Selasa, 14 Februari 2012

Manajemen Pelayanan Pesantren


Oleh: M. Noor Khozin

PENDAHULUAN

Pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam tertua di Indonesia. Lembaga ini telah berfungsi sebagai salah satu benteng pertahanan umat Islam, pusat dakwah dan pusat pengembangan masyarakat muslim di Indonesia. Di luar Pulau Jawa lembaga pendidikan ini disebut dengan nama lain, seperti surau di Sumatra Barat, dayah di Aceh, dan pondok pada daerah lainnya.   
Kekhususan pesantren dibanding dengan lembaga-lembaga pendidikan lainnya adalah para santri atau murid tinggal bersama dengan kiai atau guru mereka dalam suatu kompleks tertentu yang mandiri. Agar dapat melaksanakan tugas mendidik dengan baik, biasanya sebuah pesantren memiliki sarana fisik yang minimal terdiri dari sarana dasar, yaitu masjid atau langgar sebagai pusat kegiatan, rumah tinggal kiai dan keluarganya, pondok tempat tinggal para santri dan ruangan-ruangan belajar.

Dalam perjalanan sejarah Indonesia pesantren telah memiliki peranan yang besar dalam usaha memperkuat iman, meningkatkan ketakwaan, membina akhlak mulia dan mengembangkan swadana masyarakat Indonesia dan ikut mencerdaskan kehidupan bangsa melalui pendidikan informal, non formal, dan pendidikan formal.
Seiring dengan perkembangan zaman, sekarang telah banyak pendidikan yang menawarkan model pendidikan dengan konsep yang bermacam-macam. Model-model pendidikan tersebut secara tidak langsung menjadi “saingan” bagi pesantren. Dengan demikian pesantren perlu dikembangkan dan ditingkatkan dari berbagai aspek dan manajemen. Dalam kaitannya dengan peningkatan pesantren, pada makalah ini akan dibahas tentang manajemen pelayanan pesantren yang diharapkan bisa meningkatkan kualitas pesantren. 




Manajemen Pelayanan Pesantren

A.  Konsepsi Pelayanan
Dalam KBBI disebutkan bahwa pengertian pelayanan adalah perihal atau cara melayani.[1] Yakni perbuatan untuk menyediakan segala yang diperlukan orang lain. Sedangkan pelayanan menurut istilah adalah proses pemenuhan kebutuhan melalui aktifitas orang lain.[2] Setiap kegiatan atau manfaat yang ditawarkan suatu pihak lain yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan kepemilikan apapun. Produksi layanan bisa berhubungan fisik ataupun tidak.[3]
Menurut I.N.R. Pendit dan Tata Sudarta, pelayanan (service) adalah suatu perbuatan yang dilakukan untuk seseorang sebagai penerima pelayanan akan menikmati suatu manfaat atau merasa senang dan puas. [4] Pada perusahaan di bidang jasa istilah service diuraikan sebagai berikut:
S     : Smile for everyone
E     : Excellence in everything we do
R     : Reaching out to every guest with hospitality
V    : Viewing every guest as special
I      : Inviting guest to return
C     : Creating warm atmosphere
E     : Eye contact that shows we care
Tujuan dari pelayanan adalah untuk membantu memenuhi kepentingan orang lain atau umum, karena seringkali untuk memenuhi kebutuhan tidak dapat dilakukan sendiri melainkan memerlukan bantuan berupa perbuatan orang lain. [5]
       Salah satu unsur penting service adalah perilaku yang sopan dan beradab yang dikenal dengan istilah courtesy (adab, sopan santun). Courtesy menyangkut cara penerimaan yang tulus, keramahtamahan  dalam menerima/menyambut tamu, tutur kata/cara berbicara yang ramah dan tindakan lainnya yang dapat menyenangkan tamu, fasilitas yang kita miliki dan pelayanan yang kita berikan.
Courtesy hendaknya dilakukan pada setiap perusahaan yang langsung berhubungan dengan konsumen, apalagi perusahaan yang produknya berupa jasa, seperti hotel, biro perjalanan, bank dan perusahaan lainnya. 
Perwujudan courtesy dalam pelayanan diartikan sebagai suatu perbuatan yang dilakukan secara attentive (penuh perhatian), helpful (penuh pertolongan), considerate (tenggang rasa), polite (sopan) dan respectful (peduli) dalam perkataan dan perbuatan.[6]
1.    Attentive  
Maksudnya memberikan konsentrasi penuh pada seseorang yang sedang anda layani dan menunjukkan sikap bertindak cepat dalam melakukan pekerjaan. Memberikan konsentrasi penuh berarti  mengkonsentrasikan pikiran dan gerak badan anda kepada pelangggan.
Sikap bertindak cepat berarti melakukan sesuatu perbuatan dengan cepat tetapi tidak terlalu cepat sehingga memberikan gambaran kepada pelangan bahwa dia tidak diinginkan kedatangannya.  
2.    Helpful 
Maksudnya menyediakan bantuan tanpa diminta (sukarela) dalam bentuk kemudahan, informasi, juga bantuan fisik dan sebagainya yang bermanfaat bagi pelanggan. 
3.      Considerate
Maksudnya menunjukkan sikap empati terhadap kepuasan orang lain
4.      Polite
Maksudnya bertingkah laku secara baik dan menyenangkan, artinya menggunakan kata-kata baik, seperti selamat pagi, silakan, terima kasih, saya minta maaf, maafkan saya dan sebagainya.  
5.      Respectful
Maksudnya menggunakan panggilan hormat  kepada seseorang secara betul dan sesuai dengan kedudukan.
                         Dalam konsep pelayanan, dikenal dengan konsep pelayanan prima. Konsep pelayanan prima meliputi unsur-unsur kepribadian, penambilan, perilaku, komunikasi, pengetahuan, dan penyampaian. Konsep layanan prima tersebut terdiri dari hal-hal berikut ini:
a.       Pribadi prima tampil ramah
b.      Pribadi prima tampil sopan
c.       Pribadi prima tampil yakin
d.      Pribadi prima tampil rapi
e.       Pribadi prima tampil ceria
f.       Pribadi prima senang memaafkan
g.      Pribadi prima senang bergaul
h.      Pribadi prima tampil belajar dari orang lain
i.        Pribadi prima senang kepada kewajaran
j.        Pribadi prima senang menyenangkan orang lain
  
B.  Kinerja dan Kualitas Pelayanan Pesantren
Kinerja merupakan aspek penting dalam usaha pencapaian suatu tujuan. Pencapaian tujuan yang maksimal  merupakan buah dari kinerja tim atau individu  yang baik, begitu pula merupakan akibat dari kinerja individu atau tim yang tidak optimal. Cukup banyak batasan yang dikemukakan oleh para ahli terkait dengan kinerja. Sebagaimana ditulis Mangkunegara dalam Evaluasi Kinerja SDM, Whitmore misalnya secara sederhana mengemukakan bahwa kinerja adalah pelaksanaan fungsi-fungsi yang dituntut dari seseorang. Dengan demikian, menurut Whitmore kinerja  merupakan suatu perbuatan, prestasi atau apa yang diperlihatkan seseorang melalui ketrampilan yang nyata.
Amstron dan Baron sebagaiama ditulis Wibowo dalam Manajemen Kinerja , kinerja merupakan hasil pekerjaan yang mempunyai hubungan kuat dengan tujuan strategis organisasi, kepuasan konsumen dan memberikan kontribusi kepada ekonomi. Dengan demikian kinerja berkaitan dengan melakukan pekerjaan dan mencapai hasil dari hasil pekerjaan tersebut.
Faktor kinerja untuk masing-masing orang mempunyai perbedaan sesuai jenis pekerjaan, organisasi atau profesi. Faktor kinerja merujuk pada tujuan organisasi yang dijabarkan ke dalam tugas-tugas fungsional. Faktor kinerja untuk karyawan akan berbeda dengan faktor kinerja guru, seniman, atau pekerja lain, karena masing-masing memiliki spesifikasi tugas atau pekerjaan yang berbeda.
Menurut A Dale Timple, faktor-faktor kinerja terdiri dari faktor internal dan ekternal. Faktor internal yaitu faktor yang dihubungkan dengan sifat-sifat seseorang. Misalnya, kinerja seseorang baik disebabkan karena mempunyai kemampuan tinggi dan ia tipe pekerja keras, sedangkan seseorang mempunyai kinerja jelek disebabkan orang tersebut mempunyai kemampuan rendah atau orang tersebut mempunyai kemampuan rendah dan orang tersebut tidak memiliki upaya-upaya untuk memperbaiki kemampuannya. Sedangkan faktor eksternal yaitu faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja seseorang yang berasal dari lingkungan. Seperti perilaku, sikap dan tindakan-tindakan rekan kerja, bawahan atau pimpinan, fasilitas kerja dan iklim organisasi.
Menurut Dale Furtwengler terdapat 9 faktor kinerja, yaitu
    1. Kecepatan
    2. Kualitas
    3. Nilai
    4. Ketrampilan interpersonal
    5. Terbuka untuk berubah
    6. Kreativitas
    7. Ketrampilan berkomunikasi
    8. Inisiatif
    9. Perencanaan dan organisasi.

Penilaian kinerja merupakan proses peneliaian yang dilakukan organisasi terhadap para pegawai yang dapat memberikan umpan balik, sehingga organisasi dapat mengidentifikasi secara tegas perbaikan atau penyesuaian yang diperlukan dalam rangka perbaikan kinerja pegawai.
Untuk melakukan penilaian kinerja dilakukan dengan tiga langkah. Pertama, mendefinisikan pekerjaan, yang artinya memastikan bahwa pimpinan dan bawahan sepakat tentang tugas-tugasnya dan standar jabatan. Kedua, menilai kinerja, berarti membandingkan kinerja actual bawahan dengan standar-standar yang telah ditetapkan. Ketiga, umpan balik yaitu kinerja dan kemajuan bawahan dan rencana-rencana dibuat untuk perkembangan apa saja yang dituntut.      
Kualitas pelayanan merupakan faktor yang menjadi pertimbangan terpenting dalam memberikan layanan kepada masyarakat. Karena kualitas pelayanan yang kurang memuaskan akan membuat pelanggan dalam hal ini satuan kerja dan pihak ketiga akan merasa terganggu dan merasa dirugikan dalam hal waktu dan pelayanan.  Dalam pemberian pelayanan terhadap masyarakat masih banyak kesalahan yaitu adanya keluhan. Pengalaman kualitas pelayanan yang memuaskan dengan interasi yang berulang-ulang akan memperkuat kepercayaan karena proses pemberian penciptaan layanan penting dalam pembentukan kepercayaan.
Kualitas sebagai alat stategis mempunyai kemampuan kompetitif dalam berparisipasi aktif dalam proses mengkonsumsi jasa tersebut. Untuk menghadapi perubahan lingkungan, dilakukan usaha untuk memperbaiki proses implemntasi terus menerus.
Kottler mendefinisikan kualitas sebagai keseluruhan ciri serta sifat dari suatu produk atau pelayanan yang berpengaruh pada kemampuan memuaskan kebutuhan yang dinyatakan atau tersirat. Sedangkan menurut Fanddy Tjiptono menyatakan bahwa kualitas pelayanan atau jasa adalah upaya pemenuhan kebutuhan dan keinginan pelanggan serta ketetapan penyampaiannya untuk mengimbangi harapan pelanggan.
Leonard L Berry dan Pasaruraman menyatakan pelayanan jasa yang baik pada pelanggan memiliki lima kriteria penentu kualitas pelayanan yaitu:
a.       Tangible (bukti langsung)
Meliputi kualitas pendukung, perlengkapan karyawan dan sarana komunikasi. Berdasarkan kualitas pelayanan yang diberikan tersebut, pelanggang akan memberikan tanggapan, selanjutnya mepersepsikan tolok ukur penilaian kepuasan yang dirasakannya 
b.      Reliability (keandalan) 
Yakni melakukan pelayanan sesuai yang dijanjikan dengan segera, akurat dan memuaskan.
c.        Responsibility (daya tanggap)
Yakni kemampuan untuk menolong pelanggan dan ketersediaannya untuk melayani pelanggan dengan baik.
d.      Empathy (empati)
Yakni rasa peduli untuk memberikan perhatian secara individual kepada pelanggan, serta kemudahan untuk dihubungi. 
e.       Assurance (jaminan)
Yakni pengetahuan, kesopanan petugas serta sifatnya yang dapat dipercaya sehingga pelangggan terbebas dari resiko.

C.  Pengawasan, Pengaduan, dan Penyelesaian Konflik di Pesantren
Pengawasan yang berasal dari kata awas berarti mengamat-amati dan menjaga baik-baik. Pengawasan adalah sesgala sesuatu yang berkaitan dengan proses penjagaan dan pengarahan yang dilakukan secara-sungguh-sungguh agar objek yang diawasi dapat berjalan dengan semestinya. Pengawasan merupakan tugas untuk mengawasi apakah objek pengawasan itu berjalan sesuai tugas, fungsi, dan aturan yang mengaturnya.
Dasar dari pengawasan disebutkan dalam alquran:
وَقُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ وَسَتُرَدُّونَ إِلَى عَالِمِ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُونَ (105)
Dan Katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan (QS at-Taubah 105)
Pengawasan pesantren sudah selayaknya menerapkan manajemen modern, yaitu sistem manajemen pengawasan. Manajeman pengawasan adalah cara atau metode yang sistematis yang mengatur bagaimana pengawasan dapat dilaksanakan secara efektif, independen dan objektif serta sesuai dengan prinsip-prinsip pengawasan.
Manajemen dalam arti mengatur segala sesuatu agar dilakukan dengan baik, tepat dan tuntas merupakan hal yang disyariatkan dalam ajaran Islam. Arah pekerjaan yang jelas, landasan yang mantap, dan cara-cara mendapatkannya yang transparan.merupakan amal perbuatan yang dicintai Allah.
Dalam ajaran Islam segala sesuatu harus dikerjakan secara rapi, benar, tertib, dan teratur. Proses-prosesya harus diikuti dengan baik. Sesuatu tidak boleh dilakukan secara asal-asalan. Hal ini merupakan prinsip utama dalam ajaranIslam. Sabda Rasulullah saw
عن عائشة : أن النبي صلى الله عليه و سلم قال : إن الله يحب إذا عمل أحدكم عملا أن يتقنه (أخرجه الطبراني)[7]
Dari A’isyah, sesungguhnya Nabi saw berkata; sesungguhnya Allah menyukai seseorang yang mengerjakan pekerjaan dengan sebaik-baiknya (HR. At-Thabrani)
Manajemn dan pengawasan memiliki hubungan erat. Manajemen akan dapat berjalan efektif apabila ditopang oleh fungsi pengawasan yang efektif dan pengawasan akan dapat berjalan secara efektif apabila dikendalikan oleh sistem manajemen yang baik.
Pengawasan terhadap pesantren akan efektif jika memenuhi prinsip-prinip pengawasan yaitu:
  1. Objektif. Pengawsan terhadap pesantren harus dilakukan secara objektif berdasarkan bukti-bukti otentik dan rasonal, mengungkap fakta-fakta yang relevan dengan pelaksanaan pekerjaan, terhindar dari prasangka subjektif atau memihak tanpa bukti dan data-data yang valid  
  2. Independen. Pengawasan pesantren harus bersifat independen, artinya dalam prosese dan praktik pengawasan tidak boleh terjadi pemihakan atau pengaruh lain yang disebabkan adanya hubungan saudara, kerabat, teman kerabat,status jabatan dan lain-lain.  
  3. Sistem. Kegiatan pengawasan pesantren harus menerapkan system manajeman, yakni adanya perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan. 
  4. Korektif. Pengawasan terhadap pesantren harus dapat memberikan manfaat kepada pesantren tersebut, menjamin adanya tindakan korektif dalam menjalankan tugas dan fungsi manajemen, di samping kelancaran aspek pendukung lainnya. 
Dalam menghadapi kompali diperlukan ketrampilan khusus untuk menghadapi berbagai karakter individu yang berbeda-beda. Karakter-karakter tersebut antara lain sebagai berikut:
  1. Pusatkan perhatian kepada pelanggan
  2. Berikan pelayanan yang efisien
  3. Naikkan harga diri tamu
  4. Bina hubungan baik dan harmonis dengan tamu
  5. Berikan penjelasan dan informasi sebaik mungkin.
  6. Ketahuilah apa yang diinginkan tamu.
  7. Jelaskan pelayanan apa saja yang diberikan oleh perusahaan
  8. Alihkan tugas pada yang lebih mampu apabila tidak sanggup melayani.
Menurut Pramono, konflik adalah suatu proses sosial di mana orang perorangan atau kelompok manusia untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai ancaman dan atau kekerasan.[8] Lebih lanjut ia menyatakan, bahwa sebab timbulnya konflik antara lain adanya persaingan dan prasangka sosial yang terlalu mendalam antara orang atau kelompok. Timbulnya konflik dapat bersumber pula dari adanya perbedaan antara individu-individu atau kelompok dalam kebudayaan, kepentingan-kepentingan-kepentingan, ideologi, perubahan sosial dan sebagainya. Dengan demikian, adanya pergaulan dalam berbagai lingkungan termasuk lingkungan peantren, tidak akan terlepas dari konflik.      
Terdapat beberapa pendekatan yang dapat digunakan dalam me-manage konflik organisasi sebagaimana yang dikemukakan oleh Wexley berikut ini:
  1. Menetapkan peraturan-peraturan dan prosedur standar untuk mengatur perilaku agresif, menekankan pekerjaan yang jujur terhadap pegawai, serta meredakan permusuhan yang dapat diramalkan.
  2. Mengubah peraturan arus kerja, disain pekerjaan, batas-batas bidang kerja serta aspek-aspek lain dari hubungan kerja antar pribadi dan antar kelompok yang dengan cara ini dapat meningkatkan atau mengurangi kemungkinan konflik.
  3. Mengubah sistem ganjaran untuk mendorong persaingan atau kerja sama.
4.      Mendirikan posisi-posisi khusus yang bertanggung jawab untuk mediasi (campur tangan pihak ketiga) arbritasi atau juru damai pihak ketiga agar dapat mempermudah penyelesaian jenis-jenis konflik yang diramalkan
  1. Memberikan kesempatan kepada pihak-pihak yang mempunyai orientasi tujuan yang berlainan terwakili dalam kelompok peembuat  kebijaksanaan agar dapat mendorong konfrontasi yang konstruktif serta menurunkan kebutuhan masing-masing pihak mempercayakan pada taktik-taktik paksaan yang merusak.
  2. Melatih pejabat-pejabat kunci mengenai penggunaan yang tepat tentang taktik-taktik untuk mengatasi konflik.








DAFTAR PUSTAKA

Kotler, Philip, Manajemen Pemasaran Analisis, Perencanaan dan Pengendalian, Edisi ke-7 Jasawasana Jakarta 2002
Mangkunegara, AA Anwar Prabu, Evaluasi Kinerja SDM, Refika Aditama Bandung: 2005
Timpe A Dale (2002), The Art Science of Business Management Performance, edisi terjemahan. Jakarta: Alex Media Komputindo
Wibowo, Manajemen Kinerja, Jakarta: PT Rajagrafindo Persada
Tim Penyusun, Kamus besar bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998) cet I
Moenir, Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia (Jakarta: Bumi Aksara, 2002)
Bilson, Memenangkan Pasar dengan Pemasaran Efektif dan Profitable (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001)
INR Pendit dan Tata Sudarta, Psychology of Service, Sebuah Pengantar dalam memberikan Pelayanan secara paripurna, (Yogyakarta: Graha Ilmu   2004) cet I
Moenir, Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia (Jakarta: Bumi Aksara, 2002)
Wahyu Pramono, Bentuk-bentuk Penyesuaian Konflik antara Penduduk Asli dan Pendatang, Kasus Daerah Transmigrasi Situng (Padang: Pusat Penelitian Universitas Andasas, 1991)


[1] Tim Penyusun, Kamus besar bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1998) cet I h. 504
[2] Moenir, Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia (Jakarta: Bumi Aksara, 2002) h. 17
[3] Bilson, Memmenangkan Pasar dengan Pemasaran Efektif dan Profitable (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2001) h. 172,
[4]INR Pendit dan Tata Sudarta, Psychology of Service, sebuah Pengantar dalam memberikan Pelayanan Secara paripurna, (Yogyakarta: Graha Ilmu   2004) cet I h. 33
[5] Moenir, Manajemen Pelayanan Umum di Indonesia (Jakarta: Bumi Aksara, 2002) h. 26
[6] NR Pendit dan Tata Sudarta, Psychology of Service, Sebuah Pengantar dalam Memberikan Pelayanan Secara Paripurna, (Yogyakarta: Graha Ilmu   2004) cet I h. 34
[7] Sahih al-Jami’ al-shaghir 2/144 no. 1876
[8] Wahyu Pramono, Bentu-bentuk penyesuaian konflik antara penduduk asli dan pendatang, kasus daerah transmigrasi situng (Padang: Pusat Penelitian Universitas Andasas,) 1991) h. 3 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar