mengenai waktu lahir dan wafat Imam Muslim. Ibnu Hajar Al Asqalani dan
Ibnu Katsir mengatakan bahwa Imam Muslim dilahirkan pada tahun 204 H dan wafat
pada tahun 261 H. Namun pendapat yang paling kuat adalah bahwa beliau
dilahirkan pada tahun 206 H dan wafat pada tahun 261 H di Naisabur, sehingga
usia beliau pada saat wafat adalah 55 tahun. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh
Abu Abdillah Al Hakim An Naisaburi dalam kitab Ulama Al
Amshar, juga disetujui An Nawawi dalam Syarh
Shahih Muslim.
[16] Kitab ini disusun selama 15 tahun. Imam Muslim tidak
membuat daftar bab dengan menggunakan kata kerja (betuk fi’il),
melainkan mengumpulkan hadis yang secara tema berhubungan. Menyangkut jumlah
hadis yang ada dikompliasi, para ahli berbeda pendapat dalam menghitungnya. Ahmad
bin Salmah mengatakan bahwa al-Jami’ al-Shahih berisi 12.000 hadis,
sedangkan Ibn Shalah yang mengikuti Abi Quraisy al-Hafidz mengatakan, bahwa
didalamnya terdapat 4.000 hadis saja.
[17] Muslim bin al-Hajjaj, Shahih
Muslim, (Mesir: Dar Ibn al-Jauzi, 2010),
hlm. 6-7
[18] Ibid.,
[19] Ibid., hlm. 14
[20] Berbeda dengan Bukhori dan sebagian
ulama (mjoritas ulama Hijaz dan Kufah) yang membolehkan penggunaan lafal ‘haddatsana’
dan ‘akhbarona’ untuk hadis yang
dibacakan pada seorang syaikh. Lihat DR.
Muhammad Thohir al-Jawabi, Juhud Al-Muhadditsin fi Naqd Naqd Matn Al-Hadits
Al-Nabawi Al-Syarif, hlm. 238.
[21] Beliau
bernama lengkap
Sulaimaan bin al-Asy’ab bin Ishaaq ibn Basyiir bin Syadaad bin ‘Amr al-Azdiy
as-Sijistaaniy, lahir pada 202 H dan
wafat 275 H. Sejak
kecil, Imam Abu Dawud dikenal sebagai anak yang amat mencintai ilmu dan senang
bergaul dengan para ulama. Ia belajar
agama sejak usia dini, terutama dengan al-Qur’an dan Bahasa Arab.
Ketertarikannya dalam bidang hadis yang juga dalam usia dini, karena ayahnya
al-Asy’ats bin Ishaq adalah seorang perawi hadits yang meriwayatkan hadits dari
Hamad bin Zaid dan saudaranya, Muhammad bin al-Asy`ats termasuk seorang yang
menekuni dan menuntut hadits. Ketertarikannya dalam bidang hadis ini membawa ia
berkelana ke berbagai negeri di mana ada guru-guru hadis seperti: Khurasan,
Rayy, Kuffah, Bagdad, Basrah, Damaskus dan Mesir.
[22] Abu Bakr Muhammad bin Musa al-Hazimi,
Syurut al-A’immah al-Khomsah, (Beirut: Dar al-kutub al-Ilmiyah, 1984 M/1405
H), hlm. 68
[23] Meskipun
demikian kitab sunan abu dawud tidak lepas dari kritikan diantaranya adalah Ibnul Jauzi telah mengkritik beberapa
hadith yang dicantumkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya dan memandangnya sebagai
hadith-hadith maudhu’ (palsu).
[24] .
Kuttab kutub tis’ah, Abdullah bin Abdullah, pustaka thariqul Izzah Bogor, cet;
1 th. 2007 hal; 101
Dasar Tecnologi Izin copy gan untuk buat tugas..
BalasHapusdan ini sangat bagus makalahnya mass, pake referensi