Oleh: Abdullah Amin
A. Pendahuluan
Pesantren
adalah bentuk pendidikan Islam yang sudah melembaga secara permanen di
pedesaan. Bentuk-bentuk pendidikan Islam di pedesaan paling tidak dapat
disebutkan dalam beberapa istilah, yaitu perguruan formal, serikat
tolong-menolong seperti kelompok yasinan, majelis latihan seperti pesantren
kilat dan kuliah tujuh menit (Kuntowijoyo,1988:105).
|
Gejala tren pesantren dewasa ini juga muncul dilingkungan perkotaan,
seperti fenomena kemunculan beberapa pesantren mahasiswa/pelajar, seperti di Malang
misalnya Al-Hikam, Ulil Absor, Firdaus, Dar al-Hijrah, dan beberapa yang
lain. Kecenderungan ini menunjukkan, bahwa meskipun sistem
pendidikan pesantren memiliki beberapa kelemahan, namun ternyata masih dianggap
sebagai tempat paling efektif untuk memperkenalkan Islam.
B. Pengertian
Seputar Pesantren
Menurut
pendapat para ilmuwan, istilah pondok pesantren adalah merupakan dua istilah
yang mengandung satu arti. Orang Jawa menyebutnya “pondok” atau “pesantren”.
Sering pula menyebut sebagai pondok pesantren. Istilah pondok barangkali
berasal dari pengertian asrama-asrama para santri yang disebut pondok atau
tempat tinggal yang terbuat dari bambu atau barangkali berasal dari bahasa Arab
“funduq” artinya asrama besar yang disediakan untuk persinggahan.
Jadi
pesantren secara etimologi berasal dari kata santri yang mendapat awalan
pe- dan akhiran -an sehingga menjadi pe-santria-an yang
bermakna kata “shastri” yang artinya murid. Sedang C.C. Berg.
berpendapat bahwa istilah pesantren berasal dari kata shastri yang
dalam bahasa India berarti orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu, atau
seorang sarjana ahli kitab-kitab suci agama Hindu. Kata shastri berasal
dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku suci agama atau
buku-buku tentang ilmu pengetahuan.
Dari
pengertian tersebut berarti antara pondok dan pesantren jelas merupakan dua
kata yang identik (memiliki kesamaan arti), yakni asrama tempat
santri atau tempat murid / santri mengaji.
Sedang
secara terminologi pengertian pondok pesantren dapat penulis kemukakan dari
pendapatnya pada ahli antara lain:
M.
Dawam Rahardjo memberikan pengertian pesantren sebagai sebuah lembaga
pendidikan dan penyiaran agama Islam, itulah identitas pesantren pada awal
perkembangannya. Sekarang setelah terjadi banyak perubahan di masyarakat,
sebagai akibat pengaruhnya, definisi di atas tidak lagi memadai, walaupun pada
intinya nanti pesantren tetap berada pada fungsinya yang asli, yang selalu
dipelihara di tengah-tengah perubahan yang deras. Bahkan karena menyadari arus
perubahan yang kerap kali tak terkendali itulah, pihak luar justru melihat
keunikannya sebagai wilayah sosial yang mengandung kekuatan resistensi terhadap
dampak modernisasi.
C. Sistem Nilai
dalam Pesantren
Dalam
pembahasan sistem yang dikembangkan oleh pesantren adalah sebuah pranata yang
muncul dari agama dan tradisi Islam. Secara khusus Nurcholis Madjid
menjelaskan, bahwa akar kultural dari sistem nilai yang dikembangkan oleh
pesantren ialah ahlu’l-sunnah wa-‘l-jama’ah. Dimana, jika dibahas lebih
jauh akar-akar kultural ini akan membentuk beberapa segmentasi pemikiran
pesantren yang mengarah pada watak-watak ideologis pemahamannya, yang paling
nampak adalah konteks intelektualitasnya terbentuk melalui “ideologi”
pemikiran, misalnya dalam fiqh- lebih didominasi oleh ajaran-ajaran syafi’iyah,
walaupun biasanya pesantren mengabsahkan madzhab arba, begitu juga dalam
pemikiran tauhid pesantren terpengaruh oleh pemikiran Abu Hasan al-Ash’ary dan
juga al-Ghazali. Dari hal yang demikian pula, pola rumusan kurikulum serta
kitab-kitab yang dipakai menggunakan legalitas ahlu sunnah wal jama’ah tersebut
(madzhab Sunni).
Secara lokalistik faham sentralisasi
pesantren yang mengarah pada pembentukan pemikiran yang terideologisasi
tersebut, memengaruhi pula pola sentralisasi sistem yang berkembang dalam
pesantren. Dalam dunia pesantren legalitas tertinggi adalah dimiliki oleh Kiai,
dimana Kiai disamping sebagai pemimpin “formal” dalam pesantren, juga termasuk
figur yang mengarahkan orientasi kultural dan tradisi keilmuan dari tiap-tiap
pesantren. Bahkan menurut Habib Chirzin, keunikan yang terjadi dalam pesantren
demikian itu, menjadi bagian tradisi yang perlu dikembangkan, karena dari
masing-masing memiliki efektivitas untuk melakukan mobilisasi kultural dan
komponen-komponen pendidikannya.
D. Tipologi
Pesantren : Macam-Macam Jenis Pesantren
Jika
dikelompokkan, setidaknya ada tiga jenis pesantren, yaitu: pesantren salaf,
pesantren khalaf, dan pesantren takmili (penyempurna). Berikut ini
adalah sekilas perbedaan tiap-tiap jenis pesantren.
1. Pesantren
Salaf (Tradisional)
Yaitu
pesantren yang tetap mempertahankan sistem (materi pengajaran) yang sumbrnya
kitab–kitab klasik Islam atau kitab dengan huruf Arab gundul (tanpa baris
apapun). Sistem sorogan (individual) menjadi sendi utama yang diterapkan.
Pengetahuan non agama tidak diajarkan. Pesantren salaf adalah pesantren dalam
bentuk aslinya, yaitu pesantren yang diasuh oleh kiai yang mengajarkan kitab
kuning, diberikan dengan bentuk bandongan, wekton, dan sorogan. Para santri
belajar ke kiai tidak semata-mata mendapatkan ilmu, tetapi juga berkah dan
ridho kiai. Untuk mendapatkan keuntungan itu, para santri sangat tawadhu' dan
thoat pada kiai.
a.
Tujuan Pesantren Salaf
Berbeda
dengan lembaga pendidikan yang lain, yang pada umumnya menyatakan tujuan
pendidikan dengan jelas, misalnya dirumuskan dalam anggaran dasar, maka
pesantren salaf pada umumnya tidak merumuskan secara eksplisit dasar dan tujuan
pendidikannya. Hal ini terbawa oleh sifat kesederhanaan pesantren yang sesuai
dengan motivasi berdirinya, di mana kiainya mengajar dan santrinya belajar,
atas dasar untuk ibadah dan tidak pernah dihubungkan dengan tujuan tertentu
dalam lapangan penghidupan atau tingkat dan jabatan tertentu dalam hirarki
sosial maupun ekonomi.
b.
Kurikulum di Pesantren Salaf
Pada
pesantren-pesantren salaf, istilah kurikulum tidak dapat diketemukan, walaupaun
materinya ada di dalam praktek pengajaran, bimbingan rohani dan latihan
kecakapan dalam kehidupan sehari-hari di pesantren. Materi kurikulum pesantren
salaf cenderung berkiblat ke model pendidikan ribath di Hadramaut ini bisa kita
maklumi karena para dai pertama di Jawa memang berasal dari sana. Yang mencolok
adalah penekanannya dalam bidang fikih yang sudah jadi dan tasawuf serta ilmu
alat. Barangkali inilah yang memunculkan predikat pesantren salaf.
Bahkan
dalam kajian atau hasil penelitian pembahasan kurikulum secara sistematik
jarang diketemukan, seperti jika kita melihat hasil penelitian Karel A.
Steenbrink. Tentang pesantren, ketika membahas sistem pendidikan pesantren,
lebih banyak mengemukakan sesuatu yang bersifat naratif, yaitu menjelaskan
interaksi santri dan kiai serta gambaran pengajaran agama Islam, termasuk Al-Qur’an
dan kitab-kitab yang dipakai sehari-hari.
c.
Pola Lama Pesantren Salaf
Sebagai
lembaga pendidikan Islam tradisional, pesantren salaf memiliki kecenderungan
untuk mempertahankan tradisi yang berorientasi pada pikiran-pikiran ulama ahli
fikih, hadis, tafsir dan tasawuf yang hidup antara abad 7 sampai dengan abad
13, sehingga muncul kesan yang melekat bahwa dalam beberapa hal muslim
tradisional mengalami stagnasi.
d.
Pesantren Salaf dan Tantangannya
Peranan
pesantren tradisional (salaf) telah terbukti dalam sejarah perjuangan
kemerdekaan. Sebagai lembaga pendidikan tertua di Indonesia, pesantren salaf
telah berhasil membuktikan diri sebagai pusat pengkaderan ulama, pemimpin yang
tangguh dan benteng akidah umat. Bahkan hampir semua Pesantren—baik kiai maupun
santrinya--ikut aktif berperan serta dalam sejarah perjuangan merebut kemerdekaan
Indonesia maupun saat mengisi kemerdekaan. Tak sedikit santri-santri pesantren
tempo dulu yang menjadi tokoh nasional terkemuka dan disegani karena perannya
sebagai pahlawan, ilmuwan dan pemimpin umat yang ikhlas.
Akan tetapi, di tengah problematika dunia pendidikan yang
kompleks, pesantren salaf juga dihadapkan pada sejumlah tantangan. Sepanjang
sejarah pendidikan Indonesia terus dikuasai dan dikendalikan kaum nasionalis
dengan kendaraannya yang tangguh dan selalu berganti-ganti merek mulai dari P
dan K sampai Diknas dengan segala kekuatannya mereka berusaha memarjinalkan
pendidikan tradisional (baca: pesantren salaf dan madrasah) dalam sejarah
pendidikan Indonesia. Puncaknya adalah lahirnya keputusan pemerintah yang tidak
mengakui jjazah pesantren dan madrasah diniyah dalam sistem pendidikan
pemerintahan. Kenyataan itu ternyata membuat
kaum tradisionalis tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengamininya. Padahal
sesungguhnya itu semua adalah kiat politik orde baru dalam mengebiri pendidikan
agama Islam yang menjadi hak setiap warga negara dan membendung peran dan
kesempatan agamawan dari kelompok tradisionalis dalam pemerintahan.
Secara
eksternal, pesantren harus bersaing dengan model lembaga pendidikan lain yang
secara finansial menjajikan masa depan. Jangankan meluaskan jangkauan basis
konsumennya dengan mempromosikan segala keunggulan model dan materi
pengajarannya, untuk sekadar eksis dalam mempertahankan basis konsumennya saja,
pesantren salaf mengalami kesulitan. Fakta menunjukkan, di sebagian daerah,
para alumni pesantren salaf tidak lagi memercayakan urusan pendidikan
putra-putranya di almamaternya, pesantren salaf. Ada kesan, mereka–para alumni
pesantren salaf–merasa kapok mondok. Karena, dengan mondok di pesantren
salaf, mereka merasa masa depannya tidak secerah jika menempuh pendidikan di
sekolah dan perguruan tinggi umum, sehingga mereka tidak ingin putra-putra
mereka mengalami hal yang sama. Dan, secara umum, memang ada kecenderungan
sejumlah pesantren salaf mengalami penurunan jumlah santri.
Belum
lagi, secara internal, pesantren salaf dihadapkan pada tren penurunan kualitas
keilmuan para alumni dan santrinya. Lepas dari apa penyebab utama yang
melatarbelakanginya, yang jelas, secara kultur juga dirasakan mulai memudarnya
budaya salaf, mulai dari penghormatan dan rasa ta’zhim pada guru dan kiai,
kegigihan belajar yang disertai sejumlah ritual tirakat; puasa, wirid dan
lainnya, hingga kepercayaan pada mitos barakah yang selama ini diidam-idamkan
para santri. Meski tidak begitu “parah”, ada tanda-tanda budaya salaf ini mulai
berkurang.
Dalam
menyiasati sejumlah problematika ini, pesantren salaf selayaknya berbenah diri
dan melakukan perubahan atau improvisasi. Namun, perubahan dan improvisasi ini
semestinya tidak sampai melunturkan atau bahkan menghilangkan identitas khas
pesantren salaf. Perubahan semestinya diarahkan hanya sebatas aspek teknis
operasionalnya, bukan substansi pendidikan pesantren salaf itu sendiri. Sebab,
jika perubahan dan improvisasi itu menyangkut substansi pendidikan, maka
pesantren yang mengakar ratusan tahun lamanya, akan tercerabut dan kehilangan
elan vital sebagai penopang moral yang menjadi citra utama pendidikan
pesantren. Teknis operasional dimaksud bisa berwujud perencanaan pendidikan
yang lebih komprehensif, pembenahan kurikulum pesantren dalam pola yang mudah
dicernakan, dan tentu saja adalah skala prioritas dalam pendidikan[13].
2. Pesantren
Khalaf (Modern)
Yaitu
sistem pesantren yang menerapkan sistem madrasah yaitu pengajaran secara
klasikal, dan memasukan pengetahuan umum dan bahasa non Arab dalam kurikulum.
Dan pada akhir-akhir ini menambahnya dengan berbagai keterampilan. Pesantren khalaf
ialah pesantren yang telah beradaptasi dengan pendidikan modern,
setidak-tidaknya telah menyelenggarakan pendidikan dengan kepemimpinan dan
manajemen modern, misalnya lembaga pendidikan itu berjenjang, berkelas (madrasi),
menggunakan kurikulum, evaluasi dan para guru yang mengajar bukan sebatas
menjadi otoritas kiai, tetapi juga para ustadz-ustadz yang dipercaya.
a.
Corak Pembaharuan Pesantren
Menghadapi
perubahan zaman yang begitu cepat, dunia pesantren mengalami pergeseran kearah
perkembangan yang lebih positif, baik secara struktural maupun kultural, yang
menyangkut pola kepemimpinan, pola hubungan pimpinan dan santri, pola
komunikasi, cara pengambilan keputusan dan sebagainya, yang lebih memperhatikan
prinsip-prinsip manajemen ilmiah dengan landasan nilai-nilai Islam. Dinamika
perkembangan pesantren semacam inilah yang menampilkan sosok pesantren yang
dinamis, kreatif, produktif dan efektif serta inovatif dalam setiap langkah
yang ditawarkan dan dikembangkannya. Sehingga, pesantren merupakan lembaga yang
adaptif dan antisipatif terhadap perubahan dan kemajuan zaman dan teknologi
tanpa meninggalkan nilai-nilai religius.
b. Pioneer Pondok Pesantren Modern
Menurut penulis, Pondok Gontor merupakan pioneer pondok pesantren
modern. Pondok Gontor yang nama aslinya adalah Daarus Salaam itu didirikan pada
10
April 1926 di Ponorogo, Jawa Timur oleh tiga bersaudara putra Kiai Santoso Anom Besari. Tiga
bersaudara ini adalah KH Ahmad Sahal, KH Zainudin Fananie, dan KH Imam Imam
Zarkasy dan yang kemudian dikenal dengan istilah Trimurti.
Pada
masa itu pesantren ditempatkan di luar garis modernisasi, dimana para santri pesantren oleh masyarakat dianggap pintar
soal agama tetapi buta akan pengetahuan umum. Trimurti kemudian menerapkan
format baru dan mendirikan Pondok Gontor dengan mempertahankan sebagian tradisi
pesantren salaf
dan mengubah metode pengajaran pesantren yang menggunakan sistem watonan
(massal) dan sorogan (individu) diganti dengan sistem klasik seperti
sekolah umum. Jadi pesantren modern tidak membuang semua tradisi pesantren
salaf. Lebih tepatnya, pesantren modern telah memadukan antara metode pesantren
salaf dan metode pendidikan modern.
3. Pesantren
Takmili (penyempurna)
Adalah
pesantren yang keberadaannya sebagai penyempurna terhadap lembaga pendidikan
yang ada, misalnya Diniyah untuk melangkapi pendidikan umum mulai dari SD, SMP,
SMA dan juga lembaga pendidikan ma'had 'ali yang akhir-akhir ini mulai dirintis
di perguruan tinggi agama semacam UIN/IAIN dan STAIN.
Ma'had
'ali (Pesantren Tinggi) keberadaannya sebagai penyempurna terhadap perguruan
tinggi yang ada. Para santrinya adalah para mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi
atau universitas yang biasa disebut mahasantri. Ma'had 'ali memiliki metode
pendidikan yang merupakan kombinasi antara sistem pesantren dan perguruan
tinggi.
Di antara ma'had 'ali yang ada di
Banten adalah Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah yang diasuh oleh Prof KH
Ali Mustafa Ya'qub MA.
a. Format dan Masa Pendidikan Pesantren Luhur
Ilmu Hadis Darus-Sunnah
Metode pendidikan di Pesantren Luhur
Ilmu Hadis Darus-Sunnah merupakan kombinasi antara sistem pesantren dan
perguruan tinggi, antara dzikir dan fikir, antara penghayatan pengamalan ilmu
dan penalaran kritis intelektual. Masa pendidikan adalah delapan semester atau
empat tahun, dengan waktu belajar pukul 05.00 - 06.30 WIB dan pukul 19.15-21.30
WIB. Sistem pengajian pada tiap waktu tersebut tidaklah sama. Pada pukul
19.15-21.30 WIB, metode yang digunakan adalah diskusi mahasantri yang dibagi ke
dalam beberapa kelompok (usrah), guna memahami dan mendiskusikan materi
yang telah ditentukan dalam silaby yang akan dikaji keesokan harinya bersama
kiai atau ustadz pengajar.
Sementara pengajian pagi hari
menggunakan metode sorogan, yaitu mahasantri membaca materi dan menjelaskan apa
yang telah dibacanya. Dan jika dianggap perlu, kiai atau pengajar dapat
memberikan pertanyaan kepada santri untuk mengetahui seberapa besar pemahaman
mahasantri terhadap materi yang sedang dibahas. Kiai atau pengajar memilih
mahasantri yang membaca secara acak (random).
Metode sorogan digunakan pada materi Kutub
Sittah (Shahih al-Bukhari, Shahih Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan al-Tirmidzi,
Sunan al-Nasa`i, dan Sunan Ibnu Majah), Ilmu Hadis, Fiqh, Ushul Fiqh, dan
Akidah. Sementara mata kuliah lain disampaikan dengan metode taken for
granted, di mana pengajar menjelaskan materi lalu diikuti sesi tanya jawab
dan diskusi kelas.
Dalam kegiatan belajar-mengajar, dan
kegiatan-kegiatan resmi lainnya digunakan bahasa Arab sebagai bahasa pengantar.
b. Kualifikasi Mahasantri Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah
Mahasantri Pesantren Luhur Ilmu Hadis
Darus-Sunnah dikategorikan menjadi dua kelompok, yaitu muntazhim dan muntasib.
Mahasantri muntazhim adalah mahasantri yang berhak tinggal di asrama,
sementara mahasantri muntasib adalah mereka yang tinggal di luar asrama.
Penentuan kategori muntazhim atau muntasib ini dilakukan dengan
mekanisme ujian seleksi masuk Pesantren. Namun demikian, baik mahasantri muntazhim
maupun muntasib, keduanya memperoleh pelajaran dan hak-hak yang sama.
Pengkategorian ini dilakukan karena
terbatasnya lokal asrama, sehingga tidak semua mahasantri yang telah memenuhi
kualifikasi dapat tinggal di asrama. Hal ini juga dilakukan karena metode
sorogan yang dilakukan pada pengajian pagi tidak memungkinkan dilakukan bersama
mahasantri yang jumlahnya banyak. Pembatasan jumlah mahasantri muntazhim
juga dimaksudkan agar pembinaan dan pengawasan mahasantri dapat dilakukan
dengan optimal.
Selama 4 tahun mengaji di
Darus-sunnah, mahasantri telah membaca seluruh Kutub Sittah (sekitar 20
jilid), mengkaji Fiqh dan Ushul Fiqh serta Fiqh Muqarin (perbandingan),
mempelajari Akidah, Ilmu Hadis, Bahasa dan Sastra Arab. Dan bagi mahasantri muntazhim
yang tamat dari Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah serta menyerahkan tugas
akhir berupa takhrij hadis yang ditugaskan oleh khadim ma’had (pengasuh
pesantren) dan akan diberikan Ijazah Licence (Lc).
c. Tipologi Mahasantri Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus-Sunnah
Mahasantri Darus-Sunnah berasal dari
berbagai daerah di Indonesia dengan prosentasi 75 % berasal dari pulau Jawa,
baik dari Jawa Barat (Jakarta, Tangerang, Bekasi, Karawang, Subang, Bogor,
Tasik, Cirebon, Banten, Bandung, Sumedang, dan lain sebagainya), Jawa Tengah
(Batang, Tegal, Pati, Solo, dan Kudus), dan Jawa Timur (Madura, Lirboyo,
Jombang, Lamongan, Tuban, dan Kediri), dan 24 % berasal dari Sumatera Barat
(Payakumbuh, Batu Sangkar, Pariaman, Sawah Lunto), Riau, Jambi dan Lampung.
Sementara selebihnya (1%) adalah utusan dari luar Jawa dan Sumatera (Maluku,
Lombok. Kalimantan, dan Bali). Hampir seluruhnya (100%) memiliki latar belakang
pesantren, dalam artian sudah pernah mengenyam pendidikan pesantren
sebelumnya.
Darus-sunnah adalah Pesantren
mahasiswa, sebagian besar di antaranya adalah mahasiswa Universitas Islam
Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta, meskipun dengan fakultas dan jurusan
yang berbeda-beda. Jurusan dan konsentrasi yang diambil bervariasi, dari
Fakultas Tarbiyah, dan Dirasat Islamiyah hingga Sains-Teknologi, dan
Kedokteran. Namun demikian, sebagian besar (96%) merupakan mahasiswa jurusan
keagamaan. Beberapa mahasantri bahkan mengambil dua kuliah sekaligus di
universitas yang berbeda. Dan kebanyakan mahasantri Darus-sunnah adalah aktivis
kampus.
E.
Kesimpulan
Secara
garis besar, pesantren dapat dibagi menjadi tiga macam, yaitu pesantren salaf
(tradisional), pesantren khalaf (modern), dan pesantren takmili (penyempurna)
seperti Diniyah dan Ma'had Ali.
Masing-masing
corak pesantren memiliki latar belakang sejarah yang berbeda. Pesantren salaf
pada masa perintisannya dimulai dengan adanya seorang kiai yang menetap di
suatu desa, lalu kapasitas ilmunya dipercaya masyarakat sehingga muncullah
santri-santri yang bermukim dengan tempat permukiman yang ala kadarnya.
Kemudian setelah itu barulah dibangun gedung atau sarana-sarana penunjang yang
permanen. Hal ini berbeda dengan kebanyakan pesantren modern zaman sekarang.
Kebanyakan pesantren modern pada awal perintisannya dimulai dengan penggalangan
dana oleh suatu organisasi atau yayasan untuk membangun bangunan permanen dan
mengadakan berbagai sarana penunjang, baru dicari kiai yang dianggap layak,
kemudian dibuka pendaftaran santri. Dari sinilah tampak pertumbuhan dan
eksistensi yang berbeda antara pesantren salaf dan pesantren modern.
Pesantren
salaf tumbuh alami dan bergantung pada asas kepercayaan masyarakat kepada
kiainya. Pesantren modern tumbuh berkembang sesuai dengan program unggulannya
yang diminati dan menjadi tuntutan masyarakat.
Pada
gaya kepemimpinannya, pesantren salaf menjadikan legalitas tertinggi dan
otoritas mengajar milik Kiai, dimana Kiai disamping sebagai pemimpin “formal”
dalam pesantren, juga termasuk figur yang mengarahkan orientasi kultural dan
tradisi keilmuan dari tiap-tiap pesantren. Hal ini berbeda dengan pesantren
modern dan pesantren takmili yang menjadikan otoritas mengajar tidak hanya
milik kiai, tapi para ustadz yang dipercaya juga memiliki otoritas mengajar.
Pesantren
salaf tidak memiliki kurikulum, visi, misi, dan tujuan yang sistematis dan
jelas. Proses belajar berjalan alami tanpa pembatasan waktu dan jenjang
tertentu. Berbeda dengan pesantren modern yang memiliki visi, misi, tujuan, dan
kurikulum yang jelas dan sistematis. Proses belajar dilakukan sesuai jenjang
pendidikan tertentu.
Gaya
belajar di pesantren salaf cenderung kurang dinamis. Komunikasi dalam belajar
hanya terjadi satu arah, kiai berceramah atau mengajar, santri mendengarkan dan
menyimak dengan sikaf menerima dan mematuhi semua yang disampaikan Kiai. Gaya
belajar di pesantren modern cenderung lebih dinamis dan didukung dengan sarana
yang memadai.
Dan
masih banyak lagi perbedaan antara pesantren salaf dan modern. Insya Allah anda
lebih tahu.
F. Penutup
Nurcholish
Madjid, secara umum, menyoroti 3 aspek dalam sistem pendidikan pesantren,
yaitu; pertama, segi metodologi pengajaran pesantren yang masih sentralistik
pada satu kekuasaan tertinggi kiai. Kedua, segi tujuan dari pendidikan terlalu
melulu mengurus akhirat sedangkan dunia selalu terabaikan, dan ketiga, adalah
segi kurikulum, dimana materi pengajaran pesantren hanya berkutat di bidang
agama dan moral.
Modernisasi
yang diusung lebih bertujuan agar pesantren yang notabene sangat kuat
keagamaannya sangat cocok untuk menerapkan sistem pendidikan modern, dimana
manusia liberal yang lebih mengedepankan akal akan terimbangi dengan kuatnya
segi keagaman yang didapat di pesantren. Nurcholish Madjid melihat potensi
pesantren Indonesia bisa menjadi solusi bagi sistem pendidikan nasional dengan
syarat harus membenahi sedikitnya 3 aspek di atas. Yaitu dengan memaknai
kembali pemahaman pembaharuan pesantren, memiliki jiwa kepemimpinan yang
legitimate dan mempunyai skill dalam proses perubahan dan visi pendidikan
pesantren harus dipertegas dan dikembangkan.
Pesantren
saat ini mungkin dapat dikategorikan sebagai satu-satunya lembaga Civil Society
yang mampu menjaga kemandirian pada negara, menyesuaikan diri dengan melakukan
perubahan lewat detradisionalisasi tanpa harus meninggalkan tradisi atau Al-muhâfadzatu
‘alal qadîmis shâlih wal-akhdzu bil jadîdil ashlah (mempertahankan
tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik). Dan mampu
menghindari dari pop culture yang mewabah akibat pengaruh globalisasi.
Secara
ekonomi, pesantren juga dapat menjaga kemandirian ekonomi, dengan sedapat
mungkin menghidupi sendiri tanpa tergantung pada bantuan asing (luar negeri).
G. Sumber-sumber
1. http://ariefsugianto503.blogspot.com/2011/01/pondok-pesantren-sejerah-kemunculan.html
2. Kertakusuma dalam khozin, jejak-jejak pendidikan Islam Di
Indonesia (Malang ;2006) hal 107.
3. Zamaksyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta:, 1994), 1
4. Muhammad Ya’cub, Pondok Pesantren dan Pembangunan Desa, (Bandung:
1984), hal. 23
5. Nurcholis Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, (Jakarta: 1997), 31
6. M. Dawam
Rahardjo, Editor Pergulatan Dunia Pesantren (Jakarta: 1985), hal.
78
8. http://darus-sunnah.webs.com
9. http://khazanahsantri.multiply.com/journal/item/12/pesantren_salaf_di
_simpang_jalan
10.http://edukasi.kompasiana.com/2010/10/05/jika-pesantren-salaf-tidak-lagi-ada/
11.
http://rektor.uin-malang.ac.id/index.php/artikel/1396-melegal-formalkan-pesantren-salaf-dan-diniyah.html
12. http://www. nu.or.id
13.
http://digilib.uin-suka.ac.id/gdl.php?mod=browse&op=read&id=digilib-uinsuka--narisannim-2560
Tidak ada komentar:
Posting Komentar