Senin, 08 Juli 2013

Tarawih, Logika Ikut Sopir atau Kondektur

Diskusi itu terjadi sekitar setahun lampau. Usai mengimami tarawih sebuah musholla kecil. Seseorang yang jauh lebih senior menghampiri. Saya tahu, ia berasala dari ormas yang di berbeda pandangan dalam beberapa masalah fikih. Tiba-tiba ia melontarkan logika yang saya kira sangat aneh. Terkait jumlah rakaat shalat tarawih.

“Emang mau ikut sopir apa ikut kondektur,” ujarnya. Saya paham ia merujuk pada jumlah rakaat shalat malam Nabi SAW dan Umar bin Khattab. Nabi disebutnya sebagai sopir dan Umar disebutnya kondektur. Logika yang—menurut saya—benar, tapi membodohi dalam konteks pemahaman beragama.

Dalam riwayat shahih yang kita terima, Rasulullah SAW shalat malam di masjid Nabawi pada bulan Ramadhan. Para sahabat lalu berkumpul mengikuti beliau. Jumlah sahabat yang ikut berjamaah semakin banyak dan berlipat-lipat. Shalat jamaah itu berlangsung hingga malam kedua atau ketiga. Berapa jumlah rakaatnya? Tidak ada penjelasan terkait jumlah rakaatnya. Pada malam ketiga atau keempat, Rasulullah SAW tidak hadir ke masjid. Para sahabat galau menunggu Rasulullah di masjid. Hingga tiba azan Subuh, barulah Rasulullah keluar ke masjid.


“Aku tahu kalian menungguku sepanjang malam ini. Tidak ada alasan yang menghalangiku keluar selain rasa kuatir shalat ini akan diwajibkan kepada kalian,” begitu kira-kira penjelasan Nabi SAW usai shalat Subuh di hadapan para sahabat. Sahabat mengerti alasan beliau.

Dalam riwayat shahih lainnya, Aisyah RA, istri Rasulullah menjelaskan shalat malam beliau, “Rasulullah tidak menambah di dalam bulan Ramadhan dan tidak pula mengurangkannya dari 11 rakaat. Beliau melakukan sholat 4 rakaat dan janganlah engkau tanya mengenai betapa baik dan panjangnya, kemudian beliau akan kembali sholat 4 rakaat dan jangan engkau tanyakan kembali mengenai betapa baik dan panjangnya, kemudian setelah itu beliau melakukan sholat 3 rakaat.” Riwayat ini shahih. Namun, yang perlu diingat, ini tidak menjelaskan secara spesifik sebagai shalat tarawih. Sepertinya Aisyah RA hanya menjelaskan bentuk shalat malam Rasulullah SAW saat di rumah.

Ada riwayat lain yang shahih di masa Umar bin Khattab. Di masjid, para sahabat membentuk kelompok-kelompok sendiri untuk berjamaah shalat di malam bulan Ramadhan. Umar yang melihat “ketidakberesan” ini, memutuskan shalat di bawah satu imam, Ubay bin Ka’ab. Jumlah rakaatnya saat itu adalah 23 rakaat—termasuk witir 3 kali. Mulai saat itulah, shalat Tarawih dikenal dengan jumlah 23 rakat yang disebut Umar sebagai sebaik-baiknya bid’ah.

Mari kita lihat data berapa jumlah rakaat shalat Tarawih?
Dalam kitab Wadhaif Ramadhan, karya Abdurrahman bin Qasim Al-Hambali (bermadzhab Hambali) disebutkan beberapa riwayat sebagai berikut:

- Ibnu Abbas berkata, “Rasulullah SAW melaksanakan shalat di bulan Ramadhan sebanyak 20 rakaat.”

- Menurut Syaikh Taqiyuddin: shalat Tarawih dilaksanakan 20 rakaat. Itu adalah pendapat yang masyhur di kalangan mazhab Ahmad dan Syafi’i. Dalam madzhab Imam Malik, sebanyak 36 rakaat. Tarawih juga boleh dilaksanakan sebanyak 11 atau 13 rakaat. Semuanya bagus. Banyak dan sedikitnya rakaat ditentukan oleh seberapa lama dan pendeknya waktu berdiri (dalam shalat).”

- Para sahabat ada shalat tarawih dalam jumlah rakaat yang sedikit, ada pula yang dalam jumlah banyak. Urusan jumlah rakaat, tak ada nash syara’ yang menyatakan dengan tegas. Yang terpenting adalah terpenuhinya semua rukun shalat. Esensi shalat sendiri adalah hadirnya hati dan jiwa dalam menghadap Allah SWT. Dan, keadaan itu tidak akan tercapai dalam shalat yang penuh ketergesaan dan super cepat. Maka, kesimpulannya, 10 rakaat yang dilakukan dengan perlahan-lahan, penuh ketenangan dan khusuk jauh lebih baik daripada 20 rakaat yang dilakukan dengan cepat dan buru-buru.

Logika tentang Rasulullah sebagai sopir dan Umar sebagai kondektur dalam masalah seperti ini tentu saja berbahaya. Membodohi umat yang “mualaf” dalam memahami urusan agama. Rasulullah SAW bahkan menegaskan: mengikuti 4 Khalifah sesudah beliau adalah seperti mengikuti beliau. Khalifah Rasyidin adalah pemimpin-pemimpin umat pilihan yang diberikan keistimewaan dan jaminan masuk surga.

Mudahnya begini; kalau Anda ngotot ikut sopir dan tak mau ikut kondektur, ya jangan sekali-kali membaca Al-Quran dari teks-teks yang ada di kertas, cetakan, atau file-file komputer. Silakan membaca Al-Quran di media batu-batuan, kulit unta, pelepah kurma, dan segala media yang digunakan pada masa Rasulullah SAW untuk menuliskan Al-Quran. Bukankah pengumpulan Al-Quran dalam satu mushaf baru mulai dilakukan pada zaman Umar, yang kemudian dilanjutkan oleh Sahabat Utsman bin Affan?

Bekasi, 7 Juli 2013

*Catatan kecil Ramadhan 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar