Prediksi sementara, awal Ramadhan 2013 ini kembali berbeda. Salah satu
ormas besar di Indonesia, Muhammadiyah, sudah jauh-jauh hari mengumumkan awal
Ramadhan bertepatan dengan Selasa, tanggal 9 Juli 2013. Sementara ormas besar
lainnya, NU dan pemerintah masih menunggu hasil rukyah pada hari Senin sore. Pemerintah
dan NU menyebar tim rukyah ke beberapa titik strategis untuk melihat keberadaan
bulan awal Ramadhan. Kepastian awal Ramadhan akan ditentukan setelah laporan
tim rukyah diterima.
Kemungkinan berbeda dalam penentuan awal Ramadhan 2013 amat besar. Ketua
tim lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama, KH A. Ghazalie Masroeri, memprediksi
awal Ramadhan bertepatan pada hari Rabu, 10 Juli 2013.
Urusan ini sebenarnya teramat sederhana. Urusannya terkait dengan bagaimana
memahami konteks sabda Nabi SAW. “Puasalah jika kau melihatnya (hilal) dan berbukalah
(idul fitri) jika kau melihatnya.”
Pada zaman Nabi SAW, dengan segala keterbatasan tekonologi, metode
penetapan awal bulan dilakukan dengan melihat hilal secara kasat mata. Tanpa bantuan
alat apapun, termasuk teropong. Zaman modern, upaya melihat hilal secara
langsung sudah dibantu dengan alat canggih. Tak sekadar teropong biasa, tapi
menggunakan teropong yang melampaui jarak beribu kilometer. Tak cukup, tim
rukyah pun harus naik di menara yang cukup tinggi di tempat-tempat tertentu yang
dianggap strategis.
Urusan ini teramat sederhana. Kelompok yang ngotot menggunakan hasil rukyah
dengan mata telanjang, berpegang teguh bahwa yang disebut Nabi SAW dalam
sabdanya “melihatnya” adalah menggunakan mata telanjang, atau melihat bulan
secara langsung. Jadi, apabila bulan tidak terlihat, sekalipun tertutup mendung
misalnya, kelompok ini akan berpegang teguh mengikuti saran Nabi dalam hadis yang
lain “...apabila (pandangan) kalian tertutup mendung, sempurnakan jumlah
bulan Sya’ban.”
Sementara kelompok kedua, memaknai sabda Nabi SAW lebih luas. “Melihat”
dalam hadis tersebut bisa diartikan tidak dengan melihat dengan mata kepala,
tapi juga ‘melihat’ dengan menggunakan berbagai rumus ilmu perbintangan, hisab,
falakiyah. Menurut kelompok ini, maklum saja Nabi hanya menyuruh menggunakan
mata telanjang untuk melihat bulan, karena kondisi zamannya memang seperti itu.
Waktu itu, belum ada ilmu hisab yang akurat, belum ada alat teropong canggih seperti
sekarang.
Kelompok pertama ini lalu sedikit melonggar saat berhadapan dengan kelompok
kedua. Maka, terciptalah istilah imkanur rukyah dan wujudul hilal.
Maksudnya: Imkanur rukyah adalah saat sudut derajat hilal mungkin
dilihat secara kasat mata, termasuk menggunakan alat teropong. Sementara istilah
wujudul hilal digunakan untuk menyatakan bahwa secara teori ilmu hisab,
hilal sudah ada namun keberadaannya belum tentu bisa dilihat. Sebab, ketinggian
derajatnya yang masih terlalu kecil. Para pakar ilmu astronomi menyepakati ada
ketinggian derajat tertentu saat hilal itu bisa dilihat. Dalam hal imkanur
rukyah (berdasarkan ilmu astronomi), kelompok pertama kerapkali sudah ikut
menyatakan bahwa saat itu sudah masuk awal bulan.
Yang sering jadi masalah—yang menimbulkan perbedaan penetapan awal
Ramadhan/awal Hari Raya, adalah saat posisi bulan itu wujudul hilal. Artinya,
secara ilmu astronomi, hilal sudah masuk awal bulan, tapi karena ketinggian
derajatnya masih terlalu kecil, ia tidak mungkin bisa dilihat. Baik oleh mata
telanjang ataupun dengan alat teropong paling canggih sekalipun.
Urusan ini teramat sederhana. Pilihannya hanyalah dua saat posisi bulan
dalam wujudul hilal;
1. Apakah dengan keberadaan hilal yang derajatnya
masih terlalu kecil itu membuat kita yakin bahwa awal bulan sudah masuk?
2. Ataukah kita harus benar-benar diyakinkan lebih
dulu dengan kemungkinan bahwa bulan itu bisa dilihat?
Semuanya kembali pada pemahaman kita atas sabda Nabi SAW: “Puasalah jika
kau melihatnya (hilal) dan berbukalah (idul fitri) jika kau melihatnya.”
Bekasi, Juli 2013
*Catatan kecil Ramadhan 2013
Tidak ada komentar:
Posting Komentar