Halaman

Selasa, 31 Januari 2012

Membley, "Stadion" Kebanggaan Kami

Inilah lapangan Membley kebanggan kami.
Kalau Inggris punya Wembley, kami para kader ulama di asrama IIQ juga punya "stadion" sendiri. Tanpa ada kesepakatan resmi, kami menamainya Membley. Ya, mungkin saja maksudnya plesetan dari Wembley yang sangat megah di Inggris itu. Walau tak sebesar dan sehebat Wembley, kami bangga dengan stadion itu. Hampir setiap hari libur, kami mengisi aktivitas di asrama dengan bermain futsal bersama.

Lapangan bola itu terletak di sebelah masjid asrama. Tepatnya, di depan masjid. Tengahnya, bukan berumput halus mirip Membley, tapi pelesteran semen yang sudah mulai bolong dan pecah di sana-sani. Bahkan, kalau sedang turun hujan, air akan menggenang di beberapa bagian tengah lapangan. Tapi, itu tetap tak mengganggu keasyikan kami memainkan bola. Dan tentu saja, tak mengurangi kebanggaan pada lapangan itu.

Ulama yang Tertipu

Sebagai kader ulama, yang berarti adalah calonnya ulama--suatu saat kelak, perlulah kita mengetahui macam-macam ulama. Untuk yang pertama, perlu kita tahu beberapa macam ulama yang tertipu. Lho, ulama kok bisa tertipu? Oleh siapa, karena apa? Kita lihat tulisan ringan dari Ustadz Muhammad Said yang diringkas dari karangan Imam Al-Ghazali "Asnaf al-Maghrurin berikut.

Al-Ghazali menulis dalam Asnaf al-Maghrurin: 
Ulama' yang tertipu itu ada sebelas golongan. 

Belajar Qira’at Sab’ah, Luruskan Salah Paham


Selama ini, kesalahan besar yang berkenaan dengan pengumpulan al-Qur’an adalah bahwa pemahaman bahwa Ustman bin Affan memerintahkan untuk menuliskan al-Quran dalam satu bacaan yang sama dan menjadikan enam mushaf. Lalu, mushaf-mushaf tersebut di kirim ke daerah-daerah Islam, seperti Mekkah, Yaman, Kufah, Syam, Bashrah, dan di Madinah sendiri.

“Mulai sekarang, pemahaman seperti itu harus dicoret besar-besar. Dengan enaknya, mereka bilang kalau Utsman menyamakan bacaan al-Qur’an dan menjadikannya dalam enam mushaf Utsmani itu agar bacaan umat Islam sama. Ini harus diluruskan,” tegas Ustadz Fathoni dalam pengajian rutin Qira’at Sab’ah di Masjid Raudhatul Qur’an, Institut Ilmu Al-Quran (IIQ), Jumat (26/11).

Belajar Ngaji Tiada Henti


Sewaktu masih kanak-kanak, saya belajar mengaji pada paman saya. Di rumah, bapak dan ibu saya juga bergantian mengajari baca huruf hijaiyah dan al-Qur’an. Saya teringat, waktu itu sampai tertangis-tangis. Kala itu, saya merasa bacaan saya sudah cukup baik. Bahkan, paman saya juga menyuruh kami—saya dan teman-teman bareng mengaji—untuk menghafalkan surat-surat pendek dalam juz 30. Ini berlangsung hingga saya di kelas 3 Madrasah Ibtidaiyah.

Ketika saya mulai bersekolah Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD) di Kranji (desa tetangga), orangtua saya mulai berpikir agar saya bisa belajar ngaji di salah seorang ustadz di Pondok Kranji. Beliau adalah penghafal al-Qur’an. Begitu pula dengan istrinya. Dan, mulailah saya belajar mengaji pada beliau. Setiap sore, dengan ngontel sepeda, saya menghampiri rumah teman-teman saya dari Kranji. Lalu, kami berangkat bareng ke Pondok Kranji.