Kamis, 09 Februari 2012

Manajemen dan Gaya Kepemimpinan Pesantren



Ditulis oleh : Andi Kaimuddin
  
Manajemen dan Gaya Kepemimpinan Pesantren

A.    Pendahuluan


Dunia Pesantren telah ada sejak ratusan tahun lalu, dan selama itu telah terbukti berhasil membentuk pribadi-pribadi manusia yang berahlakul karimah, baik, bermanfaat bagi masyarakat sekelilingnya, mandiri dan tidak mudah goyah dalam mengarungi kehidupan. Hal demikian tak akan tercapai kecuali dengan melaksanakan system manajemen dan administrasi yang baik. Dahulu orang belum mengenal istilah-istilah ilmu manajemen dan administrasi secara teoritis namun dalam tataran praktek sudah direalisasikan meskipun dalam bentuk yang sangat sederhana.  
Seiring dengan perkembangan zaman yang sangat pesat, dunia pesantren mulai membenahi diri dengan meningkatkan kwalitas manajemen dan administrasi  agar tidak ketinggalan dan terbelakang. Dalam tulisan ini akan dipaparkan pembahasan ringkas tentang manejemen, administrasi dalam tataran kepesantrenan, serta beberapa gaya kepemimpinan dalam pesantren.


B.     Manajemen dan Administrasi
a)      Pengertian Manajemen
Istilah manajemen, terjemahannya dalam bahasa Indonesia hingga saat ini belum ada keseragaman. Selanjutnya, bila kita mempelajari literature manajeme, maka akan ditemukan bahwa istilah Manajemen mengandung tiga pengertian yaitu:
 1.      Manajemen sebagai suatu proses.
2.      Manajemen sebagai kolektivitas orang-orang yang melakukan aktivitas Manajemen.
3.      Manajemen sebagai suatu seni (Art) dan sebagai suatu ilmu pengetahuan (Science).
Dalam Encylopedia of the Social Sience dikatakan bahwa Manajemen adalah suatu proses dengan mana pelaksanaan suatu tujuan tertentu diselenggarakan dan diawasi. Selanjutnya, dikatakan bahwa Manajemen adalah fungsi untuk mencapai sesuatu melalui kegiatan orang lain dan mengawasi usaha-usaha individu untuk mencapai tujuan yang sama.
Menurut pengertian yang kedua,Manajemen adalah kolektivitas orang-orang yang melakukan aktivitas Manajemen. Jadi dengan kata lain, segenap orang-orang yang melakukan aktivitas Manajemen dalam suatu badan tertentu disebut Manajemen.
Menurut pengertian yang ketiga, Manajemen adalah seni (Art) atau suatu ilmu pengetahuan. Mengenai inipun sesungguhnya belum ada keseragaman pendapat, segolongan mengatakan bahwa Manajemen adalah seni dan segolongan yang lain mengatakan bahwa Manajemen adalah ilmu. Menurut G.R. Terry Manajemen adalah suatu proses atau kerangka kerja, yang melibatkan bimbingan atau pengarahan suatu kelompok orang-orang ke arah tujuan-tujuan organisasional atau maksud-maksud yang nyata.
 b)      Pengertian Administrasi
Administrasi berasal dari bahasa Latin : Ad = intensif dan ministrare = melayani, membantu, memenuhi. Administrasi merujuk pada kegiatan atau usaha untuk membantu, melayani, mengarahkan, atau mengatur semua kegiatan di dalam mencapai suatu tujuan.
Pengertian Administrasi dalam bahasa Indonesia ada 2 (dua) :
1.         Administrasi berasal dari bahasa Belanda, “Administratie
yang merupakan pengertian Administrasi dalam arti sempit, yaitu sebagai kegiatan tata usaha kantor (catat-mencatat, mengetik, menggandakan, dan sebagainya). Kegiatan ini dalam bahasa Inggris disebut : Clerical works (FX.Soedjadi, 1989).
2.   Administrasi dalam arti luas, berasal dari bahasa InggrisAdministration” yaitu proses kerjasama antara dua orang atau lebih berdasarkan rasionalitas tertentu untuk mencapai tujuan bersama yang telah ditentukan. (S.P. Siagian, 1973).
Berdasarkan hal tersebut diatas, Administrasi ialah proses penyelenggaraan kerja yang dilakukan bersama-sama untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan.Administrasi  baik dalam pengertian luas maupun sempit di dalam penyelenggaraannya diwujudkan melalui fungsi-fungsi manajemen, yang terdiri dari perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan. Jadi Administrasi adalah penyelenggaraannya, dan manajemen adalah orang-orang yang menyelenggarakan kerja. Maka kombinasi dari keduanya adalah penyelenggaraan kerja yang dilakukan oleh orang-orang secara bersama-sama (kerjasama) untuk mencapai tujuan yang  telah ditetapkan.
Supaya terjadi kerjasama untuk mencapai tujuan, diperlukan proses penggerakan. Proses penggerakan dalam Administrasi disebut manajemen. Dengan demikian  Administrasi mencapai tujuan melalui manajemen. Kemudian, agar kegiatan kerjasama tersebut berhasil dengan baik dan mencapai tujuan maka dibutuhkan sebuah wadah, kerangka, atau struktur. Wadah, kerangka, atau struktur dimana kerjasama dilakukan disebut Organisasi.
C.    Gaya Kepemimpinan Kiai
a)      Konsep kepemimpinan
Peran kiai sangat menetukan dalam perjalanan pesantren dari waktu ke waktu. Oleh karena itu faktor kepemimpinan merupakan esensi penting yang terdapat pada pribadi kiai. Untuk mengkaji kepemimpinan kiai, di bawah ini akan dijelaskan konsep tentang kepemimpinan.
            Kepemimpinan (leadership) adalah kemampuan seseorang (yaitu pemimpin atau leader) untuk mempengaruhi orang lain (yaitu yang dipimpin atau pengikut-pengikutnya), sehingga orang lain tersebut bertingkah-laku sebagaimana dikehendaki oleh pemimpin tersebut.[1]
Koentjaraningrat membedakan antara kepemimpinan sebagai kedudukan dan kepemimpinan sebagai suatu proses sosial. Sebagai kedudukan, kepemimpinan merupakan suatu kompleks dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang dapat dimiliki oleh seseorang atau suatu badan. Sebagai suatu proses sosial, kepemimpinan meliputi segala tindakan yang dilakukan seseorang atau suatu badan yang menyebabkan gerak dari masyarakat.[2]
Kepemimpinan menurut agama (Islam) memiliki ragam istilah. Ada yang menyebutkan Imamah, dan ada Khilafah. Masing-masing kelompok Islam memiliki pendefinisian berbeda satu sama lain. Menurut Kaum Sunni, Imamah disebut juga Khilafah. Sebab orang yang menjadi Khilafah adalah penguasa tertinggi bagi umat Islam yang menggantikan Rasul SAW. Khilafah juga disebut sebagai Imam (pemimpin) yang wajib ditaati.
Menurut Kaum Syiah, Khilafah hanya melingkupi ranah jabatan politik, sedangkan Imamah melingkupi seluruh ranah kehidupan manusia baik itu agama dan politik. Kaum Syiah meyakini bahwa Imam mengandung makna lebih sakral daripada khilafah dan hanya Ali bin Abi Thalib yang disebut sebagai Imam sekaligus Khilafah. Sedangkan kalangan Islam Sekuler mempunyai pemikiran tentang konsep kepemimpinan yang lebih cenderung ke model barat. Akan tetapi ketiga kelompok Islam ini memiliki kesepahaman, bahwa suatu masyarakat harus memiliki seorang pemimpin.
Keberadaan seorang kiai sebagai pimpinan pesantren, ditinjau dari tugas dan fungsinya mengandung fenomena yang unik. Dikatakan unik, karena kiai sebagai seorang pemimpin di lembaga pendidikan Islam bertugas tidak hanya menyusun program atau kurikulum, membuat peraturan, merancang sistem evaluasi, tetapi juga bertugas sebagai pembina dan pendidik umat serta pemimpin umat (masyarakat).
b)      Jenis Pemimpin dan Profil kepemimpinan Kiyai
            Ada tiga jenis pemimpin, yaitu tradisional, kharismatik, dan formal (rasional).[3] Pemimpin tradisional berakar pada struktur sosial yang tersusun berdasarkan kelahiran, kekayaan, dan status. Pemimpin kharismatik berakar dari kharisma pribadi yang dimiliki. Pemimpin formal menitikberatkan pada sistem hukum yang berlaku dalam masyarakat.    
Sebagai akibat dinamika atau tuntutan masyarakat, pesantren melakukan berbagai upaya atau langkah-langkah yang menyebabkan perubahan atau pergeseran pola kepemimpinan yang dilakukan oleh kiai. Oleh sebab itu, pola kepemimpinan dalam mengelola dan mengembangkan pesantren tidak sama antara pesantren satu dan yang lain. Em Nadjib Hassan, dkk dalam penelitiannya menggambarkan bahwa pola atau profil kepemimpinan kiai di pesantren memiliki keunikan yang cukup bervariasi. Profil kepemimpinan kiai dalam mengelola pesantren (secara khusus di Kudus) memiliki kecenderungan sebagai berikut[4]:
1.      Kiai dengan profil kepemimpinan masyarakat (community leader) yaitu seorang kiai yang dikenal kebesarannya, baik kebesaran pribadinya maupun pesantrennya, karena sang kiai memiliki posisi atau jabatan dalam organisasi sosial keagamaan, politik atau memiliki jabatan dalam kekuasaan tertentu.
2.      Kiai berprofil kepemimpinan keilmuan (intellectual leader), yaitu  seorang kiai yang memiliki kebesaran pribadi dan pesantrennya karena sang kiai dianggap memiliki keahlian ilmu secara mendalam yang dijadikan rujukan atau panutan masyarakat dalam menyelesaikan persoalan. Bidang ilmu itu misalnya ilmu fikih, ilmu hadist dan lain-lain.
3.      Kiai berprofil kepemimpinan rohani (spiritual leader), yaitu kiai yang kebesaran pribadi dan pesantrennya, karena sang kiai itu memiliki kemampuan dalam urusan peribadatan (imam masjid), menjadi mursyid (guru) thariqah, dan menjadi panutan moral keagamaan.
4.      Kiai dengan profil kepemimpinan administratif (administrative leader), yaitu kiai yang hanya berperan sebagai penanggung jawab, sedangkan pembinaan proses pembelajaran pesantren diserahkan kepada seseorang yang dianggap memiliki kualifikasi sesuai dengan visi dan misi pesantrennya.
5.      Kiai dengan profil kepemimpinan emosional (emotional leader), yaitu kebesaran kepemimpinan kiai yang lebih didasarkan pada ikatan nilai-nilai kebesaran seorang kiai tertentu, contoh: KH. Turaichan Adjhuri merupakan salah satu kiai besar di Kudus dan memiliki karakteristik sebagai pengasuh pesantren. Akan tetapi kebesarannya lebih dikenal sebagai ahli ilmu falak terkemuka, baik di tingkat lokal maupun nasional.
6.      Kiai yang berprofil kepemimpinan ekonomi (economic leader), yaitu kiai yang mengelola pesantren dengan cara melaksanakan program pemberdayaan potensi ekonomi masyarakat dan para santrinya.
7.      Kiai dengan profil kepemimpinan eksoteris (exoteris leader), yaitu kiai yang mengelola pesantren dengan cara menonjolkan aspek formal yang dimiliki pesantren.
Kiai memiliki peranan penting dalam perkembangan pesantren. Peranan (role) adalah tingkah laku individu yang mementaskan suatu kedudukan tertentu dalam hubungannya dengan individu-individu dalam kedudukan lain. Peranan merupakan aspek dinamis dari kedudukan (status). [5]
Peranan kiai diartikan sebagai peranan yang dimiliki oleh kiai atas pesantrennya. Kecuali sebagai pemilik, kiai juga sebagai pemimpin dan penentu dalam pesantren. Ada beberapa persyaratan yang menjadikan seorang kiai memiliki pengaruh. Kemudian dengan pengaruh dan kekuasannya, kiai dapat menentukan setiap langkah dan kebijaksana.
c)      Dinamika kepemimpinan Kiyai di Pesantren
Kata "dinamika" menunjuk pada keadaan yang berubah-ubah yang menggambarkan fluaktuasi atau pasang surut, sekaligus melukiskan aktivitas dan sistem sosial yang tidak statis yang bergerak menuju perubahan (Hollander, 1978: 151). Dinamika tersebut menunjuk pada perubahan yang terjadi karena desakan kebutuhan internal dan eksternal. Dinamika kelompok misalnya sebagaimana dinyatakan oleh Salamet Santosa (2004: 5) bahwa dinamika dipahami sebagai tingkah laku warga yang satu secara langsung mempengaruhi warga yang lainnya secara timbal balik, dia mengartikanya sebagai adanya interaksi dan interdepensi antara anggota kelompok yang satu dengan anggota kelompok yang lain secara timbal balik dan antara anggota kelompok secara keseluruhan. Keadaan ini terjadi karena selama ada kelompok, semangat kelompok (gruop spirit) terus-menerus berada dalam kelompok itu. Oleh karena itu kelompok tersebut bersifat dinamis, artinya setiap saat kelompok yang bersangkutan dapat berubah. Hellriegel (1989: 356-357) menyebut dinamika sebagai pemberian pengaruh terhadap desain organisasi dan karakteristik lingkungan.  Allah menciptakan manusia dan menetukan kodratnya harus hidup berkelompok agar dapat saling mengenal kekurangan dan kelebihan satu sama lainnya untuk membangun dan meramaikan dunia ini, sebagaimana dinyatakan dalam (Q.S. 49:13) yang artinya:
" Wahai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu sekalian dari laki-laki dan perempuan dan Kami menjadikan kamu selakian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling kenal-mengenal (kekurangan dan kelebihan satu sama lainnya). Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal".
Dengan mengenal kekurangan dan kelebihan yang ada pada diri sendiri dan orang lain terjadilah interaksi sosial di kalangan manusia untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan kelompoknya. Seorang pakar psikologi terkemuka dan terkenal dengan teori kebutuhan dasar manusia, mengemukakan bahwa manusia mempunyai lima kebutuhan dasar, yaitu:
a.       Kebutuhan-kebutuhan fisiologis (fa'ali). Kebutuhan fisiologis (physiological needs), adalah kebutuhan yang berkaitan langsung dengan kelangsungan hidup manusia, sehingga pemuasannya tidak dapat ditunda. Kebutuhan dasar biologis ini antara lain adalah meliputi kebutuhan makan, minum, oksigen, istirahat, aktif, keseimbangan termperetur seks dan stimulasi sensorik. dari sini maka Maslow berkesimpulan bahwa memahami kebutuhan fisiologis manusia, utamanya kebutuhan makanan, merupakan aspek penting dalam memahami manusia secara keseluruhan.
b.   Kebutuhan akan rasa aman dan keselamatan. (need for self-security), merupakan kebutuhan dasar kedua yang mendominasi dan memerlukan pemuasan setelah kebutuhan fisiologis terpenuhi. Adapun hal-hal yang masuk dalam kategori kebutuhan akan keamanan antara lain adalah: keamanan, kemantapan, ketergantungan, perlindungan, bebas dari rasa takut, cemas dan ketakutan, kebutuhan akan struktur, ketertiban, hokum, batas-batas, kekuatan pada diri pelindung dan lain-lain. Karena kebutuhan akan keamanan dapat meliputi segala organisme dalam pemenuhannya. Segala sesuatu yang menerima dan menimbulkan efek, serta kapasitas-kapasitas tertentu merupakan alat pemenuhan kebutuhan keamanan.
c.          Kebutuhan akan rasa cinta dan memiliki (need for love and belongingness), merupakan sebuah dorongan dimana seorang individu berkeinginan untuk menjalin hubungan relasional secara efektif atau hubungan emosional dengan individu lain, baik yang ada dalam lingkungan keluarga maupun di luar keluarga. Konsepsi Maslow tentang rasa cinta dan memiliki ini sangat berbeda dengan konsepsi psikoanalisis yang menyatakan bahwa akar perasaan cinta dan memiliki adalah seksualitas. Bagi maslow, perasaan cinta dan memilikinya tidak hanya didorong oleh kebutuhan seksualitas. Namun lebih banyak didorong oleh kebutuhan akan kasih sayang. Semakna dengan definisi cinta yang dikemukakan oleh Karl Roger, bahwa cinta adalah, "keadaan dimengerti secara mendalam dan menerima sepenuh hati". Kebutuhan akan rasa cinta sangat vital bagi pertumbuhan dan perkembangan kemampuan seseorang. Jika kebutuhan tersebut tidak terpenuhi atau terhambat maka akan dapat menimbulkan salah penyesuaian. Haus cinta adalah bagian dari penyakit karena kekurangan, 4. Kebutuhan akan harga diri (need for self-esteem) berasal dari dua hal; Pertama, keinginan akan kekuatan, prestasi, kecukupan, keunggulan, kemampuan, dan kepercayaan diri; Kedua, nama baik, gengsi, prestise, status, kebenaran dan kemuliaan, dominasi, pengakuan, perhatian, arti penting, martabat, atau apriasi. Katagori pertama berasal dari diri sendiri, dan yang kedua berasal dari orang lain. Seseorang yang memiliki harga diri cukup akan memiliki kepercayaan diri yang lebih tinggi serta lebih produktif. Sementara orang yang kurang memiliki harga diri akan diliputi rasa rendah diri dan rasa tidak berdaya, yang berakibat pada keputusasaan dan perilaku neurotick.
d.         Kebutuhan akan aktualisasi diri. Dorongan untuk aktualisasi diri tidak sama dengan dorongan untuk menonjolkan diri, atau keinginan untuk mendapatkan prestasi atau gengsi, karena jika demikian, sebenarnya dia belum mencapai tingkat aktualisasi diri. Ia masih dipengaruhi oleh sesuatu atau tendensi tertentu. Aktualisasi diri dilakukan tanpa tendensi apa pun. Ia hanya ingin menjadi dirinya, bukan yang lain. Meskipun hal ini bisa diawali atau didasari pemenuhan kebutuhan pada tingkat dibawahnya. Diakui oleh Maslow, bahwa untuk mencapai tingkat aktualisasi diri, seseorang akan dihadapkan pada banyak hambatan, baik internal maupun eksternal. Hambatan internal, yakni yang berasal dari dirinya sendiri., antara lain berupa ketidaktahuan akan potensi diri sendiri, keraguan dan juga perasaan takut untuk mengungkapkan potensi yang dimiliki, sehingga potensi tersebut seterusnya terpendam (Hasyim Muhammad, 2002: 70-80).
Sebagai individu yang merupakan bagian dari kelompok dan sebagai pimpinan pesantren, para kyai agaknya sulit menghindar dari lima kebutuhan tersebut di atas, maka dapat diyakini bahwa interaksi sosialnya di tengah masyarakat akan mendorong terjadinya perubahan pada pemikiran dan tindakannya sehingga memberikan warna dan perubahan pada organisasi yang dipimpinnya.
Dalam proses interaksi sosial ada beberapa faktor yang ikut mempengaruhi dan menentukan berhasil atau tidaknya interaksi tersebut. Faktor-faktor yang dimaksud adalah:
1)      The nature of the social situation. Situasi sosial itu bagaimanapun memberi bentuk tingkah laku terhadap individu yang berada dalam situasi tersebut.
2)      The norms prevailing in any given social group. Kekuasaan norma-norma kelompok sangat berpengaruh terhadap terjadinya interaksi sosial antar individu.
3)      Their own personality trends. Masing-masing individu memiliki tujuan kepribadian sehingga berpengaruh terhadap tingkahlakunya.
4)      A person's transitory tendencies. Setiap individu berinteraksi sesuai dengan kedudukan dan kondisinya yang bersifat sementara.
5)      The process of perceiving and interpreting a situation. Setiap situasi mengandung arti bagi setiap individu sehingga hal ini mempengaruhi individu untuk melihat dan menafsirkan situasi tersebut. (Slamet Santosa, 2004: 12).
Dari uraian di atas dapat diambil suatu makna bahwa Dinamika Kepemimpinan Kyai di Pesantren, adalah gerak perjuangan yang mendorong terjadinya perubahan sikap perilaku yang dilakukan secara sengaja, terencana oleh kyai yang kemudian memberikan warna dan perubahan pada pesantren. Dinamika tersebut muncul karena desakan kebutuhan internal dan eksternal pesantren sebagai lembaga pendidikan sekaligus lembaga sosial keagamaan dan merupakan dampak dari interaksi kyai sebagai top leader pesantren.


D.    Teknik Pengambilan Keputusan
Dalam dataran teoritis, kita mengenal empat metode pengambilan keputusan, yaitu kewenangan tanpa diskusi (authority rule without discussion), pendapat ahli (expert opinion), kewenangan setelah diskusi (authority rule after discussion), dan kesepakatan (consensus).
a.      Kewenangan Tanpa Diskusi
Metode pengambilan keputusan ini seringkali digunakan oleh para pemimpin otokratik atau dalam kepemimpinan militer. Metode ini memiliki beberapa keuntungan, yaitu cepat, dalam arti ketika organisasi tidak mempunyai waktu yang cukup untuk memutuskan apa yang harus dilakukan. Selain itu, metode ini cukup sempurna dapat diterima kalau pengambilan keputusan yang dilaksanakan berkaitan dengan persoalan-persoalan rutin yang tidak mempersyaratkan diskusi untuk mendapatkan persetujuan para anggotanya.
Namun demikian, jika metode pengambilan keputusan ini terlalu sering digunakan, ia akan menimbulkan persoalan-persoalan, seperti munculnya ketidak percayaan para anggota organisasi terhadap keputusan yang ditentukan pimpinannya, karena mereka kurang bahkan tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Pengambilan keputusan akan memiliki kualitas yang lebih bermakna, apabila dibuat secara bersama-sama dengan melibatkan seluruh anggota kelompok,daripada keputusan yang diambil secara individual.
b.      Pendapat Ahli
Kadang-kadang seorang anggota organisasi oleh anggota lainnya diberi predikat sebagai ahli (expert), sehingga memungkinkannya memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk membuat keputusan. Metode pengambilan keputusan ini akan bekerja dengan baik, apabila seorang anggota organisasi yang dianggap ahli tersebut memang benar-benar tidak diragukan lagi kemampuannya dalam hal tertentu oleh anggota lainnya.
Dalam banyak kasus, persoalan orang yang dianggap ahli tersebut bukanlah masalah yang sederhana, karenasangat sulit menentukan indikator yang dapat mengukur orang yang dianggap ahli (superior). Ada yang berpendapat bahwa orang yang ahli adalah orang yang memiliki kualitas terbaik; untuk membuat keputusan, namun sebaliknya tidak sedikit pula orang yang tidak setuju dengan ukuran tersebut. Karenanya, menentukan apakah seseorang dalam kelompok benar-benar ahli adalah persoalan yang rumit.
c.       Kewenangan Setelah Diskusi
Sifat otokratik dalam pengambilan keputusan ini lebih sedikit apabila dibandingkan dengan metode yang pertama. Karena metode authority rule after discussion ini pertimbangkan pendapat atau opini lebih dari satu anggota organisasi dalam proses pengambilan keputusan. Dengan demikian, keputusan yang diambil melalui metode ini akan mengingkatkan kualitas dan tanggung jawab para anggotanya disamping juga munculnya aspek kecepatan (quickness) dalam pengambilan keputusan sebagai hasil dari usaha menghindari proses diskusi yang terlalu meluas. Dengan perkataan lain, pendapat anggota organisasi sangat diperhatikan dalam proses pembuatan keputusan, namun perilaku otokratik dari pimpinan, kelompok masih berpengaruh.
Metode pengambilan keputusan ini juga mempunyai kelemahan, yaitu pada anggota organisasi akan bersaing untuk mempengaruhi pengambil atau pembuat keputusan. Artinya bagaimana para anggota organisasi yang mengemukakan pendapatnya dalam proses pengambilan keputusan, berusaha mempengaruhi pimpinan kelompok bahwa pendapatnya yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan.
d.       Kesepakatan
Kesepakatan atau konsensusakan terjadi kalau semua anggota dari suatu organisasi mendukung keputusan yang diambil. Metode pengambilan keputusan ini memiliki keuntungan, yakni partisipasi penuh dari seluruh anggota organisasi akan dapat meningkatkan kualitas keputusan yang diambil, sebaik seperti tanggung jawab para anggota dalam mendukung keputusan tersebut. Selain itu metode konsensus sangat penting khususnya yang berhubungan dengan persoalan-persoalan yang kritis dan kompleks.
Namun demikian, metode pengambilan keputusan yang dilakukan melalui kesepakatn ini, tidak lepas juga dari kekurangan-kekurangan. Yang paling menonjol adalah dibutuhkannya waktu yang relatif lebih banyak dan lebih lama, sehingga metode ini tidak cocok untuk digunakan dalam keadaan mendesak atau darurat.
Keempat metode pengambilan keputusan di atas, menurut Adler dan Rodman, tidak ada yang terbaik dalam arti tidak ada ukuran-ukuran yang menjelaskan bahwa satu metode lebih unggul dibandingkan metode pengambilan keputusan lainnya. Metode yang paling efektif yang dapat digunakan dalam situasi tertentu, bergantung pada faktor-faktor:
  • jumlah waktu yang ada dan dapat dimanfaatkan,
  • tingkat pentingnya keputusan yang akan diambil oleh kelompok, dan
  • kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh pemimpin kelompok dalam mengelola kegiatan pengambilan keputusan tersebut.

Daftar Pustaka
-          Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003)
-          Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial (Jakarta: Dian Rakyat, 1967)
-          Sartono Kartodirdjo, Kepemimpinan dalam Sejarah Indonesia (Yogyakarta: Balai Pendidikan dan Administrasi UGM, 1976)
-          Em Nadjib Hassan, et al., Profil Pesantren Kudus (Kudus: Cermin, 2005).
-          A. HAEDAR RUSLAN, Dinamika Kepemimpinan Kyai di Pesantren (Pondok Pesantren Darul Ma'arif Bandung)
-          http://wawan-junaidi.blogspot.com/2009/10/administrasi dan manajemen. html







[1]Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 288.

[2]Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial (Jakarta: Dian Rakyat, 1967), hlm. 181.

[3]Sartono Kartodirdjo, Kepemimpinan dalam Sejarah Indonesia (Yogyakarta: Balai Pendidikan dan Administrasi UGM, 1976), hlm. 6-39.
[4]Em Nadjib Hassan, et al., Profil Pesantren Kudus (Kudus: Cermin, 2005), hlm. 68-70.
[5] Soekanto, op. cit., hlm. 243.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar