Minggu, 16 Desember 2012

Kiai Kholil Bangkalan; Kiainya Para Kiai

Ulama Madura paling terkemuka pada akhir abad ke-19. Dia tampaknya pernah belajar di Mekkah pada 1860-an dan sekembalinya ke Indonesia, dia mendirikan sebuah pesantren di Demangan, Bangkalan, yang menjadi pusat daya tarik tidak hanya bagi masyarakat Madura tetapi juga kaum santri Jawa Timur. Terkenal sebagai wali, yang memiliki berbagai kekuatan spiritual yang luar biasa. 

Beberapa anggota pendiri NU (termasuk Kiai Hasjim Asj'ari, Kiai Wahab Chasbullah dan Kiai Bisri Syansuri) adalah muridnya. Pada tahun-tahun kemudian, Kiai Kholil mengunjungi mantan muridnya, Kiai Hajim Asj'ari, untuk belajar kitab- kitab hadits, sebuah mata pelajaran baru di pesantren. Dia meninggal pada 1925. Makamnya di Bangkalan merupakan tempat ziarah penting, yang sering didatangi bukan banya oleh orang Madura tetapi juga banyak orang Jawa dan Sunda.


(Dhofier 1982:91-2; Junaidi 1988). 

ak pernah malu belajar, kendati gurunya sangat jauh lebih muda darinya. Dari Syekh Ahmad al-Fathani yang seusia anaknya, ia belajar ilmu nahwu dan mengembangkannya di Tanah Air.
Nama lengkapnya adalah Kiai Haji Muhammad Khalil bin Kiyai Haji Abdul Lathif bin Kiai Hamim bin Kiai Abdul Karim bin Kiai Muharram bin Kiyai Asrar Karamah bin Kiai Abdullah bin Sayid Sulaiman. Nama terakhir dalam silsilahnya, Sayid Sulaiman, adalah cucu Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati, salah satu dari sembilan Wali Songo.

Kiai Muhammad Khalil dilahirkan pada 11 Jamadil akhir 1235 Hijrah atau 27 Januari 1820 di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, Jawa Timur. Dia berasal dari keluarga ulama. Pendidikan dasar agama diperolehnya langsung daripada keluarga. Menjelang usia dewasa, ia dikirim ke berbagai pondok pesantren untuk menimba ilmu agama.

Sekitar 1850-an, ketika usianya menjelang tiga puluh, Kiai Muhammad Khalil belajar kepada Kiai Muhammad Nur di Pondok Pesantren Langitan, Tuban, Jawa Timur. Dari Langitan, ia pindah ke Pondok Pesantren Cangaan, Bangil, Pasuruan, dan Pondok Pesantren Keboncandi. Selama belajar di pondok-pesantren ini, ia belajar pula kepada Kiai Nur Hasan yang menetap di Sidogiri, 7 kilometer dari Keboncandi.
Saat menjadi santri, Muhammad Khalil telah menghafal beberapa matan dan yang ia kuasai dengan baik adalah matan Alfiyah Ibnu Malik yang terdiri dari 1.000 bait mengenai ilmu nahwu. Selain itu, ia adalah seorang hafidz (hafal Alquran) dengan tujuh cara membacanya (kiraah).

Pada 1276 Hijrah 1859, Kiai Muhammad Khalil melanjutkan pelajarannya ke Makkah. Di sana, ia bersahabat dengan Syekh Nawawi Al-Bantani. Ulama-ulama Melayu di Makkah yang seangkatan dengannya adalah Syekh Nawawi al-Bantani (lahir 1230 Hijrah/1814 Masehi), Syekh Muhammad Zain bin Mustafa al-Fathani (lahir 1233 Hijrah/1817 Masehi), Syekh Abdul Qadir bin Mustafa al-Fathani (lahir 1234 Hijrah/1818 Masehi), dan Kiai Umar bin Muhammad Saleh Semarang.

Ia adalah orang yang tak pernah lelah belajar. Kendati sang guru lebih muda, namun jika secara keilmuan dianggap mumpuni, maka ia akan hormat dan tekun mempelajari ilmu yang diberikan sang guru. Di antara gurunya di Makkah adalah Syekh Ahmad al-Fathani. Usianya hampir seumur anaknya. Namun karena tawaduknya, Kiai Muhammad Khalil menjadi santri ulama asal Patani ini.

Kiai Muhammad Khalil Al-Maduri termasuk generasi pertama mengajar karya Syeikh Ahmad al-Fathani berjudul Tashilu Nailil Amani, yaitu kitab tentang nahwu dalam bahasa Arab, di pondok pesantrennya di Bangkalan. Karya Syekh Ahmad al-Fathani yang tersebut kemudian berpengaruh dalam pengajian ilmu nahwu di Madura dan Jawa sejak itu, bahkan hingga sekarang masih banyak pondok pesantren tradisional di Jawa dan Madura yang mengajarkan kitab itu.

Kiai Muhammad Khalil juga belajar ilmu tarikat kepada beberapa orang ulama tarikat yang terkenal di Mekah pada zaman itu, di antaranya Syekh Ahmad Khatib Sambas. Tarikat Naqsyabandiyah diterimanya dari Sayid Muhammad Shalih az-Zawawi.

Sewaktu berada di Makkah, ia mencari nafkah dengan menyalin risalah-risalah yang diperlukan para pelajar di sana. Itu pula yang mengilhaminya menyususn kaidah-kaidah penulisan huruf Pegon bersama dua ulama lain, yaitu Syekh Nawawi al-Bantani dan Syekh Saleh as-Samarani. Huruf Pegon ialah tulisan Arab yang digunakan untuk tulisan dalam bahasa Jawa, Madura dan Sunda. Huruf Pegon tidak ubahnya tulisan Melayu/Jawi yang digunakan untuk penulisan bahasa Melayu.

Sepulang dari Makkah, ia tersohor sebagai ahli nahwu, fikih, dan tarikat di tanah Jawa. Untuk mengembangkan pengetahuan keislaman yang telah diperolehnya, Kiai Muhammad Khalil selanjutnya mendirikan pondok pesantren di Desa Cengkebuan, sekitar 1 kilometer arah barat laut dari desa kelahirannya. Pondok-pesantren tersebut kemudian diserahkan pimpinannya kepada anak saudaranya, sekaligus adalah menantunya, yaitu Kiai Muntaha. Kiyai Muntaha ini kawin dengan anak Kiyai Muhammad Khalil bernama sendiri mengasuh pondok pesantren lain di Bangkalan.

Kiai Muhammad Khalil juga pejuang di zamannya. memang, saat pulang ke Tanah Air ia sudah uzur. Yang dilakukannya adalah dengan pengkader para pemuda pejuang di pesantrennya untuk berjuang membela negara. Di antara para santrinya itu adalah :
  1. KH Hasyim Asy’ari (Pendiri Pondok-Pesantren Tebuireng, Jombang, dan pengasas berdirinya Nahdhatul Ulama),
  2. KH Abdul Wahhab Hasbullah (Pendiri Pondok-pesantren Tambakberas, Jombang);
  3. KH Bisri Syansuri (pendiri Pondok Pesantren Denanyar)
  4. KH Ma’shum (Pendiri Pondok Pesantren Lasem Rembang).
  5. KH Bisri Mustofa (pendiri Pondok-pesantren Rembang).
  6. KH. Muhammad Hasan Genggong (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Zainul Hasan Genggong).
  7. KHR. Syamsul Arifin (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo).
  8. KHR. As’ad Syamsul `Arifin (Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah Sukorejo Situbondo).
  9. KH. Muhammad Shiddiq (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Ash-Shiddiqiyah Jember ).
  10. KH. Zaini Mun’im (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Jadid Paiton Probolinggo).
  11. KH. Abdullah Mubarak (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Suryalaya Tasikmalaya).
  12. KH. Asy’ari (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Darut Tholabah Wonosari Bondowoso).
  13. KH. Abi Sujak (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Astatinggi, Kebun Agung, Sumenep).
  14. KH. Abdul Aziz Ali Wafa (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Bustanul ‘Ulum Jember ).
  15. KH. Masykur (Banyak berkiprah di bidang politik dan kenegaraan. Menjadi Panglima Sabilillah, Ketua Umum PBNU).
  16. KH. Asmuni (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Asmuni Tarateh Sumenep).
  17. KH. Karimullah (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Taman, Bondowoso, sekarang dikenal dengan Pondok Pesantren Miftahul Ulum).
  18. KH. Abdul Karim (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Lirboya Kediri ).
  19. KH. Munawwir (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Munawwir Krapyak Yogyakarta ).
  20. KH. Khozin (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo ).
  21. KH. Nawawi Bin KH. Nur Hasan (Pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri Pasuruan ).
  22. KH. Abdullah Faqih Bin Umar (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Cemoro Rogojampi Banyuwangi ).
  23. KH. Yasin Bin Rais (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Sunniyah Pasuruan ).
  24. KH. Tholhah Rawi (Penerus, Pengasuh Pondok Pesantren Sumur Nangka  Mudung ).
  25. Kh. Abdul Fatah (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Fatah Tulungagung ).
  26. KH. Ridwan Bin Ahmad (Sedayu Gresik, Hafidz Al-Qur’an, Pakar Ilmu Hisab )
  27. KH. Ahmad Qusyairi (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Pasuruan ).
  28. Kh. Ramli Tamim (Penerus, Pengasuh Pondok Pesantren Darul ’Ulum Paterongan Jombang ).
  29. KH. Ridwan Abdullah ( Pencipta Lambang NU ).
  30. KH. Abdul hamid bin Itsbat (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Darul ’Ulum Banyuanyar Pamekasan Madura ).
  31. KH. Abdul Madjid bin KH. Abdul Hamid (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Manba’ul ’Ulum Bata-bata Pamekasan Madura ).
  32. KH. Muhammad Thoha Jamaluddin (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Simbergayam Pamekasan Madura ).
  33. KH. Djazuli Utsman (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Al-Falah Ploso Mojo Kediri ).
  34. KH. Hasan Musthofa ( Garut, Jawa Barat ).
  35. KHR. Faqih Maskumambang ( Gresik Jawa Timur ).
  36. KH. Yatawi ( Puger Jember )
  37. KH. Abdul Wahab (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Darul Huda Penataban Banyuwangi ).
  38. KH. Ma’ruf ( Kedunglo, Kediri Jawa Timur ).
  39. KH. Harun (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Darun Najah Tukangkayu Banyuwangi ).
  40. KH. Moh. Hasan Abdullah (Pendiri, Pengasuh Pondok Pesantren Hikmatul Hasan Kalipuro Banyuwangi ).
  41. Dr. Ir. Soekarno ( Proklamtor Kemerdekaan Indonesia, Presiden RI Pertama ) Meskipun Bung Karno tidak resmi sebagai santri, namun ketika sowan ke Bangkalan Kiai Kholil meniup ubun-ubunnya.
  42. Sayyid Ali Bafaqih ( Negara Bali )
Dan masih banyak lagi para santri yang belum sempat ditulis melalui media ini.
Kiai Muhammad Khalil al-Maduri wafat dalam usia yang lanjut, 106 tahun, pada 29 Ramadan 1341 Hijrah, bertepatan dengan tanggal 14 Mei 1923 Masehi.
Sumber : Biorafi dan Karomah Kiai Kholil Bangkalan – Saifur Rachman – Pustaka Ciganjur

dikutip dari: http://almahabbah89.wordpress.com/2010/09/16/biografi-kh-muhammad-kholil-bangkalan/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar