Sewaktu masih kanak-kanak, saya belajar mengaji pada paman saya. Di rumah, bapak dan ibu saya juga bergantian mengajari baca huruf hijaiyah dan al-Qur’an. Saya teringat, waktu itu sampai tertangis-tangis. Kala itu, saya merasa bacaan saya sudah cukup baik. Bahkan, paman saya juga menyuruh kami—saya dan teman-teman bareng mengaji—untuk menghafalkan surat-surat pendek dalam juz 30. Ini berlangsung hingga saya di kelas 3 Madrasah Ibtidaiyah.
Ketika saya mulai
bersekolah Madrasah Ibtidaiyah (setingkat SD) di Kranji (desa tetangga),
orangtua saya mulai berpikir agar saya bisa belajar ngaji di salah seorang
ustadz di Pondok Kranji. Beliau adalah penghafal al-Qur’an. Begitu pula dengan
istrinya. Dan, mulailah saya belajar mengaji pada beliau. Setiap sore, dengan
ngontel sepeda, saya menghampiri rumah teman-teman saya dari Kranji. Lalu, kami
berangkat bareng ke Pondok Kranji.
Ternyata, saya
yang selama ini merasa ngaji saya sudah benar, sudah betul, masih banyak sekali
yang salah. Bahkan, bisa dibilang tak ada yang benar. Hampir semua makhraj
hurufnya salah. Tanda waqafnya kurang tepat. Mengaji dengan bernafas. Apalagi terkait
dengan bacaan-bacaan “khusus”. Selama bertahun-tahun saya rutin mengaji di sang
ustadz hingga menyelesaikan kelas MTs (setingkat SMP). Hingga, akhirnya saya
sampai pada tahap mengerti kesalahan saya. Saya pun kembali merasa bahwa bacaan
saya sudah sangat bagus. PD sekali saya. Meskipun secara pelaguan saya kurang
bisa, tapi saya sudah bangga bisa ngaji dengan tepat. Saya pun menyadari bahwa
semua yang diajarkan oleh paman saya selama ini hanyalah sekadar agar saya bisa
membaca al-Qur’an. Itu saja. Kalau mereka mempersulit dengan makhraj-makhraj
yang rumit, saya mungkin akan menyerah belajar mengaji.
Ketika menginjak
di Madrasah Aliyah (setingkat SMA), saya mulai mondok. Tinggal di asrama
bersama santri-santri lain. sebagai santri, kami ada kewajiban untuk mengaji ke
salah satu guru pintar baca al-Qur’an. Dan, gurunya itu ditunjuk oleh pengurus.
Saya kebagian ustadz yang cukup “sepuh” (untuk tidak mengatakan tua). Beliau
adalah pakar ilmu tajwid di pondok tersebut.
Setiap pagi, usai
shalat Subuh, saya mengaji di beliau bersama teman-teman yang telah ditunjuk.
Dan, lagi-lagi, ternyata saya masih juga mempunyai banyak kesalahan dalam cara
membaca al-Qur’an. Terutama dalam hal makhraj yang kurang pas. Beliau pun
menunjukkan saya bacaan yang benar.
Menjelang kelulusan kelas 3 MA, salah seorang guru metode
Qira’ati di pondok saya mengadakan pelatihan menjadi guru Qiraati. Pelatihan ini adalah SIM bagi seseorang sebelum dinyatakan
layak menjadi pengajar metode Qira’ati. Lagi-lagi, ternyata masih banyak kesalahan
dalam bacaan Qur’an saya. Ya, masih berkisar antara makhraj dan tajwid yang
kurang pas. Ketika itu, guru saya itu pun memperbaiki bacaan saya. Namun, saya
tidak berhasil menyelesaikan pelatihan tersebut sehingga tidak mendapatkan syahadah
untuk mengajar metode Qira’ati.
Kini, setelah
beberapa tahun keluar dari pondok, dan mulai masuk kuliah S2, saya kembali
belajar membaca al-Qur’an. Pesantren saya sekarang adalah pesantren takhassus
al-Qur’an yang diasuh oleh seorang pakar Qiraat sab’ah, anggota dewan juri MTQ nasional,
dan tim pentashih Al-Qur’an Depag, KH. Ahmad Fathoni. Dan, lagi-lagi, ternyata
saya kembali menyadari banyak sekali kesalahan dalam hal makhraj dan tajwid
saya.
Akhirnya, saya
berpikir bahwa tiap-tiap guru pastilah akan mengajarkan seorang murid sesuai
dengan kemampuan akal dan kelimuannya. Ketika saya kecil, guru mengaji saya
akan hanya mengajarkan agar saya bisa membaca. Cukup itu saja. Tentu saja
dengan tajwid-tajwid standar dan tanpa terlalu menyibukkan dengan makhraj yang rumit. Karena, kalau
sejak kecil sudah dibebani dengan makhraj yang rumit, dikahatirkan akan
menurunkan semangat belajar dan membuat putus asa.
Begitu
pula dengan guru saya di tingkat berikutnya. Beliau pastilah mengajarkan saya
sesuai dengan kemampuan saya. Memberikan ilmu-ilmu yang mendasar dan tanpa
terperinci serinci-rincinya. Nah, ketika sudah di tingkat S2 inilah, guru saya
mulai mengajarkan hal-hal yang lebih mendalam terkait tata baca al-Qur’an,
makhraj, dan tajwid yang benar. Bahkan, diajarkan pula kaidah-kaidah qiraat
tujuh oleh beliau. Oleh karena itu, sudah seyogianya kita tak boleh pernah
merasa puas atas ilmu yang kita miliki.
Harus selalu ada upaya dan usaha-usaha
lanjutan untuk mengembangkan dan meningkatkan keilmuan kita. Namun sayangnya,
yang banyak terjadi di antara kita adalah ilmu yang pas-pasan telah dianggap
cukup, bahkan untuk menyalahkan orang lain. Ya, akibatnya terjadilah banyak
perselisihan dan pertentangan yang tak seharusnya terjadi andai tiap-tiap
mereka mengerti dan mengetahui ilmunya. [KHO]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar