Selasa, 31 Januari 2012

Membley, "Stadion" Kebanggaan Kami

Inilah lapangan Membley kebanggan kami.
Kalau Inggris punya Wembley, kami para kader ulama di asrama IIQ juga punya "stadion" sendiri. Tanpa ada kesepakatan resmi, kami menamainya Membley. Ya, mungkin saja maksudnya plesetan dari Wembley yang sangat megah di Inggris itu. Walau tak sebesar dan sehebat Wembley, kami bangga dengan stadion itu. Hampir setiap hari libur, kami mengisi aktivitas di asrama dengan bermain futsal bersama.

Lapangan bola itu terletak di sebelah masjid asrama. Tepatnya, di depan masjid. Tengahnya, bukan berumput halus mirip Membley, tapi pelesteran semen yang sudah mulai bolong dan pecah di sana-sani. Bahkan, kalau sedang turun hujan, air akan menggenang di beberapa bagian tengah lapangan. Tapi, itu tetap tak mengganggu keasyikan kami memainkan bola. Dan tentu saja, tak mengurangi kebanggaan pada lapangan itu.

Duel maut antara dua tim futsal kader ulama

Hari bermain yang "disediakan" (sengaja dikasi tanda petik) oleh satpam asrama adalah selain Senin, Rabu, dan Jumat sore. Alasannya, hari-hari itu ada setoran hafalan di masjid. Mereka kuatir anak-anak itu tak lagi konsen menghafal, malah menonton kami bermain bola. Hehehe... 

Penonton?
Tentu ada, bahkan berbeda jauh dengan di stadion negaranya David Beckham itu. Di sini penontonnya rata-rata cewek. Berjilbab lagi. Yang berbeda lagi, mereka tak butuh teriak-teriak atau bawa spanduk dukungan buat kami yang sedang bermain. Mereka justru asyik duduk santai sambil membuka mushaf Al-Qur'an. Melalukan aktivitas hafalan, murajaah, atau sejenisnya.

Gol kontroversial
Penontonnya juga tak akan ada yang berani dekat-dekat dengan lapangan. Bukan karena takut kena bola, tapi takut ada yang kecantol sama pemain bolanya. Hahhaaa... Mereka biasa duduk di kursi taman depan asrama, di teras masjid, atau di kursi bundar di tengah taman, sambil sesekali melirik ke arah pemain.

Yang menguntungkan, rata-rata kami adalah penghobil bola--termasuk futsal. Maka, kami pun ramai-ramai urunan 5ribuan untuk membeli bola futsal standar yang selalu setia menemani kami bermain. Maka, kami pun berbondong-bondong ke lapangan jika hari pertandingan tiba. 

Capek, usai bertanding. 
Dulu, kalau bermain, kami membagi menjadi 2 tim. Caranya dengan simsuit (atau apa ya namanya dalam bahasa Indonesia). Yang pas membuka telapak tangan menjadi satu tim, begitu pula sebaliknya bagi yang menutup telapak tangan. Namun belakangan, kami mengubah aturan. Pertandingan kami buat menjadi 2 tim; bujangan dan menikah. Inilah yang membuat tensi pertandingan di antara tim makin meningkat. Mungkin,  cerita tentang bujangan vs menikah ini kami saya tuliskan di lain kesempatan. [KHO] 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar