Selasa, 14 Februari 2012

Budaya Organisasi Pesantren


Oleh : Abdul Hakim Wahid

BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang
Pada saat ini istilah budaya organisasi banyak digunakan dalam organisasi perusahaan, bahkan beberapa perusahaan memasang tulisan yang menunjukkan budaya organisasi mereka di tempat-tempat yang menarik perhatian. Misalnya di depan pintu masuk kantor, atau di dekat tempat para karyawan melayani pelanggan. Konsep budaya organisasi mulai berkembang  sejak awal tahun 1980-an. Konsep budaya organisasi diadopsi dari konsep budaya yang lebih dahulu berkembang pada disiplin ilmu antropologi[1].
Prilaku organisasi atau juga disebut budaya organisasi sangat berpengaruh terhadap produktifitas organisasi itu sendiri. Pimpinan organisasi tertantang untuk melakukan perubahan didalam dan diluar institusi mengingat tuntutan nilai (value) dari masyarakat yang menginginkan sebuah organisasi yang responsive mampu memenuhi kebutuhan masyarakat dengan kwalitas hasil yang maksimal dan biaya yang rendah.

Demi efektifitas dan produktifitas organisasi diperlukan tindakan – tindakan dengan memperhatikan kemampuan individu dalam organisasi, pemberian penghargaan merupakan salah satu metode efektif untuk meningkatkan produktifitas individu dalam organisasi.
Ada enam kekuatan utama organisasi yang perlu diperhatikan dan diberdayakan dalam rangka pembentukan budaya organisasi yang prima: 1. Sumber daya manusia, 2. Globalisasi, 3. Keragaman budaya , 4. Kecepatan perubahan, 5. Kontrak psikologis antar pimpinan dan bawahan, atau antara kyai, ustad dan santri 6. Tekhnologi .[2]
Salah satu yang sangat penting untuk diperhatikan bagi kelangsungan dan kemajuan organisasi adalah lingkungan , seperti seorang pelari yang ingin menjadi juara, dia harus memperhatikan jarak tempuh dan medannya sehingga dia dapat membuat sebuah keputusan tindakan apa yang harus dilakukan untuk mencapai target dengan lebih cepat, akan tetapi tanpa analisa yang matang mungkin dia akan banyak kehilangan waktu dan tertinggal dari peserta lainnya, lingkungan yang mempengaruhi organisasi tersebut dapat dibedakan menjadi 2 yaitu lingkungan external dan lingkungan internal yang dapat dijadikan acuan untuk menentukan kecocokan organisasi dengan lingkungan tersebut
Lingkungan external adalah segala sesuatu diluar organisasi yang mungkin mempengaruhi, yang dapat dibagi dua yaitu lingkungan umum dan lingkungan tugas, sedangkan lingkungan internal adalah kondisi kekuatan yang dimiliki organisasi.
Yang termasuk lingkungan internal adalah : pemilik, karyawan, lingkungan fisik, dewan direksi, dan budaya, sedangkan lingkungan external yang sifatnya lingkungan umum meliputi : Pembuat aturan, competitor, konsumen, pemasok, partner strategis, dan yang bersifat umum : Dimensi politik hokum, dimensi internasional, dimensi teknologi, dimensi ekonomi, dan dimensi social budaya.
B.     Pengertian Budaya  organisasi Pesantren
Kata budaya dalam kamus besar bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan dengan beberapa pengertian : “ 1. Pikiran, akal budi, 2. Adat istiadat, 3 Sesuatu mengenai kebudayaan yang sudah berkembang ( beradab maju) 4. Sesuatu yang sudah menjadi kebiasaan yang sukar dirubah.
Sedangkan organisasi dalam KBBI disebutkan sebagai kesatuan yang terdiri atas bagian – bagian orang dalam perkumpulan untuk tujuan tertentu, atau disebut juga kelompok kerja antara orang – orang yang diadakan untuk mencapai tujuan bersama.
Dan pesantren sudah banyak dari pemakalah sebelumnya yang membahas tapi berdasarkan KBBI diberi pengertian : sebuah asrama tempat santri atau tempat murid – murid belajar mengaji atau disebut juga dengan kata pondok.
Membahas budaya, jelas tidak bisa lepas dari pengertian organisasi itu sendiri  pada dasarnya apabila dilihat dari bentuknya, organisasi merupakan sebuah masukan (input) dan luaran (output) serta bisa juga dilihat sebagai living organism yang memiliki tubuh dan kepribadian, sehingga terkadang sebuah organisasi bisa dalam kondisi sakit (when an organization gets sick). Sehingga organisasi dianggap Sebagai suatu output (luaran) memiliki sebuah struktur (aspek anatomic), pola kehidupan (aspek fisiologis) dan system budaya (aspek kultur) yang berlaku dan ditaati oleh anggotanya.
Dari pengertian Organisasi sebagai output (luaran) inilah melahirkan istilah budaya organisasi atau budaya kerja ataupun lebih dikenal didunia pendidikan sebagai budaya akademis.
Menurut Umar Nimran mendefinisikan budaya organisasi sebagai “Suatu sistem makna yang dimiliki bersama oleh suatu organisasi yang membedakannya dengan organisasi lain”(Umar Nimran, 1996: 11)
Sementara Taliziduhu Ndraha Mengartikan Budaya organisasi sebagai “Potret atau rekaman hasil proses budaya yang berlangsung dalam suatu organisasi atau perusahaan pada saat ini”( op.cit , Ndraha, P. 102) Lebih luas lagi definisi yang diungkapkan oleh Piti Sithi-Amnuai (1989) dalam bukunya “How to built a corporate culture” mengartikan budaya organisasi sebagai : “Seperangkat asumsi dan keyakinan dasar yang dterima anggota dari sebuah organisasi yang dikembangkan melalui proses belajar dari masalah penyesuaian dari luar dan integarasi dari dalam” ( Pithi Amnuai dari kutipan Ndraha, p.102)
Sedangkan menurut Moorhead dan Griffin (1992) budaya organisasi diartikan sebagai : ”Seperangkat nilai yang diterima selalu benar, yang membantu seseorang dalam organisasi untuk memahami tindakan-tindakan mana yang dapat diterima dan tindakan mana yang tidak dapat diterima dan nilai-nilai tersebut dikomunikasikan melalui cerita dan cara-cara simbolis lainnya(McKenna,etal, op.cit P.63).
Sementara itu menurut Schein dalam Sobirin (2007:132) budaya organisasi adalah pola asumsi dasar yang dianut bersama oleh sekelompok orang setelah sebelumnya mereka mempelajari dan meyakini kebenaran pola asumsi tersebut sebagai cara untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang berkaitan dengan adaptasi eksternal dan integrasi internal, sehingga pola asumsi dasar tersebut perlu diajarkan kepada anggota-anggota baru sebagai cara yang benar untuk berpersepsi, berpikir dan mengungkapkan perasaannya dalam kaitannya dengan persoalan-persoalan organisasi.
Organisasi memiliki budaya melalui proses belajar, pewarisan, hasil adaptasi dan pembuktian terhadap nilai yang dianut atau diistilahkan Schein (1992) dengan considered valid yaitu nilai yang terbukti manfaatnya. selain itu juga bisa melalui sikap kepemimpinan sebagai teaching by example atau menurut Amnuai (1989) sebagai “through the leader him or herself” yaitu pendirian, sikap dan prilaku nyata bukan sekedar ucapan, pesona ataupun kharisma.
Dari beberapa definisi budaya organisasi yang telah dipaparkan oleh para penenliti maka dapat disimpulkan bahwa budaya organiasi pesantren adalah sebuah nilai yang ditetapkan untuk dianut oleh semua orang yang ada dalam pesantren dan dijadikan sebagai sebuah kebiasaan dengan tujuan mencapai visi dan misi pesantren, yang biasanya juga disebut dengan sunnah pondok pesantren.

C.    Unsur-unsur Budaya Organisasi

Jocano dalam Sobirin (2007:152-153) menyatakan bahwa budaya organisasi terdiri dari unsur utama, yakni yang bersifat idealistik dan yang bersifat perilaku atau behavioral. Unsur budaya organisasi idealistik merupakan ideologi organisasi yang tidak mudah berubah meskipun di sisi lain organisasi harus berubah untuk beradaptasi dengan lingkungannya. Ideologi ini bersifat terselubung, tidak nampak di permukaan dan hanya orang-orang tertentu saja yang tahu apa sesungguhnya ideologi mereka dan mengapa organisasi tersebut didirikan.
Unsur behavioral memiliki sifat kasat mata, muncul ke permukaan dalam bentuk perilaku sehari-hari para anggotanya dan bentuk-bentuk lain seperti disain arsitektur organisasi. Bagi orang luar organisasi, unsur ini sering dianggap sebagai representasi dari budaya sebuah organisasi karena lebih mudah diamati, dipahami dan diinterpretasikan meskipun seringkali interpretasi antara orang luar dan anggota organisasi berbeda. Budaya organisasi lebih baik dipahami berdasarkan pengamatan terhadap perilaku dan kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan oleh para anggota organisasi.
Bagian luar organisasi tersebut oleh Schein dalam Sobirin (2007:158) disebut sebagai artefak. Artefak bisa berupa bentuk arsitektur bangunan, logo atau jargon, cara berkomunikasi, cara berpakaian, atau cara bertindak yang bisa dipahami oleh orang luar organisasi. Dalam perbankan misalnya, kita bisa melihat bahwa mereka berpakaian sangat formal, dengan perkantoran yang biasanya tertata dengan rapi, bersih dan modern. Perilaku karyawan bank juga terlihat ramah tetapi formal dan tegas, dengan moto mereka yang biasanya terpasang dengan indah di belakang pegawai-pegawai yang melayani para nasabahya. Misalnya saja bank Mandiri memiliki slogan “Prosper with us” atau Bank BRI dengan slogannya, “Melayani dengan Hati”.
Sebenarnya antara ideologi dan perilaku behavioral merupakan bagian yang tidak bisa saling terpisahkan. Digambarkan sebagai suatu yang berlapis-lapis seperti bawang, bagian yang kelihatan, bisanya paling mudah untuk diubah. Sehingga tidak mengherankan bahwa kadang-kadang visi dan misi sudah diubah tetapi unsur-unsur perilaku lainnya belum berubah. Misalnya saja berkaitan  pernyataan visi dan misi organisasi. Hampir setiap lembaga pada saat ini memiliki apa yang disebut dengan visi dan misi organisasi yang biasanya tertulis di tempat-tempat strategis di kantor mereka. Yang perlu diperhatikan adalah kesesuaian antara visi dan misi tersebut dengan perilaku para anggota organisasi. Karena kalau tidak terjadi keserasian, pasti akan terlihat lucu. Misalnya sebuah pertokoan yang memiliki slogan “Pelanggan adalah Raja” tetapi pada saat tempat parkir penuh, ternyata ada space parkir  strategis yang kosong namun ada tulisannya “khusus untuk pimpinan”.


BAB II
BUDAYA PESANTREN
 
1.      Perilaku Kiai dan santri dalam organisasi pesantren

Kyai disamping sebagai pendidik juga berperan dan memegang kendali manajerial pesantren, bentuk dan budaya pesantren yang bermacam – macam merupakan pantulan dari kecenderungan kyai. Kyai memiliki sebutan yang berbeda – beda tergantung daerah tempat tinggalnya . Ali Machsan Moesa mencatat : di Jawa disebut kyai, di Sunda disebut ajengan, di aceh disebut Tengku, di Sumatera utara/ Tapanuli disebut syaikh, di Minangkabau disebut Buya, di Nusa tenggara termasuk Lombok, Kalimantan selatan, Kalimantan timur, Kalimantan tengah disebut Tuan Guru[3]
Sedangkan santri adalah peserta didik atau subyek pendidikan, di beberapa pesantren, santri yang memiliki kemampuan intelektual lebih atau santri senior, yang kadang juga merangkap sebagai pendidik santri yunior, memiliki kebiasaan – kebiasaan tertentu, mereka memberikan penghormatan kepada kyainya secara berlebihan, sehingga mereka cenderung bersifat pasif, karena takut kehilangan barokah, dan inilah yang membedakan antara santri dan siswa/siswi  diluar pesantren.
            Model-model budaya memandang bahwa keyakinan, nilai, dan ideologi ada pada jantung organisasi. Individu memiliki ide-ide tertentu dan preferensi nilai yang mempengaruhi bagaimana mereka bersikap dan bagaimana mereka memandang perilaku anggota-anggota lainnya. Norma-norma ini menjadi tradisi yang dikomunikasikan dalam kelompok dan diperkuat oleh simbol-simbol dan ritual. Karena itulah, manajemen budaya di pesantren merupakan bentuk manajerial pesantren yang lebih menekankan pada pendekatan kultural yang dilakukan oleh seorang kyai/ustadz dalam mengelola dan mengembangakan pesantren.
Salah satu basis budaya pesantren adalah bentuk pendidikan pesantren yang bercorak tradisionalisme. Menurut Mochtar Buchori, pesantren merupakan bagian struktural internal pendidikan Islam di Indonesia yang diselenggarakan secara tradisional yang telah menjadikan Islam sebagai cara hidup. Sebagai bagian struktur internal pendidikan Islam Indonesia, pesantren mempunyai kekhasan, terutama dalam fungsinya sebagai institusi pendidikan, di samping sebagai lembaga dakwah, bimbingan kemasyarakatan, dan bahkan perjuangan. Mukti Ali mengindetifikasikan beberapa pola umum pendidikan pondok pesantren sebagai berikut:
  1. Adanya hubungan yang akrab antara kyai dan santri.
  2. Tradisi ketundukan dan kepatuhan seorang santri terhadap kyai.
  3. Pola hidup sederhana (zuhud).
  4. Kemandirian atau independensi.
  5. Berkembangnya iklim dan tradisi tolong-menolong dan suasana persaudaraan.
  6. Displin ketat.
  7. Berani menderita untuk mencapai tujuan.
  8. Kehidupan dengan tingkat religiusitas tinggi.[4]
Senada dengan Mukti Ali, Alamsyah Ratu Prawiranegara juga mengemukakan beberapa pola umum yang khas yang terdapat dalam pendidikan Islam tradisional sebagai berikut:
1.      Independen.
2.      Kepemimpinan Tunggal
3.      Kebersamaan dalam hidup yang merefleksikan kerukunan.
4.      Kegotong-royongan.
5.      Motivasi yang terarah dan pada umumnya mengarah pada peningkatan kehidupan beragama.[5]

Dari dua pendapat di atas, nampak sekali bahwa pola tradisionalisme merupakan basis kultur pesantren yang menjadikan keunikan tersendiri bagi pesantren. Pola pendidikan tradisionalisme di pesantren merupakan basis nilai-nilai, keyakinan, dan budaya, yang dapat dijadikan dasar pengembangan manajemen budaya di pesantren. Misalnya: hubungan akrab antar kyai dan santri, ibarat hubungan antara ayah dan anak. Hubungan akrab ini bisa mendorong keterlibatan emosional kyai dan santri untuk mengembangkan pesantren bersama-sama, apalagi hal ini didukung oleh sikap ketundukkan dan kepatuhan seorang santri pada kyainya. Sikap inilah yang akan mendukung keberhasilan kepemimpinan seorang kyai di pesantren.
Dalam kepemimpinan seorang kyai di pesantren, memiliki titik kelemahan dan kelebihan. Titik kelemahannya, kyai merupakan figure sentral di dunia pesantren dan lebih dari itu merupakan faktor determinan terhadap suksesnya santri dalam mencari pengetahuan. Dalam ranah akademik pendidikan kepesantrenan, signifikasi peranan kyai dalam mengambil kebijakan juga menjadikan pembelajaran di pesantren yang biasanya non-stop, kurang teratur kurikulumnya, atau bahkan ada juga pesantren yang sama sekali tidak menerapkan sistem kurikulum. Bahan ajar menjadi hak prerogratif kyai. Kyai, dalam dunia pendidikan pesantren menjadi seorang otokrat.[6]
Sisi positif (kelebihan) dari lembaga pendidikan pesantren adalah walaupun dipimpin oleh seorang kyai secara otokratif, akan tetapi watak inklusifnya begitu mendalam. Kebersahabatannya dengan budaya lokal telah berhasil memperkokoh fundamentasi kebangsaan. Maka tidak heran pesantren menjadi akulturasi kebudayaan antar daerah. Berkenaan dengan ini, tipe kepemimpinan pesantren memiliki watak pemersatu. Daulat P. Tampubolon (2001) mengemukakan bahwa gaya kepemimpinan pemersatu berarti mampu mempersatukan semua unsur dan potensi yang berbeda-beda sehingga menjadi kekuatan sinergis yang bermanfaat bagi semua pihak.[7]
Inilah mungkin letak keunikan dalam kepemimpinan (manajemen) di dunia pesantren. Di satu sisi seorang kyai sebagai public figure bagi santrinya yang harus diikuti, di sisi lain, seorang kyai mampu mengakomodir keberagaman budaya santrinya. Sebagaimana kata Mukti Ali di atas, berkembangnya iklim dan tradisi tolong-menolong dan suasana persaudaraan antara kyai dan santrinya.
Saya melihat, keberhasilan kyai dalam melakukan pengelolaan pesantren, salah satunya karena kyai menjunjung tinggi nilai-nilai, budaya maupun keyakinan. Sikap otokrasi biasanya dilakukan oleh kyai saat beliau menjadi seorang pemimpin pesantren yang lebih menekankan pada nilai-nilai keagamaan[8], misalnya: Pembelajaran yang bersifat kyai-centered. Seorang kyai melihat para santrinya belum matang secara intelektual maupun emosionalnya, sehingga perlu dibimbing dalam belajar. Adapun metode pembelajaranya, biasa disebut dengan metode sorogan atau bandongan dimana kyai mempunyai kekuasan tinggi dalam mengajarkannya, bahkan “haram” bagi santri untuk membantahnya.
Sikap kekeluargaan, keakraban, tolong-menolong biasanya dilakukan oleh kyai saat beliau menjadi seorang manajer pesantren yang lebih menekankan pada proses dan pengelolaan pesantren. Di sinilah letak manajemen budaya yang dilakukan oleh kyai untuk mengembangkan pesantren. Nilai-nilai seperti kekeluargaan, keakraban, tolong-menolong sangat efektif untuk manjalin ikatan emosional antara kyai dan santri untuk mencapai tujuan pesantren secara bersama.
Kemudian dalam kaitannya dengan gejala modernitas dan perkembangan ilmu pengetahuan (the rise of educations), sebaiknya sikap otokrasi dalam kepemimpinan seorang kyai dikurangi dan lebih mengedepankan sikap “mengayomi” santri dengan nilai-nilai, budaya maupun keyakinan agama sebagai basis manajemen budaya di pesantren. Sikap otokrasi akan menghasilkan peserta didik yang tidak kritis dan jumud (kaku) dalam pemikiran. Padahal, perkembangan ilmu pengetahuan membutuhkan keterbukaan dan partisipasi aktif antara peserta didik dengan seorang kyai atau guru. Model pembelajaran bukan kyai-centered tapi santri-centered.

            Dari paparan singkat diatas dapat disimpulkan beberapa perilaku kyai dan santri  sebagai berikut :

1.      Adanya hubungan yang akrab antara kyai dengan santrinya. Dikarenakan sama-sama tinggal dalam satu atap.
2.      Kepatuhan santri pada kyai.Santri mengganggap bahwa tidak akan memperoleh berkah apabila durhaka pada guru.
3.      Hidup hemat dan sederhana benar-benar terwujud dalam pesantren. Bahkan tidak sedikit yang terlalu hemat sehingga kurang memperhatikan kesehatan.
4.      Kemandirian amat terasa di pesantren. Santri melakukan sendiri semua pekerjaan rumah, seperti mencuci baju, memasak, dsb.
5.      Jiwa tolong menolong dan ukhuwah sangat tinggi. Karena sama-sama jauh dari orang tua.
6.      Disiplin yang sangat dianjurkan.  Akan memberikan pengaruh yang sangat besar terhadap pembentukan kepribadian dan moral keagamaan.
7.      Setiap orang akan mampu untuk menghadapi hidup dalam kesenangan, akan tetapi tidak semua orang mampu hidup menderita, karena itu di pesantren para kyai membudayakan hidup dalam kekurangan agar mereka mampu bertahan ketika menghadapi kesulitan dan tidak cepat putus asa dalam berusaha.
8.      Berani menderita untuk mencapai sebuah tujuan. Merupakan pengaruh dari kebiasaan puasa sunat, zikir, salat tahajud, dsb.
9.      Pemberian ijazah, yaitu pencantuman nama dalam suatu daftar rantai transmisi pengetahuan yang diberikan kepada santri-santri yang berprestasi.

2.      Perilaku kelompok (“aliran”)  dalam organisasi pesantren
Kelompok adalah sekumpulan orang yang mempunyai tujuan bersama yang berinteraksi satu sama lain untuk mencapai tujuan bersama, mengenal satu sama lainnya, dan memandang mereka sebagai bagian dari kelompok tersebut (Deddy Mulyana, 2005). Kelompok ini misalnya adalah keluarga, kelompok diskusi, kelompok pemecahan masalah, atau suatu komite yang tengah berapat untuk mengambil suatu keputusan.
Menurut Hammer dan Organ, dalam Adam Ibrahim Indrawijaya ( 2010:56) menyebutkan adanya empat hal penting dari kelompok yaitu : adanya saling berhubungan, saling memperhatikan, merasa sebagai satu kelompok, dan untuk pencapaian tujuan bersama.
Dalam sebuah pesantren biasanya terdapat kelompok – kelompok yang dibuat dengan sengaja, berdasarkan pada intruksi kyai seperti kelompok dalam organisasi santri atau kelompok – kelompok belajar, dan ada pula kelompok yang terjadi dengan sendirinya secara alamiyah yang mungkin karena terdorong oleh jiwa kedaerahan atau karena kesamaan dalam ruang belajar atau kelas. Kelompok ini adalah kelompok dikalangan santri
Kemudian ada lagi kelompok lain yang bersifat sebagai mitra dan atau penanggung jawab keberlangsungan pesantren seperti kelompok yayasan, komite sekolah untuk pesantren yang memiliki sekolah formal dan kelompok wali santri.
Dengan adanya banyak kelompok maka kemungkinan munculnya konflik akan sering terjadi, hal yang sering muncul dipermukaan biasanya adalah perbedaan pendapat dari pihak yayasan dan tidak merangkap sebagai kyai atau pimpinan pondok pesantren yang kadang berakibat cukup fatal.
Ada juga konflik yang sering terjadi dalam organisasi santri, dimana biasanya para pengurus organisasi merasa memiliki wewenang karena mendapat mandate dari kyai untuk menjadi ujung tombak pelaksanaan sunnah pondok, bertindak terlalu keras dalam memberikan hukuman bagi santri yunior yang melanggar. Hal ini pula yang terkadang menyebabkan santri merasa tidak betah dan muncul sikap antipati terhadap pesantren.
Konflik – konflik semacam ini tentu saja berakibat kurang menguntungkan bagi keberlangsungan pesantren, maka ketegasan dan kebijaksanaan seorang kyai menjadi factor penentu untuk dapat meredam munculnya konflik.

3.      Persepsi dan Komunikasi Efektif Pesantren
A. Persepsi Pesantren
Di masyarakat ada kepercayaan sebagian orang kalau yang masuk pesantren adalah anak yang bandel. Minimal, kurang pintar, sebab Kalau pintar, pasti mereka masuk sekolah umum. Kalau anak pintar masuk pesantren, mereka menganggap tindakan kurang tepat.
Rasanya tidak elok menyalahkan pandangan masyarakat tersebut. Beberapa fakta memperkuat pendapat ini. Seorang ustad yang mantan preman mendirikan sebuah pesantren untuk membina mantan napi agar mereka tidak kembali ke jalan yang suram. Beberapa pesantren malah mengkhususkan diri untuk penyembuhan mereka yang kecanduan narkoba. Perlahan namun pasti,  persepsi masyarakat  tentang pesantren agaknya berubah.
Akan tetapi berdasarkan survey, masih banyaknya santri di pesantren – pesantren, persepsi semacam itu bisa dikatakan salah, karena kenyataannya makin banyak orang tua yang menganggap bahwa pendidikan di pondok pesantren adalah pendidikan yang paling ideal untuk putra – putri mereka, mengingat arus globalisasi yang berpengaruh pada perkembangan sikap dan mental anak. Dan masih banyaknya orang tua yang meyakini bahwa pendidikan agama adalah yang paling utama bagi anaknya.
Seiring dengan arus modernisasi dalam pendidikan, banyak pesantren yang melakukan pembenahan dalam berbagai bidang, kalau dulu pesantren terkesan sederhana bahkan serba kekurangan dalam segi fasilitas, kini muncul banyak pesantren baru yang menawarkan kelebihan – kelebihan fasilitas bagi para santri. Dibeberapa pesantren, santri sudah tidak lagi memasak dan  mencuci pakaian sendiri, tempat tidur mereka juga menggunakan kasur empuk, mereka juga diberi kebebasan lebih untuk mengakses informasi.
Target dari pesantren semacam itu adalah kalangan menengah keatas yang mulai dirundung kegalauan dengan masa depan putra putrid mereka jika hidup diluaran tanpa ada yang memperhatikan secara lebih. Dengan demikian persepsi masyarakat terhadap pesantren saat ini sudah mengalami banyak perubahan kearah lebih baik dan membanggakan.
B. Komunikasi efektif pesantren
Komunikasi merupakan dasar interaksi antar manusia. Kesepakatan atau kesepahaman dibangun melalui sesuatu yang berusaha bisa dipahami bersama sehingga interaksi berjalan dengan baik. Persoalan mendasar dari masalah ini terletak pada hambatan yang muncul dalam membangun kesepahaman dan usaha mencapai tujuan secara maksimal. Hal ini biasanya melahirkan suatu kegalauan tentang komunikasi yang tidak sesederhana yang dibayangkan, yang kemudian menuntun pada pemikiran tentang usaha untuk melakukan komunikasi secara efektif.
Secara sederhana komunikasi dapat dipahami sebagai suatu proses penyampaian dan penerimaan pesan dari komunikator (sumber) ke komunikan (penerima). Pada tataran ini, terlihat adanya tiga unsur atau elemen komunikasi yaitu, komunikator, pesan dan komunikan. Secara lebih luas, komunikasi bisa pula dipahami sebagai suatu proses penyampaian dan penerimaan pesan dari komunikator ke komunikan, dengan atau tanpa media, serta melibatkan dua individu atau lebih yang saling berhubungan. Pada tingkat yang lebih kompleks ini, elemen-elemen komunikasi yang nampak adalah komunikator (tunggal/jamak), komunikan (tunggal/jamak), pesan dan media. Biasanya, ikutan dari elemen-elemen yang demikian adalah munculnya pertimbangan tentang efek (pengaruh) serta umpan balik (feedback).
Komunikasi efektif dipandang sebagai suatu hal yang penting dan kompleks (Mingay, 2005: 2; dan Soller, Lesgold, Linton dan Goodman, 1999: 1-8). Dianggap penting karena ragam dinamika kehidupan (bisnis, politik, misalnya) yang terjadi biasanya menghadirkan situasi kritis yang perlu penanganan secara tepat, munculnya kecenderungan untuk tergantung pada teknologi komunikasi, serta beragam kepentingan yang ikut muncul. Juga dipandang kompleks karena komunikasi efektif tidak serta merta berlaku untuk semua bentuk proses komunikasi yang terjalin. Dengan kata lain, rujukan komunikasi efektif hanya berlaku pada kasus-kasus tertentu dan kurang bisa digeneralisasi.
Hasil penelitian Johnson, Sutton dan Harris (2001: 81) menunjukkan cara-cara agar komunikasi efektif dapat dicapai. Menurut mereka, komunikasi efektif dapat terjadi melalui atau dengan didukung oleh aktivitas role-playing, diskusi, aktivitas kelompok kecil dan materi-materi pengajaran yang relevan. Meskipun penelitian mereka terfokus pada komunikasi efektif untuk proses belajar-mengajar, hal yang dapat dimengerti di sini adalah bahwa suatu proses komunikasi membutuhkan aktivitas, cara dan sarana lain agar bisa berlangsung dan mencapai hasil yang efektif.
Pesantren sebagai sebuah organisasi harus dapat menjalankan komunikasi secara efektif agar semua target dan program yang direncanakan dapat terlaksana, komunikasi efektif dalam pesantren harus dibangun dari kyai sebagai menejer kepada para ustad, dan dari ustad kepada santri dalam proses pendidikan dan pengajaran.
Salah satu komunikasi efektif yang harus dibangun adalah komunikasi pesantren dengan alumni, mengingat berdasarkan kebiasaan, masuknya santri baru kedalam pesantren banyak disebabkan oleh alumni yang menyebarkan berita pesantren tanpa diminta dan tanpa brosur.
Terputusnya komunikasi alumni dengan pesantren akan merugikan pihak pesantren, untuk itu agar tetap terjaga komunikasi tersebut, harus diawali dengan penciptaan budaya pesantren yang menyebabkan para alumni selalu merasa rindu dengan terkenang dengan pesantren, serta selalu membanggakan almamaternya.

4. Motivasi Organisasi Pesantren
Motivasi. Mungkin itu yang kita butuhkan saat bekerja atau belajar. Setiap hari, kita bisa memperoleh motivasi dari apapun yang kita percayai. Agama, orang tua, guru, kekasih, sahabat, musuh, bahkan orang-orang yang usianya lebih muda dari kita. Saat memulai hari dengan motivasi, hidup terasa lebih ringan. Tapi, seiring dengan berjalannya waktu, motivasi yang kita miliki pun turun, sesuai dengan sifat motivasi itu sendiri,yazîdu wa yanqushu.
Dalam Wikipedia Bahasa Indonesia disebutkan pengertian motivasi sebagai berikut:
“Motivasi adalah proses yang menjelaskan intensitas, arah, dan ketekunan seorang individu untuk mencapai tujuannya Tiga elemen utama dalam definisi ini adalah intensitas, arah, dan ketekunan”
Dalam hubungan antara motivasi dan intensitas, intensitas terkait dengan dengan seberapa giat seseorang berusaha, tetapi intensitas tinggi tidak menghasilkan prestasi kerja yang memuaskan kecuali upaya tersebut dikaitkan dengan arah yang menguntungkan organisasi. Sebaliknya elemen yang terakhir, ketekunan, merupakan ukuran mengenai berapa lama seseorang dapat mempertahankan usahanya.
Dalam definisi tersebut, seorang yang termotivasi memiliki arah yang sudah ia tentukan sendiri. Dengan memiliki arah, dengan ditambah kepercayaan yang tinggi terhadap diri sendiri dan orang yang disekelilingnya, intensitasnya pun semakin tinggi, sehingga ketekunannya dalam bekerja pun semakin tinggi pula.
            Adapun motivasi organisasi pesantren berdasarkan beberapa buku tentang pesantren adalah mencari ridla Allah SWT, Menjalankan Perintah Rasulullah SAW, dan melaksanakan da’wah islamiyah untuk menjadi umat terbaik sebagaimana janji Allah dalam alQur’an surat Ali Imran ayat : 110.
Namun, ada beberapa hal yang bisa menurunkan motivasi seiring dengan berjalannya waktu, dan menurut pengalaman , berikut adalah hal-hal yang dapat menurunkan motivasi:
  1. Melakukan sesuatu tanpa tahu sebabnya
Untuk itu agar seluruh anggota dan kelompok dalam organisasi dapat termotivasi dalam berbagai aktifitas, program dan budaya pesantren harus disosialisasikan secara merata sehingga setiap orang mengetahui sebab- sebab dan keuntungan yang mereka kerjakan.
  1. Adanya sedikit ketidakpercayaan . 
Ketidak percayaan muncul karena ada sesuatu yang mengganjal di hati atau pikiran. Jika ustad dan santri sampai kehilangan kepercayaan kepada kyainaya, maka tunggulah kehancuran pesantren tersbut, jika tidak segera dilakukan tindakan untuk memperbaikinya,
  1.  Favoritisme. 
    Favoritisme berarti mengunggulkan seseorang karena sesuatu hal yang dimilikinya, berdasarkan penilaian pribadi. Ini sering terjadi dalam keluarga, di mana sang kakak mendapatkan jatah lebih besar daripada sang adik, atau sang bungsu sering mendapatkan perhatian lebih daripada sang anak pertama. Ini juga lebih banyak terjadi lagi pada organisasi yang menggunakan skema top-down, di mana sang bawahan cenderung disukai oleh seorang atas karena beberapa hal tertentu, ketimbang bawahan yang lain. Yang termotivasi justru satu orang saja, tapi orang-orang selain dia bisa jadi kehilangan motivasi karena adanya favoritisme. Ujung-ujungnya bisa jadi Kolusi dan Nepotisme.
  2. Komunikasi satu arah.
Menerima pesan atau omongan dari atasan tanpa partisipasi yang cukup dari seorang bawahan membuat sang bawahan merasa dirinya tidak berpengaruh pada organisasi. Dengan kata lain, terjadi sebuah hal yang disebut dengan minder. Muncullah ketidakpercayaan diri dalam tubuh kita, yang akhirnya membuat kinerja kita jatuh akibat turunnya motivasi.
  1. Pekerjaan yang tidak dihargai. 
Pekerja yang pekerjaannya sering tidak dihargai akan cenderung kehilangan motivasinya. Bila seorang pekerja kena marah, tanpa dibangun motivasinya kembali, maka bisa jadi muncullah ketidakbetahan dirinya di dalam organisasi tersebut.

BAB III
KESIMPULAN

Peranan Kyai sebagai pemimpin dalam budaya organisasi pesantren sangat esensial, para Kyai mempunyai potensi yang paling besar dalam menanamkan dan memperkuat aspek-aspek budaya organisasi pesantren baik melalui perkataan maupun perilakunya. Ada yang berpendapat lebih ekstrim, bahwa budaya organisasi pesantren bersumber dari kepemimpinan kyai dan Kyai itu sendiri, karena Kyailah yang pada dasarnya memiliki otoritas. Otoritas bisa dalam bentuk persetujuan, ketidaksetujuan, ataupun penghargaan atas perilaku anggota organisasi pesantren, sehingga akhirnya melembaga dan terbentuk menjadi budaya organisasi.
Setiap orang akan melakukan perilaku yang berbeda dalam kehidupannya sehari-hari. Jadi ketika individu memasuki dunia organisasi maka karakteristik yang dibawanya adalah kemampuan, kepercayaan pribadi, pengharapan kebutuhan, dan pengalaman masa lalunya. Dan organisasi juga mempunyai karakteristik yaitu keteraturan yang diwujudkan dalam susunan hirarki, pekerjaan-pekerjaan, tugas-tugas, wewenang, tanggung jawab, system penggajian, system pengendalian dan lain sebagainya. Jika karakteristik antara individu digabungkan dengan karakteristik organisasi maka akan terwujud perilaku individu dalam organisasi. Jadi perilaku individu dalam organisasi adalah suatu fungsi dari interaksi antara seorang individu dengan lingkungannya ( organisasi ).
Pondok pesantren sebagai sebuah organisasi harus mengembangkan budayanya sendiri yang berkarakter sesuai dengan visi dan misinya, agar seluruh warga pesantren menjadi lebih produktif dan akan dapat mencetak generasi Islami seperti yang di idamkan.
Dalam bab terakhir ini penulis mencoba memberikan rekomendasi untuk budaya organisasi pesantren sebagai berikut:
1.      Diperlukan sikap kyai/ustadz yang kebapaan dan bijaksana dalam proses pembinaan serta pembiasaan tata nilai kedisplinan bagi santri. Diperlukan pula figur seorang pemimpin yang ikhlas dalam melayani kepentingan santri, karena hal ini akan mendorong lancarnya proses pembinaan dan pembiasaan.
2.      Diperlukan syarat yang profesional untuk menjadi pembina/guru, yaitu persyaratan fisik, psikis, mental, moral, dan intelektual sehingga guru bisa melakukan fungsinya dengan baik dalam proses pembinaan disiplin santri.
3.      Diperlukan guru/pembina yang menjadi motor penggerak, pemberi semangat, dan pemberi motivasi bagi kelangsungan proses pelatihan dan pembinaan nilai-nilai disiplin santri, agar setiap kegiatan bisa berjalan lancar, aman dan tertib.
4.      Khusus untuk orang tua: Diperlukan keikhlasan dan kepercayaan penuh dalam menyerahan putra-putrinya untuk dididik, dilatih dan dibina oleh pondok pesantren sesuai dengan program pendidikan yang diterapkan di pesantren. Untuk lebih meyakinkan diri, perlu mencari informasi sebanyak mungkin sebelum memasukan putra-putrinya ke lembaga pendidikan seperti pesantren, sehingga ketika proses pembinaan sedang berlangsung, tidak ada penyesalan serta tidak menarik putra-putrinya untuk dipindahkan ke tempat lain. Diperlukan perhatian penuh kepada putra-putranya selama proses pendidikan, diantaranya dengan meluangkan waktu menjenguk dan melihat proses pembinaan di pondok pesantren.
5.      Pesantren sebagai lembaga pendidikan pengkaderan ulama harus tetap melekat pada pesantren, karena pesantren adalah satu-satunya lembaga pendidikan yang melahirkan ulama. Namun demikian, tuntutan modernisasi dan globalisasi mengharuskan ulama memiliki kemampuan lebih, kapasitas intelektual yang memadai, wawasan, akses pengetahuan dan informasi yang cukup serta responsif terhadap perkembangan dan perubahan sehingga kurikulum pesantren harus dipadukan dengan kurikulum modern yang berbasis pendidikan nilai.
6.      Diperlukan waktu 90 hari untuk menciptakan sebuah kebiasaan agar tertanam dalam otak bawah sadar, untuk itu dalam menerapkan budaya pesantren, kyai dan ustadz agar tidak pernah menghentikan kebiasaan baik terhadap santrinya sebelum waktu tersebut, sebab jika sudah tertanam didalam otak bawah sadar, maka pembiasaan tadi tidak perlu dipaksakan lagi tapi akan berjalan dengan sendirinya seperti tanpa beban.
 DAFTAR PUSTAKA

Ainurrafiq Dawam , Ahmad Ta’arifin, Khoiron Durori. 2004. Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren,
Griffin ricky : Managemen,  (PT Gelora Aksara Pratama)
Haedari, dkk. IRD Pres 2004. Masa Depan Pesantren: dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Kompleksitas Global
John M. Ivancevich, Robert Konopaske, Michael T. Matteson : Perilaku dan managemen organisasi, (Jakarta : Erlangga)
Keith Davis dan John W. Newstrom, Perilaku dalam Organisasi (Jakarta: Erlangga. 1985)
A Mukti Ali. 1987. Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini. Jakarta: Rajawali press
Qomar, Mujahid Prof. Dr. tt. Pesantren: Dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi. Jakarta : Erlangga
Robbins, Stephen P – Timothy A. Judge, Perilaku Organisasi Buku 1 dan 2, Salemba Empat Jakarta
Sobirin, Akhmad. 2007. Budaya Organisasi: Pengertian, Makna, dan Aplikasinya dalam Kehidupan Organisasi. Unit Penerbit dan Percetakan Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN. Yogyakarta.
Taliziduhu Ndraha, Budaya Organisasi (Jakarta: PT Rineka Cipta. 2003)
Yukl, Gary. 1998. Kepemimpinan dalam Organisasi (Edisi Bahasa Indonesia). Prenhallindo. Jakarta.



[1] Sobirin, 2007:128-129
[2] perilaku dan manajemen organisasi, edisi ke 7 jilid 1 hal: 5
[3] Mujamil Qomar : Pesantren dari transmisi …. Hal : 36
[4] Haedari, dkk. 2004. Masa Depan Pesantren…,hal. 14-15 atau lihat Mukti Ali. 1987. Beberapa Persoalan Agama Dewasa ini. Jakarta: Rajawali press., hal. 5
[5] Ibid., hal. 15
[6] Ainurrafiq Dawam dan Ahmad Ta’arifin. 2005. Manajemen…, hal. 73
[7] Ibid., hal. 74
[8] Sebagaimana Tony Bush dan Merianne Coleman mengatakan bahwa kepemimpinan diidentikan dengan visi dan nilai-nilai, sedangkan manajemen diidentikan dengan proses dan struktur. Bush & Marianne Coleman. 2006. Manajemen Strategis…,hal. 63

Tidak ada komentar:

Posting Komentar