A. Pendahuluan
Dunia Pesantren telah ada sejak ratusan tahun lalu, dan selama itu telah terbukti berhasil membentuk pribadi-pribadi manusia yang berahlakul karimah, baik, bermanfaat bagi masyarakat sekelilingnya, mandiri dan tidak mudah goyah dalam mengarungi kehidupan. Hal demikian tak akan tercapai kecuali dengan melaksanakan system manajemen dan administrasi yang baik. Dahulu orang belum mengenal istilah-istilah ilmu manajemen dan administrasi secara teoritis namun dalam tataran praktek sudah direalisasikan meskipun dalam bentuk yang sangat sederhana.
Dunia Pesantren telah ada sejak ratusan tahun lalu, dan selama itu telah terbukti berhasil membentuk pribadi-pribadi manusia yang berahlakul karimah, baik, bermanfaat bagi masyarakat sekelilingnya, mandiri dan tidak mudah goyah dalam mengarungi kehidupan. Hal demikian tak akan tercapai kecuali dengan melaksanakan system manajemen dan administrasi yang baik. Dahulu orang belum mengenal istilah-istilah ilmu manajemen dan administrasi secara teoritis namun dalam tataran praktek sudah direalisasikan meskipun dalam bentuk yang sangat sederhana.
Seiring dengan perkembangan zaman yang sangat
pesat, dunia pesantren mulai
membenahi diri dengan meningkatkan kwalitas manajemen dan administrasi agar tidak ketinggalan dan terbelakang. Dalam
tulisan ini akan dipaparkan pembahasan ringkas tentang manejemen, administrasi
dalam tataran kepesantrenan, serta beberapa gaya kepemimpinan dalam pesantren.
B.
Manajemen dan Administrasi
a)
Pengertian Manajemen
Istilah manajemen, terjemahannya dalam bahasa
Indonesia hingga saat ini belum ada keseragaman. Selanjutnya, bila kita
mempelajari literature manajeme, maka akan ditemukan bahwa istilah Manajemen mengandung
tiga pengertian yaitu:
2.
Manajemen sebagai kolektivitas orang-orang yang
melakukan aktivitas Manajemen.
3.
Manajemen sebagai suatu seni (Art) dan sebagai
suatu ilmu pengetahuan (Science).
Dalam Encylopedia of the Social Sience
dikatakan bahwa Manajemen adalah suatu proses dengan mana pelaksanaan suatu tujuan
tertentu diselenggarakan dan diawasi. Selanjutnya, dikatakan bahwa Manajemen
adalah fungsi untuk mencapai sesuatu melalui kegiatan orang lain dan mengawasi
usaha-usaha individu untuk mencapai tujuan yang sama.
Menurut pengertian yang kedua,Manajemen adalah
kolektivitas orang-orang yang melakukan aktivitas Manajemen. Jadi dengan kata
lain, segenap orang-orang yang melakukan aktivitas Manajemen dalam suatu badan
tertentu disebut Manajemen.
Menurut pengertian yang ketiga, Manajemen
adalah seni (Art) atau suatu ilmu pengetahuan. Mengenai inipun sesungguhnya
belum ada keseragaman pendapat, segolongan mengatakan bahwa Manajemen adalah
seni dan segolongan yang lain mengatakan bahwa Manajemen adalah ilmu. Menurut
G.R. Terry Manajemen adalah suatu proses atau kerangka kerja, yang melibatkan
bimbingan atau pengarahan suatu kelompok orang-orang ke arah tujuan-tujuan
organisasional atau maksud-maksud yang nyata.
Administrasi berasal dari bahasa Latin : Ad = intensif dan ministrare =
melayani, membantu, memenuhi. Administrasi merujuk pada kegiatan atau usaha
untuk membantu, melayani, mengarahkan, atau mengatur semua kegiatan di dalam
mencapai suatu tujuan.
Pengertian Administrasi dalam bahasa Indonesia ada 2 (dua) :
1.
Administrasi berasal dari bahasa Belanda, “Administratie”
yang
merupakan pengertian Administrasi dalam arti sempit, yaitu sebagai kegiatan
tata usaha kantor (catat-mencatat, mengetik, menggandakan, dan sebagainya).
Kegiatan ini dalam bahasa Inggris disebut : Clerical works (FX.Soedjadi, 1989).
2.
Administrasi dalam arti luas, berasal dari bahasa Inggris “Administration” yaitu proses kerjasama
antara dua orang atau lebih berdasarkan rasionalitas tertentu untuk mencapai
tujuan bersama yang telah ditentukan. (S.P.
Siagian, 1973).
Berdasarkan hal tersebut diatas, Administrasi ialah
proses penyelenggaraan kerja yang dilakukan bersama-sama untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan.Administrasi baik dalam pengertian luas maupun sempit di
dalam penyelenggaraannya diwujudkan melalui fungsi-fungsi manajemen, yang terdiri dari perencanaan,
pengorganisasian, pelaksanaan, dan pengawasan. Jadi Administrasi adalah
penyelenggaraannya, dan manajemen adalah orang-orang yang menyelenggarakan
kerja. Maka kombinasi dari keduanya adalah penyelenggaraan kerja yang
dilakukan oleh orang-orang secara bersama-sama (kerjasama) untuk mencapai
tujuan yang telah ditetapkan.
Supaya terjadi kerjasama untuk mencapai tujuan,
diperlukan proses penggerakan. Proses penggerakan dalam Administrasi disebut
manajemen. Dengan demikian Administrasi mencapai
tujuan melalui manajemen. Kemudian, agar kegiatan kerjasama tersebut berhasil
dengan baik dan mencapai tujuan maka dibutuhkan sebuah wadah, kerangka, atau
struktur. Wadah, kerangka, atau struktur dimana kerjasama dilakukan disebut
Organisasi.
C.
Gaya Kepemimpinan Kiai
a)
Konsep kepemimpinan
Peran kiai sangat menetukan dalam perjalanan pesantren
dari waktu ke waktu. Oleh karena itu faktor kepemimpinan merupakan esensi
penting yang terdapat pada pribadi kiai. Untuk mengkaji kepemimpinan kiai, di
bawah ini akan dijelaskan konsep tentang kepemimpinan.
Kepemimpinan (leadership) adalah kemampuan
seseorang (yaitu pemimpin atau leader) untuk mempengaruhi orang lain
(yaitu yang dipimpin atau pengikut-pengikutnya), sehingga orang lain tersebut bertingkah-laku
sebagaimana dikehendaki oleh pemimpin tersebut.[1]
Koentjaraningrat membedakan antara kepemimpinan sebagai
kedudukan dan kepemimpinan sebagai suatu proses sosial. Sebagai kedudukan,
kepemimpinan merupakan suatu kompleks dari hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang
dapat dimiliki oleh seseorang atau suatu badan. Sebagai suatu proses sosial,
kepemimpinan meliputi segala tindakan yang dilakukan seseorang atau suatu badan
yang menyebabkan gerak dari masyarakat.[2]
Kepemimpinan menurut agama (Islam) memiliki ragam
istilah. Ada yang menyebutkan Imamah,
dan ada Khilafah. Masing-masing
kelompok Islam memiliki pendefinisian berbeda satu sama lain. Menurut Kaum Sunni, Imamah disebut juga
Khilafah. Sebab orang yang menjadi Khilafah adalah penguasa tertinggi bagi umat
Islam yang menggantikan Rasul SAW. Khilafah juga disebut sebagai Imam
(pemimpin) yang wajib ditaati.
Menurut Kaum Syiah,
Khilafah hanya melingkupi ranah jabatan politik, sedangkan Imamah melingkupi
seluruh ranah kehidupan manusia baik itu agama dan politik. Kaum Syiah meyakini
bahwa Imam mengandung makna lebih sakral daripada khilafah dan hanya Ali bin
Abi Thalib yang disebut sebagai Imam sekaligus Khilafah. Sedangkan kalangan
Islam Sekuler mempunyai pemikiran tentang konsep kepemimpinan yang lebih
cenderung ke model barat. Akan tetapi ketiga kelompok Islam ini memiliki
kesepahaman, bahwa suatu masyarakat harus memiliki seorang pemimpin.
Keberadaan seorang kiai sebagai pimpinan pesantren,
ditinjau dari tugas dan fungsinya mengandung fenomena yang unik. Dikatakan
unik, karena kiai sebagai seorang pemimpin di lembaga pendidikan Islam bertugas
tidak hanya menyusun program atau kurikulum, membuat peraturan, merancang
sistem evaluasi, tetapi juga bertugas sebagai pembina dan pendidik umat serta
pemimpin umat (masyarakat).
b)
Jenis Pemimpin dan Profil kepemimpinan Kiyai
Ada tiga jenis pemimpin, yaitu tradisional, kharismatik,
dan formal (rasional).[3]
Pemimpin tradisional berakar pada struktur sosial yang tersusun berdasarkan
kelahiran, kekayaan, dan status. Pemimpin kharismatik berakar dari kharisma
pribadi yang dimiliki. Pemimpin formal menitikberatkan pada sistem hukum yang
berlaku dalam masyarakat.
Sebagai akibat dinamika
atau tuntutan masyarakat, pesantren melakukan berbagai upaya atau
langkah-langkah yang menyebabkan perubahan atau pergeseran pola kepemimpinan yang
dilakukan oleh kiai. Oleh sebab itu, pola kepemimpinan dalam mengelola dan
mengembangkan pesantren tidak sama antara pesantren satu dan yang lain. Em
Nadjib Hassan, dkk dalam penelitiannya menggambarkan bahwa pola atau profil
kepemimpinan kiai di pesantren memiliki keunikan yang cukup bervariasi. Profil
kepemimpinan kiai dalam mengelola pesantren (secara khusus di Kudus) memiliki kecenderungan
sebagai berikut[4]:
1.
Kiai dengan profil kepemimpinan masyarakat (community
leader) yaitu seorang kiai yang dikenal kebesarannya, baik kebesaran
pribadinya maupun pesantrennya, karena sang kiai memiliki posisi atau jabatan
dalam organisasi sosial keagamaan, politik atau memiliki jabatan dalam
kekuasaan tertentu.
2.
Kiai berprofil kepemimpinan keilmuan (intellectual
leader), yaitu seorang kiai yang
memiliki kebesaran pribadi dan pesantrennya karena sang kiai dianggap memiliki
keahlian ilmu secara mendalam yang dijadikan rujukan atau panutan masyarakat
dalam menyelesaikan persoalan. Bidang ilmu itu misalnya ilmu fikih, ilmu hadist
dan lain-lain.
3.
Kiai berprofil kepemimpinan rohani (spiritual leader),
yaitu kiai yang kebesaran pribadi dan pesantrennya, karena sang kiai itu
memiliki kemampuan dalam urusan peribadatan (imam masjid), menjadi mursyid
(guru) thariqah, dan
menjadi panutan moral keagamaan.
4.
Kiai dengan profil kepemimpinan administratif (administrative
leader), yaitu kiai yang hanya berperan sebagai penanggung jawab, sedangkan
pembinaan proses pembelajaran pesantren diserahkan kepada seseorang yang
dianggap memiliki kualifikasi sesuai dengan visi dan misi pesantrennya.
5.
Kiai dengan profil kepemimpinan emosional (emotional
leader), yaitu kebesaran kepemimpinan kiai yang lebih didasarkan pada
ikatan nilai-nilai kebesaran seorang kiai tertentu, contoh: KH. Turaichan
Adjhuri merupakan salah satu kiai besar di Kudus dan memiliki karakteristik
sebagai pengasuh pesantren. Akan tetapi kebesarannya lebih dikenal sebagai ahli
ilmu falak terkemuka, baik di tingkat lokal maupun nasional.
6.
Kiai yang berprofil kepemimpinan ekonomi (economic
leader), yaitu kiai yang mengelola pesantren dengan cara melaksanakan
program pemberdayaan potensi ekonomi masyarakat dan para santrinya.
7.
Kiai dengan profil kepemimpinan eksoteris (exoteris
leader), yaitu kiai yang mengelola pesantren dengan cara menonjolkan aspek
formal yang dimiliki pesantren.
Kiai memiliki peranan penting dalam perkembangan
pesantren. Peranan (role) adalah
tingkah laku individu yang mementaskan suatu kedudukan tertentu dalam
hubungannya dengan individu-individu dalam kedudukan lain. Peranan merupakan
aspek dinamis dari kedudukan (status). [5]
Peranan kiai diartikan sebagai peranan yang dimiliki oleh
kiai atas pesantrennya. Kecuali sebagai pemilik, kiai juga sebagai pemimpin dan
penentu dalam pesantren. Ada beberapa persyaratan yang menjadikan seorang kiai
memiliki pengaruh. Kemudian dengan pengaruh dan kekuasannya, kiai dapat
menentukan setiap langkah dan kebijaksana.
c)
Dinamika kepemimpinan Kiyai di Pesantren
Kata "dinamika" menunjuk pada keadaan yang
berubah-ubah yang menggambarkan
fluaktuasi atau pasang surut, sekaligus melukiskan aktivitas dan sistem sosial
yang tidak statis yang bergerak menuju perubahan (Hollander, 1978: 151). Dinamika
tersebut menunjuk pada perubahan yang terjadi karena desakan kebutuhan internal
dan eksternal. Dinamika kelompok misalnya sebagaimana dinyatakan oleh Salamet
Santosa (2004: 5) bahwa dinamika dipahami sebagai tingkah laku warga yang satu
secara langsung mempengaruhi warga yang lainnya secara timbal balik, dia
mengartikanya sebagai adanya interaksi dan interdepensi antara anggota kelompok
yang satu dengan anggota kelompok yang lain secara timbal balik dan antara
anggota kelompok secara keseluruhan. Keadaan ini terjadi karena selama ada
kelompok, semangat kelompok (gruop spirit) terus-menerus berada dalam kelompok
itu. Oleh karena itu kelompok tersebut bersifat dinamis, artinya setiap saat
kelompok yang bersangkutan dapat berubah. Hellriegel (1989: 356-357) menyebut
dinamika sebagai pemberian pengaruh terhadap desain organisasi dan
karakteristik lingkungan. Allah menciptakan
manusia dan menetukan
kodratnya harus hidup berkelompok agar dapat saling mengenal kekurangan dan
kelebihan satu sama lainnya untuk membangun dan meramaikan dunia ini,
sebagaimana dinyatakan dalam (Q.S. 49:13) yang artinya:
" Wahai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu sekalian dari laki-laki dan perempuan dan Kami menjadikan kamu selakian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling kenal-mengenal (kekurangan dan kelebihan satu sama lainnya). Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal".
" Wahai manusia sesungguhnya Kami menciptakan kamu sekalian dari laki-laki dan perempuan dan Kami menjadikan kamu selakian bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling kenal-mengenal (kekurangan dan kelebihan satu sama lainnya). Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal".
Dengan mengenal kekurangan dan kelebihan yang ada pada
diri sendiri dan orang lain terjadilah interaksi sosial di kalangan manusia
untuk memenuhi kebutuhan dirinya dan kelompoknya. Seorang pakar psikologi
terkemuka dan terkenal dengan teori kebutuhan dasar manusia, mengemukakan bahwa
manusia mempunyai lima kebutuhan dasar, yaitu:
a.
Kebutuhan-kebutuhan fisiologis (fa'ali). Kebutuhan
fisiologis (physiological needs), adalah kebutuhan yang berkaitan langsung
dengan kelangsungan hidup manusia, sehingga pemuasannya tidak dapat ditunda.
Kebutuhan dasar biologis ini antara lain adalah meliputi kebutuhan makan,
minum, oksigen, istirahat, aktif, keseimbangan termperetur seks dan stimulasi
sensorik. dari sini maka Maslow berkesimpulan bahwa memahami kebutuhan
fisiologis manusia, utamanya kebutuhan makanan, merupakan aspek penting dalam
memahami manusia secara keseluruhan.
b.
Kebutuhan akan rasa aman dan keselamatan. (need
for self-security), merupakan kebutuhan dasar kedua yang mendominasi dan
memerlukan pemuasan setelah kebutuhan fisiologis terpenuhi. Adapun hal-hal yang
masuk dalam kategori kebutuhan akan keamanan antara lain adalah: keamanan,
kemantapan, ketergantungan, perlindungan, bebas dari rasa takut, cemas dan
ketakutan, kebutuhan akan struktur, ketertiban, hokum, batas-batas, kekuatan
pada diri pelindung dan lain-lain. Karena kebutuhan akan keamanan dapat
meliputi segala organisme dalam pemenuhannya. Segala sesuatu yang menerima dan
menimbulkan efek, serta kapasitas-kapasitas tertentu merupakan alat pemenuhan kebutuhan keamanan.
c.
Kebutuhan akan rasa cinta dan memiliki (need
for love and belongingness), merupakan sebuah dorongan dimana seorang individu
berkeinginan untuk menjalin hubungan relasional secara efektif atau hubungan
emosional dengan individu lain, baik yang ada dalam lingkungan keluarga maupun
di luar keluarga. Konsepsi Maslow tentang rasa cinta dan memiliki ini sangat berbeda
dengan konsepsi psikoanalisis yang menyatakan bahwa akar perasaan cinta dan
memiliki adalah seksualitas. Bagi maslow, perasaan cinta dan memilikinya tidak
hanya didorong oleh kebutuhan seksualitas. Namun lebih banyak didorong oleh
kebutuhan akan kasih sayang. Semakna dengan definisi cinta yang dikemukakan
oleh Karl Roger, bahwa cinta adalah, "keadaan dimengerti secara mendalam
dan menerima sepenuh hati". Kebutuhan akan rasa cinta sangat vital bagi
pertumbuhan dan perkembangan kemampuan seseorang. Jika kebutuhan tersebut tidak
terpenuhi atau terhambat maka akan dapat menimbulkan salah penyesuaian. Haus
cinta adalah bagian dari penyakit karena kekurangan, 4. Kebutuhan akan harga
diri (need for self-esteem) berasal dari dua hal; Pertama, keinginan akan kekuatan,
prestasi, kecukupan, keunggulan, kemampuan, dan kepercayaan diri; Kedua, nama
baik, gengsi, prestise, status, kebenaran dan kemuliaan, dominasi, pengakuan,
perhatian, arti penting, martabat, atau apriasi. Katagori pertama berasal dari
diri sendiri, dan yang kedua berasal dari orang lain. Seseorang yang memiliki
harga diri cukup akan memiliki kepercayaan diri yang lebih tinggi serta lebih
produktif. Sementara orang yang kurang memiliki harga diri akan diliputi rasa
rendah diri dan rasa tidak berdaya, yang berakibat pada keputusasaan dan
perilaku neurotick.
d.
Kebutuhan akan aktualisasi diri. Dorongan untuk
aktualisasi diri tidak sama dengan dorongan untuk menonjolkan diri, atau
keinginan untuk mendapatkan prestasi atau gengsi, karena jika demikian, sebenarnya
dia belum mencapai tingkat aktualisasi diri. Ia masih dipengaruhi oleh sesuatu atau tendensi
tertentu. Aktualisasi diri dilakukan tanpa tendensi apa pun. Ia hanya ingin
menjadi dirinya, bukan yang lain. Meskipun hal ini bisa diawali atau didasari pemenuhan
kebutuhan pada tingkat dibawahnya. Diakui oleh Maslow, bahwa untuk mencapai
tingkat aktualisasi diri, seseorang akan dihadapkan pada banyak hambatan, baik
internal maupun eksternal. Hambatan internal, yakni yang berasal dari dirinya
sendiri., antara lain berupa ketidaktahuan akan potensi diri sendiri, keraguan
dan juga perasaan takut untuk mengungkapkan potensi yang dimiliki, sehingga
potensi tersebut seterusnya terpendam (Hasyim Muhammad, 2002: 70-80).
Sebagai individu yang merupakan bagian dari kelompok dan sebagai pimpinan pesantren, para kyai agaknya sulit menghindar dari lima kebutuhan tersebut di atas, maka dapat diyakini bahwa interaksi sosialnya di tengah masyarakat akan mendorong terjadinya perubahan pada pemikiran dan tindakannya sehingga memberikan warna dan perubahan pada organisasi yang dipimpinnya.
Sebagai individu yang merupakan bagian dari kelompok dan sebagai pimpinan pesantren, para kyai agaknya sulit menghindar dari lima kebutuhan tersebut di atas, maka dapat diyakini bahwa interaksi sosialnya di tengah masyarakat akan mendorong terjadinya perubahan pada pemikiran dan tindakannya sehingga memberikan warna dan perubahan pada organisasi yang dipimpinnya.
Dalam
proses interaksi sosial ada beberapa faktor yang ikut mempengaruhi dan
menentukan berhasil atau tidaknya interaksi tersebut. Faktor-faktor yang
dimaksud adalah:
1)
The nature of the social situation. Situasi
sosial itu bagaimanapun memberi bentuk tingkah laku terhadap individu yang
berada dalam situasi tersebut.
2)
The norms prevailing in any given social group.
Kekuasaan norma-norma kelompok sangat berpengaruh terhadap terjadinya interaksi
sosial antar individu.
3)
Their own personality trends. Masing-masing
individu memiliki tujuan kepribadian sehingga berpengaruh terhadap tingkahlakunya.
4)
A person's transitory tendencies. Setiap
individu berinteraksi sesuai dengan kedudukan dan kondisinya yang bersifat
sementara.
5)
The process of perceiving and interpreting a
situation. Setiap situasi mengandung arti bagi setiap individu sehingga hal ini
mempengaruhi individu untuk melihat dan menafsirkan situasi tersebut. (Slamet
Santosa, 2004: 12).
Dari uraian di atas dapat diambil suatu makna bahwa
Dinamika Kepemimpinan Kyai di Pesantren, adalah gerak perjuangan yang mendorong
terjadinya perubahan sikap perilaku yang dilakukan secara sengaja, terencana
oleh kyai yang kemudian memberikan warna dan perubahan pada pesantren. Dinamika
tersebut muncul karena desakan kebutuhan internal dan eksternal pesantren
sebagai lembaga pendidikan sekaligus lembaga sosial keagamaan dan merupakan
dampak dari interaksi kyai sebagai top leader pesantren.
D. Teknik Pengambilan Keputusan
Dalam
dataran teoritis, kita mengenal empat metode pengambilan keputusan, yaitu
kewenangan tanpa diskusi (authority rule without discussion), pendapat ahli
(expert opinion), kewenangan setelah diskusi (authority rule after discussion),
dan kesepakatan (consensus).
a.
Kewenangan Tanpa Diskusi
Metode
pengambilan keputusan ini seringkali digunakan oleh para pemimpin otokratik
atau dalam kepemimpinan militer. Metode ini memiliki beberapa keuntungan, yaitu
cepat, dalam arti ketika organisasi tidak mempunyai waktu yang cukup untuk
memutuskan apa yang harus dilakukan. Selain itu, metode ini cukup sempurna
dapat diterima kalau pengambilan keputusan yang dilaksanakan berkaitan dengan
persoalan-persoalan rutin yang tidak mempersyaratkan diskusi untuk mendapatkan
persetujuan para anggotanya.
Namun
demikian, jika metode pengambilan keputusan ini terlalu sering digunakan, ia
akan menimbulkan persoalan-persoalan, seperti munculnya ketidak percayaan para
anggota organisasi terhadap keputusan yang ditentukan pimpinannya, karena
mereka kurang bahkan tidak dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan.
Pengambilan keputusan akan memiliki kualitas yang lebih bermakna, apabila
dibuat secara bersama-sama dengan melibatkan seluruh anggota kelompok,daripada
keputusan yang diambil secara individual.
b.
Pendapat Ahli
Kadang-kadang seorang
anggota organisasi oleh anggota lainnya diberi predikat sebagai ahli (expert),
sehingga memungkinkannya memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk membuat
keputusan. Metode
pengambilan keputusan ini akan bekerja dengan baik, apabila seorang anggota
organisasi yang dianggap ahli tersebut memang benar-benar tidak diragukan lagi
kemampuannya dalam hal tertentu oleh anggota lainnya.
Dalam
banyak kasus, persoalan orang yang dianggap ahli tersebut bukanlah masalah yang
sederhana, karenasangat sulit menentukan indikator yang dapat mengukur orang
yang dianggap ahli (superior). Ada yang berpendapat bahwa orang yang ahli
adalah orang yang memiliki kualitas terbaik; untuk membuat keputusan, namun
sebaliknya tidak sedikit pula orang yang tidak setuju dengan ukuran tersebut.
Karenanya, menentukan apakah seseorang dalam kelompok benar-benar ahli adalah
persoalan yang rumit.
c.
Kewenangan Setelah Diskusi
Sifat
otokratik dalam pengambilan keputusan ini lebih sedikit apabila dibandingkan
dengan metode yang pertama. Karena metode authority rule after discussion ini
pertimbangkan pendapat atau opini lebih dari satu anggota organisasi dalam
proses pengambilan keputusan. Dengan demikian, keputusan yang diambil melalui
metode ini akan mengingkatkan kualitas dan tanggung jawab para anggotanya
disamping juga munculnya aspek kecepatan (quickness) dalam pengambilan
keputusan sebagai hasil dari usaha menghindari proses diskusi yang terlalu
meluas. Dengan perkataan lain, pendapat anggota organisasi sangat diperhatikan
dalam proses pembuatan keputusan, namun perilaku otokratik dari pimpinan,
kelompok masih berpengaruh.
Metode
pengambilan keputusan ini juga mempunyai kelemahan, yaitu pada anggota
organisasi akan bersaing untuk mempengaruhi pengambil atau pembuat keputusan.
Artinya bagaimana para anggota organisasi yang mengemukakan pendapatnya dalam
proses pengambilan keputusan, berusaha mempengaruhi pimpinan kelompok bahwa
pendapatnya yang perlu diperhatikan dan dipertimbangkan.
d.
Kesepakatan
Kesepakatan
atau konsensusakan terjadi kalau semua anggota dari suatu organisasi mendukung
keputusan yang diambil. Metode pengambilan keputusan ini memiliki keuntungan,
yakni partisipasi penuh dari seluruh anggota organisasi akan dapat meningkatkan
kualitas keputusan yang diambil, sebaik seperti tanggung jawab para anggota
dalam mendukung keputusan tersebut. Selain itu metode konsensus sangat penting
khususnya yang berhubungan dengan persoalan-persoalan yang kritis dan kompleks.
Namun
demikian, metode pengambilan keputusan yang dilakukan melalui kesepakatn ini,
tidak lepas juga dari kekurangan-kekurangan. Yang paling menonjol adalah
dibutuhkannya waktu yang relatif lebih banyak dan lebih lama, sehingga metode
ini tidak cocok untuk digunakan dalam keadaan mendesak atau darurat.
Keempat metode pengambilan keputusan di atas,
menurut Adler dan Rodman, tidak ada yang terbaik dalam arti tidak ada
ukuran-ukuran yang menjelaskan bahwa satu metode lebih unggul dibandingkan
metode pengambilan keputusan lainnya. Metode yang paling efektif yang dapat
digunakan dalam situasi tertentu, bergantung pada faktor-faktor:
- jumlah waktu yang ada dan dapat
dimanfaatkan,
- tingkat pentingnya keputusan yang akan
diambil oleh kelompok, dan
- kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh
pemimpin kelompok dalam mengelola kegiatan pengambilan keputusan tersebut.
Daftar Pustaka
-
Soerjono Soekanto, Sosiologi
Suatu Pengantar (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003)
-
Koentjaraningrat,
Beberapa Pokok Antropologi Sosial
(Jakarta: Dian Rakyat, 1967)
-
Sartono
Kartodirdjo, Kepemimpinan dalam Sejarah
Indonesia (Yogyakarta: Balai Pendidikan dan Administrasi UGM, 1976)
-
Em Nadjib Hassan, et al.,
Profil Pesantren Kudus (Kudus: Cermin, 2005).
-
A.
HAEDAR RUSLAN, Dinamika
Kepemimpinan Kyai di Pesantren (Pondok Pesantren Darul Ma'arif Bandung)
-
http://wawan-junaidi.blogspot.com/2009/10/administrasi dan manajemen. html
[1]Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu
Pengantar (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 288.
[2]Koentjaraningrat,
Beberapa Pokok Antropologi Sosial
(Jakarta: Dian Rakyat, 1967), hlm. 181.
[3]Sartono
Kartodirdjo, Kepemimpinan dalam Sejarah
Indonesia (Yogyakarta: Balai Pendidikan dan Administrasi UGM, 1976), hlm.
6-39.
[4]Em Nadjib Hassan, et al., Profil
Pesantren Kudus (Kudus: Cermin, 2005), hlm. 68-70.
[5] Soekanto, op. cit., hlm. 243.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar