Senin, 31 Desember 2012

Metode penelitian hadis Menurut Al-Bukhari, Muslim & Abu Dawud



I.        PENDAHULUAN
 
Usaha memurnikan hadis Nabi Saw dari pemalsuan telah dilakukan oleh ulama-ulama semenjak masa awal Islam. Mereka bersungguh-sungguh dalam usaha memilah hadis-hadis yang memang bersumber dari Nabi Saw (shahih) dan yang tidak (saqim). Hal ini sangat dimaklumi karena posisi hadis yang sangat urgen yakni sebagai sumber tasyri’ dalam Islam setelah al-Quran. Di sisi yang lain, oknum-oknum yang tidak bertanggunjawab telah membajak hadis nabi dengan memalsukannya demi kenuntungan dan kepentingan individu maupun kelompok.
Pada abad ke-tiga hijriyah munculah tokoh-tokoh besar ulama hadis seperti Imam al-Bukhari, Imam Muslim, Abu Dawud, Al-Turmudzi, al-Nasa’i dan muhadditsin lainnya. Mereka melakukan lawatan ilmiah ke berbagai dareah untuk mengumpulkan data-data hadis nabi yang kemudian diverifikasi dan dikritisi sedemikian rupa. Kesungguhan mereka dalam melakukan penelitian akhirnya melahirkan karya-karya kitab kanonik hadis yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Tidak heran jika masa ini disebut masa keemasaan bagi hadis nabawi.

Dalam makalah yang singkat ini, penulis hendak memotret metode penelitian hadis yang dilakukan oleh ulama hadis khususnya Imam al-Bukhari, Imam Muslim dan imam Abu Dawud dalam memverifikasi kesahihan dan ke-dha’if-an hadis. Sebelum membincangkan metode imam hadis dalam meneliti hadis, penulis akan memaparkan penelitian hadis secara umum sebagai pengantar.

II.      PEMBAHASAN
Dalam bab ini akan dipaparkan mengenai metode penelitian hadis secara umum, metode penelitian hadis menurut Imam al-Bukhari, Imam Muslim dan Imam Abu Dawud.
A.      PENELITIAN HADIS
Penelitian hadis, secara sederhana, dapat dipahami sebagai sebuah usaha yang dilakuakan secara teliti, sistematis, kritis untuk mengetahui validitas hadis. Hal ini bertujuan untuk mengetahui apakah sebuah hadis memiliki nilai kesejarahan yang bersambung pada masa nabi atau tidak.[1] Usaha penelitian hadis ini lebih dikenal dengan istilah ‘naqd al-hadis’ dalam ilmu hadis.
Berangkat dari kehati-hatian dan selektivitas yang tinggi, para ahli ahdis mencoba menyodorkan kerangka metodologis penelitian (penyeleksian) hadis dengan didasarkan kepada unsur-unsur formal yang ada pada sebuah hadis, yaitu: pertama, rangkaian atau silsilah rawi mulai dari sumber pertama sampai yang paling akhir. Seluruh rangkaian ini buasa disebut dengan sanad hadis. Kedua, perawi  yang kepadanya sebuah hadis disandarkan. Ketiga, matan atau redaksi hadis yang merupakan susunan kata atau bunyi hadis.[2]
Adapun langkah-langkah yang mereka tempuh dalam upaya melakukan penyeleksian atau kririk hadis adalah sebagai berikut:
1.      Melacak sanad hadis
Langkah ini dilakukan sebagai upaya mengetahui mata rantai suatu hadis atau persambungan sanad hadis yang sesungguhnya; apakah hadis tersebut bersumber dari Rasulallah atau dipalsukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.
Lewat kajian sanadini,  kemudian kita mengenal criteria hadis muttashil dan hadit munqothi’ dlihat dari persambungan sanad dalam ilmu hadis. Sedangkan adis mu’an’an, muannan, musalsal, ali, nazil dilihat dari segi eadaan sifat sanad dan cara periwayatannya.
2.      Metode kritik perawi
Metode kritik perawi merupakan sarana ampuh untuk memebersihkan hadis nabi Saw. dari berbagai pemalsuan orang ang berkedo sebagai perawi.dengan metode ini para ulama kemudian membedakan criteria hadis dalam Hadis Shahih dan Dha’if.[3]
Para kritikus hadis dengan sungguh-sungguh mengumpulkan biografi para perawi hadis, menelaah kehidupan mereka secara kritis da jujur serta member penilaian yang objektif. Tak satupun kecacatan perawi yang mereka sembunyikan. Singkatnya, dalam masalah Jarh wa ta’dil para kritikus tidak menegnal keberatan.
3.      Kritik Matan Hadis
Kritik atas matan sesungguhnya bukan merupakan hal baru. Para sahabat telah mempraktikkan kririk matan ini sejak dini yang umumnya dilakukan atas hadis yang diriwayatkan oleh seorang sahabat yang menerimanya secara tidak langsung dari Nabi Saw., melainkan dari sahabat lainnya, lalu sahabat tersebut menyampaikan hadis tadi seolah-olah dia mendengarnya langsung dari Nabi Saw.[4]
Kritik matan hadis ini kerapkali dilakukan bila dalam sisi substansi matan yang terdapat pertentangan dengan dalil naqli lainnya seperti dalam al-Quran dan hadis lainnya.
      Demikianlah sepintas kerangka metodologis penelitian hadis yang disodorkan para muhadditsin dan ulama dalam rangka menjamin validitas, otentisitas dan keabsahan sebuah hadis. Dengan kerangka metodologis tersebut diharpkan bahwa setiap pengkaji atau peneliti hadis mampu menerapkan nilai kehati-hatian dan selektivikasi hadis.
Dari langkah penelitian hadis ini ulama hadis akhirnya merumuskan kriteria hadis yang otentik atau shahih adalah hadis yang memenuhi unsure kaidah kesahihan atau syarat sebagai berikut:
1.      Perawinya harus ‘adil dan dhabhit (tsiqqah)
2.      Rantai periwayatan atau sanad harus bersambung
3.      Terhindar dari syadz
4.      Dan terhindar dari ‘llat[5]

B.      METODE PENELITIAN HADIS MENURUT AL-BUKHARI, MUSLIM DAN ABU DAWUD
Setelah pada sub-bab sebelumnya telah kita jelaskan sedikit mengenai metode penelitian hadis, dalam sub-bab ini akan penulis akan menyinggung mengenai  metode penelitian hadis menurut al-Bukhari, Muslim dan Abu Dawud.

B.1. AL-BUKHARI[6]
Adalah Imam al-Bukhari seorang ulama hadis yang mencurahkan hidupnya untuk melestarikan warisan nabi yang berupa sunnah maupun hadisnya. Dia adalah penyusun kitab yang mengumpulkan hadis-hadis yang bersumber dari Nabi saw. dan memilki kualitas sahih. Kitabnya bernama “Al-Jami’ as-Shahih al-Musnad al-Mukhtashor min Umuri Rasulillah wa Sunanihi wa Ayyamihi”.[7]
Pada hakikatnya beliau tidak menyebutkan persyaratan maupun metode menerimaan sebuah hadis. Namun demikian, Untuk mengetahui metode penelitian hadisnya dapat dipahami melalui 2 hal; Penamaan kitabnya dan penelitian terhadap karyanya.
Pertama, melalui    penamaan       kitabnya. Dari                nama     kitabnya,
الجامع الصحيح المسند المختصر من امور رسول الله وسننه وايامه, itu kita mengetahui beberapa hal sebagai berikut:
 al-Jami’ dapat dimengerti bahwa beliau mengumpulkan dan menghimpun di dalamnya berkenaan masalah aqidah, akhlak, fiqh, muamalah, sejarah, tafsir, dll.
as-Shahih’ mengisyaratkan tiada menulis sesuatu dalam kitab kecuali setelah melalui seleksi yang ketat sehingga tersaring hadis shahih saja. Beliau menegaskan: Saya tidak memasukkan dalam kitab Jami’ ini kecuali hadis shahih.
al-Musnad  menunjukkan bahwa kitab ini hanya menghimpun hadis dari Rasulullah yang sanadnya berasmbung dengan beliau, tidak mengambil sesuatu yang tidak ada dasarnya.
‘al-Mukhtashar’  beliau tidak mengatakan bahwa hadis shahih itu hanya sekian, dan hanya ini akan tetapi beliau ingin meringkasnya dan memasukan hal yang menurut beliau penting. Demikian itu agar supaya tidak terlalu panjang.[8]
Kedua, melalui penelitian. Setelah para pentahrij hadis meneliti dan mencermati hadis-hadis yang terkandung dalam kitabnya, dapat disimpulkan bahwa beliau tidak meriwayatkan sebuah hadis yang diterima apabila sanadnya tidak berasambung, tidak adil perawinya serta dhabit, dan terdapat syadz maupun ‘illat.
        Ibn Thahir dalam ‘Syarah aimmah’ beliau menuturkan: ketahuilah bahwasanya kedua imam ini yakni Bukhari-Muslim demikian muhaddis lainnya tiada menyebutkan persyaratan bahwa saya mengambil dari fulan dan fulan dengan syarat ini dan itu, akan tetapi hal demikian dapat dimengerti dari mempelajari sejarah dalam kitab mereka, maka terlihatlah persyaratan itu. Dan adapun Bukhari dan Muslim ia tidak mengambil hadisnya kecuali mereka yang telah dikenal di kalangan ahli hadis bahwa ia mumpuni serta sanadnya bersambung dengan sahabat utamanya para sahabat yang masyhur.
Syarat hadis shahih sebagaimana yang diungkapkan oleh ar-Ramahurmudzi dan demikian pula oleh Ibn Shalah hadis dapat dikatakan shahih apabila memenuhi beberapa hal:
1.      Sanadnya muttashil (bersambung) sampai Rasulullah
2.      Perawinya ‘Adil
3.      Dhabit yakni perawi yang sempurna hafalannya
4.      Tidak syadz , yaitu menyelisihi perawi yang lebih kuat,
5.      dan tidak pula terdapat illat yang dapat merusak status keshahihan hadis
Apabila hal di atas terpenuhi maka ijma’ ahli hadis menilainya shahih, walaupun belum dapat dikatakan telah selesai semua permasalah karena ada beberapa perbedaan dalam memahami maksud dari sanad, syarat adil, pengertian dhabit dan arti syadz serta illat.
Di sini kami sebutkan beberapa metode Imam Bukhari dalam menilai sebuah hadis shahih dan ciri kitabnya as-Shahih diantaranya:
Pertama: ada kriteria lain yang Imam Bukhari menjadi hal yang penting, sebuah sanad dapat dinyatakan bersambung apabila seorang perawi penerima hadis bertemu langsung dengan perawi di atasnya, maka apabila hanya ‘katanya’ atau ‘dari’ (‘an’an atau mu’an’an) dan perawi ini belum bertemu langsung dan mendengar langsung, maka Imam Bukhari menganggap sanad demikian belum dikatakan muttashil, berarti munqati’ tidak diterima keshahihannya.[9]
Kedua: apabila perawi kedua sebagai penerima hadis dengan perawi pertama sebagai pemberi hadis pernah bertemu akan tetapi dimungkinkan hanya sekali, maka pada sisi ini dilihat tiga hal: 1. Perawi tsiqah lagi ‘adil. 2. Pertemuan sesama mereka (kalangan murid-murid syaikh) dalam majlis sering terjadi. 3. Perawi ini tidak dikenal seorang mudallis. Bila demikian keadaannya maka Imam Bukhari masih dapt menerima.[10]
Ketiga: meneliti para perawinya, sehingga hadis yang diambilnya dapat dipastikan keshahihannya. Ia juga membandingkan hadis yang satu dengan hadis lainnya, kemudian memilih dan meneliti sesuai standar keshahihan yang dia tentukan.[11]
Keempat: imam Ibn Hajar menyampaikan klasifikasi hadis dalam kitab shaih Bukhari sebagai berikut:
1. Hadis Bukhari yang mausul tanpa pengulangan 2.602 hadis.
2. Jumlah matan mu’allaq tapi marfu’ yang tidak disambung di tempat lain 159 hadis.
3. Jumlah hadis termasuk yang diulang 7.397 hadis.
4. Jumlah hadis mu’allaq 1.341 hadis.
5. Hadis mutabi’ 344 hadis. 6. Hadis dalam kitab sebanyak 9.082 hadis.[12]
Kelima: pengulangan  hadis. Dalam kiitab shahihnya, Imam Bukhari biasa mengulang hadis dalam satu bab yang sama atau dalam beberapa bab yang lainn, akan tetapi beliau berusaha untuk tidak mengulang suatu hadis dengan sana dan matan yang sama di tempat lain. Hal ini beliau lakukan disebabkan beberapa hal:
a.      untuk mengangkat hadis tersebut dari derajat ghari.
b.      Sebagian hadis disebutkan oleh sebagian rawi secara sempurna
c.       Para rawi bisa saja memiliki perbedaan redaksi
d.      Hadis-hadis yang diulang memiliki persesuaian makna yang bisa jadi tidak bisa ditemukan di tempat lain
e.      Hadis-hadis yang dipertentangkan ketersambungannya atau kemursalannya.
f.        Hadis-hadis yang dipertentangkan kemarfu’annya dan kemauqufannya
g.      Hadis-hadis yang pada sebagian jalur periwayatannya ada tambahan seorang perawi
h.      Hadis-hadis mu’an ‘an, yakni ia berkata: dari si fulan, beliau menyebutkan juga jalur yang lain sehingga bisa dipastikan terjadinya as-Sima’  di dalamnya.
Keenam: Pemotongan hadis, beliau melihat dan mencermati beberapa hukum yang muungkin menjadikannya merasa perlu memotong atau meringkas sebuah hadis.
Ketujuh: Imam Bukhari mencantumkan hadis Mursal. Namun jenis ini sangatlah sedikit dan bukan sesuatu yang bisa mengurangi keshahihan hadis tersebut dikarenakan sebagai berikut:
a.      Beliau meriwayatkan hadis mursal sebagai tabi’
b.      Beliau menyebutkan sebuah hadis mursal langsung setelah riwayat musnad. Seakan mengingatkan bahwa jalur mursal tidak mengurangi keshahihannya.
c.       Khabar memiliki bentuk mursal, namun di dalamnya ada indikasi kuat bahwa orang yang dimursalkan telah mengambil dari si fulan secara liqa’ (ketemu) dan sima’ (mendengar langsung)[13]
Kedelapan: Imam Bukhari tidak memakai hadis dha’if dalam beramal, dengan alasan cukuplah hadis shahih sebagai petunjuk yang sempurna.
Akhirnya kami ungkapkan pernyataan Imam Nawawi yang telah membagi derajat hadis shahih seperti ini;
1.      Yang paling shahih, ialah yang disepakati Bukhari-Muslim
2.      Yang diriwayatkan Bukhari
3.      Yanng diriwayatkan Muslim
4.      Yang atas syarat kedua imam ini, meskipun keduanya tidak meriwayatkan
5.       Yang atas syarat Imam Bukhari
6.      Yang atas syarat Imam Musllim
7.      Yang dianggap shahih oleh imam-imam hadis lainnya.[14]
Dengan demikian cukup meyakinkan pada kita semua bahwa persyaratan yang telah ditetapkan oleh Imam Bukhari adalah jalur yang paling autentik dalam menetapkan sebuah hadis baik dari segi sanad dan matan.

B.2. MUSLIM[15]
Abu al-Hasan Muslim bin Hajjaj mengikuti jejak gurunya, al-Bukhari, untuk melakukan penelitian hadis. Hadis-hadis yang ia teliti kemudian dia kumpulkan dalam sebuah kitab yang bernama ‘Al-Musnad As-Shahih[16]’. Kitab ini menjadi karya terbesarnya dan menjadi rujukan umat muslim sampai saat ini.
Dalam muqaddimah kitab shahihnya, Imam Muslim, menyebutkan kewajiban meriwayatkan hadis dari orang-orang tsiqqah dan meninggalkan riwayat yang berasal dari para pendusta, pelaku bid’ah yang ingkar. Kemudian beliau menyebutkan beberapa hadis yang mengecam keras bagi pendusta dengan menatasnamakan Rasulallah Saw. dan beliau mengkritik orang yang menceritakan semua yang didengarnay, lalu menyebutkan beberapa nash dan atsar mengenai hal itu. Setelah itu beliau menyebutkan larangan al-Syari’ untuk tidak meriwayatkan dari orang-orang lemah dan juga agar berhati-hati dalam mengambil hadisnya.[17]
Beliau juga menjelaskan sanad itu adalah bagian dari agama, dan menetapkan al-jarh para perawi sera membedakan orang tsiqqah dari orang lemah bukanlah termasuk pebuatan pencemaran nama baik dan ghibah yang diharamkan. Hal ini emata-mata bertujuan membela dan mempertahankan syariat.[18]
Berdasarkan logika seperti ini, maka syarat yang beliau tetapkan dalam menyusun kitabnya adalah bahwa beliau mentakhrij hadis yang bersambung sanadnya, dengan periwayatan orang tsiqqah dari awal sampai akhir serta hadisnya terhindar dari syadz dan ‘illat. Inilah batasan shahih yang berlaku di kalangan ulama hadis, dan ini adalah syarat yang ditetapkan Imam al-Bukhari juga dalam kitab Shahih-nya.
Namun demikian, mengenai kriteria ittishal as-sanad Imam Muslim berbeda denagn al-Bukhari dalam keharusan si perawi tsiqqah mendengar dari perawi di atasnya, Imam Muslim berkata: “Jika telah terbukti mu’asharoh (sezaman) diantara keduanya sehingga dimungkinkan bertemu dan mendengar, maka ini menjadi sanad yang bersambung atau muttashil walaupun tidak ada berita bahwa keduanya bertemu dan berbicara berhadapan, kecuali jika rawinya seorang mudallis atau ada argumentasi yang membuktikan inqitha’ (keterputusan) diantara keduanya.”[19]
Dalam hal shigat tahdis, Imam Muslim membedakan penggunan lafal “حدثنا” dan “اخبرنا”. Menurutnya lafal haddatsana hanya digunakan untuk hadis yang didengar dari seoarang guru atau syaikh, sedangakan lafal akhbarona digunakan untuk hadis yang dibacakan pada seorang syaikh. Pendapat ini sejalan dengan madzhab Syafi’i dan jumhur. Hal ini menunjukkan ketelitian dan kehati-hatian Imam Muslim dalam cara penyampaian dan penerimaan hadis.[20]
Dalam kitab sahihnya Imam Muslim menyebutkan sebuah hadis dengan berbagai jalurnya dalam satu tempt. Dan jika ada perbedaan redaksi hadis diapun menjelaskannya. Ini mempermudah para pengkaji hadis untuk mengetahui jalur-jalur lain sebuah hadis. Hal ini menunjukkan bahwa Imam Muslim juga melakukan kritik matan dimana dia mengumpulkan hadis yang beredaksi sama atau semakna serta menelaahnya dan kemudian ia sebutkan dalam kitabnya.

B.3. ABU DAWUD[21]
“Abu Dawud telah melunakkan Hadith, sebagaimana Nabi Dawud melunakkan besi” ungkapan ini dilontarkan oleh Ibrahim al-Harbi seorang ahli hadis sebagai pujian kepada Abu Dawud as-Sijistani karena kelihaiannya meneliti hadis.  Masih banyak pujian-pujian ulama menegenai kapasitas Abu Dawud sebagai ahli hadis dan pengarang kitab as-Sunan.
Kitab Sunannya, yang memuat sekitar 4.800 hadis, dia susun untuk menjadi dasar para ulama fiqih dalam beristinbat hukum.[22] Hujatul Islam, Imam Abu Hamid al-Ghazali berkata: “Sunan Abu Dawud sudah cukup bagi para mujtahid untuk mengetahui hadis-hadis ahkam.” Demikian juga dua imam besar, An-Nawawi dan Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyyah memberikan pujian terhadap kitab Sunan ini bahkan beliau menjadikan kitab ini sebagai pegangan utama di dalam pengambilan hukum.[23]
Imam Abu Dawud Rahimahullah menjelaskan syarat yang ia tempuh dalam penyusunan as-Sunan, demikian pula beliau menjelaskan kepada penduduk Makkah yang beliau sampaikan dalam bentuk surat, beliau menggambarkan karakter kitabnya. Syarat tersebut:
1.      Beliau mengungkapkan, “Jika seorang menyebutkan dihadapan Anda sebuah sunnah yang berasal dari Nabi yang tidak aku keluarkan, ketahuilah bahwa itu adalah sebuah hadis yng diriwayatkanya, padahal hadis tersebut ada dalam kitabku tetapi dari jalur lain. Aku sengaja tidak mentakhrij semua jalur tersebut karena jumlahnya terlalu banyak sehingga memberatkan bagi orang yang mempelajarinya”.
2.      Beliau mentakhrij hadis yang menurutnya terbukti paling shahih dalam bab tersebut, kecuali jika dalam sebuah hadis menurutnya terdapat dua sanad shahih, salah satunya memiliki perawi yang hafalannya lebih kuat, sedang sanad yang lain perawi lebih senior, maka beliau memprioritaskan riwayat perawi yang lebih senior tersebut.
3.      Dalam menetapkan masalah rijal hadis beliau tidak mentakhrij hadis dari orang yang matruk (ditinggalkan karena dituduh berdusta). Beliau hanya mentakhrij dari orang-orang tsiqah dan perawi yang daya hafalannya mendekati orang tsiqah, selain itu belaiu juga mentakhrij hadis dari orang yang tidak disepakati suka berdusta.
4.      Syarat yang beliau lalui dalam masalah sanad adalah ketersambungan  (ittishal) sanad tersebut, sehingga beliau tidak mentakhrij hadis munqathi’ atau pun hadis mursal, kecuali jika dalam bab yang beliau bahas tidak menemukan hadis muttashil; atau jika khabar munqathi’ dan mursal tersebut hanya sunnah yang bersifat tambahan.
5.      Imam Abu Daud menuturkan, “ Aku mencantumkan hadis shahih yang semisalnya, dan hadis yang derajatnya mendekatii shahih. Adapun jika dalam suatu hadis terdapat kelemahan yang sangat, maka aku tidak melewatinya kecuali menjelaskannya; dan apa yang aku tidak komentari, maka hadis itu bisa dipastikan tiada masalah dan dapat diamalkan”.[24]
6.      Imam Abu Daud tidak memotong sebuah hadis dalam bab kitabnya, itu semua karena beliau tidak membebani diri terhadap istinbath hukum. Walau demikian, ia masih meringkas sebuah hadis tertentu bila hadis itu dalam posisi sebagai syahid.
7.      Menghimpun mutaba’ah secata berturut-turut dan tidak memisahkannya. Selain itu, mengingatkan pula adanya perbedaan penyampaian dan perbedaan lafaz periwayatan diantara perawi.
8.      Sistematika as-Sunan, beliau membagi as-sunan ke dalam beberapa kitab sesuai dengan bab-bab fikih pada setiap bab beliau memberi penjelasan tersendiri. Setiap bab memiliki judul yang menunjukkan kualitas dan baiknya klasifikasi, hal tersebut bisa kita lihat berikut;
a.      Memperioritaskan perbuatan mukallaf yang paling penting, dimana beliau memulai pembahasan dengan masalah ibadah, thaharah, kemudian shalat dan seterusnya. Demikian pula susunan penjelasan yang ada di setiap kitab ada bab buang hajat kemudian diikuti bab wudhu dan seterusnya
b.      Mengungkapkan hal yang mudah dalam penjelasan kitab sehingga bisa menggambarkan persesuaian yang jelas dengan hadis yang ia sebutkan di bawahnya. Tarjamah yang beliau cantumkan mirip dengan cabang-cabang fikih yang akan dituliskan dalil-dalilnya.
9.      Apabila ada hadis mu’allaq yang beliau cantumkan maka sebagian besar hadis mu’allaq tersebut digunakan sebagai mutaba’ah dan syahid untuk sebuah hadis lain yang beliau sebutkan sebelumnya.
10.  Kitab sunan adalah kitab pegangan dan sumber rujukan mayoritas ulama Islam, semua itu dikarenakan dalam penyusunannya mengandung perincian hukum dan penjelasan hujjah halal-haram.
11.  Menjelaskan setiap hadis yang ada illatnya (memiliki cacat), dan beliau secara konsisten menta’lil yang memiliki illat.
12.  Ada beberapa hadis dha’if yang didiamkan oleh Imam Abu Daud, hal tersebut sebagaimana yang disebutkan Ibn Hajar, Imam Nawawi serta Ibn Jauzi, sehingga yang memiliki ilmu agar tidak bertaqlid begitu saja pada kitab ini.


III.    KESIMPULAN
Dari penjelasan dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut;
1.      Penelitian hadis dilakukan untuk membedakan hadis yang sahih dan yang tidak. Berhubungan dengan hal ini ulama menciptakan kerangka metodologis penelitian hadis.
2.      Imam al-Bukhari, Muslim dan Abu dawud, generasi ulama abad ke-3 H, telah melakukan kegiatan penelitia hadis. Secara garis besar mereka menyaratkan hal yang sama pada syarat shahih meskipun terdapat perbedaan-perbedaan juga. Hal ini sangatlah wajar karena penelitian kesahihan hadis merupakan hal yang ijtihadi.
Wallah a’lam bisshowab.










BIBLIOGRAFI

Abd Allah bin Abd Allah, Sembilan Pendekar Hadis, terj. Uwais al-Qorni, Bogor: Pustaka Thriqul Izzah, 2007
Abu Bakr Muhammad bin Musa al-Hazimi, Syurut al-A’immah al-Khomsah, (Beirut: Dar al-kutub al-Ilmiyah, 1984 M/1405 H)
Adz-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubala’, (Muassasah ar-Risalah, 1985)
DR. Muhammad al-Dasuqi, Manhaj Al-Bahts fi Al-Ulum Al-Islamiyah, (Dar al-Auza’I, 1404 H/1984 M)
DR. Muhammad Thohir al-Jawabi, Juhud Al-Muhadditsin fi Naqd Matn Al-Hadits Al-Nabawi Al-Syarif,  Muassasat Abd al-Karim bin Abdillah
Dr. Subhi as-Shaleh, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009)
Ibnu Ahmad ‘Alimi, Tokoh dan Ulama Hadis, (Sidoarjo: Buana Pustaka, 2008)
Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, (Mesir: Dar Ibn al-Jauzi, 2010)
Prof. DR. M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Hadis, (Jakarta: Bula BIntang, Cet. 3, 2005)
------------------------------, Metodologi Penelitian Hadis, (Bandung: Bulan Bintang, 2007)
Prof. Dr. Mustafa Yaqub, MA, Imam Bukhari dan Metodologi Kritik dalam Ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2006)
Wahyudin Darmalaksana, Hadis di Mata Orientalis, (Bandung: Benang Merah Press, 2004)





[1]  M. Syuhudi Ismail menjelaskan bahwa tujuan penelitian hadis adalah untkuk mengetahui kualitas hadis dalam hubunganya dengan kehujjahan hadis yang bersangkuan. Metodologi Penelitian Hadis, (Bandung: Bulan Bintang, cet.2, 2007), hlm. 26.
[2]  Wahyudin Darmalaksana, Hadis di Mata Orientalis, (Bandung: Benang Merah Press, 2004), hlm. 5
[3]  Ibid.,
[4]  Ibid., hlm. 6, Dr. Muhammad al-Dasuqi menyatakan ada tiga yang menjadi objek penelitian hadis; sanad, matan dan tahammul wa ada’. Manhaj Al-Bahts fi Al-Ulum Al-Islamiyah, hlm. 246

[5]  Unsur-unsur ini kemudian disebut dengan  unsur-unsur  kaidah mayor kesahihan hadis yang telah disepakati oleh mayoritas ulama hadis. Kaidah mayor ini kemudian diturunkan menjadi kaidah minor dan para ulama hadis sering berbeda pendapat dalam hal ini. Prof. M. Syuhudi Ismail, Kaidah Kesahihan Hadis, (Jakarta: Bula BIntang, Cet. 3, 2005) hlm. 130-131
[6] Imam al-Bukhari lahir di Bukhara, Uzbekistan, Asia Tengah. Nama lengkapnya adalah Abu Abdullah Muhammad bin Ismail bin Ibrahim bin Al-Mughirah bin Bardizbah Al-Ju'fiy Al Bukhari, namun beliau lebih dikenal dengan nama Bukhari. Beliau lahir pada hari Jumat, tepatnya pada tanggal 13 Syawal 194 H (21 Juli 810 M). Kakeknya bernama Bardizbah, turunan Persi yang masih beragama Zoroaster. Tapi orangtuanya, Mughirah, telah memeluk Islam di bawah asuhan Al-Yaman al-Ju’fiy. Lihat Adz-Dzahabi, Siyar A’lam al-Nubala’, (Muassasah ar-Risalah, 1985), juz:12, hlm. 383.
[7]  Al-’Allamah Ibnu as-Shalah dalam Muqaddimah-nya menyebutkan, bahawa jumlah hadith Shahih Bukhari sebanyak 7.275 buah hadith, termasuk hadith-hadith yang disebutnya berulang, atau sebanyak 4.000 hadith tanpa pengulangan. Perhitungan ini diikuti oleh Al-”Allamah Syaikh Muhyiddin an-Nawawi dalam kitabnya, at-Taqrib. Dan diceritakan bahwa beliau meghabiskan waktu 16 tahun untuk menyelesaikan kitabya ‘al-Jami’ as-Shahih’.
[8]  Ibnu Hajar al-Asqolani, Muqaddimah Fath al-Bari, hlm. 7
[9] .  Ibnu Ahmad ‘Alimi, Tokoh dan Ulama Hadis, (Sidoarjo: Buana pustaka, 2008), hlm. 184
[10] .  At-tamhid ibn Abdil Barr (1/12)/dapat juga dilihat: Kuttab Kutub At-Tis’ah, Abdullah bin Abdullah penerjemah, Uwais al-Qarni. Pustaka Thariqul Izzah 2007 hal: 31
[11] . Tokoh dan Ulama Hadis, Op.cit.,
[12] . Ibid.
[13] . Kuttab Kutub At-Tis’ah, Abdullah bin Abdullah penerjemah, Uwais al-Qarni. Pustaka Thariqul Izzah 2007 hal: 44
[14] . Dr. Subhi as-Shaleh, Membahas Ilmu-Ilmu Hadis, (Jakarta: Pustaka Firdaus. Cet. VIII, 2009) hlm. 149
[15]   Nama lengkap beliau adalah Abu al-Hasan Muslim bin Hajjaj bin Muslim bin Warad bin Kausyaz al-Qusyairi an-Naisaburi. Al-Qusyairi di sini merupakan nisbah terhadap nasab (silsilah keturunan) dan An Naisaburi merupakan nisbah terhadap tempat kelahiran beliau, yaitu kota Naisabur, bagian dari Persia yang sekarang manjadi bagian dari negara Rusia. Tentang al-Qusyairi, seorang pakar sejarah,  ‘Izzuddin Ibnu Atsir, berkata: “Al-Qusyairi adalah nisbah terhadap keturunan Qusyair bin Ka’ab bin Rabi’ah bin ‘Amir bin Sha’sha’ah, yang merupakan sebuah kabilah besar. Banyak para ulama yang menisbahkan diri padanya”.
Para ahli sejarah Islam berbeda pendapat mengenai waktu lahir dan wafat Imam Muslim. Ibnu Hajar Al Asqalani dan Ibnu Katsir mengatakan bahwa Imam Muslim dilahirkan pada tahun 204 H dan wafat pada tahun 261 H. Namun pendapat yang paling kuat adalah bahwa beliau dilahirkan pada tahun 206 H dan wafat pada tahun 261 H di Naisabur, sehingga usia beliau pada saat wafat adalah 55 tahun. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Abu Abdillah Al Hakim An Naisaburi dalam kitab Ulama Al Amshar, juga disetujui An Nawawi dalam Syarh Shahih Muslim.
[16]  Kitab ini disusun selama 15 tahun. Imam Muslim tidak membuat daftar bab dengan menggunakan kata kerja (betuk fi’il), melainkan mengumpulkan hadis yang secara tema berhubungan. Menyangkut jumlah hadis yang ada dikompliasi, para ahli berbeda pendapat dalam menghitungnya. Ahmad bin Salmah mengatakan bahwa al-Jami’ al-Shahih berisi 12.000 hadis, sedangkan Ibn Shalah yang mengikuti Abi Quraisy al-Hafidz mengatakan, bahwa didalamnya terdapat 4.000 hadis saja.
[17] Muslim bin al-Hajjaj, Shahih Muslim, (Mesir: Dar Ibn al-Jauzi, 2010),  hlm. 6-7
[18]  Ibid.,
[19]  Ibid., hlm. 14
[20]  Berbeda dengan Bukhori dan sebagian ulama (mjoritas ulama Hijaz dan Kufah) yang membolehkan penggunaan lafal ‘haddatsana’ dan ‘akhbarona’  untuk hadis yang dibacakan pada seorang syaikh.  Lihat DR. Muhammad Thohir al-Jawabi, Juhud Al-Muhadditsin fi Naqd Naqd Matn Al-Hadits Al-Nabawi Al-Syarif, hlm. 238.
[21]  Beliau bernama lengkap Sulaimaan bin al-Asy’ab bin Ishaaq ibn Basyiir bin Syadaad bin ‘Amr al-Azdiy as-Sijistaaniy, lahir pada 202 H dan wafat 275 H. Sejak kecil, Imam Abu Dawud dikenal sebagai anak yang amat mencintai ilmu dan senang bergaul dengan para ulama. Ia belajar agama sejak usia dini, terutama dengan al-Qur’an dan Bahasa Arab. Ketertarikannya dalam bidang hadis yang juga dalam usia dini, karena ayahnya al-Asy’ats bin Ishaq adalah seorang perawi hadits yang meriwayatkan hadits dari Hamad bin Zaid dan saudaranya, Muhammad bin al-Asy`ats termasuk seorang yang menekuni dan menuntut hadits. Ketertarikannya dalam bidang hadis ini membawa ia berkelana ke berbagai negeri di mana ada guru-guru hadis seperti: Khurasan, Rayy, Kuffah, Bagdad, Basrah, Damaskus dan Mesir.
[22] Abu Bakr Muhammad bin Musa al-Hazimi, Syurut al-A’immah al-Khomsah, (Beirut: Dar al-kutub al-Ilmiyah, 1984 M/1405 H), hlm. 68
[23]  Meskipun demikian kitab sunan abu dawud tidak lepas dari kritikan diantaranya adalah Ibnul Jauzi telah mengkritik beberapa hadith yang dicantumkan oleh Abu Dawud dalam Sunannya dan memandangnya sebagai hadith-hadith maudhu’ (palsu).

[24] . Kuttab kutub tis’ah, Abdullah bin Abdullah, pustaka thariqul Izzah Bogor, cet; 1 th. 2007 hal; 101

1 komentar:

  1. Dasar Tecnologi Izin copy gan untuk buat tugas..
    dan ini sangat bagus makalahnya mass, pake referensi

    BalasHapus