Lahir sekitar tahun 1924/1925, Kiai Hasani
sudah yatim semenjak masih dalam usia dini. Abah beliau, K.H. Nawawie wafat
ketika Kiai Hasani masih berusia sekitar 2 tahun.
Kiai Hasani adalah putera bungsu KH. Nawawie
bin Noerhasan. Beliau adalah satu dari 8 bersaudara putera Kiai Nawawie.
Masing-masing adalah KH. Noerhasan bin Nawawie (dari Nyai Ruyanah); Nyai
Hanifah, K.H. Kholil Nawawie, Nyai Aisyah (dari Nyai Nadhifah); K.H. Sirajul
Millah, K.A. Sa’doellah Nawawie dan K.H. Hasani Nawawie (dari Nyai
Asyfi‘ah).
Tanda-tandanya sebagai ulama yang dekat dengan
Allah sudah tampak semenjak muda. Tidak seperti umumnya anak-anak muda, Kiai
Hasani menghabiskan masa belianya penuh dengan cahaya keagamaan. Beliau adalah
sosok pemuda yang agamis, wara’, khusyu’, rajin, dan berbudi pekerti
luhur.
Menghabiskan waktu dengan aktivitas tak berguna
merupakan hal yang sangat tidak disukainya. Raut wajahnya sejuk dipandang. Bila
berjalan, selalu menundukkan kepala dan tampak sangat tenang.
Tak seperti kebanyakan putra ulama besar, Kiai
Hasani tidak menghabiskan masa mudanya untuk menimba ilmu di berbagai lembaga
pendidikan. Beliau tidak pernah bersekolah dan mondok di pesantren manapun
kecuali di pesantren abahnya di Sidogiri. Dalam hal ini Kiai Hasani mengaku
dirinya mondok ke Sidogiri dari rumah ibunya (Ibu Nyai Asyfi’ah) di Gondang
Winongan ke Sidogiri. Selain itu, beliau tidak pernah mondok ke
mana-mana.
Kiai Hasani lebih banyak mendapatkan ilmunya
secara otodidak. Semasa hidup, putra bungsu K.H. Nawawie bin Noerhasan ini,
hanya mempunyai tiga orang guru. Pertama kali beliau belajar kepada K.H.
Syamsuddin (?) di Tampung Winongan Pasuruan. Kepada ulama yang biasa dipanggil
Gus Ud ini, Kiai Hasani ngaji kitab al-Ajurumiyah, ‘Imrithi dan
Mutammimah. Selain kepada Gus Ud, di Tampung, beliau juga ngaji kepada
K.H. Birrul Alim.
Selanjutnya, Kiai Hasani belajar kitab
Alfiyah Ibn Malik kepada kakak iparnya sendiri, K.H. Abdul Djalil Abd.
Syakur, di Sidogiri. Kitab monumental tentang ilmu nahwu (gramatika Arab) ini
beliau pelajari sampai tuntas. Usai mengkhatamkan Alfiyah, atas saran
kakak iparnya itu, Kiai Hasani bermaksud belajar ilmu fiqh (hukum Islam). Kiai
Djalil juga berjanji akan membacakan kitab al-Asybah wa al-Nazha’ir
kepadanya. Tapi, sebelum kitab kaidah fiqh itu sempat diajarkan kepada Kiai
Hasani, K.H. Abdul Djalil Abd. Syakur terlebih dahulu wafat.
Kiai Hasani merupakan satu-satunya orang yang
belajar secara langsung kepada K.H. Abdul Djalil. K.H. Abdul Djalil adalah
pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri pada era 1930-an serta menantu K.H. Nawawie
bin Noerhasan, abah Kiai Hasani.
Konon, salah satu penyebab Kiai Hasani alim
tanpa perlu belajar di lembaga pendidikan mana pun adalah berkat doa K.H. Ma’ruf
(Kedungloh Kediri). Kiai Ma’ruf adalah teman akrab K.H. Nawawie bin Noerhasan,
Abah Kiai Hasani. Ia masyhur sebagai wali Allah. Bisa bertemu langsung dengan
Nabi Khidir dan bila ada kesulitan, langsung berdialog dengan Rasulullah
SAW.
Suatu saat, Kiai Hasani sowan kepada ulama
sepuh itu. Setelah menceritakan asal usulnya, beliau ditanya oleh K.H. Ma’ruf:
“Apakah sudah hafal nadham Alfiyah?”. Dengan jujur, Kiai Hasani menjawab
tidak. Lalu Kiai Ma’ruf menawari untuk belajar di pesantrennya selama 40 hari,
tapi Kiai Hasani menolak. Kiai Hasani mengatakan beliau sulit untuk
kerasan.
Kiai Ma’ruf lalu menawari Kiai Hasani untuk
mengamalkan puasa selama 3 hari. Selama puasa hanya diperkenankan sahur dan
berbuka hanya dengan satu biji kurma. Dengan tirakat ini, K.H. Ma’ruf menjamin
Kiai Hasani bisa alim tanpa belajar. Tapi, lagi-lagi Kiai Hasani menolaknya
karena merasa tidak mampu melaksanakan amalan itu.
Mendengar jawaban Kiai Hasani itu, K.H. Ma’ruf
menyuruh beliau pulang dan berjanji akan mendoakannya dalam setiap
sholat.
Kiai Hasani memang tidak pernah mengenyam
pendidikan di lembaga tertentu. Dalam pertualangannya mencari ilmu, Kiai Hasani
lebih banyak mempelajari ilmu pengetahuan secara otodidak. Di dalemnya, beliau
tekun me-muthalaah kitab-kitab. Tafsir dan akhlaq merupakan disiplin
pengetahuan kesukaannya. Kitab-kitab yang beliau miliki penuh dengan catatan dan
kertas-kertas kecil sebagai tanda bahwa terdapat sebuah pernyataan penting pada
halaman kitab tersebut. Beberapa hari setelah wafatnya, kitab-kitab itu
diwakafkan ke Perpustakaan Sidogiri.
Kiai Hasani tidak menghabiskan masa mudanya
dari pesantren ke pesantren. Beliau hidup pada masa di mana penjajahan Belanda
sedang pada puncaknya. Kiai Hasani muda lebih memilih berjuang melawan para
penjajah itu dibanding menghabiskan waktunya di sebuah menara gading. Namun
modus perjuangan yang beliau tempuh adalah modus yang unik. Tidak seperti Kiai
A. Sa’doellah Nawawie, kakaknya, yang memilih berjuang mengangkat senjata, Kiai
Hasani lebih suka berjuang melalui jalan diplomasi. Beliau kerap mendatangi
kamp-kamp Belanda dan berpidato di situ.
Dengan mendekati Belanda Kiai Hasani berupaya
menetralisir incaran Belanda terhadap Sidogiri. Sidogiri, saat itu, memang
sedang menjadi salah satu incaran utama pasukan Kompeni. Sidogiri merupakan
markas perjuangan Kiai A. Sa’doellah dalam mengusir Belanda. Kakak Kiai Hasani
itu sering memimpin pasukan untuk mengadakan penyerbuan terhadap Belanda dari
Sidogiri.
Apa yang dilakukan Kiai Hasani dengan mendekati
Belanda ternyata cukup efektif untuk mengamankan Sidogiri dari serangan mereka.
Jika pasukan Belanda mau menyerang Sidogiri, Kiai Hasani sudah menyetop mereka
sebelum masuk ke Sidogiri. Beliau menyuruh mereka untuk kembali. Dan, mereka pun
menuruti apa yang dikatakan Kiai Hasani.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar