Selasa, 20 Maret 2012

Dialog dengan A.M. Waskito, Penulis "Bersikap Adil kepada Wahabi"

Ini dialog antara saya dengan A.M. Waskito ( Penulis buku "Bersikap Adil Kepada Wahabi" ) di dunia maya.
Said : Ustadz Abisyakir, saran saya antum baca kembali kitab-kitab ulama’ yang menjelaskan makna hadits “kullu bid’atin dhalalah”. Bagaimana mereka mendefenisikan bid’ah, misalnya al-Syafi’i, al-Baihaqi, ibnul Atsir, Ibnu Rajab al-Hanbali, al-Kirmani, al-Nawawi, Ibnu Hajar al-’Asqalani, al-Suyuthi, dan lain-lain. Jangan terpaku pada defenisi al-Syathibi. singkat saja, inilah contoh bid’ah-bid’ah dalam masalah agama ( bukan maslahah mursalah ) yang diakui oleh para ulama’ :


1. Membaca al-Qur’an di kuburan ( Hanafiyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah )
2. Membaca al-Qur’an untuk mayat. ( Hanafiyah dan Hanabilah, Imam Ahmad, mutaakhkhirin malikiyah, sebagaian syafi’iyyah, Ibnul Qayyim al-Jauziah ).
3. Berkumpul membaca al-Qur’an secara bergiliran. ( Imam Malik, al-Bunani, al-Dusuqi, al-Nawawi, Ibnu Taimiyah ).
4. Membaca al-Qur’an bersama-sama ( al-Nawawi, bahkan beliau menyebutkan ini dibolehkan dan dilakukan oleh ulama’ – ulama’ utama, salaf dan khalaf ).
5. Tarawih 20 raka’at ( Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, Zhahiriyah, Zaidiyah ).
6. Berjabatan tangan sesudah shalat ( al-Muhib al-Thabari, Hamzah al-Nasyiri, al-Izz bin ‘Abdissalam, al-Nawawi ).
7. Membaca shalawat setelah adzan ( Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyyah, dan Hanabilah ).
8. Adzan lebih dari satu orang secara bersama-sama dengan syarat tertentu. ( Hanafiyah, Syafi’iyyah, Hanabilah ).
9. Seruan “al-Shalatu Jami’ah” untuk shalat ‘Idain ( Sebagian Malikiyah, Syafi’iyyah, Hanabilah ).
10. Tawassul dengan Nabi Muhammad SAW setelah beliau meninggal dunia.( Malikiyah, Syafi’iyyah, Mutakhkhirin Hanafiyah { di antara nya al-Kamal bin al-Humam,} Hanabilah ).

Apakah antum akan mengatakan bahwa ulama – ulama’ di atas sebagai pelaku bid’ah ? Lalu, siapakah yang terbebas dari bid’ah ?
Atau antum merasa lebih baik pemahaman agamanya dibanding mereka ?
Saya sangat menghargai kalau antum memiliki pendapat lain, tetapi tolong hargailah pendapat orang lain. Salam ukhuwah.

A.M. Waskito : Akhil karim, kalau mengikuti “madzhab bebas” bisa saja dicarikan dalih untuk menolak paparan Antum di atas. Tapi demi menghargai pendapat ulama-ulama madzhab, ya kita bersikap lapang saja. Mungkin Antum perlu sebutkan sumber-sumber rujukan untuk masing-masing pendapat di atas melalui referens masing-masing. Bukan untuk menguji atau menjatuhkan, tidak sama sekali. Tapi biar ada yang bisa cross-check atas paparan Antum itu.

Oh ya, mohon maafkan juga Akhi. Sebenarnya, asal mula artikel itu karena adanya kebingungan soal definisi bid’ah itu lho. Lalu saya diminta menjelaskan. Ya, alhamdulillah dijelaskan. Meskipun masih menyisakan perbedaan pendapat (itu pasti).

Ala kulli haal, anggap saja artikel itu sebagai sikap saya. Tidak harus dipahami sebagai semacam paksaan bagi yang lain. Siapapun yang memiliki dalil dan rujukan, tafaddhal…silakan. Wa jazakumullah khairan jaza’.

Said : Syukron ustadz, saya sangat menghargai pendirian antum. Mengenai referensi, sebagian besar berasal dari kitab al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah dan al-Fiqh al-Islami wa Adilatuh. Poin ke-2, dapat juga membaca al-Bayyinat fi Hukm Ihda’ tsawab al-A’mal li al-Amwat karya Zhafir Hasan dan kitab al-Ruh karya Ibnul Qayyim al-Jauziyah, poin ke-3 dan ke-4 dapat dibaca di kitab al-Tibyan fi Adab Hamalah al-Qur’an karya al-Nawawi,
Paparan di atas bukanlah berarti saya mengkultuskan ulama’-ulama’ mazhab. Ulama’ tidaklah ma’shum. Pendapat mereka dapat benar dan juga dapat salah. Nah, kalo ulama’ – ulama’ mujtahid saja memiliki potensi untuk salah, apa lagi kita yang masih thalibul ilmi ini. Kita, dapat saja, menimbang pendapat para ulama’ dengan al-Qur’an dan al-Sunnah, dan memilih pendapat yang rajih menurut kita. Tetapi, jangan lupa, bahwa pendapat yang menurut kita rajih itu pun merupakan ijtihad yang mempunyai potensi untuk benar dan salah. Oleh karena itu, para ulama’ tidak mengingkari perbedaan dalam masalah ijtihadiyah.

Koment saya di atas, membawa pesan, bahwa ulama’ dalam 4 mazhab, pada dasarnya tidak menolak semua perkara baru di dalam agama ( bukan perkara baru dalam urusan keduniaan saja ). Perkara baru, baik urusan dunia, maupun urusan ibadah, ditimbang dengan neraca syari’at Ada yang sesuai, sehingga diterima, dan ada yang tidak sesuai sehingga ditolak. Hanya saja, dalam tathbiq nya, mereka berbeda pendapat.

Koment itu juga bermaksud mengajak siapa saja yang membacanya untuk menelusuri kembali makna bid’ah menurut para ulama’. Karena defenisi bid’ah yang banyak dipakai oleh saudara-saudara salafi adalah defenisi nya al-Syathibi pengarang kitab al-I’tisham. Padahal, sepanjang pengetahuan saya, defenisi itu merupakan defenisi baru yang tidak ditemukan dalam referensi – referensi yang ditulis atau dinuqil dari ulama’ salaf.

Kalau masalah berdalil, seribu dalil yang antum kemukakan, maka akan ada pula seribu dalil untuk menolaknya. Antum berargumen dengan al-Qur’an dan al-Sunnah, kami pun akan berargumen dengan al-Qur’an dan al-Sunnah juga. Ini tidak akan pernah selesai. Solusinya, mari saling menghormati dan menghargai, sebagaimana telah dicontohkan oleh para ulama’.

Saya menulis ini, bukan karena saya benci salafi / wahabi. Bukan karena kedengkian, dan bukan juga karena fanatisme buta. Sedikit banyak, saya juga mengerti ilmu bahasa arab dg perangkat-perangkatnya, ilmu tafsir dg perangkat-perangkatnya, ilmu hadits, fiqih dan ushul fiqh. Bahkan dalil apa pun yang dikemukakan pihak salafi / wahabi, saya juga mengetahuinya, karena dulu, waktu kuliah s1, saya penggemar tulisan-tulisan ibnu taymiyah, ibnul Qayyim, al-’Utsaimin, bin Baz, dkk. Saya sangat terpengaruh dengan pemikiran-pemikiran salafi / wahabi, walaupun saya dibesarkan di lingkungan NU, dan dididik dalam pesantren NU. Tetapi dengan banyak membaca dan membaca, sikap toleran dan moderat lah yang muncul.

Terakhir, saran saya, mohon berhati-hati terhadap vonis bid’ah. Para ulama’ yang membagi bid’ah menjadi sayyiah dan hasanah bukan tidak tahu ada hadits “kullu bid’ah dhalalah”. Mereka juga tidak mungkin beramai-ramai sepakat menentang hadits Rasulullah SAW. Mereka paham hadits tersebut, tetapi mereka memahaminya lain. Mereka berhujjah dengan dalil-dalil yang lain. Mereka menerapkan kaidah-kaidah ushuliyah, sehingga menghasilkan kesimpulan seperti itu.

Mohon ma’af, jika kurang berkenan di hati ustadz. Demi Allah, saya merindukan persatuan umat Islam. Semoga kita dipersatukan dalam perbedaan. Perbedaan cukup di ranah pemikiran, jangan masuk ke dalam hati. Salam ukhuwwah fillah.

A.M. Waskito : Jazakumullah khair Ustadz atas penjelasan, masukan, dan referensinya. Semua ini adalah apresiasi yang layak dihargai, sebagai upaya saling hormat-menghormati antar sesama pencari ilmu. Alhamdulillah.

Respon: Ada sebuah kaidah ushul yang terkenal, “Al ‘ashlu fil ‘ibadah haramun”. Dari kaidah ini banyak ulama dan penuntut ilmu meyakini konsep bid’ah seperti yang telah dijelaskan. Selain tentunya hadits “kullu bid’atin dhahalah”. Semoga dimengerti.

Respon: Ada satu ungkapan menarik, sebutlah kata-kata hikmah, bunyinya: “Khairul umur ausathuha” (sebaik-baik urusan adalah pertengahannya). Katanya, ini bukan hadits, tapi ia bisa diterima sebagai hikmah. Apalagi kita bisa kaitkan hikmah ini dengan ayat Al Qur’an tentang karakter kaum Muslimin, sebagai Ummatan Wasathan (Al Baqarah 143). Ya intinya, sikap pertengahan itu baik; tidak tafrith (berlebihan-lebihan) dan juga ifrath (menggampangkan). Sikap hikmah, insya Allah selalu baik di segala situasi.

Respon: Ya, insya Allah saya akan hati-hati. Jazakumullah khairan jaza’. Tetapi bukan berarti, kami tidak boleh bersikap lho ya. Kan ada yang mengambil pendapat tertentu, dan ada yang berpendapat lain; ya kan mesti saling menghargai. Iya kan. Tapi insya Allah nanti akan lebih hati-hati, bi idznillah.

Respon: Sama-sama Ustadz, juga mohon dimaafkan atas segala salah dan kekurangan kami. Alhamdulillah, ahabbakallah li annaka tuhibbu li ittihadil Ummah, alhamdulillah. Ja’alaniyallahu wa iyyaka wal Muslimina ikhwanan mutahabbiyan tahta zhilalil Islam fid dunya wal akhirah. Amin Allahumma amin.

Said : Ustadz A.M. Waskito, mhn ma’af, saya koment lg :
1. Mengenai kaidah : al-Ashlu fi al-’Ibadah al-Tahrim, itu benar sekali. Setiap ibadah harus ada dalilnya. Hanya saja, dalil itu macam-macam, ada yang bersifat umum, ada yang bersifat khusus. Ada yang berdasarkan ‘Ibarah al-Nash, ada juga yang berdasarkan isyarah al-Nash, dilalah al-Nash, dan Iqtidha’ al-Nash. Ada yang berdasarkan mantuq, dan ada juga yang berdasarkan mafhum, dan lain-lain, sebagaimana dibahas oleh ulama’-ulama’ ushul. Yang bikin kaidah itu adalah para ulama’, masa iya mereka sendiri yg melanggarnya. Imam Ahmad, misalnya, beliau tahu kaidah itu, tetapi mengapa beliau mengeluarkan fatwa sampainya seluruh amal kebaikan orang yang masih hidup untuk orang yg telah meninggal. Pendapat beliau ini, diikuti oleh ulama’ – ulama’ Hanbali seperti, Ibnu Taimiyah, dan Ibnul Qayyim. Jadi, kalau kita belum sampai derajat mujtahid, sulit menggunakan kaidah ini, karena boleh jadi, menurut kita, tidak ada dalilnya, tetapi menurut para ulama’, ternyata dalilnya sangat kuat. Saya mempersilahkan antum mengkaji fiqih perbandingan, maka antum akan melihat bahwa semua mazhab tidak ada yang terbebas dari bid’ah sebagaimana yg antum pahami. Apakah mereka semua itu tidak mengerti syari’at ? Mereka tentu jauh lebih mengerti dibanding kita.
2. Mengenai konsep bid’ah, maka, sepanjang yang saya ketahui, sebelum datang al-Syathibi dengan kitab al-I’tisham nya, semuanya sepakat mengenai konsep bid’ah, hanya ‘ibarah yang berbeda. Ada dua konsep yg dikemukakan oleh ulama’ – ulama’ mutaqaddimin, yaitu, Kelompok pertama, mendefenisikan bid’ah sebagai sesuatu yang tidak dikerjakan pada masa Rasulullah SAW. Kelompok ini lah yang membagi bid’ah menjadi 2 macam, yaitu terpuji dan tercela. Perkara baru, menurut mereka, ditimbang dengan neraca syari’at. Yang bertentangan dg syari’at ditolak, dan yang bersesuaian dg syari’at diterima. Yg ditolak itu bid’ah sayyiah, dan yang diterima itu adalah bid’ah hasanah. Pelopornya imam al-Syafi’I, diikuti oleh al-Baihaqi, al-’Izz bin Abdissalam, ibn al-Atsir, al-Nawawi, al-Suyuthi, dan lain-lain.
Kelompok kedua mendefenisikan bid’ah sebagai sesuatu yang tidak dikerjakan pada masa Rasulullah SAW, dan tidak memiliki sandaran dalil sama sekali. Jadi, menurut kelompok ini, untuk disebutkan sebagai bid’ah itu syaratnya 2, yaitu tidak dikerjakan pada masa Rasulullah SAW, dan tidak ada dalil sama sekali. Perkara baru, menurut mereka, ada dua macam, yaitu mempunyai sandaran dalil ( tidak musti zhahir nash ), dan tidak memiliki sandaran dalil. Yg ada sandaran dalilnya, walaupun tidak dikerjakan pada masa Rasulullah, diterima dan dinamakan dengan sunnah hasanah ( bukan bid’ah hasanah seperti kelompok pertama di atas ). Yg tidak ada sandaran dalilnya, dinamakan dengan bid’ah dhalalah. Kelompok ini tidak membagi bid’ah menjadi 2, tetapi mereka menyatakan semua bid’ah itu sesat. Tetapi kita harus ingat bahwa bid’ah menurut mereka, bukan setiap perkara baru ( urusan dunia atau ibadah ), tetapi perkara baru yang tidak memiliki dalil sama sekali. Pendapat ini didukung oleh Ibnu Rajab al-Hanbali, Ibnu Hajar al-’Asqalani, dan lain-lain.
Sebagai contoh, berjabat tangan setelah shalat adalah perkara baru, tetapi ada dalil yang bersifat umum yang menganjurkan kita untuk berjabat tangan. Kalo menggunakan defenisi bid’ah kelompok pertama, ini adalah bid’ah hasanah, dan kalo menggunakan defenisi kelompok kedua, maka ini adalah sunnah hasanah, bukan bid’ah.
Dengan demikian, kita dapat mengerti celaan-celaan para ulama’ terhadap bid’ah, yaitu bid’ah menurut defenisi mereka, bukan bid’ah seperti yang ada dalam fikiran kita. Berdasarkan penjelasan di atas, juga menjadi jelas, bahwa para ulama’ mutaqaddimin, pada hakikatnya sepakat dengan konsep bid’ah, tetapi beda dalam ‘ibarah dan penerapannya. Untuk menguji tulisan ini, silahkan merujuk kepada kitab-kitab syarah hadits, dan kitab-kitab lainnya yang berkaitan, dan tinggalkan dulu untuk sementara, kitab-kitab yg ditulis oleh ulama’ – ulama’ belakangan.
Mungkin kita berfikir, bahwa walaupun berjuta-juta ulama’ mengemukakan pendapatnya, tetap ucapan Rasulullah SAW lah yang harus didahulukan. Ini benar sekali, tetapi, mungkinkah para ulama’ sepakat menentang Rasulullah SAW ? Atau pemahaman kita terhadap hadits yang tidak sama dengan pemahaman para ulama’? Pemahaman kita terhadap hadits atau pemahaman ulama’ kah yang lebih baik ? Di sini, saya tidak mengemukakan dalil-dalil lain yang digunakan oleh para ulama’ dalam rangka memahami hadits “kullu bid’ah dhalalah” karena akan terlalu panjang.
3. Mengenai kebebasan bersikap, silahkan, tidak ada yg berhak memaksakan pemahamannya kepada orang lain. Antum berhak meyakini sesuatu yang antum anggap benar, tetapi, demi menghargai pendapat orang lain, maka hendaklah kita tidak mengingkari secara berlebihan, sehingga seakan-akan, pemahaman yang lain itu pasti salah dan menyesatkan.
4. Terakhir, sekali lagi, saya mohon ma’af yg sebesar-besarnya. Bukan maksud untuk menggurui, bukan maksud untuk mendebat, dan bukan maksud untuk memaksa orang lain mengikuti pandangan saya. Menukil istilah antum, inilah sikap saya dalam masalah ini. Semoga Allah SWT, menjadikan kita sebagai umat yang bersaudara. Amiin ya Rabb al-’Alamin.

2 komentar:

  1. Saya kira perlu dituliskan sebuah buku "Menyegarkan Kembali Pemahaman Kita tentang Bid'ah; Sebuah Upaya Bersikap Adil kepada Sesama Muslim."

    Buku ini akan mengupas habis tentang dalil-dalil terkait bid'ah, pendapat para ulama mengenai makna bid'ah, dan penjelasan para ahli hadis, mufassir, fuqaha', ulama ushul, maupun ulama yang kompeten dalam kajian lainnya.

    Juga perlu kita paparkan bagaimana para sahabat dan salafus shalih memahami dan mengaplikasikan sunnah Nabi Muhammad SAW.

    BalasHapus
  2. Keren dialognya. Asyik dibaca. Syukran!

    BalasHapus