Selasa, 31 Januari 2012

Belajar Ngaji Tiada Henti


Sewaktu masih kanak-kanak, saya belajar mengaji pada paman saya. Di rumah, bapak dan ibu saya juga bergantian mengajari baca huruf hijaiyah dan al-Qur’an. Saya teringat, waktu itu sampai tertangis-tangis. Kala itu, saya merasa bacaan saya sudah cukup baik. Bahkan, paman saya juga menyuruh kami—saya dan teman-teman bareng mengaji—untuk menghafalkan surat-surat pendek dalam juz 30. Ini berlangsung hingga saya di kelas 3 Madrasah Ibtidaiyah.

Ketika saya mulai bersekolah Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD) di Kranji (desa tetangga), orangtua saya mulai berpikir agar saya bisa belajar ngaji di salah seorang ustadz di Pondok Kranji. Beliau adalah penghafal al-Qur’an. Begitu pula dengan istrinya. Dan, mulailah saya belajar mengaji pada beliau. Setiap sore, dengan ngontel sepeda, saya menghampiri rumah teman-teman saya dari Kranji. Lalu, kami berangkat bareng ke Pondok Kranji.


Ternyata, saya yang selama ini merasa ngaji saya sudah benar, sudah betul, masih banyak sekali yang salah. Bahkan, bisa dibilang tak ada yang benar. Hampir semua makhraj hurufnya salah. Tanda waqafnya kurang tepat. Mengaji dengan bernafas. Apalagi terkait dengan bacaan-bacaan “khusus”. Selama bertahun-tahun saya rutin mengaji di sang ustadz hingga menyelesaikan kelas MTs (setingkat SMP). Hingga, akhirnya saya sampai pada tahap mengerti kesalahan saya. Saya pun kembali merasa bahwa bacaan saya sudah sangat bagus. PD sekali saya. Meskipun secara pelaguan saya kurang bisa, tapi saya sudah bangga bisa ngaji dengan tepat. Saya pun menyadari bahwa semua yang diajarkan oleh paman saya selama ini hanyalah sekadar agar saya bisa membaca al-Qur’an. Itu saja. Kalau mereka mempersulit dengan makhraj-makhraj yang rumit, saya mungkin akan menyerah belajar mengaji.

Ketika menginjak di Madrasah Aliyah (setingkat SMA), saya mulai mondok. Tinggal di asrama bersama santri-santri lain. sebagai santri, kami ada kewajiban untuk mengaji ke salah satu guru pintar baca al-Qur’an. Dan, gurunya itu ditunjuk oleh pengurus. Saya kebagian ustadz yang cukup “sepuh” (untuk tidak mengatakan tua). Beliau adalah pakar ilmu tajwid di pondok tersebut.

Setiap pagi, usai shalat Subuh, saya mengaji di beliau bersama teman-teman yang telah ditunjuk. Dan, lagi-lagi, ternyata saya masih juga mempunyai banyak kesalahan dalam cara membaca al-Qur’an. Terutama dalam hal makhraj yang kurang pas. Beliau pun menunjukkan saya bacaan yang benar.

Menjelang kelulusan kelas 3 MA, salah seorang guru metode Qira’ati di pondok saya mengadakan pelatihan menjadi guru Qiraati. Pelatihan ini adalah SIM bagi seseorang sebelum dinyatakan layak menjadi pengajar metode Qira’ati. Lagi-lagi, ternyata masih banyak kesalahan dalam bacaan Qur’an saya. Ya, masih berkisar antara makhraj dan tajwid yang kurang pas. Ketika itu, guru saya itu pun memperbaiki bacaan saya. Namun, saya tidak berhasil menyelesaikan pelatihan tersebut sehingga tidak mendapatkan syahadah untuk mengajar metode Qira’ati.

Kini, setelah beberapa tahun keluar dari pondok, dan mulai masuk kuliah S2, saya kembali belajar membaca al-Qur’an. Pesantren saya sekarang adalah pesantren takhassus al-Qur’an yang diasuh oleh seorang pakar Qiraat sab’ah, anggota dewan juri MTQ nasional, dan tim pentashih Al-Qur’an Depag, KH. Ahmad Fathoni. Dan, lagi-lagi, ternyata saya kembali menyadari banyak sekali kesalahan dalam hal makhraj dan tajwid saya.

Akhirnya, saya berpikir bahwa tiap-tiap guru pastilah akan mengajarkan seorang murid sesuai dengan kemampuan akal dan kelimuannya. Ketika saya kecil, guru mengaji saya akan hanya mengajarkan agar saya bisa membaca. Cukup itu saja. Tentu saja dengan tajwid-tajwid standar dan tanpa terlalu menyibukkan  dengan makhraj yang rumit. Karena, kalau sejak kecil sudah dibebani dengan makhraj yang rumit, dikahatirkan akan menurunkan semangat belajar dan membuat putus asa.

Begitu pula dengan guru saya di tingkat berikutnya. Beliau pastilah mengajarkan saya sesuai dengan kemampuan saya. Memberikan ilmu-ilmu yang mendasar dan tanpa terperinci serinci-rincinya. Nah, ketika sudah di tingkat S2 inilah, guru saya mulai mengajarkan hal-hal yang lebih mendalam terkait tata baca al-Qur’an, makhraj, dan tajwid yang benar. Bahkan, diajarkan pula kaidah-kaidah qiraat tujuh oleh beliau. Oleh karena itu, sudah seyogianya kita tak boleh pernah merasa puas atas ilmu yang kita miliki. 


Harus selalu ada upaya dan usaha-usaha lanjutan untuk mengembangkan dan meningkatkan keilmuan kita. Namun sayangnya, yang banyak terjadi di antara kita adalah ilmu yang pas-pasan telah dianggap cukup, bahkan untuk menyalahkan orang lain. Ya, akibatnya terjadilah banyak perselisihan dan pertentangan yang tak seharusnya terjadi andai tiap-tiap mereka mengerti dan mengetahui ilmunya. [KHO]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar