Manajemen, Gaya Kepemimpinan Pesantren
dan teknik
Pengambilan Keputusan[1]
I. PENDAHULUAN
Pesantren telah lama menjadi lembaga
yang memiliki kontribusi penting dalam ikut serta mencerdaskan bangsa.
Banyaknya jumlah pesantren di Indonesia, serta besarnya jumlah santri pada tiap
pesantren menjadikan lembaga ini layak diperhitungkan dalam kaitannya dengan
pembangunan bangsa di bidang pendidikan dan moral.
Tantangan era globalisasi dan
teknologi yang kian hari kian menjadi, momotivasi pesantren untuk senantiasa
mengadakan inovasi terhadap sistem yang sudah ada. Berupa perbaikan-perbaikan
yang secara terus menerus dilakukan, baik dari segi manajemen, administrasi,
akademik (kurikulum) maupun fasilitas, menjadikan pesantren keluar dari kesan
tradisional dan kolot yang selama ini disandangnya. Beberapa pesantren bahkan
telah menjadi model dari lembaga pendidikan yang leading. Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang unik. Tidak
saja karena keberadaannya yang sudah sangat lama, tetapi juga karena kultur,
metode, dan jaringan yang diterapkan oleh lembaga agama tersebut. Karena
keunikannya itu, C. Geertz menyebutnya sebagai subkultur masyarakat Indonesia
(khususnya Jawa)[2]. Pada
zaman penjajahan, pesantren menjadi basis perjuangan kaum nasionalis-pribumi.
Banyak perlawanan terhadap kaum kolonial yang berbasis pada dunia pesantren.
Agar makalah yang berjudul “Manajemen
dan Gaya Kepemimpinan Pesantren, dan teknik Pengambilan Keputusan” ini terfokus, maka dibagi
dalam sub-sub sebagai berikut :
-
Dinamika perkembangan pesantren
-
Manajemen dan administrasi
peningkatan mutu pondok pesantren
-
Format pesantren masa depan
-
Gaya kepemimpinan kyai
-
Teknik pengambilan keputusan
II.
PEMBAHASAN
A. Dinamika
Perkembangan Pesantren
Pesantren sebagai tempat pendidikan
agama memiliki basis sosial yang jelas, karena keberadaannya menyatu dengan
masyarakat. Pada umumnya, pesantren hidup dari, oleh, dan untuk masyarakat.
Visi ini menuntut adanya peran dan fungsi pondok pesantren yang sejalan dengan
situasi dan kondisi masyarakat, bangsa, dan negara yang terus berkembang.
Sementara itu, sebagai suatu komunitas, pesantren dapat berperan menjadi
penggerak bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat mengingat pesantren
merupakan kekuatan sosial yang jumlahnya cukup besar. Secara umum, akumulasi
tata nilai dan kehidupan spiritual Islam di pondok pesantren pada dasarnya
adalah lembaga “tafaqquh fiddin” yang
mengemban untuk meneruskan risalah nabi Muhammad saw sekaligus melestarikan
ajaran Islam[3].
Sebagai lembaga, pesantren
dimaksudkan untuk mempertahankan nilai- niali keislaman dengan titik berat pada
pendidikan. Pesantren juga berusaha untuk mendidik para santri yang belajar
pada pesantren tersebut yang diharapkan dapat menjadi orang-orang yang
berwawasan agama isalam secara luas. Kemudian, mereka dapat mengajarkannya
kepada masyarakat, setelah selesai menamatkan pelajarannya di pesantren.
Dunia pesantren sarat dengan aneka
pesona, keunikan, kekhasan dan karakteristik tersendiri yang tidak dimiliki
oleh institusi lainnya. Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam pertama
dan khas pribumi yang ada di Indonesia pada saat itu. Tapi, sejak kapan mulai
munculnya pesantren, belum ada pendapat yang pasti dan kesepakatan tentang hal
tersebut. Belum diketahui secara persis pada tahun berapa pesantren pertama
kali muncul sebagai pusat-pusat pendidikan agama di Indonesia. Pesantren yang
paling lama di Indonesia namanya Tegalsari di Ponorogo, Jawa Timur[4].
Tegalsari didirikan pada akhir abad ke-18, walaupun sebetulnya pesantren di
Indonesia mulai muncul banyak pada akhir abad ke-19[5].
B. Manajemen
dan Administrasi Peningkatan Mutu Pondok Pesantren
Manajemen adalah keniscayaan bagi
sebuah lembaga atau organisasi sekecil apapun. Tanpa manajemen yang bagus, lembaga
maupun organisasi tersebut akan sulit mencapai target ataupun tujuan yang
diinginkannya. Tak lepas dari hal tersebut adalah lembaga pesantren. Sebuah
institusi dan sistem pendidikan di indonesia yang embrionya mulai muncul sejak
masuknya Islam ke nusantara ini pada abad 12 M dengan berbentuk pendidikan
al-Qur’an dan pendidikan agama lainnya di surau atau emperan masjid.[6]
Pesantren memiliki sejarahnya yang
panjang. Karena itu wajar kiranya ia disebut sebagai lembaga pendidikan
tradisional islam.[7] Beberapa
definisi mencoba mengurai tentang pesantren atau pondok pesantren. Pesantren
atau pondok pesantren merupakan institusi lokal yang mengajarkan
praktik-praktik dan kepercayaan-kepercayaan islam.[8]
Ia adalah lembaga keagamaan yang mendidik manusia agar mampu berpegang teguh
pada al-Qur’an dan mengikuti sunnah Rasulullah saw sehingga menjadi
pribadi yang mempunyai komitmen dan konsistensi dalam setiap waktu dan kondisi.[9]
Adapun deskripsi lahiriah pesantren adalah sebuah komplek dengan lokasi yang
umumnya terpisah dari kehidupan lingkungan di sekitarnya. Di dalamnya teerdapat
beberapa buah bangunan, rumah kediaman pengasuh (Jawa menyebutnya kyai,
Sunda ajengan, dan Madura nun atau bendara yang disingkat
menjadi ra), sebuah masjid atau surau, dan asrama tempat tinggal siswa
pesantren (santri).[10]
Dilihat dari sisi administratif pesantren merupakan
sebuah lembaga pendidikan luar sekolah yang berkenan menyelenggarakan program
pengajaan pendidikan agama Islam kepada santri sebagai peserta didik. Hal
ini sejalan dengan kata pesantren itu sendiri yang berasal dari kata “santri”
mendapat awalan “pe” dan akhiran “an” sehingga hal ini mengandung pengertian
tempat. Bahasa sangsekerta menyebut istilah santri dengan sebutan “sastri” yang
artinya “melek hurup”, adapun dalam bahasa jawa disebutkan bahwa istilah santri
berasal dari kata “cantrik” yang artinya seseorang yang senantiasa taat kepada
guru serta selalu mengikuti kemana sang guru tersebut pergi dan menetap[11].
Zamakshsyari menyebutkan
bahwa istilah santri itu berasal dari kata “sastri” yang memiliki pengertian manusia yang mengetahui kitab-kitab
agama Hindu. Digubah menjadi santri yang berarti manusia yang mengetahui
kitab-kitab agama Islam.[12]
Ketika menginjak abad ke-20, yang
sering disebut sebagai jaman modernisme dan nasionalisme, peranan pesantren
mulai mengalami pergeseran secara signifikan. Sebagian pengamat mengatakan
bahwa semakin mundurnya peran pesantren di masyarakat disebabkan adanya dan
begitu besarnya faktor politik Hindia Belanda.[13]
Sehingga, fungsi dan peran pesantren menjadi bergeser dari sebelumnya. Tapi,
penjelasan di atas kiranya cukup untuk menyatakan bahwa pra abad ke-20 atau
sebelum datangnya modernisme dan nasionalisme, pesantren merupakan lembaga
pendidikan yang tak tergantikan oleh lembaga pendidikan manapun. Dan, hal itu
sampai sekarang masih tetap dipertahankan.
Yang menarik di sini adalah bahwa
pendidikan pesantren di Indonesia pada saat itu sama sekali belum
terstandarisasi secara kurikulum dan tidak terorganisir sebagai satu jaringan
pesantren Indonesia yang sistemik. Ini berarti bahwa setiap pesantren mempunyai
kemandirian sendiri untuk menerapkan kurikulum dan mata pelajaran yang sesuai
dengan aliran agama Islam yang mereka ikuti. Sehingga, ada pesantren yang
menerapkan kurikulum Depdiknas (Departemen Pendidikan Nasional) dengan
menerapkan juga kurikulum agama (dikenal dengan istilah pesantren modern).
Kemudian, ada pesantren yang hanya ingin memfokuskan pada kurikulum ilmu agama
Islam saja (dikenal dengan istilah pesantren tradisional). Yang berarti bahwa
tingkat keanekaragaman model pesantren di Indonesia tidak terbatasi.
Setelah kemerdekaan negara Indonesia,
terutama sejak transisi ke Orde Baru dan ketika pertumbuhan ekonomi betul-betul
naik tajam, pendidikan pesantren menjadi semakin terstruktur dan kurikulum
pesantren menjadi lebih tetap. Misalnya, selain kurikulum agama, sekarang ini
kebanyakan pesantren juga menawarkan mata pelajaran umum. Bahkan, banyak
pesantren sekarang melaksanakan kurikulum Depdiknas dengan menggunakan sebuah rasio
yang ditetapkannya, yaitu 70 persen mata pelajaran umum dan 30 persen mata
pelajaran agama. Sekolah-sekolah Islam yang melaksanakan kurikulum Depdiknas
ini kebanyakan di Madrasah.[14]
Seiring dengan keinginan dan niatan
yang luhur dalam membina dan mengembangkan masyarakat, dengan kemandiriannya,
pesantren secara terus- menerus melakukan upaya pengembangan dan penguatan
diri. Walaupun terlihat berjalan secara lamban, kemandirian yang didukung
keyakinan yang kuat, ternyata pesantren mampu mengembangkan kelembagaan dan
eksistensi dirinya secara berkelanjutan.
Mengutip Sayid Agil Siraj, ada tiga
hal yang belum dikuatkan dalam pesantren. Pertama, tamaddun yaitu memajukan pesantren. Banyak pesantren yang dikelola
secara sederhana. Manajemen dan administrasinya masih bersifat kekeluargaan dan
semuanya ditangani oleh kyainya. Dalam hal ini, pesantren perlu berbenah diri.
Kedua, tsaqafah, yaitu bagaimana memberikan pencerahan kepada umat Islam
agar kreatif-produktif, dengan tidak melupakan orisinalitas ajaran Islam. Salah
satu contoh para santri masih setia dengan tradisi kepesantrenannya. Tetapi,
mereka juga harus akrab dengan komputer dan berbagai ilmu pengetahuan serta
sains modern lainnya.
Ketiga, hadharah, yaitu membangun budaya. Dalam hal ini, bagaimana budaya kita
dapat diwarnai oleh jiwa dan tradisi Islam. Di sini, pesantren diharap mampu
mengembangkan dan mempengaruhi tradisi yang bersemangat Islam di tengah
hembusan dan pengaruh dahsyat globalisasi yang berupaya menyeragamkan budaya
melalui produk-produk teknologi.[15]
Sebagai sebuah lembaga yang bergerak
dalam bidang pendidikan dan sosial keagamaan, pengembangan pesantren harus
terus didorong. Karena pengembangan pesantren tidak terlepas dari adanya
kendala yang harus dihadapinya. Apalagi belakangan ini, dunia secara dinamis
telah menunjukkan perkembangan dan perubahan secara cepat, yang tentunya, baik
secara langsung maupun tidak langsung dapat berpengaruh terhadap dunia
pesantren.
Terdapat beberapa hal yang tengah
dihadapi pesantren dalam melakukan pengembangannya, yaitu:
Pertama, image pesantren
sebagai sebuah lembaga pendidikan yang tradisional, tidak modern, informal, dan
bahkan teropinikan sebagai lembaga yang melahirkan terorisme, telah
mempengaruhi pola pikir masyarakat untuk meninggalkan dunia pesantren. Hal
tersebut merupakan sebuah tantangan yang harus dijawab sesegera mungkin oleh
dunia pesantren dewasa ini.
Kedua, sarana dan prasarana penunjang yang terlihat masih kurang
memadai. Bukan saja dari segi infrastruktur bangunan yang harus segera di
benahi, melainkan terdapat pula yang masih kekurangan ruangan pondok (asrama)
sebagai tempat menetapnya santri. Selama ini, kehidupan pondok pesantren yang
penuh kesederhanaan dan kebersahajaannya tampak masih memerlukan tingkat
penyadaran dalam melaksanakan pola hidup yang bersih dan sehat yang didorong
oleh penataan dan penyediaan sarana dan prasarana yang layak dan memadai.
Ketiga, sumber daya manusia. Sekalipun sumber daya manusia dalam
bidang keagamaan tidak dapat diragukan lagi, tetapi dalam rangka meningkatkan
eksistensi dan peranan pondok pesantren dalam bidang kehidupan sosial
masyarakat, diperlukan perhatian yang serius. Penyediaan dan peningkatan sumber
daya manusia dalam bidang manajemen kelembagaan, serta bidang- bidang yang
berkaitan dengan kehidupan sosial masyarakat, mesti menjadi pertimbangan
pesantren.
Keempat, aksesibilitas dan networking. Peningkatan akses dan
networking merupakan salah satu kebutuhan untuk pengembangan pesantren.
Penguasaan akses dan networking dunia pesantren masih terlihat lemah, terutama
sekali pesantren-pesantren yang berada di daerah pelosok dan kecil. Ketimpangan
antar pesantren besar dan pesantren kecil begitu terlihat dengan jelas.
Kelima, manajemen kelembagaan. Manajemen merupakan unsur penting
dalam pengelolaan pesantren. Pada saat ini masih terlihat bahwa pondok
pesantren dikelola secara tradisional apalagi dalam urusan penguasaan informasi
dan teknologi yang masih belum optimal. Hal tersebut dapat dilihat dalam proses
pendokumentasian (data base) santri dan alumni pondok pesantren yang masih
kurang terstruktur.
Keenam, pembenahan administrasi. Memang tidak mudah untuk membenahi
sistem administrasi pesantren. Sebab, rata-rata masih dikelola secara
tradisional. Jangankan buku induk, rapot, struktur kepengurusan pondok, madrasah,
dan lain-lain, stempel saja kadang tidak ada. Begitu pula tidak mudah merubah
keikhlasan mental santri dan alumni untuk peduli terhadap hal-hal yang sepele
-tapi penting- yang berkaitan dengan
administrasi. Seperti soal keistiqamahan dalam menulis ejaan nama, baik di akte
kelahiran, ijazah, KTP, SIM, dan sebagainya. Mungkin sudah zamannya, masyarakat
yang kental pesantren sekalipun tidak ingin anaknya hanya berhasil dalam
pendidikan pesantren dari sisi amaliyahnya saja, namun juga membutuhkan hitam
putih legal formalnya.
Ketujuh, kemandirian ekonomi kelembagaan. Kebutuhan keuangan selalu
menjadi kendala dalam melakukan aktivitas pesantren, baik yang berkaitan dengan
kebutuhan pengembangan pesantren maupun dalam proses aktivitas keseharian
pesantren. Tidak sedikit proses pembangunan pesantren berjalan dalam waktu lama
yang hanya menunggu sumbangan atau donasi dari pihak luar, bahkan harus
melakukan penggalangan dana di pinggir jalan.
kedelapan, kurikulum yang berorientasi life skills santri dan masyarakat. Pesantren masih berkonsentrasi
pada peningkatan wawasan dan pengalaman keagamaan santri dan masyarakat.
Apabila melihat tantangan kedepan yang semakin berat, peningkatan kapasitas
santri dan masyarakat tidak hanya cukup dalam bidang keagamaan semata, tetapi
harus ditunjang oleh kemampuan yang bersifat keahlian.[16]
C. Format
Pesantren Masa Depan
Sekarang ini, ada fenomena menarik
dalam dunia pendidikan di Indonesia yakni munculnya sekolah-sekolah terpadu
(mulai tingkat dasar hingga menengah); dan penyelenggaraan sekolah bermutu yang
sering disebut dengan boarding school.
Nama lainnya adalah sekolah berasrama. Para murid mengikuti pendidikan reguler
dari pagi hingga siang di sekolah, kemudian dilanjutkan dengan pendidikan agama
atau pendidikan nilai- nilai khusus di malam hari. Selama 24 jam anak didik
berada di bawah didikan dan pengawasan para guru pembimbing.
Di lingkungan sekolah ini mereka
dipacu untuk menguasai ilmu dan teknologi secara intensif. Selama di lingkungan
asrama mereka ditempa untuk menerapkan ajaran agama atau nilai-nilai khusus
tadi, tak lupa mengekspresikan rasa seni dan ketrampilan hidup di hari libur.
Hari-hari mereka adalah hari-hari berinteraksi dengan teman sebaya dan para
guru. Rutinitas kegiatan dari pagi hari hingga malam sampai ketemu pagi lagi,
mereka menghadapi makhluk hidup yang sama, orang yang sama, lingkungan yang
sama, dinamika dan romantika yang seperti itu pula. Dalam khazanah pendidikan
kita, sekolah berasrama adalah model pendidikan yang cukup tua.
Secara tradisional jejaknya dapat
kita selami dalam dinamika kehidupan pesantren, pendidikan gereja, bahkan di
bangsal-bangsal tentara. Pendidikan berasrama telah banyak melahirkan tokoh
besar dan mengukir sejarah kehidupan umat manusia. Kehadiran boarding school adalah suatu keniscayaan
zaman kini. Keberadaannya adalah suatu konsekwensi logis dari perubahan
lingkungan sosial dan keadaan ekonomi serta cara pandang religiusitas
masyarakat. Pertama, lingkungan
sosial kita kini telah banyak berubah terutama di kota-kota besar. Sebagian
besar penduduk tidak lagi tinggal dalam suasana masyarakat yang homogen,
kebiasaan lama bertempat tinggal dengan keluarga besar satu klan atau marga
telah lama bergeser kearah masyarakat yang heterogen, majemuk, dan plural. Hal
ini berimbas pada pola perilaku masyarakat yang berbeda karena berada dalam
pengaruh nilai-nilai yang berbeda pula.
Oleh karena itu sebagian besar
masyarakat yang terdidik dengan baik menganggap bahwa lingkungan sosial seperti
itu sudah tidak lagi kondusif bagi pertumbuhan dan perkembangan intelektual dan
moralitas anak. Kedua, keadaan
ekonomi masyarakat yang semakin membaik mendorong pemenuhan kebutuhan di atas
kebutuhan dasar seperti kesehatan dan pendidikan. Bagi kalangan mengengah-atas
yang baru muncul akibat tingkat pendidikan mereka yang cukup tinggi sehingga
mendapatkan posisi-posisi yang baik dalam lapangan pekerjaan berimplikasi pada
tingginya penghasilan mereka. Hal ini mendorong niat dan tekad untuk memberikan
pendidikan yang terbaik bagi anak-anak melebihi pendidikan yang telah diterima
orang tuanya.
Ketiga, cara pandang religiusitas. Masyarakat telah, sedang, dan
akan terus berubah. Kecenderungan terbaru masyarakat perkotaan sedang bergerak
kearah yang semakin religius. Indikatornya adalah semakin diminati dan
semaraknya kajian dan berbagai kegiatan keagamaan. Modernitas membawa implikasi
negatif dengan adanya ketidakseimbangan antara kebutuhan ruhani dan jasmani.
Untuk itu masyarakat tidak ingin hal yang sama akan menimpa anak-anak mereka.
Intinya, ada keinginan untuk melahirkan generasi yang lebih agamis atau
memiliki nilai-nilai hidup yang baik mendorong orang tua mencarikan sistem
pendidikan alternatif.
Dari ketiga faktor di atas, sistem
pendidikan boarding school seolah
menemukan pasarnya. Dari segi sosial, sistem boarding school mengisolasi anak didik dari lingkungan sosial yang
heterogen yang cenderung buruk. Di lingkungan sekolah dan asrama dikonstruksi
suatu lingkungan sosial yang relatif homogen yakni teman sebaya dan para guru
pembimbing. Homogen dalam tujuan yakni menuntut ilmu sebagai sarana mengejar
cita-cita.
Dari segi ekonomi, boarding school memberikan layanan yang
paripurna sehingga menuntut biaya yang cukup tinggi. Oleh karena itu anak didik
akan benar-benar terlayani dengan baik melalui berbagai layanan dan fasilitas.
Terakhir dari segi semangat religiusitas, boarding school menjanjikan pendidikan
yang seimbang antara kebutuhan jasmani dan ruhani, intelektual dan spiritual.
Diharapkan akan lahir peserta didik yang tangguh secara keduniaan dengan ilmu
dan teknologi, serta siap secara iman dan amal soleh.
Nampaknya, konsep boarding school menjadi alternatif
pilihan sebagai model pengembangan pesantren yang akan datang. Pemerintah
diharapkan semakin serius dalam mendukung dan mengembangkan konsep pendidikan
seperti ini. Sehingga, pesantren menjadi lembaga pendidikan yang maju dan
bersaing dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang berbasis
pada nilai-nilai spiritual yang handal.
D. Gaya
Kepemimpinan Kyai
1. Tipologi
Kyai dan Kedudukanya di Pesantren
Sebelum menguraikan kedudukan
(kepemimpinan ) kyai di pesantren, terlebih dahulu penulis uraikan pengertian
kyai. Kata "Kyai" berasal dari bahasa Jawa kuno "kiya-kiya"
yang artinya orang yang dihormati. Sedangkan dalam pemakaiannya dipergunakan
untuk: pertama, benda atau hewan yang dikeramatkan, seperti kyai Plered
(tombak), Kyai Rebo dan Kyai Wage (gajah di kebun binatang Gembira loka
Yogyakarta), kedua orang tua pada umumnya, ketiga, orang yang memiliki keahlian
dalam Agama Islam, yang mengajar santri di Pesantren. Sedangkan secara
terminologis menurut Manfred Ziemnek pengertian kyai adalah "pendiri dan
pemimpin sebuah pesantren sebagi muslim "terpelajar" telah
membaktikan hidupnya "demi Allah" serta menyebarluaskan dan mendalami
ajaran-ajaran dan pandangan Islam melalui kegiatan pendidikan Islam. Namun pada
umumnya di masyarakat kata "kyai" disejajarkan pengertiannya dengan
ulama dalam khazanah Islam[17].
Karisma yang dimiliki kyai merupakan
salah satu kekuatan yang dapat menciptakan pengaruh dalam masyarakat. Ada dua
dimensi yang perlu diperhatikan. Pertama, karisma yang diperoleh oleh seseorang
(kyai) secara given, sperti tubuh
besar, suara yang keras dan mata yang tajam serta adanya ikatan genealogis
denga kyai karismaik sebelumnya. Kedua, karisma yang diperoleh melalui
kemampuan dalam pengausaan terhadap pengetahuan keagamaan disertai moralitas
dan kepribadian yang saleh, dan kesetiaan menyantuni masyarakat.
Posisi kepemimpinan kyai di pesantren
lebih menekankan pada aspek kepemilikan saham pesantren dan moralitas serta
kedalaman ilmu agama, dan sering mengabaikan aspek manajerial. Keumuman kyai
bukan hanya sekedar pimpinan tetapi juga sebagai sebagai pemilik persantren.
Posisi kyai juga sebagai pembimbing para santri dalam segala hal, yang pada
gilirannya menghasilkan peranan kyai sebagai peneliti, penyaring dan akhirnya
similator aspek-aspek kebudayaan dari luar, dalam keadaan seperti itu dengan
sendirinya menempatkan kyai sebagai cultural brokers (agen budaya).[18]
2. Sistem
Peralihan Kepemimpinan di Pesantren
Estafeta pergantian kepemimpinan yang
ada di Pesantren biasanya turun-temurun dari pendiri ke anak ke menantu ke cucu
atau ke santri senior. Artinya ahli waris pertama adalah anak lai-laki, yang
senior dan dianggap cocok oleh kyai dan masyarakat untuk menjadi kyai, baik
dari segi kealimannya (moralitas/akhlak) maupun dari segi kedalaman ilmu
agamanya. Jika hal ini tidak mungkin, misalnya karena pendiri tidak punya anak
laki-laki yang cocok untuk menggantikannya, maka ahli waris kedua adalah
menantu, kemudian sebagai ahli waris ketiga adalah cucu. Jika semuanya tidak
mungkin, maka ada kemungkinan dilanjutkan oleh bekas santri senior.
Suksesi kepemimpinan pesantren
sebagaimana digambarkan di atas, tidak hanya berlaku bagi pesantren yang
berstatus sebagai yayasan, tetapi juga berlaku bagi pesantren-pesantren yang
berstatus pribadi. Meskipun secara resmi sudah ada ketentuan bahwa ahli waris
pendiri tidak dengan sendirinya menjadi pengganti
3. Gaya
Kepemimpinan Kyai
Dari sekian banyak gaya kepemimpinan (leadership style) yang dikemukakan oleh
para pakar, namun yang paling populer dan sering dibahas dan dijadikan rujukan
oleh para praktisi dan peneliti hanya empat gaya kepemimpinan, yaitu;
Otokrastis, Demokratis, The Laisser faire (gaya bebas), dan Situasional[19].
Di dalam pesantren santri, ustadz dan
masyarakat sekitar merupakan individu-individu yang langsung ataupun tidak
langsung dipengaruhi oleh perilaku pemimpin (kyai) tersebut.
Kepemimpinan di Pesantren lebih
menekankan kapada proses bimbingan, pengarahan dan kasih sayang. Menurut Mansur
Gaya kepemimpinan yang ditampilkan oleh pesantren bersifat kolektif atau
kepemimpinan institusional. Lebih lanjut ia menyatakan bahwa gaya kepemimpinan
di pesantren mempunyai ciri paternalistik, dan free rein leadership, dimana
pemimpin pasif, sebagai seorang bapak yang memberikan kesempatan kepada anaknya
untuk berkreasi, tetapi juga otoriter, yaitu memberikan kata-kata final untuk
memutuskan apakah karya anak buah yang bersangkutan dapat diteruskan atau tidak[20].
Dari uraian di atas dapat dipahami
bahwa Kyai sebagai pimpinan pesantren dalam membimbing para santri atau
masyarakat sekitarnya memakai pendekatan situasional. Hal ini nampak dalam
interaksi antara kyai dan santrinya dalam mendidik, mengajarkan kitab, dan
memberikan nasihat, juga sebagai tempat konsultasi masalah, sehingga seorang
kyai kadang berfungsi pula sebagai orang tua sekaligus guru yang bisa ditemui
tanpa batas waktu. Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa kepemimpinan kyai
penuh tanggung jawab, penuh perhatian, penuh daya tarik dan sangat berpengaruh.
Dengan demikian perilaku kyai dapat diamati, dicontoh, dan dimaknai oleh para
pengikutnya (secara langsung) dalam interaksi keseharian.
E. Teknik Pengambilan Keputusan
Secara tipikal pembuatan kebijaksanaan
merupakan tindakan yang berpola, yang dilakukan sepanjang waktu dan melibatkan
banyak keputusan yang diantaranya ada yang merupakan keputusan rutin, ada yang
tidak rutin. Dalam praktek membuat kebijaksanaan sehari-hari amat jarang kita
jumpai suatu kebijaksanaan yang hanya terdiri dari keputusan tunggal.
a. Pandangan
umum tentang pengambilan keputusan
Fred Luthans dalam bukunya Perilaku Organisasi menyebutkan bahwa
pengambilan keputusan didefinisikan secara universal sebagai pemilihan
alternatif[21].
Pendapat yang senada diungkapkan oleh Chester Barnard dalam The Function of the Executive bahwa
analisis komprehensif mengenai pengambilan keputusan disebutkan sebagai suatu
“proses keputusan yang merupakan teknik untuk mempersempit pilihan”. Sementara
dalam bahan ajar DR. Mohammad Abdul Mukhyi, SE., MM bahwa membuat keputusan
adalah “The process of choosing”.[22] Sehingga
dapat disimpulkan bahwa pengambilan keputusan erat kaitannya dengan pemilihan
suatu alternatif untuk menyelesaikan atau memecahkan masalah serta memperoleh
kesempatan.
Herbert
Simon, ahli teori keputusan dan organisasi mengonseptualisasikan tiga tahap utama
dalam proses pengambilan keputusan yaitu :
a. Aktivitas intelegensi yakni penelusuran kondisi
lingkungan yang memerlukan pengambilan keputusan
b. Aktivitas desain yakni terjadi tindakan penemuan,
pengembangan dan analisis masalah
c. Aktivitas memilih yakni memilih tindakan tertentu
dari yang tersedia
b. Fungsi dan
tujuan pengambilan keputusan
Pengambilan keputusan sebagai suatu
kelanjutan dari cara pemecahan masalah mempunyai fungsi antara lain sebagai
berikut:
1.
permulaan dari semua aktivitas manusia
yang sadar dan terarah baik secara individual maupun secara kelompok, baik
secara institusional maupun secara organisasional
2.
Sesuatu yang bersifat futuristik,
artinya menyangkut dengan hari depan/masa yang akan datang, dimana efeknya atau
pengaruhnya berlangsung cukup lama[23].
Tujuan
pengambilan keputusan dapat dibedakan atas dua yaitu :
1.
Tujuan bersifat tunggal yaitu tujuan
pengambilan keputusan yang bersifat tunggal terjadi apabila yang dihasilkan
hanya menyangkut satu masalah artinya sekali diputuskan dan tidak akan ada
kaitannya dengan masalah lain
2.
Tujuan bersifat ganda yaitu tujuan
pengambilan keputusan yang bersifat ganda terjadi apabila keputusan yang
dihasilkan itu menyangkut lebih dari satu masalah, artinya bahwa satu keputusan
yang diambil itu sekaligus memecahkan dua masalah atau lebih yang bersifat
kontradiktif atau bersifat tidak kontradiktif[24]
c. Langkah
dalam pengambilan keputusan
Mintzberg[25]
mengungkapkan bahwa langkah-langkah dalam pengambilan keputusan terdiri dari :
1. Tahap identifikasi
Tahap ini adalah tahap pengenalan masalah atau
kesempatan muncul dan diagnosis dibuat. Sebab tingkat diagnosis tergantung dari
kompleksitas masalah yang dihadapi
2. Tahap pengembangan
Tahap ini merupakan aktivitas pencarian prosedur atau
solusi standar yang ada atau mendesain solusi yang baru. Proses desain ini
merupakan proses pencarian dan percobaan di mana pembuat keputusan hanya
mempunyai ide solusi ideal yang tidak jelas
3. Tahap seleksi
Tahap ini pilihan solusi dibuat, dengan tiga cara
pembentukan seleksi yakni dengan penilaian pembuat keputusan : berdasarkan
pengalaman atau intuisi, bukan analisis logis, dengan analisis alternatif yang
logis dan sistematis, dan dengan tawar-menawar saat seleksi melibatkan kelompok
pembuat keputusan dan semua manuver politik yang ada. Kemudian keputusan
diterima secara formal dan otorisasi dilakukan[26].
D.
Dasar-dasar pendekatan pengambilan keputusan
Pengambilan keputusan harus dilandasi oleh prosedur dan teknik serta
didukung oleh informasi yang tepat (accurate), benar(reliable) dan tepat waktu
(timeliness). Ada beberapa landasan yang digunakan dalam pengambilan keputusan
yang sangat bergantung dari permasalahan itu sendiri. Menurut George R.Terry
dan Brinckloe disebutkan dasar-dasar pendekatan dari pengambilan keputusan yang
dapat digunakan yaitu :
a.
Intuisi
Pengambilan keputusan yang didasarkan atas intuisi atau perasaam
memiliki sifat subjektif sehingga mudah terkena pengaruh. Pengambilan keputusan
berdasarkan intuisn ini mengandung beberapa keuntungan dan kelemahan.
Keuntungan
:
- waktu yang
digunakan untuk mengambil keputusan relatif lebih pendek
- untuk
masalah yang pengaruhnya terbatas, pengambilan keputusan ini akan memberikan
kepuasan pada umumnya
-
kemampuan mengambil keputusan dari pengambil keputusan itu sangat berperan, dan itu
perlu dimanfaatkan dengan baik.
Kelemahan
:
-
Keputusan yang dihasilkan relatif kurang baik
- Sulit
mencari alat pembandingnya, sehingga sulit diukur kebenaran dan keabsahannya
- Dasar-dasar lain dalam pengambilan keputusan seringkali diabaikan.
b. Pengalaman
Pengambilan keputusan berdasarkan pengalaman memiliki manfaat bagi
pengetahuan praktis, karena pengalaman seseorang dapat memperkirakan keadaan
sesuatu, dapat diperhitungkan untung ruginya terhadap keputusan yang akan
dihasilkan. Orang yang memiliki banyak pengalaman tentu akan lebih matang dalam
membuat keputusan akan tetapi, peristiwa yang lampau tidak sama dengan
peristiwa yang terjadi kini.
c.Fakta
Pengambilan keputusan berdasarkan fakt dapat memberikan keputusan yang
sehat, solid dan baik. Dengan fakta, maka tingkat kepercayaan terhadap
pengambilan keputusan dapat lebih tinggi, sehingga orang dapat menerima
keputusan-keputusan yang dibuat itu dengan rela dan lapang dada.
d.Wewenang
Pengambilan keputusan berdasarkan wewenang biasanya dilakukan oleh
pimpinan terhadap bawahannyaatau orang yang lebih tinggi kedudukannya kepada
orang yang lebih rendah kedudukannya. Pengambilan keputusan berdasarkan
wewenang ini juga memiliki kelebihan dan kekurangan.
Kelebihan
:
-
Kebanyakan penerimaannya adalah bawahan, terlepas apakah penerimaan tersebut
secara sukarela ataukah secara terpaksa
-
Keputusannya dapat bertahan dalam jangka waktu yang cukup lama
-
Memiliki daya autentisitas yang tinggi
Kelemahan
:
- dapat
menimbulkan sifat rutinitas
-
mengasosiasikan dengan praktik diktatorial
- sering
melewati permasalahan yang seharusnya dipecahkan sehingga dapat
menimbulkan kekaburan
e.Logika
Pengambilan keputusan yang berdasar logika ialah suatu studi yang
rasional terhadap semuan unsur pada setiap sisi dalam proses pengambilan
keputusan. Pada pengambilan keputusan yang berdasarkan rasional, keputusan yang
dihasilkan bersifat objektif, logis, lebih transparan, konsisten untuk
memaksimumkan hasil atau nilai dalam batas kendala tertentu, sehingga dapat
dikatakan mendekati kebenaran atau sesuai dengan apa yang diinginkan. Pada
pengambilan keputusan secara logika terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan, yaitu :
-
kejelasan masalah
-
orientasi tujuan : kesatuan pengertian tujuan yang ingin dicapai
-
pengetahuan alternatif : seluruh alternatif diketahui jenisnya dan konsekuensinya
-
preferensi yang jelas : alternatif bisa diurutkan sesuai kriteria
- hasil
maksimal : pemilihan alternatif terbaik didasarkan atas hasil ekonomis yang
maksimal
E. Faktor-faktor
yang mempengaruhi pengambilan keputusan
Faktor-faktor
yang mempengaruhi pengambilan keputusan yaitu :
a. Internal Organisasi seperti ketersediaan dana,
SDM, kelengkapan peralatan, teknologi dan sebagainya
b. Eksternal Organisasi seperti keadaan sosial
politik, ekonomi, hukum dan sebagainya
c. Ketersediaan informasi yang diperlukan
d. Kepribadian dan kecapakan pengambil keputusan
F. Model
Perilaku Pengambilan Keputusan
Berikut
empat rangkaian model pengambilan keputusan :
1. Model
rasionalitas ekonomi
Model
ini berasal dari ekonomi klasik dimana pembuat keputusan sepenuhnya rasional
dalam segala hal. Berkaitan dengan aktivitas pengambilan keputusan, terdapat
asumsi :
- keputusan akan
sepenuhnya rasional dalam hal rencana dan tujuan
- terdapat sistem pilihan
yang lengkap dan konsisten yang memungkinkan pemilihan alternatif
- kesadaran penuh
terhadap semua kemungkinan alternatif
- tidak ada batasan
pada kompleksitas komputasi yang dapat ditampilkan untuk menentukan alternatif terbaik
- probabilitas
kalkulasi tidak menakutkan ataupun misterius
Pada
model rasionalitas ekonomi terdapat teknik rasional moderen yaitu pendekatan
scientific management seperti ABC, EVA dan MVA. Pada teknik ABC (activity-based
cosying) menentukan biaya yang berhubungan dengan aktivitas seperti memproses
pesanan penjualan, mempercepat pesanan pemasok, dan atau pelanggan, memecahkan
masalah kualitas pemasok dan atau masalah pengantaran, dan memperlengkapi
mesin. Untuk teknik EVA (economic value added) biaya semua kapital ditentukan misalnya
biaya kapital ekuitas (uang yang disediakan pemegang saham), EVA berguna juga
sebagai ukuran untuk mengambil keputusan mengenai masalah akuisisi dan pajak
sampai masalah kompensasi. Sementara MVA (market value added) dapat menunjukkan
keuntungan yang diperoleh perusahaan atau seberapa besar kapital yang terbuang
kaitannya dengan nilai pasar saham.
2. Model
rasionalitas terbatas dari Simon (Satisficing)
Model
ini menyatakan bahwa perilaku pengambilan keputusan dapat dideskripsikan
sebagai rasional dan maksimal tetapi terbatas dimana pembuat keputusan berakhir
dengan kepuasan minimal karena tidak memiliki kemampuan untuk memaksimalkan.
Hal tersebut dikarenakan informasi yang kurang sempurna, terdapat batasan waktu
dan biaya, tawaran alternatif kurang disukai dan efek kekuatan lingkungan tidak
dapat diabaikan.
3. Model penilaian
heuristik dan bias
Model ini diprakarsai oleh ahli teori kognitif yaitu Kahneman dan Tversky
yang menyatakan bahwa pembuat keputusan mengandalkan heuristik yakni
penyederhanaa strategi atau metode berdasarkan pengalaman. Meskipun heuristik
kognitif menyederhanakan dan membantu pembuat keputusan, dalam situasi tertentu
penggunaannya dapat menyebabkan eror dan hasil bias secara sistematis. Ada tiga
bias utama yang teridentifikasi membantu menjelaskan bagaimana penilaian
tersebut menyimpang dari proses rasional.
Heuristik bias
tersebut ada tiga yaitu :
a. Heuristik availabilitas
b. Heuristik representatif
c. Heuristik kerangka referensi dan keputusan
4. Model sosial
Sigmund
freud memandang manusia sebagai sekumpulan perasaan, emosi dan naluri dengan
perilaku yang dipandu oleh keinginan yang tidak disadari. Model ini adalah sisi
yang berlawanan dari rasionalitas ekonomi yakni melihat dari sudut pandang
psikologi. Hal ini didukung pandangan bahwa pengaruh psikologi mempunyai dampak
yang signifikan pada perilaku pengambilan keputusan.
G. Gaya
pengambilan keputusan
Selain
model rasionalitas, terdapat pendekatan lain untuk perilaku pengambilan
keputusan berfokus pada gaya yang digunakan manajer dalam memilih alternatif.
Ada empat gaya pengambilan keputusan yaitu :
a. Gaya Direktif
Pembuat
keputusan gaya direktif mempunyai toleransi rendah terhadap ambiguitas dan
berorientasi pada tugas dan masalah teknis. Pembuat keputusan ini cenderung
lebih efisien, logis, pragmatis, dan sistematis dalam memecahkan masalah.
Pembuat keputusan direktif juga berfokus pada fakta dan menyelesaikan segala
sesuatu dengan cepat.
b. Gaya Analitik
Pembuat
keputusan gaya analitik mempunyai toleransi yang tinggi untuk ambiguitas dan
tugas yang kuat serta orientasi teknis. Jenis ini suka menganalisis situasi;
pada kenyataannya, mereka cenderung terlalu
menganalisis sesuatu. Mereka mengevaluasi lebih banyak informasi dan alternatif
daripada pembuat keputusan direktif.
c. Gaya Konseptual
Pembuat
gaya konseptual mempunyai toleransi yang tinggi untuk ambiguitas, orang yang
kuat dan peduli pada lingkungan sosial. Mereka berpandangan luas dalam
memecahkan masalah dan suka mempertimbangkan banyak pilihan dan kemungkinan
masa mendatang. Pembuat keputusan ini membahas sesuatu dengan orang sebanyak
mungkin untuk mendapat sejumlah informasi dan kemudian mengandalkan intuisi
dalam mengambil keputusan.
d. Gaya Perilaku
Pembuat
keputusan gaya perilaku ditandai dengan toleransi ambiguitas yang rendah, orang
yang kuat dan peduli lingkungan sosial. Gaya ini cenderung bekerja dengan baik
dengan orang lain dan menyukai situasi keterbukaan dalam pertukaran pendapat
yakni cenderung menerima saran, sportif dan bersahabat serta menyukai informasi
verbal daripada tulisan.
H. Teknik
pengambilan keputusan partisipatif
Teknik
partisipatif ada dua yaitu teknik partisipatif individu dan kelompok. Untuk
individu dimana karyawan mempengaruhi pengambilan keputusan manajer. Sementara
untuk kelompok menggunakan teknik konsultasi dan demokrasi. Dalam partisipasi
konsultasi, manajer meminta dan menerima keterlibatan karyawan, tetapi manajer
mempertahankan hak untuk membuat keputusan. Dalam bentuk demokrasi terjadi
partisipasi total an kelompok bukan per individu yaitu dengan suara terbanyak.
III. KESIMPULAN
Pesantren sebagai tempat pendidikan
agama memiliki basis sosial yang jelas, karena keberadaannya menyatu dengan
masyarakat. Pada umumnya, pesantren hidup dari, oleh, dan untuk masyarakat.
Visi ini menuntut adanya peran dan fungsi pondok pesantren yang sejalan dengan
situasi dan kondisi masyarakat, bangsa, dan negara yang terus berkembang.
Sementara itu, sebagai suatu komunitas, pesantren dapat berperan menjadi
penggerak bagi upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat mengingat pesantren
merupakan kekuatan sosial yang jumlahnya cukup besar. Kiprah pesantren dalam
berbagai hal sangat amat dirasakan oleh masyarakat. Salah satnya adalah
pembentukan kader-kader ulama dan pengembangan keilmuan Islam.
Ada tiga hal yang dikuatkan dalam
pesantren. Pertama, tamaddun yaitu memajukan pesantren. Kedua, tsaqafah, yaitu bagaimana memberikan pencerahan kepada umat Islam
agar kreatif-produktif, dengan tidak melupakan orisinalitas ajaran Islam.
Misalnya akrab dengan komputer dan berbagai ilmu pengetahuan serta sains modern
lainnya. Ketiga, hadharah, yaitu membangun budaya.,
bagaimana budaya kita dapat diwarnai oleh jiwa dan tradisi Islam, pesantren
diharap mampu mengembangkan dan mempengaruhi tradisi yang bersemangat Islam di
tengah hembusan dan pengaruh dahsyat globalisasi yang berupaya menyeragamkan
budaya melalui produk-produk teknologi.
Ada beberapa hal dalam melakukan
pengembangan pesantren, yaitu: Pertama,
image pesantren sebagai sebuah
lembaga pendidikan yang tradisional, tidak modern, informal, dan bahkan
teropinikan sebagai lembaga yang melahirkan terorisme, telah mempengaruhi pola
pikir masyarakat untuk meninggalkan dunia pesantren.Kedua, sarana dan prasarana penunjang yang terlihat masih kurang
memadai. Bukan saja dari segi infrastruktur bangunan yang harus segera di
benahi, melainkan terdapat pula yang masih kekurangan ruangan pondok (asrama)
sebagai tempat menetapnya santri.Ketiga,
sumber daya manusia.
Keempat, aksesibilitas dan networking. Kelima, manajemen kelembagaan yang merupakan unsur penting dalam
pengelolaan pesantren.Keenam, pembenahan administrasi. Ketujuh, kemandirian ekonomi kelembagaan. Kedelapan, kurikulum yang berorientasi life skills santri dan masyarakat.
BIBLIOGRAPY
1.
Ghozali, M. Bahri, Pesantren
Berwawasan Lingkungan, (Jakarta : Prasasti, 2003)
2.
Stenbrink, Karel A., Pesantren, Madrasah, Sekolah Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta :
LP3S, 1986)
3.
Fatoni, Sulthan, Peradaban Islam; Desain Awal
Peradaban, Konsolidasi Teologi, Konstruk Pemikiran dan Pencarian Madrasah
(Jakarta: eLSAS, 2006)
4.
Lukens-Bull, Ronald Alan, A Peacefull Jihad,
diterjemahkan oleh Abdurrahman Mas’ud dkk dengan tajuk, Jihad Ala Pesantren
di Mata Antropolog Amerika (Jogjakarta: Gama Media, 2004)
5.
Wahid, Abdurrahman, Islam Kosmopolitan; Nilai-Nilai
Indonesia dan Transformasi Kebudayaan (Jakarta: The Wahid Institute Seeding
Plural and Peaceful Islam, 2007)
6.
Suminto, Aqib, Politik
Islam Hindia Belanda, (Jakarta ; LP3ES, 1985)
7.
Masyhud, Sulthon dkk., Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta : Diva Pustaka, 2003)
8.
Mas’ud, Abdurrahman, Sejarah dan Budaya Pesantren (Jakarta : Erlangga, 2002)
9.
Rahardjo, Dawam, Pesantren
dan Pembaharuan,( Jakarta: LP3ES 1985)
10. Geertz, Clifford, The Javanese Kijaji: The Changing Role of a
Cultural Brokers “Comparative studies on Society” vol.2 (Cambridge, 1960)
11. Madjid , Nurcholis, Bilik-Bilik Pesantren; Sebuah Potret
Perjalanan, Cet. 1 (Jakarta: Paramadina, 1977) hal. 19
12. Dhofie, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren, cet. 2 (Jakarta:
Mizan) hal. 18
13. http://id.wikipedia.org/wiki/Penelitian/teknik
diunduh tanggal 8 Maret 2011
14. Eksan,Moch.,2000 http://www.blogger.com/rsd.g?blogID=4587073124030814607"> diunduh pada tanggal 13 Maret 2011
[1] Makalah disusun dan disampaikan oleh Yogi E Ginanjar pada mata kuliah
Manajemen Pengembangan Pondok Pesantren yang diempu oleh Prof. Dr. H. Jaih
Mubarak, MA tanggal 16 Maret 2011
[2] Clifford Geertz, The Javanese
Kijaji: The Changing Role of a Cultural Brokers “Comparative studies on
Society” vol.2 (Cambridge, 1960) hal 24. Diunduh tgl 9 Maret 2011
[3] M.
Bahri Ghozali, Pesantren Berwawasan
Lingkungan, (Jakarta : Prasasti, 2003), hal. 1
[4] Penulis secara langsung pernah
beberapa kali berkunjung ke pesantren ini (1998-2004)
[5] Karel A. Stenbrink,
Pesantren, Madrasah, Sekolah Pendidikan
Islam dalam Kurun Modern, (Jakarta : LP3S, 1986), hal. 42
[6] Sulthan Fatoni, Peradaban Islam; Desain Awal Peradaban, Konsolidasi
Teologi, Konstruk Pemikiran dan Pencarian Madrasah (Jakarta: eLSAS, 2006), hal.
164
[7] Pesantren juga disebutkan sebagai lembaga pendidikan Islam
tradisional. Hal ini karena kebanyakan yang memiliki pesantren adalah para kyai
dari afiliasi Nahdhatul Ulama. Pendapat ini dicantumkan oleh Sulthan Fatoni
dalam bukunya Peradaban Islam. Lihat:
Ibid, hal. 165
[8] Ronald Alan Lukens-Bull, A Peacefull Jihad, diterjemahkan oleh
Abdurrahman Mas’ud dkk dengan tajuk, Jihad Ala Pesantren di Mata Antropolog
Amerika (Jogjakarta: Gama Media, 2004), 56
[9] Lihat : Sulthan Fatoni, Peradaban Islam..., 134
[10] Abdurrahman Wahid, Islam Kosmopolitan; Nilai-Nilai Indonesia dan
Transformasi Kebudayaan (Jakarta: The Wahid Institute Seeding Plural and
Peaceful Islam, 2007), 90
[11] Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik
Pesantren; Sebuah Potret Perjalanan, Cet. 1 (Jakarta: Paramadina, 1977)
hal. 19
[12] Zamakhsyari Dhofie, Tradisi
Pesantren, cet. 2 (Jakarta: Mizan) hal. 18
[13] Aqib Suminto, Politik
Islam Hindia Belanda, (Jakarta ; LP3ES, 1985), hal 76
[14] Sulthon
Masyhud dkk., Manajemen Pondok Pesantren,
(Jakarta : Diva Pustaka, 2003), hal 73
[15] Abdurrahman
Mas’ud, Sejarah dan Budaya Pesantren
(Jakarta : Erlangga, 2002) hal 18
[16] Ibid, hal 23
[17] Moch. Eksan, 2000 http://www.blogger.com/rsd.g?blogID=4587073124030814607"
> diunduh pada tanggal 13 Maret 2011
[18] Dawam Rardjo, Pesantren dan
Pembaharuan,(Jakarta: LP3ES 1985), hal 46-47
[19] Fred Fiedler, Model
kepemimpinan. (Miftah Thoha, 2003).
[20] Opcit
[21] Luthans F, Perilaku
Organisasi Edisi 10, Penerbit Andi, Yogyakarta 2006, hal 15
[22] http://id.wikipedia.org/wiki/Penelitian/teknik
diunduh tanggal 8 Maret 2011
[23] Asta Qauliyah, Teori-Teori Pengambilan keputusan, http://astaqauliyah.com/wp-content/plugins/wp-greet-box/css/style Diunduh tgl 8 Maret 2011
[24] Luthans F, hal 45 http://id.wikipedia.org/wiki/Penelitian/teknik
diunduh tanggal 8 Maret 2011
[25] Asta Qauliyah, Teori-Teori Pengambilan keputusan, http://astaqauliyah.com/wp-content/plugins/wp-greet-box/css/style Diunduh tgl 8 Maret 2011
[26] http://id.wikipedia.org/wiki/Penelitian/teknik
diunduh tanggal 8 Maret 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar