Penentuan awal puasa atau awal Hari Raya—menurut hemat saya, tak sekadar
soal bulan sudah masuk atau belum. Bila kita mau mengacu beberapa riwayat yang
kita terima Sang anutan Nabi Muhammad SAW dan atsar para sahabat, sesungguhnya
ada beberapa komponen yang menjadi pertimbangan pengambil keputusan. Atau
setidaknya, menjadi pertimbangan kita sebagai orang awam dalam memilih ikut
siapa.
Berikut ini adalah beberapa komponen yang seharusnya kita cermati:
1. Hilal Sudah Terlihat
Ini erat sekali dengan sabda Nabi Muhammad SAW yang begitu populer tiap
menjelang masuknya Ramadhan atau Idul Fitri. “Puasalah karena melihatnya
(hilal), dan berbukalah karena melihatnya.” Aturannya, awal bulan belum
dianggap masuk apabila bulan sabit penanda awal bulan belum terlihat. Zaman
dulu, orang-orang melihat hanya menggunakan mata telanjang. Sementara sekarang,
tim rukyatul hilal sudah dibekali dengan beragam alat teropong canggih dan
dibangunkan menara “pengintai” yang cukup tinggi di titik-titik strategis.
2. Ada Mendung, Sempurnakan Jumlah Bulan
“Apabila (tertutup) mendung, maka genapkan
bilangan bulan Sya’ban menjadi tiga puluh.” (HR Bukhari Muslim)
“Apabila (tertutup) mendung, maka perkirakanlah
tiga puluh.”
Dalam proses rukyatul hilal, terkadang tim rukyah tidak bisa melihat hilal,
sebab terkendala cuaca mendung. Hadis di atas memberikan solusi bagaimana hal
itu terjadi, yakni dengan menyempurnakan jumlah hari bulan Sya’ban. Menjadi
tiga puluh hari. Kita tahu, hari dalam bulan Hijriyah terdiri dari 29 atau 30
hari.
3. Perkirakan Jumlah Tanggal
Poin ini sesuai dengan hadis: “Apabila
(tertutup) mendung, maka perkirakanlah dia (hilal).”
Hadis inilah yang biasanya dijadikan dalil sebagian orang untuk
melegitimasi keabsahan ilmu hisab (astronomi) dalam menentukan masuknya bulan. Kata
“perkirakan” di hadis ini ditafsirkan dengan ilmu pengetahuan yang ditemukan
zaman modern ini. Sehingga, muncullah istilah wujudul hilal. Menurut
“perkiraan” ilmu astronomi, hilal sudah ada wujudnya. Begitulah alasan kelompok
ini.
4. Puasa Bersama, Lebaran Bersama
“Puasa itu (dilakukan) pada hari ketika
orang-orang (banyak) berpuasa. Idul Fitri itu pada hari ketika orang pada
berbuka (Idul Fitri).”
Dalam hadis ini ada anjuran untuk selalu bersatu. Menjadi umat yang satu
suara. Berpuasa dan berhari raya bersama masyarakat umum. Dalam konteks
Indonesia, keadaan tersebut mungkin tercapai dengan inisiatif pemerintah. Di
Arab Saudi—meskipun kita tidak semadzhab dengan Saudi—tidak ditemukan kelompok
yang terang-terangan berbeda pendapat dengan pemerintah. Ia mungkin akan
menerima akibat yang tak mengenakkan jika ngotot dengan keyakinannya.
Ayat Al-Quran bahkan dengan tegas
menyatakan: “Taatilah Allah,
Rasulullah, dan para pemimpin di antara kalian.”
5. Mathla’ Berlaku Global atau Khusus
Saya merasa kurang pantas menjelaskan mathla’—dengan keterbatasan keilmuan
di bidang ilmu hisab/astronomi. Maksud mathla’ global adalah ketika ada satu
negara—di mana pun belahan dunia ini—melihat hilal, maka ketentuan awal
Ramadhan atau Idul Fithri sudah berlaku bagi seluruh muslim di dunia. Sementara
mathla’ berlaku khusus adalah berdasarkan kemungkinan posisi bulan dan garis
lintang sebuah negara. Artinya, apabila ada satu negara yang melihat hilal awal
Ramadhan, maka negara-negara yang berada dalam satu garis lintang tertentu
(maaf, saya kurang menguasai ini) harus mengikuti keputusan tersebut.
6. Larangan Berpuasa Pada Hari Syak
Sebuah riwayat dari Ammar bin Yasir RA, “Siapa yang berpuasa pada hari syak,
berarti ia telah bermaksiat kepada Abu Qasim SAW.” Hari syak (artinya: meragukan)
adalah tanggal 30 Sya’ban yang mana belum diketahui apakah ia sudah mulai masuk
Ramadhan atau belum. Dalam kitab al-Awashim wa al-Qawashim fi adz-Dzubbi An
Sunnati Abi al-Qasim, Izzuddin bin Ibnu al-Wazir menyatakan: “Puasa pada
hari Syak di awal Ramadhan, tidak wajib hukumnya. Karena pada asalnya hari itu
masih bulan Sya’ban.”[1]
Mungkin masih ada beberapa lagi komponen yang bisa menjadi pertimbangan
penentuan awal bulan Ramadhan/Idul Fitri. Karena keterbatasan pengetahuan
penulis, Anda boleh jadi menambahkannya?
[1] al-Awashim wa al-Qawashim fi adz-Dzubbi An
Sunnati Abi al-Qasim,
Izzuddin bin Ibnu al-Wazir (2/144)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar