Soal:
Bolehkan kita mengucapkan salam dan atau “Selamat Natal” kepada
pemeluk Nasrani?
Jawab:
Ada hadits—antara lain diriwayatkan oleh Imam Mulis—yang melarang
seorang Muslim memulai mengucapkan salam kepada orang Yahudi dan Nasrani. Hadits
tersebut menyatakan, “Janganlah memulai salam kepada orang Yahudi dan Nasrani.
Jika kamu bertemu mereka di jalan, jadikanlah mereka terpaksa ke pinggir.”
Ulama berbeda paham tentang makna larangan tersebut. Dalam buku
Subul as-Salam karya Muhammad bin Ismail al-Kahlani (jil. IV, hlm. 155) antara
lain dikemukakan bahwa sebagian ulama bermadzhab Syafi’i tidak memahami
larangan tersebut dalam arti haram, sehingga mereka memperbolehkan menyapa
non-Muslim dengan ucapan salam. Pendapat ini merupakan juga pendapat sahabat
Nabi, Ibnu Abbas. Al-Qadhi Iyadh dan sekelompok ulama lain membolehkan
mengucapkan salam kepada mereka kalau ada kebutuhan. Pendapat ini dianut juga
oleh Alqamah dan al-Auza’i.
Penulis cenderung menyetujui pendapat yang membolehkan itu, karena
agaknya larangan tersebut timbul dari sikap permusuhan orang-orang Yahudi dan
Nasrani ketika itu kepada kaum Muslim. Bahkan dalam riwayat Bukhari dijelaskan tentang
sahabat Nabi, Ibnu Umar, yang menyampaikan sabda Nabi saw bahwa orang Yahudi
bila mengucapkan salam terhadap Muslim tidak berkata, “Assalamu’alaikum,”
tetapi “Assamu’alaikum” yang berarti “Kematian atau kecelakaan untuk
Anda.”
Mengucapkan “selamat Natal” masalahnya berbeda. Dalam masyarakat
kita, banyak ulama yang melarang, tetapi tidak sedikit juga yang membenarkan
dengan beberapa catatan khusus.
Sebenarna, dalam Al-Quran ada ucapan selamat atas kelahiran ‘Isa: Salam
sejahtera (semoga) dilimpahkan kepadaku pada hari kelahiranku, hari aku wafat,
dan pada hari aku dibangkitkan hidu kembali (QS. Maryam [19]: 33). Surah ini
mengabadikan dan merestui ucapan selamat Natal pertama yang diucapkan oleh Nabi
mulia itu. Akan tetapi, persoalan ini jika dikaitkan dengan hukum agama tidak
semudah yang diduga banyak orang, karena hukum agama tidak terlepas dari konteks,
kondisi, situasi, dan pelaku.
Yang melarang ucapan “Selamat Natal” mengaitkan ucapan itu dengan kesan yang
ditimbulkannya, serta makna populernya, yakni pengakuan Ketuhanan Yesus
Kristus. Makna ini jelas bertentangan dengan akidah Islamiah, sehingga ucapan “Selamat
Natal” paling tidak dapat menimbulkan kerancuan dan kekaburan.
Teks keagamaan Islam yang berkaitan dengan akidah sangat jelas. Itu
semua untuk menghindari kerancuan dan kesalahpahaman. Bahkan al-Quran tidak
menggunakan satu kata yang mungkin dapat menimbulkan kesalahpahaman, sampai
dapat terjamin bahwa kata atau kalimat itu tidak disalahpahami. Kata “Allah”,
misalnya, tidak digunakan ketika pengertian semantiknya di kalangan masyarakat
belum sesuai dengan yang dikehendaki Islam. Kata yang digunakan sebagai ganti
kat Allah ketika itu adalah Rabbuka (Tuhanmu, hai Muhammad). Demikian wahyu
pertama hingga surah al-Ikhlas.
Nabi sering menguji pemahaman umat tentang Tuhan beliau tidak
sekali pun bertanya, “Di mana Tuhan?” Tertolak riwayat yang menggunakan redaksi
seperti itu, karena ia menimbulkan kesan keberadaan Tuhan di satu tempat—suatu hal
yang mustahil bagi-Nya dan mustahil pula diucapkan Nabi. Dengan alasan serupa,
para ulama bangsa kita enggan menggunakan kata “ada” bagi Tuhan tetapi “wujud
Tuhan”.
Ucapan selamat atas kelahiran Isa (Natal), manusia agung lagi suci
itu, memang ada di dalam Al-Quran, tetapi kini perayaannya dikaitkan dengan
ajaran Kristen yang keyakinannya terhadap Isa al-Masih berbeda dengan pandangan
Islam. Nah, mengucapkan “Selamat Natal” atau menghadiri perayaannya dapat
menimbulkan kesalahpahaman dan dapat mengantarkan kita pada pengaburan akidah. Ini
dapat dipahami sebagai pengakuan akan ketuhanan al-Masih, satu keyakinan yang
secara mutlak bertentangan dengan akidah Islam. Dengan alasan ini, lahirlah
larangan fatwa haram untuk mengucapkan “Selamat Natal”, sampai-sampai ada yang
beranggapan jangankan ucapan selamat, aktivitas apapun yang berkaitan atau
membantu terlaksanannya upacara Natal tidak dibenarkan.
Di pihak lain, ada juga pandangan yang membolehkan ucapan “Selamat
Natal”. Ketika mengabadikan ucapan selamat itu, al-Quran mengaitkannya dengan
ucapan Isa, “Sesungguhnya aku ini, hamba Allah. Dia memberiku al-Kitab dan
Dia menjadikan aku seorang Nabi.” (QS. Maryam [19]: 30).
Nah, salahkan bila ucapan “Selamat Natal” dibarengi dengan
keyakinan itu? Bukankah al-Quran telah memberi contoh? Bukankah ada juga salam
yang tertuju kepada Nuh, Ibrahim, Musa, Harun, keluarga Ilyas, serta para nabi
lain? Bukankah setiap Muslim wajib percaya kepada seluruh nabi sebagai hamba
dan utusan Allah? Apa salahnya kita mohonkan curahan shalawat dan salam untuk
Isa as, sebagaimana kita mohonkan untuk seluruh nabi dan rasul? Tidak bolehkan
kita merayakan hari lahir (natal) Isa as? Bukankah Nabi saw juga merayakan hari
keselamatan Musa dari gangguan Fir’aun dengan berpuasa Asyura, sambil bersabda
kepada orang-orang Yahudi yang sedang berpuasa, seperti sabdanya, “Saya
lebih wajar menyangkut Musa (merayakan/mensyukuri keselamatannya) daripada
kalian (orang-orang Yahudi),” maka Nabi pun berpuasa dan memerintahkan
(umatnya) untuk berpuasa (HR. Bukhari, Muslim, dan Abu Dawud), melalui Ibnu
Abbas—lihat Majma; al-Fawaid, hadits ke-2.981).
Itulah, antara lain, alasan membenarkan seorang Muslim mengucapkan
selamat atau menghadiri upacara Natal yang bukan ritual.
Seperti terlihat, larangan muncul dalam rangka upaya memelihara
akidah, karena kekhawatiran kerancuan pemahaman. Oleh karena itu, agaknya
larangan tersebut lebih banyak ditujukan kepada mereka yang dikhawatirkan kabur
akidahnya. Nah, kalau demikian, jika seseorang ketika mengucapkannya tetap
murni akidahnya atau mengucapkannya sesuai dengan kandungan “Selamat Natal”
yang Qur’ani, kemudian mempertimbangkan kondisi dan situasi di mana ia
diucapkan—sehingga tidak menimbulkan kerancuan akidah bagi dirinya dan Muslim
yang lain—maka agaknya tidak beralasanlah larangan itu. Adakah yang berwewenang
melarang seseorang membaca atau mengucapkan dan menghayati satu ayat al-Qur’an?
Dalam rangka interaksi sosial dan keharmonisan hubungan, al-Quran
dan hadits Nabi memperkenalkan satu bentuk redaksi, di mana lawan bicara
memahaminya sesuai dengan persepsinya, tetapi bukan seperti yang dimaksud oleh
pengucapnya, karena si pengucap sendiri mengucapkan dan memahami redaksi itu
sesuai dengan pandangan dan persepsinya pula. Di sini, kalaupun non-Muslim
memahami ucapan “Selamat Natal” sesuai dengan keyakinannya, maka biarlah
demikian, karena Muslim yang memahami akidahnya mengucapkan sesuai dengan
penggarisan keyakinannya.
Tidak keliru, dalam kacamata ini, fatwa dan larangan mengucapkan “Selamat
Natal”, bila larangan itu ditujukan kepada yang dikhawatirkan ternodai
akidahnya. Akan tetapi, tidak juga salah yang membolehkannya selama pengucapnya
arif bijaksana dan tetap memelihara akidahnya, lebih-lebih jika hal tersebut
merupakan tuntunan keharmonisan hubungan.
Boleh jadi, pendapat ini dapat didukung dengan menganalogikannya
dengan pendapat yang dikemukakan oleh beberapa ulama yang menyatakan bahwa
seorang Nasrani bila menyembelih binatang halal atas nama al-Masih, maka
sembelihan tersebut boleh dimakan Muslim, baik penyebutan tersebut diartikan
sebagai permohonan shalawat dan salam untuk beliau maupun dengan arti apa pun. Demikian
dikutip al-Biqa’i dalam tafsirnya ketika menjelaska QS. Al-An’am [6]: 121, dari
kitab ar-Raudhah.
Memang, kearifan dibutuhkan dalam rangka interaksi sosial. Demikian,
wallahu a’lam.
*Dikutip dari buku 1001 Soal Keislaman yang Patut Anda Ketahui,
Quraish Shihab.
Permasalahannya adalah bahwa belakangan diketahui bahwa tgl 25 desember bukan hari lahirnya nabi Isa AS. Tapi hari lahirnya dewa matahari.
BalasHapusketika anda mengucapkan selamat natal maka anda bermaksud untuk ikut merayakan hari lahirnya NABI ISA dan bukan Yesus Kristus, masalah lahirnya mau 25 atau 10 atau brp ga ada urusan, yg penting liat keadaannya ketika anda mengucapkan selamat itu
HapusKalau merayakan lahirnya nabi Isa Al Masih dan bukannya Yesus Kristus lalu kenapa memberi selamatnya kepada orang-orang Kristen yang meyakini ketuhanan Yesus Kristus? Bukannya ini malah menunjukan kita membenarkan keyakinan mereka?
HapusUdah jelas dalilnya"lakum dinukum waliyadin" ga usah repot repot cari alasan yg lain
Hapusمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Hapus“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk darinya”.
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا
“Bukan termasuk golongan kami orang yang menyerupai kaum selain kami.”
وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلُ
“Firman-Nya : ‘Janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya [QS. Al-Hadiid : 16]
ولهذا نهى الله المؤمنين أن يتشبهوا بهم في شيء من الأمور الأصلية والفرعية
“Oleh karena itu, Allah melarang orang-orang yang beriman untuk menyerupai mereka (orang kafir) dalam hal apapun, baik dalam perkara pokok (ushuliyyah) maupun cabang (furu’iyyah)” [Tafsir Ibnu Katsir, 8/20]
مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ ثَلاَثًا: إِحْدَاهُنَّ: أَنْ يَلْتَمِسَ الْعِلْمَ عِنْدَ اْلأَصَاغِرِ.
“Ada tiga hal yang termasuk tanda-tanda Kiamat, salah satunya: ilmu diambil dari orang-orang kecil (bodoh).’” (HR. Ibnul Mubarak dalam Kitab Az-Zuhd, no: 61)
dan hadits Muttafaqun Alaihi berikut ini,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari hamba-hambaNya sekaligus, tetapi Dia akan mencabut ilmu dengan mematikan para ulama’. Sehingga ketika Allah tidak menyisakan seorang ‘alim-pun, orang-orang-pun mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. Lalu para pemimpin itu ditanya, kemudian mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka menjadi sesat dan menyesatkan orang lain”.
LPPI pernah mendapatkan surat pernyataan dari Osman Ali Babseil (PO Box 3458 Jedah, Saudi Arabia, dengan nomor telepon 00966-2-651 7456). Usianya kini sekitar 74 tahun, lulusan Cairo University tahun 1963.
Dengan sungguh-sungguh seraya berlepas diri dari segala dendam, iri hati, ia menyatakan:
Sebagai teman dekat sewaktu mahasiswa di Mesir pada tahun 1958-1963, saya mengenal benar siapa saudara Dr. Quraish Shihab itu dan bagaimana perilakunya dalam membela aqidah Syi’ah.
Dalam beberapa kali dialog dengan jelas dia menunjukkan sikap dan ucapan yang sangat membela Syi’ah dan merupakan prinsip baginya.
Dilihat dari dimensi waktu memang sudah cukup lama, namun prinsip aqidah terutama bagi seorang intelektual, tidak akan mudah hilang/dihilangkan atau berubah, terutama karena keyakinannya diperoleh berdasarkan ilmu dan pengetahuan, bukan ikut-ikutan.
Saya bersedia mengangkat sumpah dalam kaitan ini dan pernyataan ini saya buat secara sadar bebas dari tekanan oleh siapapun.
Pernyataan itu dibuat Osman Ali Babseil sepuluh tahun lalu (Maret 1998), namun hingga kini masih relevan, karena Quraish Shihab pun hingga kini terbukti masih menyebarluaskan doktrin Syi’ah.
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS Al-Hasyr : 7).
ucapan selamat adalah bentuk solidaritas pada sesama yang sedang bergembira atau berduka, mewujudkan sikap solidritas Allah pada manusia dalam sedih atau senang ko malah di larang.Ajaran agama mewujudkan sifat Allah aja.mungkin salah tafsir aje
Hapussetelah baca ini, saya yakin seyakin-yakinnya,
BalasHapusgak akan beli buku bapak
belajar yg dalem mas jangan nanggung, itu kan pendapat penulis dg latar belakang hadist, sementara anda ? belajar dulu yg genah baru komen, ga punya duit buat beli buku ga usah beli
Hapusmari menyikapi dengan dingin setiap perbedaan... okeee
Hapuskasihan yesus, dia gantung diri melihat kita bertengkar, jadi dia ndak kuat lagi hidup di dunia, jadi jangan bertengkar lagi
Kelahiran kapan bro...Telat klau cuma untuk tidak mau beli bukunya!!!
Hapusمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
Hapus“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk darinya”.
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا
“Bukan termasuk golongan kami orang yang menyerupai kaum selain kami.”
وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلُ
“Firman-Nya : ‘Janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya [QS. Al-Hadiid : 16]
ولهذا نهى الله المؤمنين أن يتشبهوا بهم في شيء من الأمور الأصلية والفرعية
“Oleh karena itu, Allah melarang orang-orang yang beriman untuk menyerupai mereka (orang kafir) dalam hal apapun, baik dalam perkara pokok (ushuliyyah) maupun cabang (furu’iyyah)” [Tafsir Ibnu Katsir, 8/20]
مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ ثَلاَثًا: إِحْدَاهُنَّ: أَنْ يَلْتَمِسَ الْعِلْمَ عِنْدَ اْلأَصَاغِرِ.
“Ada tiga hal yang termasuk tanda-tanda Kiamat, salah satunya: ilmu diambil dari orang-orang kecil (bodoh).’” (HR. Ibnul Mubarak dalam Kitab Az-Zuhd, no: 61)
dan hadits Muttafaqun Alaihi berikut ini,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari hamba-hambaNya sekaligus, tetapi Dia akan mencabut ilmu dengan mematikan para ulama’. Sehingga ketika Allah tidak menyisakan seorang ‘alim-pun, orang-orang-pun mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. Lalu para pemimpin itu ditanya, kemudian mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka menjadi sesat dan menyesatkan orang lain”.
LPPI pernah mendapatkan surat pernyataan dari Osman Ali Babseil (PO Box 3458 Jedah, Saudi Arabia, dengan nomor telepon 00966-2-651 7456). Usianya kini sekitar 74 tahun, lulusan Cairo University tahun 1963.
Dengan sungguh-sungguh seraya berlepas diri dari segala dendam, iri hati, ia menyatakan:
Sebagai teman dekat sewaktu mahasiswa di Mesir pada tahun 1958-1963, saya mengenal benar siapa saudara Dr. Quraish Shihab itu dan bagaimana perilakunya dalam membela aqidah Syi’ah.
Dalam beberapa kali dialog dengan jelas dia menunjukkan sikap dan ucapan yang sangat membela Syi’ah dan merupakan prinsip baginya.
Dilihat dari dimensi waktu memang sudah cukup lama, namun prinsip aqidah terutama bagi seorang intelektual, tidak akan mudah hilang/dihilangkan atau berubah, terutama karena keyakinannya diperoleh berdasarkan ilmu dan pengetahuan, bukan ikut-ikutan.
Saya bersedia mengangkat sumpah dalam kaitan ini dan pernyataan ini saya buat secara sadar bebas dari tekanan oleh siapapun.
Pernyataan itu dibuat Osman Ali Babseil sepuluh tahun lalu (Maret 1998), namun hingga kini masih relevan, karena Quraish Shihab pun hingga kini terbukti masih menyebarluaskan doktrin Syi’ah.
وَمَا آَتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah.” (QS Al-Hasyr : 7).
Ya... Nabi Isa tdk lahir thl 25 des, kmd sementara tgl itu terkait dg kelahiran yesus mnurut kristen sedangkan Nabi Isa bukan Yesus, sptnya uraian pak Quraish belum menjelaskan ini dan itu bs menyesatkan
BalasHapusemangnya tanggal kelahiran Nabi Isa yg asli tanggal berapa? jaman dulu nggak ada akte kelahiran, tanggal 25 itu hanya perhitungan/kesepakatan agar bisa diperingati bersama. seperti halnya Isra Mi'raj yg tanggalnya jg blm pasti, tp tetep diperingati.
HapusSelamat kelahiran Yesus? Yesus yg dimaksud dalam natal bukan Nabi Isa AS. Kalo menyebut selamat Natal jelas merefer ke Tuhan Yesus bukan Nabi Isa AS.
BalasHapusYesus = isa (hanya bahasa yg membedakan)
BalasHapusIsa as tidak lahir pada tanggal 25 desember
kenapa islam harus mengucapkan selamat natal (dalam konteks kerukunan umat beragama) kenapa tidak harus mengucapkan selamat nyepi, atau selamat hari waisak karena dalam konteks akidah ketiga hari keagamaan ini sama
kenapa islam selalu disudutkan sebagai teroris, intoleran jika tidak mengucapkan natal??
kenapa para ulama sibuk mencari dalil yang dikiranya bisa mendukung pendapat mengucapkan natal??
kita kembali pada zaman Rasul apakah beliau pernah mengucapkan selamat hari raya untuk agam lain??
kalau tidak lebih baik jangan, menghindari keragu-raguan lebih baik tidak dari pada salah.
Memberikan ucapan selamat kepada orang-orang kafir berkaitan dengan perayaan keagamaan mereka hukumnya ialah haram menurut kesepakatan para ulama. Seperti inilah yang disebutkan oleh Ibnul-Qayyim rahimahullah, karena dalam ucapan selamat tersebut tersirat pengakuan terhadap syiar-syiar (simbol-simbol) kekufuran. Bagi setiap muslim diharamkan menyukai kekufuran atau memberikan ucapan selamat kepada yang lain berkaitan dengan kekufuran ini, karena Allah Subhanahu wata'ala tidak meridhai kekufuran. Allah Azza wa Jalla berfirman:
BalasHapusإِن تَكْفُرُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ عَنكُمْ ۖ وَلَا يَرْضَىٰ لِعِبَادِهِ الْكُفْرَ ۖ وَإِن تَشْكُرُوا يَرْضَهُ لَكُمْ
"Jika kamu kafir maka sesungguhnya Allah tidak memerlukan (iman)mu dan Dia tidak meridhai kekafiran bagi hamba-Nya; dan jika kamu bersyukur, niscaya Dia meridhai bagimu kesyukuranmu itu". [az-Zumar/39 : 7].
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam kitabnya, Iqtidhâ Sirathil-Mustaqîm, Mukhâlafatu Ash-hâbil-Jahîm, berkata: “Meniru-niru mereka dalam sebagian perayaan mereka menyebabkan seseorang bangga dengan kebathilan yang ada pada mereka … Bisa jadi, hal ini akan lebih memotivasi mereka untuk memanfaatkan momen-momen itu”
Semoga kita diberi taufik oleh Allah Subhanahu wata'ala dan dijauhkan dari kesesatan. Amin
itukan menurut anda....
Hapushehehe, jelas jelas menurut Ibnul Qayyim, Ibnu Taimiyyah dan bahkan jumhur ulama kok bisa bisanya dijawab : ITU KAN MENURUT ANDA? sebenarnya bisa memahami kalimat tidak to?
HapusYa Allah, Kepada Engkau Kami Menyembah, dan Hanya Kepada Engkau Kami Berlindung ..., Lindungi Kami darp Perbuatan yg Engkau Murka,.... Aamiin
BalasHapusبسم الله الرحمن الرحيم
BalasHapusHukum agama tidak terlepas dari konteks, kondisi, situasi, dan pelaku.
Tidak juga salah yang memboleh, selama hati tetap memelihara akidah ( Percaya Bahwa Tiada Tuhan Selain Allah dan Muhammad Utusan Allah ).
Islam tidak pernah mengajarkan untuk mencibir mengusik dan mencela . Tuhan memberi kita akal sehat mestinya itu sudah cukup bagi kita smua, yg anda percayai silahkan anda jalankan sebaliknya apabila ada hal yg kurang mengena pada hati anda maka tidak perlu anda ikuti.islam itu indah ,yg terpenting iman kita. Tuhan tidak mmberi kelebihan pada org pintar utk sok pintar, pro dan kontra itu natural krna manusia pnya pemahaman yg berbeda. Berdebat dan mencibir apalagi merasa paling benar, sya rasa itu tidak lebih baik dari mengucapkan selamat natal. Menurut saya prof.quraish sangat logika dan penjelasan nya mudah dipahami mengarah pada jaman nabi ajaran islam itu indah
BalasHapusKERANCUAN Prof. DR QURAISY SYIHAB dalam Membolehkan "Selamat Natalan"
BalasHapushttp://www.firanda.com/index.php/artikel/bantahan/623-kerancuan-prof-dr-quraisy-syihab-dalam-membolehkan-selamat-natalan
kenapa kita sibuk mencari pembenaran? alih-alih saling mencela yang mestinya kita hindari. dengan "tidak mengucapkan selamat" kepada pemeluk agama lain...tidak berarti kita memusuhi mereka kan??? toleransi kita cukup dengan tidak mengganggu kegiatan agama mereka...islam kan menyuruh kita menghindari sesuatu yang meragukan. Lakum dinukum waliadin sudah begitu jelas..
BalasHapusIni baru gue demen bgt analisisnya, kita di kasih akal dan pikiran dan semestinya dapat kita gunakan dengan baik, Allah S.W.T menciptakan agama bukan islam saja, pasti pny maksud dan tujuan yaitu kita bisa saling menghargai dalam perbedaan, yang penting niatnya untuk menghargai dan menjaga kerukunan beragama, knp harus ribut"PIKIR" kaya FPI aja klo bukan islam ga boleh jadi gubernur, yang penting tidak mengganggu umat islam, islam bukan agama ambisius, islam itu rendah hati dan menghargai, dah lah renungkan ini " Kenapa Tuhan menjadikan Agama itu bermacam-macam" renungkan!!! apa untuk saling berantem, saling benar sendiri, trs saling menguasai, islam itu indah men...yg penting bagimu agamamu bagiku agamaku, pasti hidup ga ada rasa saling menyalahkan..."mau menang sendiri" jgn hidup di dunia ini
Hapusمَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
BalasHapus“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk darinya”.
لَيْسَ مِنَّا مَنْ تَشَبَّهَ بِغَيْرِنَا
“Bukan termasuk golongan kami orang yang menyerupai kaum selain kami.”
وَلَا يَكُونُوا كَالَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِن قَبْلُ
“Firman-Nya : ‘Janganlah mereka seperti orang-orang yang sebelumnya telah diturunkan Al-Kitab kepadanya [QS. Al-Hadiid : 16]
ولهذا نهى الله المؤمنين أن يتشبهوا بهم في شيء من الأمور الأصلية والفرعية
“Oleh karena itu, Allah melarang orang-orang yang beriman untuk menyerupai mereka (orang kafir) dalam hal apapun, baik dalam perkara pokok (ushuliyyah) maupun cabang (furu’iyyah)” [Tafsir Ibnu Katsir, 8/20]
مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ ثَلاَثًا: إِحْدَاهُنَّ: أَنْ يَلْتَمِسَ الْعِلْمَ عِنْدَ اْلأَصَاغِرِ.
“Ada tiga hal yang termasuk tanda-tanda Kiamat, salah satunya: ilmu diambil dari orang-orang kecil (bodoh).’” (HR. Ibnul Mubarak dalam Kitab Az-Zuhd, no: 61)
dan hadits Muttafaqun Alaihi berikut ini,
إِنَّ اللَّهَ لَا يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا يَنْتَزِعُهُ مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُءُوسًا جُهَّالاً فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ عِلْمٍ فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mencabut ilmu dari hamba-hambaNya sekaligus, tetapi Dia akan mencabut ilmu dengan mematikan para ulama’. Sehingga ketika Allah tidak menyisakan seorang ‘alim-pun, orang-orang-pun mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. Lalu para pemimpin itu ditanya, kemudian mereka berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka menjadi sesat dan menyesatkan orang lain”.
LPPI pernah mendapatkan surat pernyataan dari Osman Ali Babseil (PO Box 3458 Jedah, Saudi Arabia, dengan nomor telepon 00966-2-651 7456). Usianya kini sekitar 74 tahun, lulusan Cairo University tahun 1963.
Dengan sungguh-sungguh seraya berlepas diri dari segala dendam, iri hati, ia menyatakan:
Sebagai teman dekat sewaktu mahasiswa di Mesir pada tahun 1958-1963, saya mengenal benar siapa saudara Dr. Quraish Shihab itu dan bagaimana perilakunya dalam membela aqidah Syi’ah.
Dalam beberapa kali dialog dengan jelas dia menunjukkan sikap dan ucapan yang sangat membela Syi’ah dan merupakan prinsip baginya.
Dilihat dari dimensi waktu memang sudah cukup lama, namun prinsip aqidah terutama bagi seorang intelektual, tidak akan mudah hilang/dihilangkan atau berubah, terutama karena keyakinannya diperoleh berdasarkan ilmu dan pengetahuan, bukan ikut-ikutan.
Saya bersedia mengangkat sumpah dalam kaitan ini dan pernyataan ini saya buat secara sadar bebas dari tekanan oleh siapapun.
Pernyataan itu dibuat Osman Ali Babseil sepuluh tahun lalu (Maret 1998), namun hingga kini masih relevan, karena Quraish Shihab pun hingga kini terbukti masih menyebarluaskan doktrin Syi’ah.
MAKA JELASLAH DALAM HAL INI BAHWA ISLAM SELALU TIDAK MEMILIKI STANDARD YANG BAKU DALAM MENENTUKAN SEGALA SESUATU YG SEDERHANA SEKALIPUN....DOUBLE STANDARD...TRIPLE STANDARD ITU SDH BIA DALAM AJARAN ISLAM, SESAMA ISLAM SENDIRI BYK BINGUNG AKHIRNYA MEREKA MENUTUP MATA DAN TELINGA PURA2 TIDAK TAHU
BalasHapusRenungkan saja " Tuhan menciptakan manusia dalam keadaan yang saling berbeda, untuk apa??? apa untuk saling menghakimi, menang sendiri atau merasa paling benar. Yang penting niatnya itu untuk menghargai dan menjaga kerukunan dalam beragama, kita itu pny hati nurani loh, klo mang niatnya baik apa kita dosa, tanya ke diri sendiri??? yang penting Bagimu agamamu dan bagiku agamaku, maka hidup ga perlu debat kaya gini, islam itu damai, indah dan menghargai perbedaan. Wassalam...
HapusTidak usah kita bicara agama orang lain agama kita sendiri Islam sudah terdoktrin di Islam untuk salah menyalahkan dan menyesatkan, bagaimana mungkin kita bisa saling toleransi dengan agama lain sesama agama sendiri saja kita tidak bisa toleransi, coba anda lihat kenyataan di sekeliling kita antara sesama islam saling mengkafirkan saling membidahkan dan saling membunuh ,perang dsbnya. apakah ini cerminan agama yang benar coba kembalilah kepada Tuhan Allah pemilik alam dan kehidupan ini Allah Maha Rahman dan Rohim kepada semua hambaNya tapi kita justru menebar kebencian, kita hanya sebatas mengenal Agama Islam tapi kita tidak mengenal Allah. Kita dititahkan hidup dimuka bumi ini untuk saling mengasihi dan menyangi kepada siapapun. Kalau memang kita menyakini bahwa Islam adalah agama yang penuh cinta kasih maka kita berdoa" Ya Allah jika memang Islam adalah agama yang engkau Ridhoi maka berikanlah petunjuk dan hidayah kepada saudara2 saya yang sekarang masih belum memeluk islam" mengapa kita tidak menjadi Islam yang Rohmatan lilalamin. Jangan pernah merasa dirimu paling benar dan paling suci tapi jadikanlah dirimu paling salah dan banyak dosa agar dirimu menjadi orang yang tawaduk dan rendah hati.
BalasHapushttps://dipanugrahaliterature.home.blog/2019/08/20/tidak-ucap-selamat-natal/
BalasHapus