Halaman

Minggu, 16 Desember 2012

Aa Gym; Kiai Manajemen Qalbu

KH. Abdullah Gymnastiar, lahir di Bandung pada tanggal 29 Januari 1962 dari pasangan Letkol H. Engkus Kuswara dan Ny. Hj. Yeti Rohayati, sebuah keluarga yang dikenal relijius dan disiplin. Tak ingin disebut Kiai, atau Ustad, karenanya lebih dikenal dengan panggilan Aa Gym. Dari pernikahannya dengan Ninih Muthmainnah Muhsin – cucu KH. Mohamad Tasdiqin (Pengasuh Pondok Pesantren Kalangsari, Cijulang, Ciamis Selatan), Aa Gym dikaruniai enam orang anak, yakni Ghaida Tsuraya, Muhammad Ghazi Al-Ghifari, Ghina Raudhatul Jannah, Ghaitsa Zahira Shofa, Ghefira Nur Fatimah, dan Ghaza Muhammad Al-Ghazali. Tak ketinggalan, lima orang anak yatim ikut tinggal menjadi anak asuh di keluarga ini. 

KH Jusuf Hasjim

Lahir di Jombang pada 1929, putra Kiai Hasjim Asj'ari. Memperoleh pendidikan di pesantren ayahnya dan sebuah sekolah pendidikan guru di kota tersebut. Pada masa perjuangan kemerdekaan, dia terlibat aktif dalam kegiatan militer, semula di Hizbullah, kemudian memperoleh pangkat letnan satu di tentara nasional. Menjadi kepala sekolah pada sebuah SMP di Jombang, dan sejak 1965 menjabat sebagai pimpinan Pesantren Tebuireng, menggantikan kakaknya, Chalik.

Dia mengaku terlibat aktif dalam Pengganyangan Komunisme pada 1965-66. Memegang berbagai posisi di PBNU dan DPP PPP. Sebagai seorang anggota DPR sejak 1971 hingga 1982, dia merupakan salah seorang tokoh NU yang bersuara paliog blak-blakan. Dia tidak terpilih kembali karena perubahan daftar calon DPR yaog dilakukan Naro. Pada saat buku ini ditulis (1994) dia adalah salah seorang Rois Syuriyah dan penasehat senior pada P3M.

(Tempo 1981:212; 1984:270-1; 1986:298-9)

KH Wahab Chasbullah (1888-1971)

Pendiri NU yang sebenarnya. Putra Kiai Chasbullah dari Tambakberas, Jombang. Belajar di berbagai pesantren Jawa Timur (termasuk yang dipimpin Kiai Kholil di Bangkalan dan di pesantren kerabatnya, Hasjim Asj'ari, di Tebuireng). Selama 1910-14 belajar di Mekkah, kepada ulama Indonesia terkemuka seperti Mahfuzh Termas dan Ahmad Khatib Minangkabau. Sekembalinya dari tanah Arab, dia menetap di Surabaya dan aktif di berbagai lingkungan sosial yang luas, mendirikan beberapa organisasi yang dapat dipandang sebagai cikal bakal Nahdlatul Ulama, yang didirikan di rumahnya di Surabaya pada bulan Januari 1926.

KH Saifuddin Zuhri (1919-1986)

Lahir di Sokaraja, Banyumas (Jawa Tengah) sebagai putra seorang petani dan pedagang. Mendapat pendidikan di Sekolah Dasar dan beberapa pesantren. Dia menjadi guru di sebuah sekolah yang berafiliasi dengan NU di Sokaraja (1937-44), dan wartawan yang bekerja untuk berbagai surat kabar harian dan mingguan. Aktif sebagai pengorganisir Anshor di Jawa Tengah bagian selatan (1938-42), konsul NU di Kedu, Purworejo (1942-49), dan komandan barisan gerilya Hizbullah di wilayah Magelang pada masa revolusi (1946-49).

Pada 1954 dia terpilih menjadi pengurus Tanfidziyah PBNU, dan sejak 1965 menjabat sebagai sekretatis jenderalnya. Selama 1960-64 menjadi pimpinan redaksi Duta Masyarakat, koran harian NU, dan 1964-67 menjadi Menteri agama. Sejak 1968 hingga 1982 dia menjadi anggLahir di Sokaraja, Banyumas (Jawa Tengah) sebagai putra seorang petani dan pedagang. Mendapat pendidikan di Sekolah Dasar dan beberapa pesantren. Dia menjadi guru di sebuah sekolah yang berafiliasi dengan NU di Sokaraja (1937-44), dan wartawan yang bekerja untuk berbagai surat kabar harian dan mingguan. Aktif sebagai pengorganisir Anshor di Jawa Tengah bagian selatan (1938-42), konsul NU di Kedu, Purworejo (1942-49), dan komandan barisan gerilya Hizbullah di wilayah Magelang pada masa revolusi (1946-49).

KH Sahal Mahfudh

Lahir di Kajen (Pati, Jawa Tengah) pada 1937 dari sebuah sebuah keluarga yang selama beberapa generasi melahirkan ulama, dan melalui perkawinan- perkawinan juga mempunyai hubungan dengan keluarga-keluarga tokoh ulama Jawa Timur. Belajar di berbagai pesantren Jawa tengah dan Jawa Timur, dan melengkapi pendidikannya dengan belajar di Mekah selama tiga tahun.

Pada 1963 dia menggantikan kedudukan ayahnya sebagai pimpinan pesantren di Kajen, dimana dia memperkenalkan pembaruan-pembaruan pendidikan yang moderat. Merupakan salah seorang kiai yang paling awal terlibat dalam proyek-proyek pengembangan masyarakat. Memegang berbagai posisi pimpinan di NU dan MUI pada tingkat regional dan propinsi; pada 1984 dan kembali pada 1989 terpilih untuk posisi Syuriyah PBNU (sebagai Rois).

Kiai Kholil Bangkalan; Kiainya Para Kiai

Ulama Madura paling terkemuka pada akhir abad ke-19. Dia tampaknya pernah belajar di Mekkah pada 1860-an dan sekembalinya ke Indonesia, dia mendirikan sebuah pesantren di Demangan, Bangkalan, yang menjadi pusat daya tarik tidak hanya bagi masyarakat Madura tetapi juga kaum santri Jawa Timur. Terkenal sebagai wali, yang memiliki berbagai kekuatan spiritual yang luar biasa. 

Beberapa anggota pendiri NU (termasuk Kiai Hasjim Asj'ari, Kiai Wahab Chasbullah dan Kiai Bisri Syansuri) adalah muridnya. Pada tahun-tahun kemudian, Kiai Kholil mengunjungi mantan muridnya, Kiai Hajim Asj'ari, untuk belajar kitab- kitab hadits, sebuah mata pelajaran baru di pesantren. Dia meninggal pada 1925. Makamnya di Bangkalan merupakan tempat ziarah penting, yang sering didatangi bukan banya oleh orang Madura tetapi juga banyak orang Jawa dan Sunda.

KH Idham Chalid

Lahir di Setui, Kalimantan Selatan pada 1921. Belajar di sebuah sekolah pendidikan guru setempat dan kemudian di pondok pesantren modern Gontor (Ponorogo, Jawa Timur). Memulai karier politiknya sebagai ketua cabang Masyumi lokal di Kalimantan Selatan pada 1944. Pada 1947 menjadi anggota Dewan regional yang disponsori Belanda pada 1949-1950 anggota parlemen Republik Federal, dan pada 1955 terpilih menjadi anggota DPR dengan tiket NU. Diangkat menjadi Wakil Perdana Menteri dalam Kabinet Ali Sastroamidjojo kedua (1956-1957), dan pada tahun yang sama menjadi ketua umum Tanfidziyah NU, posisi yang terus dipegangnya sampai dia dibujuk mengundurkan diri pada 1982.

KH Hasyim Asy'ari; Sang Hadratus Syaikh Pendiri NU

Lahir di Nggedang, Jombang, Jawa Timur. Belajar ilmu agama di berbagai pesantren Jawa Timur dan berangkat ke Mekkah pada 1892, dimana dia menetap, dengan selang waktu sebentar saja, lebih dari tujuh tahun. Sambil belajar kepada para guru Indonesia dan Arab yang paling terkemuka di sana, dia juga mengajar orang Indonesia yang lebih muda. Sekembalinya ke tanah air, dia mengajar selama beberapa tahun (1903-1906) di Kemuning (Kediri), dan kemudian mendirikan pesantren sendiri di Tebuireng dekat Jombang (izin resminya dikeluarkan tahun 1906, tetapi pesantren ini konon sudah berdiri sebelumnya, menurut Akarhanaf sudah sejak 1899). Sejak saat itu dia jarang meninggalkan Tebuireng kecuali unduk perjalanan dagang rutin ke Surabaya.

Kiai Hasani bin Nawawie: Diplomat Ulung di Masa Belanda

Lahir sekitar tahun 1924/1925, Kiai Hasani sudah yatim semenjak masih dalam usia dini. Abah beliau, K.H. Nawawie wafat ketika Kiai Hasani masih berusia sekitar 2 tahun.
Kiai Hasani adalah putera bungsu KH. Nawawie bin Noerhasan. Beliau adalah satu dari 8 bersaudara putera Kiai Nawawie. Masing-masing adalah KH. Noerhasan bin Nawawie (dari Nyai Ruyanah); Nyai Hanifah, K.H. Kholil Nawawie, Nyai Aisyah (dari Nyai Nadhifah); K.H. Sirajul Millah, K.A. Sa’doellah Nawawie dan K.H. Hasani Nawawie (dari Nyai Asyfi‘ah).

Tanda-tandanya sebagai ulama yang dekat dengan Allah sudah tampak semenjak muda. Tidak seperti umumnya anak-anak muda, Kiai Hasani menghabiskan masa belianya penuh dengan cahaya keagamaan. Beliau adalah sosok pemuda yang agamis, wara’, khusyu’, rajin, dan berbudi pekerti luhur.

KH Bisri Syansuri

Lahir di Tayu (Pati, Jawa Tengah). Pendidikan awal diperolehnya di beberapa pesantren lokal, dan kemudian belajar kepada Kiai Kholil di Bangkalan (dimana dia bertemu Kiai Wahab Chasbullah untuk pertama kalinya) dan kepada Kiai Hasjim Asj'ari di Tebuireng (1906-12, bersama Wabab). Ketika sedang berada di Mekkah, dia menikahi adik perempuan Kiai Wahab, dan sepulangnya dari sana dia terlebih dahulu menetap di pesantren mertuanya di Tambak Beras, Jombang. Pada 1917 dia mendirikan pesantren sendiri di Denanyar. Dia terlibat dalam pebentukan NU pada 1926 dan sejak awal menjadi anggota pengurus, walaupun bukan jabatan paling penting. Kiai Bisri pada mulanya adalah seorang ulama ahli fiqh dan seorang guru, tetapi semakin lama semakin terlibat dalam politik.

As'ad Syamsul Arifin (1897-1990)

Lahir di Mekkah. dari keluarga Madura asal Pamekasan yang mengaku keturunan bangsawan sekaligus ulama. Sekembalinya ke Madura, ayahnya, Kiai Syamsul Arifin mendirikan sebuah pesantren kecil di Kembang Kuning, Pamekasan, dan beberapa tahun kemudian juga mendirikan sebuab pesantren yang lebih besar di Situbondo, di bagian ujung timur pulau Jawa yang pada saat itu belum dibuka. As`ad sendiri dkirim belajar kepada Kiai Kholil Bangkalan dan Kiai Hasjim Asi'ari di Tebuireng, dan kemudian belajar lagi ke Mekkah. Mulai mengajar di pesantren ayahnya di Situbondo pada 1924, dan menggantikannya ketika sang ayah meninggal dunia pada 1951.

KH Ali Yafie; Ahli Fikih Indonesia

Lahir di Donggala, Sulawesi Tengah, pada 1928. Pendidikan pertamanya adalah sekolah dasar umum, yang dilanjutkan dengan pendidikan madrasah di Sulawesi Selatan (di Madrasah As'adiyah yang terkenal di Singkang). Spesialisasinya adalah fiqh dan dikenal luas sebagai seorang ahli yang canggih dalam bidang ini, bacaannya lebih luas daripada yang lain. Dia mengabdikan diri sebagai ha- kim di pengadilan agama Ujung Pandang sejak 1959 sampai 1962, kemudian inspektorat pengadilan agama Indonesia Timur (1962-65).

Kiai Ma'shum

Lahir di Lasem sebagai putra Kiai Ma'shum yang terkenal itu. Belajar delapan tahun di pesantren Tremas (Pacitan, Jawa Timur) dan kembali ke Lasem untuk mengajar. Menikah dengan putri Kiai Munawwir dari Krapyak, Yogyakarta, seorang teman ayahnya. Kemudian menghabiskan waktu dua tahun di Mekkah (1938-40). Ketika bapak mertuanya meningal pada 1942, Kiai Ali diminta menggantikannya sebagai pimpinan pesantren. Dia mengembangkannya menjadi sebuah pesantren sangat terkenal di Jawa.

Keterlibatan aktif Kiai Ali di NU dimulai agak terlambat dan tetap sangat bersahaja. Pada akhir l96O-an, dia menjadi ketua Syuriyah cabang Yogyakarta, posisi yang hampir tidak dapat dito- laknya karena dia secara umum diakui sebagai ulama yang paling berilmu di wilayah tersebut. Walaupm dia tetap menghindar agar tidak menjadi pusat perhatian, pada sekitar 1980 dia menjadi salah seorang ulama senior yang paling dihormati dan, karena sama sekali tidak berambisi, menjadi figur kompromi yang ideal untuk menggantikan Kiai Bisri Syansuri sebagai Rois Aam pada 1982.

Kiai Achmad Sjaichu; Politikus NU

Lahir di Surabaya pada 1921. Mendapatkan pendidikan di sekolah dasar (Tashwirul Afkar) dan pesantren. Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Kiai Wahab Chasbullah. Sebagai anak tiri pendiri NU, dia sangat banyak mendapatkan kemudahan dalam kariernya kemudian. Pada 1950 dia terpilih menjadi anggota dewan kota Surabaya, pada 1955 menjadi anggota parlemen nasional sebagai wakil NU Jawa Timur. Memimpin kelompok NU di parlemen selama 1958-60, dia terpilih menjadi wakil ketua parlemen dari 1963 s.d. 1966. Dipilih kembali menjadi anggota parlemen dalam pemilu 1971.

KH. Achmad Shiddiq

A.  Kehidupan KH. Achmad Siddiq

KH. Achmad Shiddiq yang nama kecilnya Achmad Muhammad Hasan, lahir di Jember pada hari Ahad Legi 10 Rajab 1344 (tanggal 24 Januari 1926). Beliau adalah putra bungsu Kyai Shiddiq dari lbu Nyai H. Zaqiah (Nyai Maryam) binti KH. Yusuf.

Achmad ditinggal abahnya dalam usia 8 tahun. Dan sebelumnya pada usia 4 tahun, Achmad sudah ditinggal ibu kandungnya yang wafat ditengah perjalanan di laut, ketika pulang dari menunaikan ibadah haji. Jadi, sejak usia anak-anak, Kyai Achmad sudah yatim piatu. Karena itu, Kyai Mahfudz Shiddiq kebagian tugas mengasuh Achmad, sedangkan Kyai Halim Shiddiq mengasuh Abdullah yang masih berumur � 10 tahun. Ada yang menduga, bahwa bila Achmad terkesan banyak mewarisi sifat dan gaya berfikir kakaknya (Kyai Mahfudz Shiddiq). Kyai Achmad memiliki watak sabar, tenang dan sangat cerdas. Wawasan berfilkirmya amat luas baik dalam ilmu agama maupun pengetahuan umum.

Ibnu Sina dan 'Kitab Suci' Kesehatan

Al Qanun 11 al-Tibb yang di Barat dikenal dengan Canons, boleh dikata merupakan 'kitab suci' ilmu kesehatan pada masanya. Tanpa merujuk ke buku tersebut, ilmu obat-obatan dan farmakologi dirasakan tidak akan sempurna. Tidak heran bila Ibnu Sina, pengarang buku tersebut begitu dihargai kejeniusan dan kontribusinya dalam ilmu kedokteran, sampai sekarang. Bahkan potret Ibnu Sina, hingga kini menjadi salah satu pajangan dinding besar gedung Fakultas Kedokteran Universitas Paris.

Ibnun Sina yang memiliki nama lengkap Abu Ali al-Hussein Ibn Abdallah, lahir di Afshana dekat Bukhara (Asia Tengah) pada tahun 981. Pada usia sepuluh tahun, dia telah menguasai dengan baik studi tentang Al Quran dan ilmu-ilmu clasar. Ilmu logika, dipelajarinya dari Abu Abdallah Natili, seorang filsuf besar pada masa itu. Filsafatnya meliputi buku-buku Islam dan Yunani yang sangat beragam.

Khairuddin Barbarossa;

Barbarossa artinya janggut merah. Orang besar yang berjanggut merah dalam sejarah dunia ada tiga, yaitu kaisar Frederick I Romawi (1123-1190) dan kakak beradik Aruj dan Khairuddin dari Turki.

Islam pernah mengisi peradaban tingkat tinggi di Andalusia, kebudayaan, filsafat (sains) dan teknologi (terutama struktur dan arsitektur) lahir di wilayah semenanjung Iberia (Spanyol) tersebut. Thariq bin Ziyad yang membawa misi Islam diabadikan menjadi nama gunung di semenanjung tersebut, yaitu Jabal Thariq yang diucapkan orang barat menjadi Gibraltar (kini berada di bawah kekuasaan Inggris). Sebuah gunung di dekat selat yang menghubungkan samudera Atlantik dengan Laut Tengah. Bangsa barat (Eropa) tercengang dengan kemajuan Andalusia, Cordoba, Granada dan Sevillasetelah dipimpin Bani Abbasiyah pada tahun 756M. Umat Islam, Kristen dan Yahudi hidup rukun selama dua abad lebih di saat itu.

Ibnu Haitham; Pencetus Teori Optik

Melalui Kitab Al Manadhir, teori optik pertama kali dijelaskan. Hingga 500 tahun kemudian, teori Al Haytham ini dikutip banyak ilmuwan.

Tak banyak orang yang tahu bahwa orang pertama yang menjelaskan soal mekanisme penglihatan pada manusia -- yang menjadi dasar teori optik modern -- adalah ilmuwan Muslim asal Irak. Namanya Ibnu Al-Haitam atau di Barat dikenal dengan nama Alhazen. Lewat karya ilmiahnya, Kitab Al Manadhir atau Kitab Optik, ia menjelaskan berbagai ragam fenomena cahaya termasuk sistem penglihatan manusia.

Selama lebih dari 500 tahun, Kitab Al Madahir terus bertahan sebagai buku paling penting dalam ilmu optik. Di tahun 1572, karyanya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dengan judul Opticae Thesaurus.
Karena dianggap bertentangan dengan Galen, Michael Servetus dianggap menyimpang. Hukumannya, dirinya dan buku Christianismi Restitutio karyanya pun dibakar. Penemuan sirkulasi dalam paru-paru menjadi hal yang penting dan mengundang banyak perdebatan dalam dunia kedokteran. Pendapat yang diyakini selama ini, teori mengenai sirkulasi paru-paru -- kaitan antara pernapasan dan peredaran darah -- ditemukan oleh ilmuwan Eropa mulai abad ke-16. 

Penggiatnya berturut-turut adalah Servetus, Vesalius, Colombo, dan terakhir Sir William Harvey dari Kent, Inggris. Namun penelusuran sejarah lebih lanjut, dengan meneliti berbagai manuskrip dan objek sejarah lain, maka kejelasan mulai diungkapkan: penemu sirkulasi paru-paru adalah Ibnu Al-Nafis, ilmuwan Muslim abad ke-13. Adalah Dr Muhyo Al-Deen Altawi, fisikawan Mesir, yang mulai menyusur kanal-kanal sejarah sejak tahun 1924. Ia menemukan sebuah tulisan berjudul Commentary on the Anatomy of Canon of Avicenna di perpustakaan nasional Prussia, Berlin (Jerman). Saat itu, ia tengah belajar mengenai sejarah Kedokteran Arab di Albert Ludwig's University Jerman.

Omar Al-Mokhtar : Lion of the Dessert

Lelaki renta itu melangkah menuju tiang gantungan. Kedua tangannya terbelenggu namun matanya masih tetap berbinar. Raut mukanya tak menampakkan rasa takut sedikit pun. Ia begitu gagah walaupun maut tengah merambat mendekatinya.

Suasana sendu justru menyergap orang-orang di sekelilingnya. Mereka menatap lelaki berusia 80 tahun itu, dengan wajah muram. Air mata tak dapat mereka bendung pula. Bahkan beberapa saat kemudian, jerit tangis bersahutan.

Tatkala mereka melihat lingkaran tali tiang gantungan, menjerat leher pahlawan mereka, Omar Al-Mokhtar. Singa Padang Pasir itu, berpulang ke Rahmatullah, pada 16 September 1931 di Kota Solouq. Usai sudah perjuangannya melawan penjajahan Italia.

Nama dan Julukan Nabi Muhammad SAW


Rasulullah SAW mempunyai banyak nama dan julukan. Itu disebutkan dalam beberapa hadis dan aya-ayat Al-Quran. Para ulama menyebutkan beberapa nama beliau antara lain:
-          Muhammad / Ahmad: Yang terpuji
-          al-Mahi: Allah memberikan hak baginya untuk menghapus kesalahan umatnya
-          al-Hasyir:
-          al-'Aqib: Melanjutkan risalah para nabi
-          Raufun Rahim:
-          al-Khatim: Penutup para Nabi

Bertemu Rahib Bahira

Sejak kecil Muhammad sudah belajar berbisnis. Dalam usia 12 tahun, ia menemani pamannya Abu Thalib melakukan perjalanan bisnis ke Syam (Syiria). Bersama rombongan kafilah pedagang mereka tiba di Bushra. Daerah di sebelah selatan Syam. Di buku riwayat, dalam perjalanan inilah beliau bertemu dengan rahib Bahira. Seorang yang banyak mengerti tentang ajaran agama Nasrani.

Sebelumnya, bertahun-tahun kafilah pedagang melintas, Bahira tidak pernah keluar dari tempat ibadahnya menemui mereka. Ia juga tidak pernah mengarahkan pandangan atau berbicara pada mereka. Namun, saat kafilah di mana Muhammad berada berhenti agak dekat dengan tempat ibadahnya, sang rahib tiba-tiba seperti melihat seseorang yang ditunggu-tunggunya. Dilihatnya awan mendung menutupi pohon tempat mereka berteduh. Bahira merasa di pohon itulah orang yang dicari-carinya berada.

Sang Penggembala Kambing

Setelah kakeknya, Abdul Muthallib meninggal, Muhammad diasuh pamannya, Abu Thalib. Sang paman bukanlah orang kaya yang hidup berkecukupan. Tapi, ia mempunyai perasan paling halus dan terhormat di kalangan Quraisy. Abu Thalib bahkan sangat mencintai Muhammad, melebihi kecintaannya pada anak sendiri.

Melihat kesulitan pamannya, Muhammad tak tinggal diam. Saat itu usianya 12 tahun. Abu Thalib hendak berangkat berdagang ke Syam. Perjalanan yang sulit, membuatnya tak berpikir untuk mengajakserta Muhammad. Namun, Muhammad dengan ikhlas mengajukan diri menemani pamannya. Hal itu menghilankan keraguan dalam diri Abu Thalib. Dalam perjalaann itulah, Muhammad bertemu dengan Rahib Bahira yang melihat tanda-tanda kenabian pada diri beliau.

Padamnya Api Majusi

Beliau dilahirkan tahun 570 Masehi. Tahun yang terkenal dengan sebutan Tahun Gajah. Rombongan pasukan gajah Abrahah menyerbu Mekah, hendak menghacurkan Ka'bah. Burung Ababil pun meluluhlantakkan mereka dengan batu-batu kecil neraka.

Ketika Aminah melahirkan Muhammad, terpancarlah cahaya yang menyinari istana Syam; empat belas tiang istana Kisra runtuh, dan api sesembahan Majusi pun padam. Kabar kelahiran itu pun sampai ke Abdul Muthallib. Sang kakek yang juga tokoh Quraisy saat itu. Betapa bahagianya Abdul Muthallib.
Bergegas ia membawa bayi itu ke Ka’bah. Ia mengucapkan syukur sebesar-besarnya. Bahagia sekali. Bayi itu diberinya nama Muhammad (orang yang terpuji). Nama yang tak lazin di kalangan Arab masa itu, tapi cukup dikenal.