Oleh: Musatatok
A.
Pendahuluan
Dalam
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional disebutkan
bahwa jenis pendidikan mencakup pendidikan umum, kejuruan, akademik, profesi,
vokasi, keagamaan, dan khusus (pasal 15). Kemudian dalam pasal 30 (ayat 4)
dijelaskan bahwa pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren,
pasraman, samanera, dan bentuk lain yang sejenis. Dengan adanya ketentuan ini,
maka secara formal pesantren adalah bagian dari sistem pendidikan nasional yang
berhak mendapatkan perhatian yang serius sebagaimana sub sistem pendidikan
nasional yang lain.
Kendatipun secara resmi pesanten di Indonesia baru masuk dalam sistem pendidikan nasional tahun 2003, namun peranan pesantren dalam pendidikan dan pembentukan karakter bangsa Indonesia sudah dimulai sejak bedirinya pesantren itu sendiri.
Kendatipun secara resmi pesanten di Indonesia baru masuk dalam sistem pendidikan nasional tahun 2003, namun peranan pesantren dalam pendidikan dan pembentukan karakter bangsa Indonesia sudah dimulai sejak bedirinya pesantren itu sendiri.
Secara historis, pesantren merupakan
lembaga pendidikan Islam yang di-kembangkan secara indigenous oleh
masyarakat Indonesia. Karena sebenarnya pesantren merupakan produk budaya
masyarakat Indonesia yang sadar sepenuhnya akan pentingnya arti sebuah
pendidikan bagi orang pribumi yang tumbuh secara natural. Terlepas dari mana
tradisi dan sistem tersebut diadopsi, tidak akan mempengaruhi pola yang unik
(khas) dan telah mengakar serta hidup dan berkembang di tengah-tengah
masyarakat.[1]
Karel A.
Steenbrink mengutip pendapat Amir Hamzah bahwa secara terminology dapat
dijelaskan bahwa pendidikan pesantren dilihat dari segi bentuk dan sistemnya,
berasal dari India.[2]
Sebelum proses penyebaran Islam di Indonesia, sistem tersebut telah
dipergunakan secara umum untuk pendidikan dan pengajaran agama Hindu di Jawa.
Setelah Islam masuk dan tersebar di Jawa, sistem tersebut kemudian diambil oleh
Islam. Istilah pesantren sendiri seperti halnya mengaji bukanlah berasal
dari istilah Arabm melainkan dari India. Demikian juga istilah pondok, langgar
di Jawa, surau di Minangkabau dan rangkang di Aceh bukanlah istilah
Arab, tetapi dari istilah yang terdapat di India.[3]
Ada beberapa
pendapat mengenai asal muasal kata “pesantren”, Prof. John berpendapat bahwa
kata pesantren berasal dari terma “santri” yang diderivasi dari bahasa
Tamil yang berarti guru mengaji. Sementara itu C.C. Berg berpendapat bahwa kata
santri berasal dari bahasa India “shastri” yang berarti orang yang
memiliki pengetahuan tentang buku-buku suci (kitab suci). Berbeda dengan
keduanya, Robson berpendapat bahwa kata santri berasal dari bahasa Tamil “sattiri”
yang berarti orang yang tinggal di sebuah rumah gubuk atau bangunan keagamaan
secara umum.[4]
Terlepas dari
perbedaan pendapat mengenai asal muasal pesantren, perlu digaris bawahi bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam
yang masih tetap konsisten sampai sekarang dalam memegang nilai-nilai, budaya,
serta keyakinan agama yang kuat. Bahkan, pesantren merupakan lembaga pendidikan
yang diakui kemandirian dan independensinya. Bahkan Malik Fadjar membanggakan
kemandirian pesantren dengan mengatakan bahwa kalau ditinjau dari kemandirian,
pesantren lebih unggul ketimbang perguruan tinggi yang terkesan “wah”
tapi malah justru menjadi lembaga pendidikan yang paling bertanggung jawab
terhadap membludaknya pengangguran.[5]
Namun, dalam era globalisasi seperti sekarang ini menuntut
adanya kompetisi dari semua negara untuk saling bersaing guna memperebutkan
kedudukan sebagai negara penentu dalam bidang perekonomian, sosial budaya,
maupun politik. Tidak ketinggalan dalam hal ini dituntut kemampuan untuk
mengembangkan sumber daya manusia agar lebih baik. Hal ini dikarenakan kemajuan
teknologi, perdagangan dan sebagainya ditentukan oleh sumber daya manusia
sebagai pelaku dan penggerak semua itu. Dan dalam lingkup yang lebih kecil, hal
ini juga mau tidak mau pesantren dituntut untuk mampu mengembangkan sumber daya manusianya yang
tentunya harus disesuaikan dengan kondisi pesantren yang memiliki keunikannya
masing-masing guna menjawab tantangan di era globalisasi ini.
B. Pembahasan
Dunia pesantren
merupan fenomena yang sangat menarik untuk diteliti. Lembaga yang dikatakan
‘Tradisional’ ini memiliki nilai-nilai pendidikan yang tinggi yang tidak banyak
disadari dan diperhatikan oleh dunia pendidikan formal pada umumnya.
Keberhasilan pendidikan bukan hanya ditentukan oleh komunikasi formal antara
pendidikan dan anak didik, akan tetapi komunikasi informal dan komunikasi non
formal justru merupakan faktor penting penentu keberhasilan pendidikan. Dalam
pesantren bangunan komunikasi terjadi secara formal, non formal dan informal.
Selama dua puluh empat jam komunikasi dan interaksi terbangun di antara warga
pesantren, baik antara kiai-santri, santri-santri, santri-keluarga kiai dan
santri-masyarakat pesantren. Dalam interaksi tersebut, nilai-nilai pendidikan
yang dibentuk oleh pesantren mempunyai andil besar dalam menentukan
keberhasilan belajar santri. Hubungan santri-kiai-keluarga kiai-sesama santri
terbentuk secara sosialogis, ideologios dan informal. Berbeda dengan komuniasi
‘modern’, pola komunikasi dan interaksi lebih didasarkan kepada kepentingan dan
formalitas. Kehampaan komunikasi ‘modern’ antara lain karena hanya didasarkan
pada bentuk komunikasi formal, sedangkan komunikasi informal dan non formal
yang lebih humanis kurang mendapatkan perhatian yang memadai.[6]
menurutSoerjanto
Poespowardojo Budaya secara harfiah berasal dari Bahasa Latin yaitu Colere yang
memiliki arti mengerjakan tanah, mengolah, memelihara ladang. Sedangkan Menurut
The American Herritage Dictionary mengartikan kebudayaan adalah sebagai suatu
keseluruhan dari pola perilaku yang dikirimkan melalui kehidupan sosial,
seniagama, kelembagaan, dan semua hasil kerja dan pemikiran manusia dari suatu
kelompok manusia.[7]
Namun bila dikaitkan dengan kata organisasi maka para
ahli mendifinisikannya arti budaya organisasi sebagai berikut :
Pertama, menurut Schein dijelaskan bahwa budaya
organisasi adalah pola dasar yang diterima oleh organisasi untuk bertindak dan memecahkan
masalah, membentuk karyawan yang mampu beradaptasi dengan lingkungan dan
mempersatukan anggota-anggota organisasi. Untuk itu harus diajarkan kepada
anggota termasuk anggota yang baru sebagai suatu cara yang benar
dalam mengkaji, berpikir dan merasakan masalah yang dihadapi.
kedua, menurut Cushway dan Lodge dijelaskan
juga bahwa budaya organisasi merupakan sistem nilai organisasi dan akan
mempengaruhi cara pekerjaan dilakukan dancara para karyawan
berperilaku. Dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan budaya organisasi dalam penelitian ini adalah
sistem nilai organisasi yang dianut oleh anggota organisasi, yang kemudian
mempengaruhi cara bekerja dan berperilaku dari para anggota
organisasi.[8]
1. Perilaku Kiai dan santri dalam organisasi pesantren
Sebelum
menguraikan bagaimana perilaku kiai dan santri dalam organisasi pesantren, maka
perlu kiranya untuk mengetahui kedudukan (kepemimpinan ) kiai di pesantren.
Kata "Kiai" berasal dari bahasa jawa kuno "kiya-kiya" yang
artinya orang yang dihormati. Sedangkang dalam pemakaiannya dipergunakan untuk:
pertama, benda atau hewan yang dikeramatkan, seperti kiai Plered (tombak), Kiai
Rebo dan Kiai Wage (gajah di kebun binatang Gembira loka Yogyakarta), kedua
orang tua pada umumnya, ketiga, orang yang memiliki keahlian dalam Agama Islam,
yang mengajar santri di Pesantren. Sedangkan secara terminologis menurut
Manfred Ziemnek pengertian kiai adalah "pendiri dan pemimpin sebuah
pesantren sebagi muslim "terpelajar" telah membaktikan hidupnya
"demi Allah" serta menyebarluaskan dan mendalami ajaran-ajaran dan
pandangan Islam melalui kegiatan pendidikan Islam. Namun pada umumnya di
masyarakat kata "kiai" disejajarkan pengertiannya dengan ulama dalam
khazanah Islam.[9]
Dalam menelaah
bagaimana budaya organisasi pesantren, maka hal tersebut tidak akan lepas
dipengaruhi oleh pola kepemimpinan seorang kiai di pesantren itu sendiri yang
pada akhirnya juga akan mempengaruhi perilaku organisasi santri-santrinya. Keberhasilan
kiai dalam melakukan pengelolaan pesantren, salah satunya karena kiai
menjunjung tinggi nilai-nilai, budaya maupun keyakinan. Sikap otokrasi biasanya
dilakukan oleh kiai saat beliau menjadi seorang pemimpin pesantren yang lebih
menekankan pada nilai-nilai keagamaan[10],
misalnya: Pembelajaran yang bersifat kiai-centered. Seorang kiai melihat
para santrinya belum matang secara intelektual maupun emosionalnya, sehingga
perlu dibimbing dalam belajar. Adapun metode pembelajaranya, biasa disebut
dengan metode sorogan atau bandongan dimana kiai mempunyai
kekuasan tinggi dalam mengajarkannya, bahkan “haram” bagi santri untuk
membantahnya.
Pola
kepemimpinan seperti ini memiliki titik kelemahan dan kelebihan. Titik
kelemahannya, kiai merupakan figure sentral di dunia pesantren dan lebih dari
itu merupakan faktor determinan terhadap suksesnya santri dalam mencari
pengetahuan. Dalam ranah akademik pendidikan kepesantrenan, signifikasi peranan
kiai dalam mengambil kebijakan juga menjadikan pembelajaran di pesantren yang
biasanya non-stop, kurang teratur kurikulumnya, atau bahkan ada juga pesantren
yang sama sekali tidak menerapkan sistem kurikulum. Bahan ajar menjadi hak
prerogratif kiai. Kiai, dalam dunia pendidikan pesantren menjadi seorang
otokrat.[11]
Sisi positif
(kelebihan) dari lembaga pendidikan pesantren adalah walaupun dipimpin oleh
seorang kiai secara otokratif, akan tetapi watak inklusifnya begitu mendalam.
Kebersahabatannya dengan budaya lokal telah berhasil memperkokoh funda-mentasi
kebangsaan. Maka tidak heran pesantren menjadi akulturasi kebudayaan antar
daerah. Berkenaan dengan ini, tipe kepemimpinan pesantren memiliki watak
pemersatu. Daulat P. Tampubolon (2001) mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan
pemersatu berarti mampu mempersatukan semua unsur dan potensi yang berbeda-beda
sehingga menjadi kekuatan sinergis yang bermanfaat bagi semua pihak.[12]
Inilah mungkin
letak keunikan dalam kepemimpinan (manajemen) di dunia pesantren. Di satu sisi
seorang kiai sebagai public figure bagi santrinya yang harus diikuti, di
sisi lain, seorang kiai mampu mengakomodir keberagaman budaya santrinya.
Sebagaimana kata Mukti Ali di atas, berkembangnya iklim dan tradisi
tolong-menolong dan suasana persaudaraan antara kiai dan santrinya.
Sikap
kekeluargaan, keakraban, tolong-menolong biasanya dilakukan oleh kiai saat
beliau menjadi seorang manajer pesantren yang lebih menekankan pada proses dan
pengelolaan pesantren. Di sinilah letak manajemen kultur yang dilakukan oleh kiai
untuk mengembangkan pesantren. Nilai-nilai seperti kekeluargaan, keakraban,
tolong-menolong sangat efektif untuk manjalin ikatan emosional antara kiai dan
santri untuk mencapai tujuan pesantren secara bersama.
2. Perilaku kelompok dalam organisasi
pesantren
Bush mengatakan bahwa model-model
kultural memandang bahwa keyakinan, nilai, dan ideologi ada pada jantung
organisasi. Individu memiliki ide-ide tertentu dan preferensi nilai yang
mempengaruhi bagaimana mereka bersikap dan bagaimana mereka memandang perilaku
anggota-anggota lainnya. Norma-norma ini menjadi tradisi yang dikomunikasikan dalam
kelompok dan diperkuat oleh simbol-simbol dan ritual.[13]
Prof. Sodiq juga menekankan bahwa manajemen kultural adalah manajemen yang
menggunakan nilai-nilai (keyakinan/kepercayaan) sebagai dasar pengembangan
organisasi. Karena itulah, manajemen kultural di pesantren merupakan bentuk
manajerial pesantren yang lebih menekankan pada pendekatan kultural yang
dilakukan oleh seorang kiai/ustadz dalam mengelola dan mengembangakan pesantren
sebagai basis keilmuan Islam di Nusantara.
Salah satu basis kultural pesantren
adalah bentuk pendidikan pesantren yang bercorak tradisionalisme. Menurut
Mochtar Buchori, pesantren merupakan bagian struktural internal pendidikan
Islam di Indonesia yang diselenggarakan secara tradisional yang telah
menjadikan Islam sebagai cara hidup. Sebagai bagian struktur internal
pendidikan Islam Indonesia, pesantren mempunyai kekhasan, terutama dalam
fungsinya sebagai institusi pendidikan, di samping sebagai lembaga dakwah,
bimbingan kemasyarakatan, dan bahkan perjuangan. Mukti Ali mengindetifikasikan
beberapa pola umum pendidikan Islam tradisional sebagai berikut:
1. Adanya
hubungan yang akrab antara kiai dan santri.
2. Tradisi
ketundukan dan kepatuhan seorang santri terhadap kiai.
3. Pola
hidup sederhana (zuhud).
4. Kemandirian
atau independensi.
5. Berkembangnya
iklim dan tradisi tolong-menolong dan suasana persaudaraan.
6. Displin
ketat.
7. Berani
menderita untuk mencapai tujuan.
8. Kehidupan
dengan tingkat religiusitas tinggi.[14]
Senada dengan Mukti Ali, Alamsyah Ratu
Prawiranegara juga mengemukakan beberapa pola umum yang khas yang terdapat
dalam pendidikan Islam tradisional sebagai berikut:
1. Independen.
2. Kepemimpinan
Tunggal
3. Kebersamaan
dalam hidup yang merefleksikan kerukunan.
4. Kegotong-royongan.
5.
Motivasi yang
terarah dan pada umumnya mengarah pada peningkatan kehidupan beragama.[15]
Dari dua pendapat di atas, nampak sekali
bahwa pola tradisionalisme merupakan basis kultur pesantren yang menjadikan
keunikan tersendiri bagi pesantren. Kalau kita kaitkan dengan manajemen kultur,
maka pola pendidikan tradisionalisme di pesantren merupakan basis nilai-nilai,
keyakinan, dan budaya, yang dapat dijadikan dasar pengembangan manajemen kultur
di pesantren. Misalnya: hubungan akrab antar kiai dan santri, ibarat hubungan
antara ayah dan anak. Hubungan akrab ini bisa mendorong keterlibatan emosional kiai
dan santri untuk mengembangkan pesantren bersama-sama, apalagi hal ini didukung
oleh sikap ketundukkan dan kepatuhan seorang santri pada kiainya. Sikap inilah
yang akan mendukung keberhasilan kepemimpinan seorang kiai di pesantren.
Sikap
kekeluargaan, keakraban, tolong-menolong biasanya dilakukan oleh kiai saat
beliau menjadi seorang manajer pesantren yang lebih menekankan pada proses dan
pengelolaan pesantren. Di sinilah letak manajemen kultur yang dilakukan oleh kiai
untuk mengembangkan pesantren. Nilai-nilai seperti kekeluargaan, keakraban,
tolong-menolong sangat efektif untuk manjalin ikatan emosional antara kiai dan
santri untuk mencapai tujuan pesantren secara bersama. (manajemen kultural).
3. Persepsi dan Komunikasi Efektif Pesantren
Pada hakekatnya perilaku setiap
manusia banyak ditentukan oleh hubungan interaksi dengan manusia yang lain,
maka kebutuhan yang paling pokok dan sangat mendasar bagi setiap manusia adalah
komunikasi. Istilah komunikasi itu sendiri berasal dari bahasa Inggris yaitu “communication”
dan menurut wilbur Schramm bersumber pada istilah lain yaitu “communis”[16] yang di dalam bahasa Indonesia berarti “sama”.
Dengan demikian komunikasi adalah
suatu proses kegiatan yang terjadi bersama-sama. Melalui komunikasi akan
didapatkan informasi, dan informasi yang sangat dibutuhkan oleh manusia adalah
yang menyangkut kepentingannya.
Pada sebuah pondok
pesantran, keefektifan komunikasi antara kiai dengn santri tidak hanya
ditentukan oleh kemampuan menyampaikan serta menerima lambang-lambang dari
komunikator kepada komunikan, juga ditentukan oleh keadaan psikologis dari
komunikator.
Pada dasarnya, komunikasi antara kiai dengan santri sama dengan
komunikasi antara guru dengan muridnya. Guru membimbing, mengarahkan, mengajar
dan mendidik murid-muridnya agar menjadi orang-orang yang berguna, mandiri, dan mampu meneruskan tugas
menyebarkan serta memantapkan Islam. Hanya saja, seorang kiai tidak hanya
berperan sebagai guru belaka, melainkan juga sebagai sahabat dan orang tua
mereka.[17]
Sebagai guru, kiai
memberikan pelajaran-pelajaran keislaman. Sebagai orang tua, kiai menjadi
tumpuan dan harapan para santrinya. Dan sebagai sahabat, kiai menjadi tempat
untuk menumpahkan segala persoalan hidup.
Huhungan antara kiai dan santri
adalah sedemikian rupa sehingga anjuran-anjuran, pendapat dan apa saja yang
diberikan kiai dianggap oleh santri sebagai sebuah pedoman dan amanat di dalam
mempengaruhi kehidupan.
Setiap pesan yang disampaikan oleh
kiai, akan mendapatkan respon dari para santri. Umumnya para santri akan
menerima apa saja yang dikatakan kiai. Apabila sebuah isi muncul di masyarakat,
sang kiai akan memberikan pendapatnya. Selanjutnya, pendapatnya itu akan
dikomunikasikan kepada para santrinya. Para santri akan menerimanya sebagai
sebuah fatwa yang harus diperhatikan baik-baik sekaligus dilaksanakan.[18]
Pada umumnya para santri akan
mendukung pendapat kiainya. Maka, pada tahan selanjutnya, opini santri akan sama
dengan pendapat kiainya. Nah ini bukan berarti para santri tidak memiliki
pendirian. Selain masalah etika yang harus dijunjung tinggi. Di sisi lain, para
santri menganggap kiainya memiliki kemampuan memahami keagungan Tuhan dan
rahasia alam, sehingga dengan demikian kiai dianggap memiliki kharisma kedudukan
yang tak terjangkau. Dan kepemimpinan yang kharismatik ini dapat dilihat dari
aspek-aspek sebagai berikut :
1.
Didukung
oleh tata nilai yang tak rasional, seperti :
Kecintaan (pemujaan) yang berlebih-lebihan, fanatisme keagamaan,
kedudukan hirarkis yang diperoleh dari keturunan, kemampuan membuat agitasi
kepada massa dengan demagogi (hasutan) dan sebagainya.
Walaupun pada umumnya nilai tak rasionil itu kemudian diberi bentuk
sehingga tampak menjadi rasional, namaun pada dasarnya kepemimpinan kharismatik
mengikuti pola kerja yang tak rasionil pula. Pemimpin kharismatik lalu menjadi
tidak senang dengan tata organisasi yang terlalu mengikat, membuat perencanaan
secara terperinci, apalagi tunduk kepada pengawasan orang lain.
2.
Memiliki
kemampuan besar untuk menggerakkan massa, menggalang keeratan hubungan di
antara mereka yang biasanya dengan menciptakan kesatuan ikatan untuk dihadapkan
kepada lawan bersama, menanamkan kepercaan teguh akan kemampuan masyarakat
mencapai impian gilang gemilang dan menumbuhkan rasa kecintaan kepada impian
itu.
3.
Di
balik itu, terdapat kekurangan-kekurangan yang mendasar, yang dapat
mengakibatkan malapetaka bagi masyarakat yang dipimpinnya. Ketiadaan perhatian
kepada kebutuhan esensiil di bidang ekonomi. Ketiadaan perhatian kepada “
soal-soal kecil” yang melandasi kelancaran hidup masyarakat, ketidak senangan
kepada perencanaan “biasa” yang tidak muluk-muluuk dan melambung tinggi; dan
terparah lagi : tidak mau menerima kritik.[19]
Dari kenyataan ini dapat dipahami
mengapa komunikasi yang dilancarkan atau dilakukan kiai berjalan dengan efektif
dan mengapa opini santri terbentuk setelah berkomunikasi dengan kiainya. Hal
ini dikarenakan hunubgan dan komukasi yang dilakukan kiai membawa akibat antara
lain : internalisasi (internalization), identifikasi (identification)
dan ketundukan (compliance).[20]
a.
Internalisasi
terjadi bila santri menerima pengaruh karena perilaku yang dianjurkan itu
sesuai dengan sistem nilai yang dianut oleh kiainya. Santri menerima gagasan, pikiran atau anjuran
kiai, karena gagasan, pikiran atau anjuran tersebut berguna untuk memecahkan
masalah, penting dalam menunjukkan arah
atau dituntut oleh sistem nilai yang dianut santri. Internalisasi terjadi
ketika santri menerima anjuran kiai atas dasar rasional. Contoh, santri
menghentikan kebiasaan bohong atas saran kiai, karena santri ingin memelihara
kejujuran.
b.
Identifikasi
terjadi bila santri mengambil perilaku yang berasal dari kiai karena perilaku
itu berkaitan dengan hubungan yang mendifinisikan diri secara memuaskan.
Hubungan yang mendifinisikan diri artinya memperjelas konsep diri. Dalam
identifikasi, santri mendifinisikan peranannya sesuai dengan peranan kiai. Ia
berusaha seperti atau benar-benar menjadi kiai. Dengan mengatakan apa yang kiai
katakan, dengan mempercayai apa yang kiai percayai, santri mendifinisikan
dirinya sesuai dengan kiai yang mempengaruhinya.
c.
Ketundukan
terjadi bila santri menerima pengaruh kiai karena ia berharap memperoleh reaksi
yang menyenangkan dari kiai tersebut. Santri ingin memperoleh ganjaran dari
kiai yang mempengaruhinya.
4. Motivasi organisasi pesantren
Istilah
motivasi dapat didifinisikan sebagai keadaan internal individu yang melahirkan
kekuatan, kegairahan, dinamika, dan mengarahkan tingkah laku pada tujuan. Dalam
pengertian lain, motivasi merupakan istilah yang digunakan untuk sejumlah
dorongan, keinginan, kebutuhan dan kekuatan. Karenanya, ketika kita mengatakan
bahwa para pemimpin sedang membangkitkan motivasi staf/anggotannya, berarti
mereka sedang melakukan sesuatu untuk memberikan kepuasan pada motif
anggotanya. Dari situlah mereka harus melakukan sesuatu yang menjadi tujuan dan
keinginan pemimpinnya. Motif sendiri adalah ungkapan dari kebutuhan individu,
yang merupakan kepribadian.
Atas dasar
itulah, dapat dipahami bahwa motivasi mengandung rangsangan suatu pihak
(eksternal) kepada individu, sehingga ia melakukan suatu yang menjadi tujuan
pihak lain (pemimpin eksternal), tetapi pada gilairannya juga dapat memenuhi
keinginan-keingginan dari kebutuhan-kebutuhan individu itu sendiri.
Islam telah
memberikan gambaran jelas tentang motivasi yang harusnya dikembangkan dalam
kehidupan sosial umatnya[21]. Secara garis besar adalah sebagai berikut
:
1. Motivasi kepemilikan
Satu ayat al-Quran yang membicarakan masalah ini, antara lain :
إعلموا أنما الحياة الدنيا لعب ولهو وزينة
وتفاخر بينكم وتكاثر فى اللأموال والأولاد كمثل غيث أعجب الكفار نباته ثم يهيج
فتريه مصفرا ثم يكون حطاما وفى الأخرة عذاب شديد و مغفرة من الله ورضوان, وما
الحياة الدينا إلا متاع الغرور (الحديد: 20)
20. ketahuilah,
bahwa Sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan,
perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang
banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan Para
petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu Lihat warnanya kuning
kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan
dari Allah serta keridhaan-Nya. dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah
kesenangan yang menipu.(al-Hadid)
2. Motivasi berkompetisi
Berkompetisi (berlomba-lomba) merupakan dorongan psikologis yang
diperoleh dengan mempelajari lingkungan dan kultur yang tumbuh di dalamnya.
Manusia biasa berkompetisi dalam ekonomi, keilmuan, kebudayaan, sosial, dan
lain sebagainya. Al-Quran menganjurkan manusia agar berkompetisi dalam
ketaqwaan, amal sholeh, berpegang pada nilai-nilai, dan prinsip-prinsip
kemanusian. Dalam hal ini Allah SWT berfirman :
وأنزلنا إليك الكتاب بالحق مصدقا لما بين
يديه من الكتاب وميمنا عليه, فاحكم بينهم بما انزل الله ولاتتبع أهواءهم عما جاءك
من الحق, لكل جعلنا منكم شرعة و منهاجا ولو شاء الله لجعلكم أمة واحدة ولكن
ليبلوكم فى ماءاتيتم فاستبقواااخيرات, إلى الله مرجعكم جميعا فينبئكم بما كنتم فيه
تختلفون (المائدة : 48)
48. dan Kami telah turunkan kepadamu Al Quran dengan membawa kebenaran,
membenarkan apa yang sebelumnya, Yaitu Kitab-Kitab (yang diturunkan sebelumnya)
dan batu ujian[421] terhadap Kitab-Kitab yang lain itu; Maka putuskanlah
perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti
hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.
untuk tiap-tiap umat diantara kamu[422], Kami berikan aturan dan jalan yang
terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat
(saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan. hanya kepada Allah-lah kembali kamu
semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu
(al-Maidah)
3. Motivasi kerja
Dalam al-Quran dijelaskan :
وءاية لهم الأرض الميتة أحيينها و أخرجنا منها حيا فمنه يأكلون,(33) وخعلنا
فيها جنت من نخيل و أعنب وفجرنا فيها من العيون (34) ليأكلوا من ثمره وما عملته
أيديهم أفلا يشكرون (35)
33. dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah bumi
yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan dari padanya biji-bijian,
Maka daripadanya mereka makan.
34. dan Kami jadikan padanya
kebun-kebun kurma dan anggur dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air,
35. supaya mereka dapat Makan dari
buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka Mengapakah
mereka tidak bersyukur?
Dari ayat di atas ada dua hal yang perlu diperhatikan
: pertama, hendaklah menusia bekerja atas kepentingan berproduksi. Kedua,
melengkapi diri dengan berbagai keterampilan agar mempu mengolah alam dengan
segala potensinya. Ini berarti, dalam berproduksi tetap memperhatikan
kelestarian lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Ainurrafiq Dawam dan Ahmad
Ta’arifin, Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren. (Listafariska Putra,
2005).
Ali, Mukti. 1987. Beberapa
Persoalan Agama Dewasa ini. (Jakarta: Rajawali press).
Rahmat Jalaluddin, Metode Penelitian Komunikasi, (Rosdakarya
: Bandung, 1998), hal : 256.
Amir Hamzah Wirjosukarto.
1968. Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam yang diselenggarakan oleh
Pergerakan Muhammadiyah, SIngosari-Malang.
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi pesantren Studi
Tentang Pandangan Hidup,(LP3ES, 1982).
Effendi, Onong Uchyana, Ilmu Komunikasi,
(Remaja Rosda Karya : Bandung, 1986)
Haedari, Amin. dkk.. Masa
Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Kmplesitas Global.
(Jakarta: IRD Press. 2004)
http://citraedukasi.wordpress.com)
Karel A. Steenbrink.. Pesantren,
Madrasah, Sekolah. (Jakarta: LP3ES., 1974)
Moch. Eksan, Kiai Kelana:Biografi Kiai Muchid
Muzadi, (Yogyakarta: LKIS, 2000).
A. Halim dkk, Manajemen Pesantren, (Pustaka
Pesantren : Yogyakarta, 2005) Cet. I.
Syarif Mustofa, Administrasi
Pesantren (PT. Karya Berkah, Jakarta, 1979)
Wahid Abdurrahman, Kiai
Nyentrik Membela Pemerintah, (Pustaka Hidayah, 1997).
[1]
Ainurrafiq Dawam dan Ahmad Ta’arifin, Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren.
(Listafariska Putra, 2005), hal. 5
[2]
Karel A. Steenbrink.. Pesantren, Madrasah, Sekolah. (Jakarta: LP3ES., 1974)
hal. 20 atau Amir Hamzah Wirjosukarto. 1968. Pembaharuan Pendidikan dan
Pengajaran Islam yang diselenggarakan oleh Pergerakan Muhammadiyah,
SIngosari-Malang., hal. 40
[3]
Karel A. Steenbrink. 1974. Pesantren..., hal. 20-21
[4]
Ainurrafiq Dawam dan Ahmad Ta’arifin. 2005. Manajemen…, hal. 5
[5]
Ibud., hal. 74
[6]
(Sumber:http://citraedukasi.wordpress.com)
[7]
http://organisasi.org
[8]
http://citraedukasi.wordpress.com/2008
[9]
( Moch. Eksan, Kiai Kelana:Biografi Kiai Muchid
Muzadi, (Yogyakarta: LKIS, 2000)
[10]
Sebagaimana Tony Bush dan Merianne Coleman mengatakan bahwa kepemimpinan
diidentikan dengan visi dan nilai-nilai, sedangkan manajemen diidentikan dengan
proses dan struktur. Bush & Marianne Coleman. 2006. Manajemen
Strategis…,hal. 63
[11]
Ainurrafiq Dawam dan Ahmad Ta’arifin. 2005. Manajemen…, hal. 73
[12]
Ibid., hal. 74
[13]
Ibid., hal. 134
[14]
Haedari, dkk. 2004. Masa Depan Pesantren…,hal. 14-15 atau lihat Mukti
Ali. 1987. Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini. Jakarta: Rajawali
press., hal. 5
[15]
Ibid., hal. 15
[16]
Effendi, Onong Uchyana, Ilmu Komunikasi, (Remaja Rosda Karya : Bandung,
1986), hal : 9
[17]
Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi pesantren Studi Tentang Pandangan Hidup,(LP3ES,
1982), hal : 244
[18]
Wahid Abdurrahman, Kiai Nyentrik Membela Pemerintah, (Pustaka Hidayah, 1997),
hal : 125.
[19]
Syarif Mustofa, Administrasi Pesantren (PT. Karya Berkah, Jakarta,
1979), hal : 8.
[20]
Rahmat Jalaluddin, Metode Penelitian
Komunikasi, (Rosdakarya : Bandung, 1998), hal : 256.
[21]
A. Halim dkk, Manajemen Pesantren, (Pustaka Pesantren : Yogyakarta,
2005) Cet. I. Hal : 47-48
Tidak ada komentar:
Posting Komentar