Senin, 08 Juli 2013

Awal Ramadhan 2013 Kembali Berbeda?




Prediksi sementara, awal Ramadhan 2013 ini kembali berbeda. Salah satu ormas besar di Indonesia, Muhammadiyah, sudah jauh-jauh hari mengumumkan awal Ramadhan bertepatan dengan Selasa, tanggal 9 Juli 2013. Sementara ormas besar lainnya, NU dan pemerintah masih menunggu hasil rukyah pada hari Senin sore. Pemerintah dan NU menyebar tim rukyah ke beberapa titik strategis untuk melihat keberadaan bulan awal Ramadhan. Kepastian awal Ramadhan akan ditentukan setelah laporan tim rukyah diterima. 

Kemungkinan berbeda dalam penentuan awal Ramadhan 2013 amat besar. Ketua tim lajnah Falakiyah Nahdlatul Ulama, KH A. Ghazalie Masroeri, memprediksi awal Ramadhan bertepatan pada hari Rabu, 10 Juli 2013. 


Urusan ini sebenarnya teramat sederhana. Urusannya terkait dengan bagaimana memahami konteks sabda Nabi SAW. “Puasalah jika kau melihatnya (hilal) dan berbukalah (idul fitri) jika kau melihatnya.” 

Pada zaman Nabi SAW, dengan segala keterbatasan tekonologi, metode penetapan awal bulan dilakukan dengan melihat hilal secara kasat mata. Tanpa bantuan alat apapun, termasuk teropong. Zaman modern, upaya melihat hilal secara langsung sudah dibantu dengan alat canggih. Tak sekadar teropong biasa, tapi menggunakan teropong yang melampaui jarak beribu kilometer. Tak cukup, tim rukyah pun harus naik di menara yang cukup tinggi di tempat-tempat tertentu yang dianggap strategis. 

Urusan ini teramat sederhana. Kelompok yang ngotot menggunakan hasil rukyah dengan mata telanjang, berpegang teguh bahwa yang disebut Nabi SAW dalam sabdanya “melihatnya” adalah menggunakan mata telanjang, atau melihat bulan secara langsung. Jadi, apabila bulan tidak terlihat, sekalipun tertutup mendung misalnya, kelompok ini akan berpegang teguh mengikuti saran Nabi dalam hadis yang lain “...apabila (pandangan) kalian tertutup mendung, sempurnakan jumlah bulan Sya’ban.” 

Sementara kelompok kedua, memaknai sabda Nabi SAW lebih luas. “Melihat” dalam hadis tersebut bisa diartikan tidak dengan melihat dengan mata kepala, tapi juga ‘melihat’ dengan menggunakan berbagai rumus ilmu perbintangan, hisab, falakiyah. Menurut kelompok ini, maklum saja Nabi hanya menyuruh menggunakan mata telanjang untuk melihat bulan, karena kondisi zamannya memang seperti itu. Waktu itu, belum ada ilmu hisab yang akurat, belum ada alat teropong canggih seperti sekarang.

Kelompok pertama ini lalu sedikit melonggar saat berhadapan dengan kelompok kedua. Maka, terciptalah istilah imkanur rukyah dan wujudul hilal. Maksudnya: Imkanur rukyah adalah saat sudut derajat hilal mungkin dilihat secara kasat mata, termasuk menggunakan alat teropong. Sementara istilah wujudul hilal digunakan untuk menyatakan bahwa secara teori ilmu hisab, hilal sudah ada namun keberadaannya belum tentu bisa dilihat. Sebab, ketinggian derajatnya yang masih terlalu kecil. Para pakar ilmu astronomi menyepakati ada ketinggian derajat tertentu saat hilal itu bisa dilihat. Dalam hal imkanur rukyah (berdasarkan ilmu astronomi), kelompok pertama kerapkali sudah ikut menyatakan bahwa saat itu sudah masuk awal bulan. 

Yang sering jadi masalah—yang menimbulkan perbedaan penetapan awal Ramadhan/awal Hari Raya, adalah saat posisi bulan itu wujudul hilal. Artinya, secara ilmu astronomi, hilal sudah masuk awal bulan, tapi karena ketinggian derajatnya masih terlalu kecil, ia tidak mungkin bisa dilihat. Baik oleh mata telanjang ataupun dengan alat teropong paling canggih sekalipun. 

Urusan ini teramat sederhana. Pilihannya hanyalah dua saat posisi bulan dalam wujudul hilal

1. Apakah dengan keberadaan hilal yang derajatnya masih terlalu kecil itu membuat kita yakin bahwa awal bulan sudah masuk?
2. Ataukah kita harus benar-benar diyakinkan lebih dulu dengan kemungkinan bahwa bulan itu bisa dilihat?
Semuanya kembali pada pemahaman kita atas sabda Nabi SAW: “Puasalah jika kau melihatnya (hilal) dan berbukalah (idul fitri) jika kau melihatnya.

Bekasi, Juli 2013
*Catatan kecil Ramadhan 2013

Tidak ada komentar:

Posting Komentar