Oleh : Abdul Hakim Wahid
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Pada saat ini
istilah budaya organisasi banyak digunakan dalam organisasi perusahaan, bahkan
beberapa perusahaan memasang tulisan yang menunjukkan budaya organisasi mereka
di tempat-tempat yang menarik perhatian. Misalnya di depan pintu masuk kantor,
atau di dekat tempat para karyawan melayani pelanggan. Konsep budaya organisasi
mulai berkembang sejak awal tahun
1980-an. Konsep budaya organisasi diadopsi dari konsep budaya yang lebih dahulu
berkembang pada disiplin ilmu antropologi[1].
Prilaku
organisasi atau juga disebut budaya organisasi sangat berpengaruh terhadap
produktifitas organisasi itu sendiri. Pimpinan organisasi tertantang untuk
melakukan perubahan didalam dan diluar institusi mengingat tuntutan nilai
(value) dari masyarakat yang menginginkan sebuah organisasi yang responsive
mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dengan kwalitas hasil yang maksimal dan
biaya yang rendah.
Demi efektifitas
dan produktifitas organisasi diperlukan tindakan – tindakan dengan
memperhatikan kemampuan individu dalam organisasi, pemberian penghargaan
merupakan salah satu metode efektif untuk meningkatkan produktifitas individu
dalam organisasi.
Ada enam kekuatan
utama organisasi yang perlu diperhatikan dan diberdayakan dalam rangka
pembentukan budaya organisasi yang prima: 1. Sumber daya manusia, 2.
Globalisasi, 3. Keragaman budaya , 4. Kecepatan perubahan, 5. Kontrak
psikologis antar pimpinan dan bawahan, atau antara kyai, ustad dan santri 6.
Tekhnologi .[2]
Salah satu yang
sangat penting untuk diperhatikan bagi kelangsungan dan kemajuan organisasi
adalah lingkungan , seperti seorang pelari yang ingin menjadi juara, dia harus
memperhatikan jarak tempuh dan medannya sehingga dia dapat membuat sebuah
keputusan tindakan apa yang harus dilakukan untuk mencapai target dengan lebih
cepat, akan tetapi tanpa analisa yang matang mungkin dia akan banyak kehilangan
waktu dan tertinggal dari peserta lainnya, lingkungan yang mempengaruhi
organisasi tersebut dapat dibedakan menjadi 2 yaitu lingkungan external dan
lingkungan internal yang dapat dijadikan acuan untuk menentukan kecocokan
organisasi dengan lingkungan tersebut
Lingkungan
external adalah segala sesuatu diluar organisasi yang mungkin mempengaruhi,
yang dapat dibagi dua yaitu lingkungan umum dan lingkungan tugas, sedangkan
lingkungan internal adalah kondisi kekuatan yang dimiliki organisasi.
Yang termasuk
lingkungan internal adalah : pemilik, karyawan, lingkungan fisik, dewan
direksi, dan budaya, sedangkan lingkungan external yang sifatnya lingkungan
umum meliputi : Pembuat aturan, competitor, konsumen, pemasok, partner
strategis, dan yang bersifat umum : Dimensi politik hokum, dimensi
internasional, dimensi teknologi, dimensi ekonomi, dan dimensi social budaya.
B.
Pengertian
Budaya organisasi Pesantren
Kata budaya dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan
dengan beberapa pengertian : “ 1. Pikiran, akal budi, 2. Adat istiadat, 3 Sesuatu
mengenai kebudayaan yang sudah berkembang ( beradab maju) 4. Sesuatu yang sudah
menjadi kebiasaan yang sukar dirubah.
Sedangkan organisasi dalam KBBI disebutkan sebagai kesatuan yang
terdiri atas bagian – bagian orang dalam perkumpulan untuk tujuan tertentu,
atau disebut juga kelompok kerja antara orang – orang yang diadakan untuk
mencapai tujuan bersama.
Dan pesantren sudah banyak dari pemakalah sebelumnya yang membahas
tapi berdasarkan KBBI diberi pengertian : sebuah asrama tempat santri atau
tempat murid – murid belajar mengaji atau disebut juga dengan kata pondok.
Membahas budaya, jelas tidak bisa lepas dari pengertian organisasi
itu sendiri pada dasarnya apabila
dilihat dari bentuknya, organisasi merupakan sebuah masukan (input) dan luaran
(output) serta bisa juga dilihat sebagai living organism yang memiliki tubuh
dan kepribadian, sehingga terkadang sebuah organisasi bisa dalam kondisi sakit
(when an organization gets sick). Sehingga organisasi dianggap Sebagai suatu
output (luaran) memiliki sebuah struktur (aspek anatomic), pola kehidupan (aspek
fisiologis) dan system budaya (aspek kultur) yang berlaku dan ditaati oleh
anggotanya.
Dari pengertian Organisasi sebagai output (luaran) inilah
melahirkan istilah budaya organisasi atau budaya kerja ataupun lebih
dikenal didunia pendidikan sebagai budaya akademis.
Menurut Umar Nimran mendefinisikan budaya
organisasi sebagai “Suatu sistem makna yang dimiliki bersama oleh suatu
organisasi yang membedakannya dengan organisasi lain”(Umar Nimran, 1996: 11)
Sementara Taliziduhu Ndraha Mengartikan
Budaya organisasi sebagai “Potret atau rekaman hasil proses budaya yang
berlangsung dalam suatu organisasi atau perusahaan pada saat ini”( op.cit ,
Ndraha, P. 102) Lebih luas lagi definisi yang diungkapkan oleh Piti
Sithi-Amnuai (1989) dalam bukunya “How to built a corporate culture”
mengartikan budaya organisasi sebagai : “Seperangkat
asumsi dan keyakinan dasar yang dterima anggota dari sebuah organisasi yang
dikembangkan melalui proses belajar dari masalah penyesuaian dari luar dan
integarasi dari dalam” ( Pithi Amnuai dari kutipan Ndraha, p.102)
Sedangkan menurut Moorhead dan Griffin
(1992) budaya organisasi diartikan sebagai : ”Seperangkat nilai yang
diterima selalu benar, yang membantu seseorang dalam organisasi untuk memahami
tindakan-tindakan mana yang dapat diterima dan tindakan mana yang tidak dapat
diterima dan nilai-nilai tersebut dikomunikasikan melalui cerita dan cara-cara
simbolis lainnya(McKenna,etal, op.cit P.63).
Sementara itu menurut Schein dalam Sobirin (2007:132) budaya
organisasi adalah pola asumsi dasar yang dianut bersama oleh sekelompok orang
setelah sebelumnya mereka mempelajari dan meyakini kebenaran pola asumsi
tersebut sebagai cara untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang berkaitan
dengan adaptasi eksternal dan integrasi internal, sehingga pola asumsi dasar
tersebut perlu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar
untuk berpersepsi, berpikir dan mengungkapkan perasaannya dalam kaitannya
dengan persoalan-persoalan organisasi.
Organisasi
memiliki budaya melalui proses belajar, pewarisan, hasil adaptasi dan
pembuktian terhadap nilai yang dianut atau diistilahkan Schein (1992) dengan
considered valid yaitu nilai yang terbukti manfaatnya. selain itu juga bisa
melalui sikap kepemimpinan sebagai teaching by example atau menurut Amnuai
(1989) sebagai “through the leader him or herself” yaitu pendirian, sikap dan
prilaku nyata bukan sekedar ucapan, pesona ataupun kharisma.
Dari beberapa
definisi budaya organisasi yang telah dipaparkan oleh para penenliti maka dapat
disimpulkan bahwa budaya organiasi pesantren adalah sebuah nilai yang
ditetapkan untuk dianut oleh semua orang yang ada dalam pesantren dan dijadikan
sebagai sebuah kebiasaan dengan tujuan mencapai visi dan misi pesantren, yang
biasanya juga disebut dengan sunnah pondok pesantren.
C.
Unsur-unsur Budaya Organisasi
Jocano dalam
Sobirin (2007:152-153) menyatakan bahwa budaya organisasi terdiri dari unsur
utama, yakni yang bersifat idealistik dan yang bersifat perilaku atau
behavioral. Unsur budaya organisasi idealistik merupakan ideologi organisasi
yang tidak mudah berubah meskipun di sisi lain organisasi harus berubah untuk
beradaptasi dengan lingkungannya. Ideologi ini bersifat terselubung, tidak
nampak di permukaan dan hanya orang-orang tertentu saja yang tahu apa
sesungguhnya ideologi mereka dan mengapa organisasi tersebut didirikan.
Unsur
behavioral memiliki sifat kasat mata, muncul ke permukaan dalam bentuk perilaku
sehari-hari para anggotanya dan bentuk-bentuk lain seperti disain arsitektur
organisasi. Bagi orang luar organisasi, unsur ini sering dianggap sebagai
representasi dari budaya sebuah organisasi karena lebih mudah diamati, dipahami
dan diinterpretasikan meskipun seringkali interpretasi antara orang luar dan
anggota organisasi berbeda. Budaya organisasi lebih baik dipahami berdasarkan
pengamatan terhadap perilaku dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh para
anggota organisasi.
Bagian luar
organisasi tersebut oleh Schein dalam Sobirin (2007:158) disebut sebagai
artefak. Artefak bisa berupa bentuk arsitektur bangunan, logo atau jargon, cara
berkomunikasi, cara berpakaian, atau cara bertindak yang bisa dipahami oleh
orang luar organisasi. Dalam perbankan misalnya, kita bisa melihat bahwa mereka
berpakaian sangat formal, dengan perkantoran yang biasanya tertata dengan rapi,
bersih dan modern. Perilaku karyawan bank juga terlihat ramah tetapi formal dan
tegas, dengan moto mereka yang biasanya terpasang dengan indah di belakang
pegawai-pegawai yang melayani para nasabahya. Misalnya saja bank Mandiri
memiliki slogan “Prosper with us” atau Bank BRI dengan slogannya, “Melayani
dengan Hati”.
Sebenarnya
antara ideologi dan perilaku behavioral merupakan bagian yang tidak bisa saling
terpisahkan. Digambarkan sebagai suatu yang berlapis-lapis seperti bawang,
bagian yang kelihatan, bisanya paling mudah untuk diubah. Sehingga tidak
mengherankan bahwa kadang-kadang visi dan misi sudah diubah tetapi unsur-unsur
perilaku lainnya belum berubah. Misalnya saja berkaitan pernyataan visi dan misi organisasi. Hampir
setiap lembaga pada saat ini memiliki apa yang disebut dengan visi dan misi
organisasi yang biasanya tertulis di tempat-tempat strategis di kantor mereka.
Yang perlu diperhatikan adalah kesesuaian antara visi dan misi tersebut dengan
perilaku para anggota organisasi. Karena kalau tidak terjadi keserasian, pasti
akan terlihat lucu. Misalnya sebuah pertokoan yang memiliki slogan “Pelanggan
adalah Raja” tetapi pada saat tempat parkir penuh, ternyata ada space
parkir strategis yang kosong namun ada
tulisannya “khusus untuk pimpinan”.
BAB
II
BUDAYA
PESANTREN
1.
Perilaku Kiai dan santri dalam organisasi pesantren
Kyai disamping sebagai pendidik juga berperan dan memegang kendali
manajerial pesantren, bentuk dan budaya pesantren yang bermacam – macam
merupakan pantulan dari kecenderungan kyai. Kyai memiliki sebutan yang berbeda – beda
tergantung daerah tempat tinggalnya . Ali Machsan Moesa mencatat : di Jawa
disebut kyai, di Sunda disebut ajengan, di aceh disebut Tengku, di Sumatera utara/
Tapanuli disebut syaikh, di Minangkabau disebut Buya, di Nusa tenggara termasuk
Lombok, Kalimantan selatan, Kalimantan timur, Kalimantan tengah disebut Tuan
Guru[3]
Sedangkan santri adalah peserta didik atau subyek pendidikan, di beberapa
pesantren, santri yang memiliki kemampuan intelektual lebih atau santri senior,
yang kadang juga merangkap sebagai pendidik santri yunior, memiliki kebiasaan –
kebiasaan tertentu, mereka memberikan penghormatan kepada kyainya secara
berlebihan, sehingga mereka cenderung bersifat pasif, karena takut kehilangan
barokah, dan inilah yang membedakan antara santri dan siswa/siswi diluar pesantren.
Model-model
budaya memandang bahwa keyakinan, nilai, dan ideologi ada pada jantung
organisasi. Individu memiliki ide-ide tertentu dan preferensi nilai yang
mempengaruhi bagaimana mereka bersikap dan bagaimana mereka memandang perilaku
anggota-anggota lainnya. Norma-norma ini menjadi tradisi yang dikomunikasikan
dalam kelompok dan diperkuat oleh simbol-simbol dan ritual. Karena itulah,
manajemen budaya di pesantren merupakan bentuk manajerial pesantren yang lebih
menekankan pada pendekatan kultural yang dilakukan oleh seorang kyai/ustadz
dalam mengelola dan mengembangakan pesantren.
Salah satu
basis budaya pesantren adalah bentuk pendidikan pesantren yang bercorak
tradisionalisme. Menurut Mochtar Buchori, pesantren merupakan bagian struktural
internal pendidikan Islam di Indonesia yang diselenggarakan secara tradisional
yang telah menjadikan Islam sebagai cara hidup. Sebagai bagian struktur
internal pendidikan Islam Indonesia, pesantren mempunyai kekhasan, terutama
dalam fungsinya sebagai institusi pendidikan, di samping sebagai lembaga
dakwah, bimbingan kemasyarakatan, dan bahkan perjuangan. Mukti Ali
mengindetifikasikan beberapa pola umum pendidikan pondok pesantren sebagai
berikut:
- Adanya
hubungan yang akrab antara kyai dan santri.
- Tradisi
ketundukan dan kepatuhan seorang santri terhadap kyai.
- Pola hidup
sederhana (zuhud).
- Kemandirian
atau independensi.
- Berkembangnya
iklim dan tradisi tolong-menolong dan suasana persaudaraan.
- Displin
ketat.
- Berani
menderita untuk mencapai tujuan.
- Kehidupan
dengan tingkat religiusitas tinggi.[4]
Senada dengan
Mukti Ali, Alamsyah Ratu Prawiranegara juga mengemukakan beberapa pola umum
yang khas yang terdapat dalam pendidikan Islam tradisional sebagai berikut:
1.
Independen.
2.
Kepemimpinan
Tunggal
3.
Kebersamaan
dalam hidup yang merefleksikan kerukunan.
4.
Kegotong-royongan.
5.
Motivasi yang
terarah dan pada umumnya mengarah pada peningkatan kehidupan beragama.[5]
Dari dua
pendapat di atas, nampak sekali bahwa pola tradisionalisme merupakan basis
kultur pesantren yang menjadikan keunikan tersendiri bagi pesantren. Pola
pendidikan tradisionalisme di pesantren merupakan basis nilai-nilai, keyakinan,
dan budaya, yang dapat dijadikan dasar pengembangan manajemen budaya di
pesantren. Misalnya: hubungan akrab antar kyai dan santri, ibarat hubungan
antara ayah dan anak. Hubungan akrab ini bisa mendorong keterlibatan emosional
kyai dan santri untuk mengembangkan pesantren bersama-sama, apalagi hal ini
didukung oleh sikap ketundukkan dan kepatuhan seorang santri pada kyainya.
Sikap inilah yang akan mendukung keberhasilan kepemimpinan seorang kyai di
pesantren.
Dalam
kepemimpinan seorang kyai di pesantren, memiliki titik kelemahan dan kelebihan.
Titik kelemahannya, kyai merupakan figure sentral di dunia pesantren dan lebih
dari itu merupakan faktor determinan terhadap suksesnya santri dalam mencari
pengetahuan. Dalam ranah akademik pendidikan kepesantrenan, signifikasi peranan
kyai dalam mengambil kebijakan juga menjadikan pembelajaran di pesantren yang
biasanya non-stop, kurang teratur kurikulumnya, atau bahkan ada juga pesantren
yang sama sekali tidak menerapkan sistem kurikulum. Bahan ajar menjadi hak
prerogratif kyai. Kyai, dalam dunia pendidikan pesantren menjadi seorang
otokrat.[6]
Sisi positif
(kelebihan) dari lembaga pendidikan pesantren adalah walaupun dipimpin oleh
seorang kyai secara otokratif, akan tetapi watak inklusifnya begitu mendalam.
Kebersahabatannya dengan budaya lokal telah berhasil memperkokoh fundamentasi
kebangsaan. Maka tidak heran pesantren menjadi akulturasi kebudayaan antar
daerah. Berkenaan dengan ini, tipe kepemimpinan pesantren memiliki watak
pemersatu. Daulat P. Tampubolon (2001) mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan
pemersatu berarti mampu mempersatukan semua unsur dan potensi yang berbeda-beda
sehingga menjadi kekuatan sinergis yang bermanfaat bagi semua pihak.[7]
Inilah mungkin
letak keunikan dalam kepemimpinan (manajemen) di dunia pesantren. Di satu sisi
seorang kyai sebagai public figure bagi santrinya yang harus diikuti, di
sisi lain, seorang kyai mampu mengakomodir keberagaman budaya santrinya.
Sebagaimana kata Mukti Ali di atas, berkembangnya iklim dan tradisi
tolong-menolong dan suasana persaudaraan antara kyai dan santrinya.
Saya melihat,
keberhasilan kyai dalam melakukan pengelolaan pesantren, salah satunya karena
kyai menjunjung tinggi nilai-nilai, budaya maupun keyakinan. Sikap otokrasi
biasanya dilakukan oleh kyai saat beliau menjadi seorang pemimpin pesantren
yang lebih menekankan pada nilai-nilai keagamaan[8],
misalnya: Pembelajaran yang bersifat kyai-centered. Seorang kyai melihat
para santrinya belum matang secara intelektual maupun emosionalnya, sehingga
perlu dibimbing dalam belajar. Adapun metode pembelajaranya, biasa disebut
dengan metode sorogan atau bandongan dimana kyai mempunyai
kekuasan tinggi dalam mengajarkannya, bahkan “haram” bagi santri untuk
membantahnya.
Sikap
kekeluargaan, keakraban, tolong-menolong biasanya dilakukan oleh kyai saat
beliau menjadi seorang manajer pesantren yang lebih menekankan pada proses dan
pengelolaan pesantren. Di sinilah letak manajemen budaya yang dilakukan oleh
kyai untuk mengembangkan pesantren. Nilai-nilai seperti kekeluargaan,
keakraban, tolong-menolong sangat efektif untuk manjalin ikatan emosional
antara kyai dan santri untuk mencapai tujuan pesantren secara bersama.
Kemudian dalam kaitannya dengan gejala modernitas dan perkembangan
ilmu pengetahuan (the rise of educations), sebaiknya sikap otokrasi dalam
kepemimpinan seorang kyai dikurangi dan lebih mengedepankan sikap “mengayomi”
santri dengan nilai-nilai, budaya maupun keyakinan agama sebagai basis
manajemen budaya di pesantren. Sikap otokrasi akan menghasilkan peserta didik
yang tidak kritis dan jumud (kaku) dalam pemikiran. Padahal, perkembangan ilmu
pengetahuan membutuhkan keterbukaan dan partisipasi aktif antara peserta didik
dengan seorang kyai atau guru. Model pembelajaran bukan kyai-centered
tapi santri-centered.
Dari paparan singkat diatas dapat
disimpulkan beberapa perilaku kyai dan santri
sebagai berikut :
1. Adanya hubungan yang akrab antara kyai dengan santrinya.
Dikarenakan sama-sama tinggal dalam satu atap.
2. Kepatuhan santri pada kyai.Santri mengganggap bahwa tidak
akan memperoleh berkah apabila durhaka pada guru.
3. Hidup hemat dan sederhana benar-benar terwujud dalam
pesantren. Bahkan tidak sedikit yang terlalu hemat sehingga kurang
memperhatikan kesehatan.
4. Kemandirian amat terasa di pesantren. Santri melakukan
sendiri semua pekerjaan rumah, seperti mencuci baju, memasak, dsb.
5. Jiwa tolong menolong dan ukhuwah sangat tinggi. Karena
sama-sama jauh dari orang tua.
6. Disiplin yang sangat dianjurkan. Akan memberikan pengaruh yang sangat besar
terhadap pembentukan kepribadian dan moral keagamaan.
7. Setiap orang akan mampu untuk menghadapi hidup dalam
kesenangan, akan tetapi tidak semua orang mampu hidup menderita, karena itu di
pesantren para kyai membudayakan hidup dalam kekurangan agar mereka mampu
bertahan ketika menghadapi kesulitan dan tidak cepat putus asa dalam berusaha.
8. Berani menderita untuk mencapai sebuah tujuan. Merupakan
pengaruh dari kebiasaan puasa sunat, zikir, salat tahajud, dsb.
9. Pemberian ijazah, yaitu pencantuman nama dalam suatu daftar
rantai transmisi pengetahuan yang diberikan kepada santri-santri yang
berprestasi.
2.
Perilaku kelompok (“aliran”) dalam organisasi pesantren
Kelompok adalah sekumpulan orang
yang mempunyai tujuan bersama yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai
tujuan bersama, mengenal satu sama lainnya, dan memandang mereka sebagai bagian
dari kelompok tersebut (Deddy Mulyana, 2005). Kelompok ini misalnya adalah
keluarga, kelompok diskusi, kelompok pemecahan masalah, atau suatu komite yang
tengah berapat untuk mengambil suatu keputusan.
Menurut Hammer dan Organ, dalam
Adam Ibrahim Indrawijaya ( 2010:56) menyebutkan adanya empat hal penting dari
kelompok yaitu : adanya saling berhubungan, saling memperhatikan, merasa
sebagai satu kelompok, dan untuk pencapaian tujuan bersama.
Dalam sebuah pesantren biasanya
terdapat kelompok – kelompok yang dibuat dengan sengaja, berdasarkan pada
intruksi kyai seperti kelompok dalam organisasi santri atau kelompok – kelompok
belajar, dan ada pula kelompok yang terjadi dengan sendirinya secara alamiyah
yang mungkin karena terdorong oleh jiwa kedaerahan atau karena kesamaan dalam
ruang belajar atau kelas. Kelompok ini adalah kelompok dikalangan santri
Kemudian ada lagi kelompok lain
yang bersifat sebagai mitra dan atau penanggung jawab keberlangsungan pesantren
seperti kelompok yayasan, komite sekolah untuk pesantren yang memiliki sekolah
formal dan kelompok wali santri.
Dengan adanya banyak kelompok maka
kemungkinan munculnya konflik akan sering terjadi, hal yang sering muncul
dipermukaan biasanya adalah perbedaan pendapat dari pihak yayasan dan tidak
merangkap sebagai kyai atau pimpinan pondok pesantren yang kadang berakibat
cukup fatal.
Ada juga konflik yang sering
terjadi dalam organisasi santri, dimana biasanya para pengurus organisasi
merasa memiliki wewenang karena mendapat mandate dari kyai untuk menjadi ujung
tombak pelaksanaan sunnah pondok, bertindak terlalu keras dalam memberikan
hukuman bagi santri yunior yang melanggar. Hal ini pula yang terkadang
menyebabkan santri merasa tidak betah dan muncul sikap antipati terhadap
pesantren.
Konflik – konflik semacam ini tentu
saja berakibat kurang menguntungkan bagi keberlangsungan pesantren, maka
ketegasan dan kebijaksanaan seorang kyai menjadi factor penentu untuk dapat
meredam munculnya konflik.
3.
Persepsi dan Komunikasi Efektif Pesantren
A.
Persepsi Pesantren
Di
masyarakat ada kepercayaan sebagian orang kalau yang masuk pesantren adalah
anak yang bandel. Minimal, kurang pintar, sebab Kalau pintar, pasti mereka
masuk sekolah umum. Kalau anak pintar masuk pesantren, mereka menganggap
tindakan kurang tepat.
Rasanya
tidak elok menyalahkan pandangan masyarakat tersebut. Beberapa fakta memperkuat
pendapat ini. Seorang ustad yang mantan preman mendirikan sebuah pesantren
untuk membina mantan napi agar mereka tidak kembali ke jalan yang suram.
Beberapa pesantren malah mengkhususkan diri untuk penyembuhan mereka yang
kecanduan narkoba. Perlahan namun pasti, persepsi masyarakat
tentang pesantren agaknya berubah.
Akan tetapi berdasarkan survey, masih banyaknya
santri di pesantren – pesantren, persepsi semacam itu bisa dikatakan salah,
karena kenyataannya makin banyak orang tua yang menganggap bahwa pendidikan di
pondok pesantren adalah pendidikan yang paling ideal untuk putra – putri
mereka, mengingat arus globalisasi yang berpengaruh pada perkembangan sikap dan
mental anak. Dan masih banyaknya orang tua yang meyakini bahwa pendidikan agama
adalah yang paling utama bagi anaknya.
Seiring dengan arus modernisasi dalam
pendidikan, banyak pesantren yang melakukan pembenahan dalam berbagai bidang,
kalau dulu pesantren terkesan sederhana bahkan serba kekurangan dalam segi
fasilitas, kini muncul banyak pesantren baru yang menawarkan kelebihan –
kelebihan fasilitas bagi para santri. Dibeberapa pesantren, santri sudah tidak
lagi memasak dan mencuci pakaian
sendiri, tempat tidur mereka juga menggunakan kasur empuk, mereka juga diberi
kebebasan lebih untuk mengakses informasi.
Target dari pesantren semacam itu adalah
kalangan menengah keatas yang mulai dirundung kegalauan dengan masa depan putra
putrid mereka jika hidup diluaran tanpa ada yang memperhatikan secara lebih.
Dengan demikian persepsi masyarakat terhadap pesantren saat ini sudah mengalami
banyak perubahan kearah lebih baik dan membanggakan.
B. Komunikasi efektif pesantren
Komunikasi merupakan dasar interaksi antar manusia.
Kesepakatan atau kesepahaman dibangun melalui sesuatu yang berusaha bisa
dipahami bersama sehingga interaksi berjalan dengan baik. Persoalan mendasar
dari masalah ini terletak pada hambatan yang muncul dalam membangun kesepahaman
dan usaha mencapai tujuan secara maksimal. Hal ini biasanya melahirkan suatu
kegalauan tentang komunikasi yang tidak sesederhana yang dibayangkan, yang
kemudian menuntun pada pemikiran tentang usaha untuk melakukan komunikasi
secara efektif.
Secara sederhana komunikasi dapat dipahami
sebagai suatu proses penyampaian dan penerimaan pesan dari komunikator (sumber)
ke komunikan (penerima). Pada tataran ini, terlihat adanya tiga unsur atau
elemen komunikasi yaitu, komunikator, pesan dan komunikan. Secara lebih luas,
komunikasi bisa pula dipahami sebagai suatu proses penyampaian dan penerimaan
pesan dari komunikator ke komunikan, dengan atau tanpa media, serta melibatkan
dua individu atau lebih yang saling berhubungan. Pada tingkat yang lebih
kompleks ini, elemen-elemen komunikasi yang nampak adalah komunikator
(tunggal/jamak), komunikan (tunggal/jamak), pesan dan media. Biasanya, ikutan
dari elemen-elemen yang demikian adalah munculnya pertimbangan tentang efek
(pengaruh) serta umpan balik (feedback).
Komunikasi efektif dipandang sebagai suatu hal
yang penting dan kompleks (Mingay, 2005: 2; dan Soller, Lesgold, Linton dan
Goodman, 1999: 1-8). Dianggap penting karena ragam dinamika kehidupan (bisnis,
politik, misalnya) yang terjadi biasanya menghadirkan situasi kritis yang perlu
penanganan secara tepat, munculnya kecenderungan untuk tergantung pada
teknologi komunikasi, serta beragam kepentingan yang ikut muncul. Juga
dipandang kompleks karena komunikasi efektif tidak serta merta berlaku untuk
semua bentuk proses komunikasi yang terjalin. Dengan kata lain, rujukan
komunikasi efektif hanya berlaku pada kasus-kasus tertentu dan kurang bisa
digeneralisasi.
Hasil penelitian Johnson, Sutton dan Harris
(2001: 81) menunjukkan cara-cara agar komunikasi efektif dapat dicapai. Menurut
mereka, komunikasi efektif dapat terjadi melalui atau dengan didukung oleh
aktivitas role-playing, diskusi, aktivitas kelompok kecil dan materi-materi
pengajaran yang relevan. Meskipun penelitian mereka terfokus pada komunikasi
efektif untuk proses belajar-mengajar, hal yang dapat dimengerti di sini adalah
bahwa suatu proses komunikasi membutuhkan aktivitas, cara dan sarana lain agar
bisa berlangsung dan mencapai hasil yang efektif.
Pesantren sebagai sebuah organisasi harus dapat
menjalankan komunikasi secara efektif agar semua target dan program yang
direncanakan dapat terlaksana, komunikasi efektif dalam pesantren harus
dibangun dari kyai sebagai menejer kepada para ustad, dan dari ustad kepada
santri dalam proses pendidikan dan pengajaran.
Salah satu komunikasi efektif yang harus
dibangun adalah komunikasi pesantren dengan alumni, mengingat berdasarkan
kebiasaan, masuknya santri baru kedalam pesantren banyak disebabkan oleh alumni
yang menyebarkan berita pesantren tanpa diminta dan tanpa brosur.
Terputusnya komunikasi alumni dengan pesantren
akan merugikan pihak pesantren, untuk itu agar tetap terjaga komunikasi
tersebut, harus diawali dengan penciptaan budaya pesantren yang menyebabkan
para alumni selalu merasa rindu dengan terkenang dengan pesantren, serta selalu
membanggakan almamaternya.
4. Motivasi Organisasi Pesantren
Motivasi.
Mungkin itu yang kita butuhkan saat bekerja atau belajar. Setiap hari, kita
bisa memperoleh motivasi dari apapun yang kita percayai. Agama, orang tua,
guru, kekasih, sahabat, musuh, bahkan orang-orang yang usianya lebih muda dari
kita. Saat memulai hari dengan motivasi, hidup terasa lebih ringan. Tapi,
seiring dengan berjalannya waktu, motivasi yang kita miliki pun turun, sesuai
dengan sifat motivasi itu sendiri,yazîdu wa yanqushu.
Dalam
Wikipedia Bahasa Indonesia disebutkan pengertian motivasi sebagai
berikut:
“Motivasi adalah proses yang menjelaskan intensitas, arah, dan ketekunan seorang individu untuk
mencapai tujuannya Tiga elemen utama dalam definisi ini adalah intensitas,
arah, dan ketekunan”
Dalam hubungan
antara motivasi dan intensitas, intensitas terkait dengan dengan seberapa giat
seseorang berusaha, tetapi intensitas tinggi tidak menghasilkan prestasi kerja
yang memuaskan kecuali upaya tersebut dikaitkan dengan arah yang
menguntungkan organisasi. Sebaliknya elemen yang terakhir,
ketekunan, merupakan ukuran mengenai berapa lama seseorang dapat mempertahankan
usahanya.
Dalam definisi
tersebut, seorang yang termotivasi memiliki arah yang sudah ia tentukan
sendiri. Dengan memiliki arah, dengan ditambah kepercayaan yang tinggi terhadap
diri sendiri dan orang yang disekelilingnya, intensitasnya pun semakin tinggi,
sehingga ketekunannya dalam bekerja pun semakin tinggi pula.
Adapun
motivasi organisasi pesantren berdasarkan beberapa buku tentang pesantren
adalah mencari ridla Allah SWT, Menjalankan Perintah Rasulullah SAW, dan
melaksanakan da’wah islamiyah untuk menjadi umat terbaik sebagaimana janji
Allah dalam alQur’an surat Ali Imran ayat : 110.
Namun, ada
beberapa hal yang bisa menurunkan motivasi seiring dengan berjalannya waktu,
dan menurut pengalaman , berikut adalah hal-hal yang dapat menurunkan motivasi:
- Melakukan sesuatu tanpa tahu sebabnya
Untuk itu agar
seluruh anggota dan kelompok dalam organisasi dapat termotivasi dalam berbagai
aktifitas, program dan budaya pesantren harus disosialisasikan secara merata
sehingga setiap orang mengetahui sebab- sebab dan keuntungan yang mereka
kerjakan.
- Adanya sedikit ketidakpercayaan .
Ketidak percayaan
muncul karena ada sesuatu yang mengganjal di hati atau pikiran. Jika ustad dan
santri sampai kehilangan kepercayaan kepada kyainaya, maka tunggulah kehancuran
pesantren tersbut, jika tidak segera dilakukan tindakan untuk memperbaikinya,
- Favoritisme.
Favoritisme berarti mengunggulkan seseorang karena sesuatu hal yang dimilikinya, berdasarkan penilaian pribadi. Ini sering terjadi dalam keluarga, di mana sang kakak mendapatkan jatah lebih besar daripada sang adik, atau sang bungsu sering mendapatkan perhatian lebih daripada sang anak pertama. Ini juga lebih banyak terjadi lagi pada organisasi yang menggunakan skema top-down, di mana sang bawahan cenderung disukai oleh seorang atas karena beberapa hal tertentu, ketimbang bawahan yang lain. Yang termotivasi justru satu orang saja, tapi orang-orang selain dia bisa jadi kehilangan motivasi karena adanya favoritisme. Ujung-ujungnya bisa jadi Kolusi dan Nepotisme. - Komunikasi satu arah.
Menerima pesan
atau omongan dari atasan tanpa partisipasi yang cukup dari seorang bawahan
membuat sang bawahan merasa dirinya tidak berpengaruh pada organisasi. Dengan
kata lain, terjadi sebuah hal yang disebut dengan minder. Muncullah
ketidakpercayaan diri dalam tubuh kita, yang akhirnya membuat kinerja kita
jatuh akibat turunnya motivasi.
- Pekerjaan yang tidak dihargai.
Pekerja yang
pekerjaannya sering tidak dihargai akan cenderung kehilangan motivasinya. Bila
seorang pekerja kena marah, tanpa dibangun motivasinya kembali, maka bisa jadi
muncullah ketidakbetahan dirinya di dalam organisasi tersebut.
BAB
III
KESIMPULAN
Peranan Kyai sebagai pemimpin dalam budaya organisasi pesantren
sangat esensial, para Kyai mempunyai potensi yang paling besar dalam menanamkan
dan memperkuat aspek-aspek budaya organisasi pesantren baik melalui perkataan
maupun perilakunya. Ada yang berpendapat lebih ekstrim, bahwa budaya organisasi
pesantren bersumber dari kepemimpinan kyai dan Kyai itu sendiri, karena Kyailah
yang pada dasarnya memiliki otoritas. Otoritas bisa dalam bentuk persetujuan,
ketidaksetujuan, ataupun penghargaan atas perilaku anggota organisasi pesantren,
sehingga akhirnya melembaga dan terbentuk menjadi budaya organisasi.
Setiap orang akan melakukan perilaku yang berbeda dalam
kehidupannya sehari-hari. Jadi ketika individu memasuki dunia organisasi maka
karakteristik yang dibawanya adalah kemampuan, kepercayaan pribadi, pengharapan
kebutuhan, dan pengalaman masa lalunya. Dan organisasi juga mempunyai
karakteristik yaitu keteraturan yang diwujudkan dalam susunan hirarki,
pekerjaan-pekerjaan, tugas-tugas, wewenang, tanggung jawab, system penggajian,
system pengendalian dan lain sebagainya. Jika karakteristik antara individu
digabungkan dengan karakteristik organisasi maka akan terwujud perilaku
individu dalam organisasi. Jadi perilaku individu dalam organisasi adalah suatu
fungsi dari interaksi antara seorang individu dengan lingkungannya ( organisasi
).
Pondok pesantren
sebagai sebuah organisasi harus mengembangkan budayanya sendiri yang
berkarakter sesuai dengan visi dan misinya, agar seluruh warga pesantren
menjadi lebih produktif dan akan dapat mencetak generasi Islami seperti yang di
idamkan.
Dalam bab terakhir ini penulis
mencoba memberikan rekomendasi untuk budaya organisasi pesantren sebagai
berikut:
1.
Diperlukan sikap kyai/ustadz
yang kebapaan dan bijaksana dalam proses pembinaan serta pembiasaan tata nilai
kedisplinan bagi santri. Diperlukan pula figur seorang pemimpin yang ikhlas
dalam melayani kepentingan santri, karena hal ini akan mendorong lancarnya
proses pembinaan dan pembiasaan.
2.
Diperlukan syarat yang
profesional untuk menjadi pembina/guru, yaitu persyaratan fisik, psikis,
mental, moral, dan intelektual sehingga guru bisa melakukan fungsinya dengan
baik dalam proses pembinaan disiplin santri.
3.
Diperlukan guru/pembina yang
menjadi motor penggerak, pemberi semangat, dan pemberi motivasi bagi
kelangsungan proses pelatihan dan pembinaan nilai-nilai disiplin santri, agar
setiap kegiatan bisa berjalan lancar, aman dan tertib.
4.
Khusus untuk orang tua: Diperlukan
keikhlasan dan kepercayaan penuh dalam menyerahan putra-putrinya untuk dididik,
dilatih dan dibina oleh pondok pesantren sesuai dengan program pendidikan yang
diterapkan di pesantren. Untuk lebih meyakinkan diri, perlu mencari informasi
sebanyak mungkin sebelum memasukan putra-putrinya ke lembaga pendidikan seperti
pesantren, sehingga ketika proses pembinaan sedang berlangsung, tidak ada
penyesalan serta tidak menarik putra-putrinya untuk dipindahkan ke tempat lain.
Diperlukan perhatian penuh kepada putra-putranya selama proses pendidikan,
diantaranya dengan meluangkan waktu menjenguk dan melihat proses pembinaan di
pondok pesantren.
5.
Pesantren sebagai lembaga
pendidikan pengkaderan ulama harus tetap melekat pada pesantren, karena
pesantren adalah satu-satunya lembaga pendidikan yang melahirkan ulama. Namun
demikian, tuntutan modernisasi dan globalisasi mengharuskan ulama memiliki
kemampuan lebih, kapasitas intelektual yang memadai, wawasan, akses pengetahuan
dan informasi yang cukup serta responsif terhadap perkembangan dan perubahan
sehingga kurikulum pesantren harus dipadukan dengan kurikulum modern yang
berbasis pendidikan nilai.
6.
Diperlukan waktu 90 hari untuk
menciptakan sebuah kebiasaan agar tertanam dalam otak bawah sadar, untuk itu
dalam menerapkan budaya pesantren, kyai dan ustadz agar tidak pernah
menghentikan kebiasaan baik terhadap santrinya sebelum waktu tersebut, sebab
jika sudah tertanam didalam otak bawah sadar, maka pembiasaan tadi tidak perlu
dipaksakan lagi tapi akan berjalan dengan sendirinya seperti tanpa beban.
Ainurrafiq
Dawam , Ahmad Ta’arifin, Khoiron Durori. 2004. Manajemen Madrasah Berbasis
Pesantren,
Griffin ricky : Managemen,
(PT Gelora Aksara Pratama)
Haedari,
dkk. IRD Pres 2004. Masa Depan Pesantren: dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan
Kompleksitas Global
John
M. Ivancevich, Robert Konopaske, Michael T. Matteson : Perilaku dan
managemen organisasi, (Jakarta : Erlangga)
Keith Davis dan John W. Newstrom, Perilaku dalam
Organisasi (Jakarta: Erlangga. 1985)
A Mukti Ali. 1987. Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini.
Jakarta: Rajawali press
Qomar,
Mujahid Prof. Dr. tt. Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju
Demokratisasi Institusi. Jakarta : Erlangga
Robbins,
Stephen P – Timothy A. Judge, Perilaku Organisasi Buku 1 dan 2, Salemba
Empat Jakarta
Sobirin,
Akhmad. 2007. Budaya Organisasi: Pengertian, Makna, dan Aplikasinya dalam
Kehidupan Organisasi. Unit Penerbit dan Percetakan Sekolah Tinggi Ilmu
Manajemen YKPN. Yogyakarta.
Taliziduhu Ndraha, Budaya Organisasi (Jakarta:
PT Rineka Cipta. 2003)
Yukl,
Gary. 1998. Kepemimpinan dalam Organisasi (Edisi Bahasa Indonesia).
Prenhallindo. Jakarta.
[1]
Sobirin, 2007:128-129
[2] perilaku dan manajemen organisasi, edisi ke 7
jilid 1 hal: 5
[3]
Mujamil Qomar : Pesantren dari transmisi …. Hal : 36
[4]
Haedari, dkk. 2004. Masa Depan Pesantren…,hal. 14-15 atau lihat Mukti
Ali. 1987. Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini. Jakarta: Rajawali
press., hal. 5
[5]
Ibid., hal. 15
[6]
Ainurrafiq Dawam dan Ahmad Ta’arifin. 2005. Manajemen…, hal. 73
[7]
Ibid., hal. 74
[8]
Sebagaimana Tony Bush dan Merianne Coleman mengatakan bahwa kepemimpinan
diidentikan dengan visi dan nilai-nilai, sedangkan manajemen diidentikan dengan
proses dan struktur. Bush & Marianne Coleman. 2006. Manajemen
Strategis…,hal. 63
Tidak ada komentar:
Posting Komentar