Selasa, 14 Februari 2012

Model-model Pesantren di Indonesia


Oleh: Ade Supriadi

A.      PENDAHULUAN
            Diskursus mengenai dinamika pesantren senantiasa menjadi tema dan wacana yang up to date. Eksistensi pesantren yang dialektis dan unik telah memunculkan berbagai penilaian dari para pengamat dan peneliti. Sebagaimana kita ketahui bahwa pesantren merupakan salah satu lembaga pendidikan Islam tertua di bumi nusantara ini dan ternyata keberadaannya masih dapat kita saksikan hingga saat ini, bahkan semakin menunjukkan kemajuannya.
Keberadaan pesantren sampai saat ini membuktikan keberhasilannya menjawab tantangan zaman. Namun demikian, akselerasi modernitas yang begitu cepat menuntut pesantren untuk tanggap secara cepat pula agar eksistensinya tetap relevan dan signifikan. Masa depan pesantren ditentukan oleh sejauh mana pesantren memformulasikan dirinya menjadi pesantren yang mampu
menjawab tuntutan masa depan dengan tanpa kehilangan jati dirinya, sehingga pesantren sejatinya mampu melahirkan manusia paripurna yang mengiringi masyarakat bangsa ini menapaki modernitas tanpa kehilangan akar spiritualitasnya.
Pesantren merupakan garda terdepan dalam menanggulangi virus budaya Barat yang notabene banyak yang tidak cocok dengan budaya ketimuran. Sehingga eksistensi pesantren di tengah-tengah krisis moral yang terjadi di berbagai tempat termasuk bangsa kita saat ini tetap signifikan. Pesantren yang secara historis mampu memerankan dirinya sebagai benteng pertahanan dan penjajahan, kini seharusnya dapat memerankan diri sebagai benteng pertahanan dari imperialisme budaya yang begitu kuat menghegemoni. Oleh karena itu pesantren dituntut tetap survive sebagai “transmitor atau agen akhlakulkarimah” untuk “memfilter” keluar-masuknya budaya asing demi terimplementasinya akhlakulkarimah dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.
            Pesantren sebagai salah satu pilar pendidikan modern Islam, tengah menghadapi tantangan yang tidak ringan. Salah satu masalah pokok yang dialami oleh dunia pesantren adalah lemahnya visi, misi dan tujuan pendirian pesanteran. Banyak pesantren yang gagal merumuskan tujuan dan visinya secara jelas. Ini ditambah dengan kegagalan dalam menuangkan visi tersebut pada tahapan rencana kerja ataupun program. Akibatnya, sebuah pesantren hanya berkembang sesuai dengan kepribadian pendirinya, dengan dibantu oleh kiai maupun pembantu-pembantu lainnya. Tidak mengherankan jika semangat pesantren adalah semangat pendirinya. Keterbatasan fisik dan mental pendiri pensantren itu dapat membuat pesantren menjadi kurang responsif terhadap perkembangan-perkembangan yang terjadi dalam masyarakat. Apabila hal ini tidak selesaikan, maka, pesantren akan dianggap tidak mampu lagi menghadapai tantangan-tantangan yang dibawa oleh kemajuan jaman dan modernisasi. Kekurangan inilah yang membuat terjadinya kesenjangan antara pesantren dengan "dunia luar".
Makalah ini memaparkan salah satu tawaran model pesantren masa depan yang dapat menjadi harapan dan tumpuan bagi masyarakat dalam memenuhi kehampaan spiritual sehingga mampu meredam dampak negative dari arus globalisasi yang begitu kuat dan dengan sendirinya label negatif terhadap pesantren sebagai lembaga tradisonal yang ketinggalan zaman dapat dihilangkan.

B.       PRESKRIPSI PESANTREN
Preskripsi pesantren lebih merujuk kepada petunjuk-petunjuk atau ketentuan-ketentuan mengenai apa yang perlu berlangsung atau sebaiknya dilakukan oleh para pemegang kebijakan pesantren. Preskripsi pesantren dilakukan dalam rangka menghasilkan informasi tentang kemungkinan serangkaian aksi di masa mendatang untuk menghasilkan konsekuensi yang berharga bagi individu, kelompok, atau masyarakat seluruhnya yang terikat dengan pesantren. Prosedur preskripsi pesantren meliputi transformasi mengenai kebijakan pesantren di masa mendatang ke dalam informasi mengenai aksi-aksi kebijakan yang akan menghasilkan keluaran (output) yang bernilai. Karena itu, untuk merekomendasikan suatu tindakan kebijakan, diperlukan adanya informasi tentang konsekuensi-konsekuensi masa depan setelah dilakukan berbagai alternatif tindakan. Dalam dunia pesantren preskripsi atau rekomendasi sangat terkait erat dengan persoalan etika dan moral pesantren, sehingga diharapkan kebijakan yang dibuat pesantren tidak terlepas dari norma-norma yang telah dipegang dan diyakini oleh pesantren.
Dilihat dari sisi metodologi pengajaran (pendidikan) yang diterapkan dunia pesantren (baca: salafiyah), penyebutan tradisional dalam konteks praktek pengajaran di pesantren, didasarkan pada sistem pengajarannya yang monologis, bukannya dialogis-emansipatoris, yaitu sistem doktrinasi sang Kiyai kepada santrinya dan metodologi pengajarannya masih bersifat klasik, seperti sistem bandongan, pasaran, sorogan dan sejenisnya. Lepas dari persoalan itu, karakter tradisional yang melekat dalam dunia pesantren (sesungguhnya) tidak selamanya buruk. Asumsi ini sebetulnya relevan dengan prinsip ushul fiqh, “al-Muhafadzah ‘ala al-Qodimi as-Shalih wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah” (memelihara [mempertahankan] tradisi yang baik, dan mengambil sesuatu yang baru (modernitas) yang lebih baik). [1]
Tradisionalisme dalam konteks didaktik-metodik yang telah lama diterapkan di pesantren, tidak perlu ditinggalkan begitu saja, hanya saja perlu disinergikan dengan modernitas. Hal ini dilakukan karena masyarakat secara praktis-pragmatis semakin membutuhkan adanya penguasaan sains dan tekhnologi. Oleh Karena itu, mensinergikan tradisionalisme pesantren dengan modernitas dalam konteks praktek pengajaran merupakan pilihan sejarah (historical choice) yang tidak bisa ditawar-tawar lagi. Sebab, jika tidak demikian, eksistensi pesantren akan semakin sulit bertahan di tengah era informasi dan pentas globalisasi yang kian kompetitif.
Pembaharuan di pesantren, terutama mengenai metodologi pengajarannya, sejatinya tidak harus meninggalkan praktek pengajaran lama (tradisional), karena memang di sinilah karakter khas dan indegenousitas pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam di Indonesia. Justru yang perlu dilakukan adalah adanya konvigurasi sistemik dan kultural antara metodologi tradisional dengan metodologi konvensional-modern. Dengan demikian, penerapan metodologi pengajaran modern dan pembangunan kultur belajar yang dialogis-emansipatoris, bisa seirama dengan watak asli dari kultur pesantren.
Di samping itu, agar pesantren menghasilkan SDM yang sesuai harapan, harus dibuat sebuah sistem pendidikan pesantren yang terpadu. Artinya, pendidikan tidak hanya terkonsentrasi pada satu aspek saja. Sistem pendidikan yang ada harus memadukan seluruh unsur pembentuk sistem pendidikan yang unggul.
Pendidikan pesantren pada dasarnya merupakan pendidikan yang syarat dengan nuansa transformasi sosial. Pesantren terikhtiarkan meletakkan visi dan kiprahnya dalam kerangka pengabdian sosial yang pada mulanya ditekankan kepada pembentukan moral dan kemudian dikembangkan dengan rutinitas-rutinitas pengembangan yang lebih sistematis dan terpadu. Pengabdian sosial masyarakat yang dilakukan pesantren itu merupakan manifestasi dari nilai-nilai yang dipegang pesantren.

C.    DESKRIPSI PESANTREN
Saat ini perubahan sosial sebagai dampak kemajuan teknologi informasi telah meletakkan Indonesia kontemporer ke dalam pusaran mega persoalan yang sangat kompleks. Secara kasat mata, hal ini dapat ditelusuri dari adanya degradasi moral yang menjamur di mana-mana, semisal korupsi, berkurangnya rasa solidaritas sosial hingga ancaman terhadap eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kenyataan ini menuntut setiap elemen bangsa untuk ikut serta terlibat menyelesaikannya, karena pembiaran hal itu akan mengantarkan Indonesia           –lambat atau cepat – pada akhir sejarahnya.
Berbicara tentang penyelesaian persoalan yang sedang dihadapi bangsa Indonesia, pesantren sejatinya sama sekali tidak bisa melepaskan diri dari tanggung jawab. Bahkan sampai pada taraf tertentu, pesantren seharusnya menjadi garda depan yang dapat mengukir terobosan solusi kreatif untuk masa depan Indonesia yang jauh lebih baik.
Ada beberapa alasan dasar yang menjadikan pesantren dituntut untuk berperan demikian. Selain pesantren (dan elemen-lemennya) sebagai bagian intrinsik umat Islam yang mayoritas di Indonesia, aspek lain yang tidak bisa diabaikan adalah posisi pesantren yang sampai derajat tertentu merupakan representasi Islam Indonesia.
Kondisi pesantren saat ini untuk berada di garis terdepan dalam memberikan solusi tampaknya masih jauh dari yang diharapkan. Banyak aspek internal dan eksternal yang menjadi kendala untuk meraih peran tersebut. Kondisi semacam ini meniscayakan masyarakat pesantren untuk menyikapi hal tersebut secara serius, intens, dan berkelanjutan.
Menghadapi perubahan sosial yang demikian cepat dan rumit dengan ikon globalisasinya, santri berada dalam inertia yang cukup akut. Mereka bukan saja tidak mampu merespon perubahan secara kritis dan kreatif, namun lebih dari itu mereka tampak diam sehingga terseret –sadar atau tidak –dalam gelembung globalisasi atau perubahan sosial. Ironisnya, ketika mereka jauh terseret dalam pusaran perubahan itu, pada umumnya mereka terlempar pada salah satu dari dua kondisi yang sama-sama tidak menguntungkan; at home dalam kungkungan kehidupan yang tentunya jauh dari nilai-nilai luhur pesantren, atau terjebak dalam sikap reaksioner yang menjadikan mereka dalam angan-angan utopis.
Banyaknya masyarakat santri yang tergila-gila dalam dunia politik kekuasaan pada satu pihak, dan menyeberangnya sebagian mereka ke dalam keberagamaan literalistik-fundamentalistik pada pihak yang lain merupakan secuil contoh konkret yang menohok dengan telak peran pesantren. Menguatnya syahwat politik pada masyarakat santri ini memperlihatkan betapa pragmatisme, kesesatan dan sejenisnya telah menggantikan posisi nilai keikhlasan dan keserba-ibadahan yang sebelumnya menjadi simbol kental kepesantrenan. Demikian pula, ketertarikan mereka ke dalam pandangan keagamaan fundamentalisme merupakan representasi tercerabutnya mereka dari tradisi sosial dan intelektual pesantren.[2]
Keberlangsungan fenomena ini selain akan menampar eksistensi keindonesiaan, pada gilirannya nanti juga akan menggugat eksistensi pesantren dan segala nilai dan ajaran yang dianutnya. Bila hal itu yang terjadi secara berkelanjutan, maka Indonesia akan berada dalam ambang kehancuran. Pesantren pun dengan sendirinya akan berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan pula.
Setiap pesantren mempunyai ragam masalah yang bervariasi. Dari persoalan SDM sampai sumber dana. Untuk mendeteksi masalah yang ada, perlu upaya identifikasi masalah. Identifikasi dibutuhkan untuk mencari solusi penyelesaian yang paling tepat. Secara umum permasalahan yang terdapat di pesantren, yaitu:
1)   Sumber daya manusia,
Keberadaan pesantren yang umumnya berada di pedesaan acapkali menjadi persoalan tersendiri dalam hal SDM. Kurangnya SDM di pedesaan ini disebabkan masyarakat pedesaan tak mampu menjangkau informasi dan tidak memiliki pendidikan yang memadai. Sehingga SDM pedesaan tertinggal jauh dari SDM perkotaan.
2)   Sarana dan prasarana pendidikan,
Pesantren yang mayoritas berada di lingkungan pedesaan menimbulkan persoalan tersendiri, dalam hal sarana dan prasarana pendidikan. Kondisi ini disebabkan karena lambatnya pertumbuhan ekonomi di pedesaan. Kondisi ini berpengaruh pada kualitas sarana dan prasarana pesantren.
3)   Akses komunikasi ke lembaga luar pesantren
Pengembangan telekomunikasi di pedesaan tidak selengkap di perkotaan sehingga jaringan komunikasi pesantren yang tidak memiliki alat komunikasi yang memadai sulit menjangkau informasi.
4)   Tradisi pesantren
Budaya paternalistik dalam dunia pesantren masih melekat dengan adanya kepatuhan pada tokoh kyai. Hal ini tidak bisa terlepas dari budaya dan norma kesantunan santri terhadap gurunya yang terkadang penganggungan secara berlebihan terhadap budaya tersebut justru dapat membelenggu kreativitas dan inovasi santri. Meskipun demikian dalam beberapa kasus hal ini masih perlu diuji kembali.
5)   Sumber dana
Sumber dana pesantren selama ini masih berasal dari swadaya masyarakat dan kadang ada sedikit pemberian dari pemerintah, itupun kalau pengelola pesantren memiliki hubungan baik dengan pemerintah. Pada umumnya sumber dana pesantren dikelola secara swadaya baik berupa hasil pertanian, ternak atau usaha kecil lainnya. Kondisi tersebut cukup memprihatinkan sebab tidak dapat diperkirakan sejauh mana daya tahan usaha kecil pesantren dapat membiayai kegiatan pedidikan dan pembinaan pesantren di kemudian hari.
Di tengah pergulatan masyarakat informasional, pesantren ‘dipaksa’ memasuki ruang kontestasi dengan institusi pendidikan lainnya, terlebih dengan sangat maraknya pendidikan berlabel luar negeri yang menambah semakin ketatnya persaingan mutu out-put (keluaran) pendidikan. Kompetisi yang kian ketat itu, memposisikan institusi pesantren untuk mempertaruhkan kualitas out-put pendidikannya agar tetap unggul dan menjadi pilihan masyarakat, terutama umat Islam. Ini mengindikasikan, bahwa pesantren perlu banyak melakukan pembenahan internal dan inovasi baru agar pesantren tetap mampu meningkatkan mutu pendidikannya.
Persoalan ini tentu saja berkorelasi positif dengan konteks pengajaran di pesantren. Di mana, secara tidak langsung mengharuskan adanya pembaharuan (modernisasi)-kalau boleh dikatakan demikian-dalam berbagai aspek pendidikan di dunia pesantren. Sebut saja misalnya mengenai kurikulum, sarana-prasarana, tenaga kependidikan (pegawai administrasi), guru, manajemen (pengelolaan), sistem evaluasi dan aspek-aspek lainnya dalam penyelenggaraan pendidikan di pesantren. Jika aspek-aspek pendidikan seperti ini tidak mendapatkan perhatian yang proporsional untuk segera dimodernisasi, atau minimalnya disesuaikan dengan kebutuhan dan tuntutan masyarakat (social needs and demand), tentu akan mengancam survival pesantren di masa depan. Masyarakat akan semakin tidak tertarik dan lambat laun akan meninggalkan pendidikan ‘ala pesantren untuk kemudian lebih memilih institusi pendidikan yang lebih menjamin kualitas output-nya. Pada taraf ini, pesantren berhadap-hadapan dengan dilema antara tradisi dan modernitas.[3]
Ketika pesantren tidak mau beranjak ke modernitas, dan hanya berkutat serta mempertahankan otentisitas tradisi pengajarannya yang khas tradisional, dengan pengajaran yang melulu bermuatan al-Qur’an dan al-Hadis serta kitab-kitab klasiknya, tanpa adanya pembaharuan metodologis, maka lambat laun pesantren akan tertinggal dari lembaga pendidikan lainnya. Pengajaran Islam tradisional dengan muatan-muatan yang telah menjadi ciri khas pesantren, tentu saja harus lebih dikembangkan agar penguasaan materi keagamaan anak didik (baca: santri) bisa lebih maksimal, di samping juga perlu memasukkan materi-materi pengetahuan non-agama dalam proses pengajaran di pesantren.

Tawaran  Solusi
Secara garis besar ada beberapa hal yang harus menjadi perhatian para pemegang kebijakan pesantren dalam upaya peningkatan mutu pesantren, yaitu :
1)      Perumusan visi dan misi pesantren yang berorientasi pada pembentukan manusia yang memiliki kepribadian Islami dan penguasaan terhadap ilmu pengetahuan.
2)      Sinergi antara pesantren,  masyarakat, dan wali santri. Pendidikan yang integral harus melibatkan tiga unsur di atas. Sebab, ketiga unsur di atas menggambarkan kondisi faktual obyektif pendidikan. Adanya kesatuan yang kuat dari ketiga komponen tersebut dapat menjadi katalisator untuk terciptanya out put pesantren yang siap mengahadapi tuntutan zaman
3)      Perumusan kurikulum pesantren yang terstruktur dan terprogram mulai dari tingkat dasar (Ibtidaiyyah) hingga tingkat atas (‘Ulya) serta penerapan metode pengajaran yang aktif dan menumbuhkan minat belajar santri, sehingga diharapkan akan dapat menjadi jaminan bagi ketersambungan pendidikan pesantren pada setiap jenjangnya.
4)      Pembenahan sistem manajerial pesantren dengan lebih mengedepankan aspek profesionalitas, efektifitas, transparansi dan akuntabilitas sehingga mampu menghasilkan kerja yang maksimal.
5)      Penguasaan ilmu pengetahuan dan tekhnologi (IPTEK) serta pemberian ketrampilan yang memadai kepada peserta didik (santri) seperti rekayasa industri, tekhnologi tepat guna, pertukangan, dan lain sebagainya, sehingga diharapkan di kemudian hari santri mampu mencapai kemajuan material dan dapat menjalankan fungsinya sebagai khalifah Allah di muka bumi dengan baik.
Di samping pesantren dituntut untuk tanggap terhadap persoalan prinsip yang dihadapi dunia pesantren yang telah disebutkan di atas, pesantren juga perlu mengadakan perbaikan terhadap beberapa komponen yang turut menunjang keberlangsungan pesantren di kemudian hari. Beberapa hal lain yang patut untuk diseriusi oleh pesantren diantaranya adalah:
1)        Perbaikan sarana fisik dengan tetap memperhatikan faktor kenyamanan dan kesehatan. Lingkungan fisik pesantren yang asri, sehat dan menyenangkan akan turut menciptakan iklim belajar yang kondusif, sehingga santri akan merasa senang dan betah tinggal di lingkungan pesantren.
2)        Peningkatan kualitas guru pesantren dalam hal kemampuan mengajarkan ilmu kepada santri, seperti pemberian pelatihan secara berkesinambungan tentang metode pembelajaran yang aktif dan mudah dicerna oleh santri dengan tetap mempertahankan tradisi pengajaran pesantren yang menjadi ciri khas pesantren, seperti bandongan, wetonan atau sorogan.
3)        Peningkatan kesejahteraan guru dengan tetap memelihara tradisi ikhlas di dunia pesantren dalam rangka ” nasyr al-ilmi” (pengamalan ilmu). Hal ini dilakukan dalam rangka agar para guru lebih konsen dalam melakukan pengabdiannya di pesantren.

D.      MASA DEPAN PESANTREN
Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan dan keagamaan merupakan realitas yang tidak bisa dipungkiri. Sepanjang sejarah yang dialaminya, pesantren terus menekuni pendidikan dan menjadikannya sebagai fokus kegiatan. Dalam mengembangkan pendidikan, pesantren menunjukkan daya tahan yang cukup kokoh sehingga mampu melewati berbagai masalah yang dihadapinya. Dalam sejarahnya itu pula, pesantren telah menyumbangkan sesuatu yang tidak kecil bagi bangsa ini.
Pada awal kelahirannya, pesantren tumbuh dan berkembang di berbagai daerah pedesaan. Di mana keberadaan pesantren sangat kental dengan karakteristik Indonesia yang memiliki nilai-nilai strategis dalam pengembangan masyarakat.
Realitas menunjukkan bahwa pesantren sampai saat ini, memiliki pengaruh cukup kuat dalam setiap aspek kehidupan di kalangan masyarakat muslim pedesaan yang taat. Kuatnya pengaruh tersebut, membuat setiap pengembangan pemikiran dan interpretasi keagamaan yang berasal dari luar kaum elit pesantren tidak akan memiliki dampak signifikan terhadap way of life dan sikap masyarakat Islam di daerah pedesaan. Kenyataan ini, menunjukkan bahwa setiap upaya yang ditunjukkan untuk pengembangan masyarakat di daerah-daerah pedesaan perlu melihat dunia pesantren.
Pesantren sebagai basis keagamaan yang tidak lepas dari realitas objektif, dituntut untuk melakukan gerakan-gerakan moral-kultural yang dapat membaca dan memberikan solusi terhadap persoalan dan perubahan yang ada, mampu menjadi katalisator yang populis serta menumbuhkan nilai positif pesantren, setidaknya menjadi “besi” sebagai penangkis dari ketajaman pedang globalisasi, modernisasi, kapitalisme dan lain-lain yang berdampak negatif terhadap tatanan sosial dan moralitas bangsa Indonesia.
Realitas kongkrit yang dihadapi masyarakat itu, menjadi tugas utama bagi sebuah lembaga pesantren yang menjadi standarisasi masyarakat luas untuk lebih respek terhadap fenomena yang terjadi guna menata kehidupan dan moralitas bangsa dengan mengacu pada ajaran Nabi Muhammad.
Di tengah pergulatan masyarakat informasional, berbangga hati dan puas dengan sekedar mampu bertahan tanpa menghasilkan sesuatu yang baru khususnya untuk peningkatan kualitas pendidikan bukan pilihan yang cerdas. Sebaliknya pesantren dituntut menjawab tantangan modernitas dengan memasuki ruang kontestasi dengan instiusi pendidikan lainya, terlebih dengan sangat maraknya pendidikan berlabel internasional, menambah semakin ketatnya persaingan mutu out-put (keluaran) pendidikan. Kompetisi yang ketat itu turut memposisikan institusi pesantren untuk mempertaruhkan kualitas out-put pendidikan agar tetap unggul dan menjadi pilihan masyarakat, terutama umat Islam. Hal ini mengindikasikan bahwa pesantren perlu banyak melakukan pembenahan internal dan inovasi agar tetap mampu meningkatkan kualitas pendidikannya.
Dengan demikian, pesantren yang ideal adalah pesantren yang mampu berdialog dengan modernitas, tanpa menjalankan tugas utamannya sebagai pengemban amanat moral. Sebab sebagai sumber nilai, agama Islam yang ditekuni oleh pesantren berfungsi sangat kuat dalam pengembangan moral masyarakat pesantren pada khususnya dan masyarakat luas pada umumnya.
Kompleksnya permasalahan yang dihadapi masyarakat saat ini menuntut pesantren untuk tidak hanya memfokuskan diri sebagai pusat pendidikan dan pembentukan profil manusia tetapi juga menjadi pusat perekonomian, dan turut menentukan fluktuasi nilai Islam dalam suatu daerah. Peran penting pesantren yang demikian hendaknya terus dikembangkan mengingat potensi pesantren yang begitu besar. Direktorat Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantren Kementrian Agama pada tahun 2009 menyebutkan berdasarkan kategori pesantren, jenis pesantren salaf (tradisional) di Indonesia sebanyak 8.905, pesantren khalaf (modern) 878, dan pesantren terpadu  4.284. Total keseluruhan tak kurang dari 14.000 pesantren di Indonesia.[4]
Dengan jumlah seperti itu bukan tak mungkin pesantren akan menjadi sebuah kekuatan pendidikan Islam yang melahirkan pemimpin-pemimpin Islam yang memiliki pandangan maju dan komprehensif.
Landasan kultural yang ditanamkan kuat di pesantren diharapkan menjadi guidence dalam implementasi berbagai tugas baik pada ranah sosial, ekonomi, hukum, maupun politik baik di lembaga pemerintahan maupun swasta yang konsisten, transparan, dan akuntabel. Ini penting karena pesantren merupakan kawah candradimuka bagi munculnya agent of social change. Dalam hal ini negara sangat berkepentingan atas tumbuhnya generasi yang mumpuni dan berkualitas. Oleh sebab itu, kepedulian dan perhatian negara bagi perkembangan pesantren sangat diperlukan.[5]
Jika selama ini pesantren telah menyumbangkan seluruh dayanya untuk kepentingan warga negara (negara), maka harus ada simbiosis mutualistis antara keduanya. Sudah waktunya negara (pemerintah) memberikan perhatian serius atas kelangsungan pesantren. Kalau selama ini pesantren bisa eksis dengan swadaya, maka eksistensi tersebut akan lebih maksimal apabila didukung oleh negara. Apalagi tantangan ke depan tentu lebih berat karena dinamika sosial juga semakin kompleks. Oleh sebab itu, diperlukan revitalisasi relasi antara pesantren dan pemerintah yang selama ini berjalan apa adanya. Sehingga dengan adanya hubungan yang sinergis antara pesantren dan pemerintah akan menciptakan kekuatan baru yang mampu menopang secara kuat keberlangsungan pesantren di era mendatang.

E.       PENUTUP
Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan keagamaan di Indonesia memiliki posisi yang strategis untuk turut menentukan kemajuan bangsa baik di bidang politik, ekonomi, sosial ataupun budaya. Pesantren dituntut untuk selalu memainkan peranannya secara kontinu, efektif dan efisien dalam derasnya arus globalisasi sehingga pesantren akan tetap eksis dan bisa diterima oleh masyarakat luas. Berbagai kekurangan yang dimiliki oleh sebagian pesantren harus mendapatkan perhatian serius oleh berbagai pihak baik dari masyarakat umum ataupun dari pemerintah. Adanya kerja sama yang berkesinambungan ini akan mampu membawa pesantren mewujudkan visi dan misi yang dirumuskan secara ideal oleh pemegang kebijakan pesantren.

DAFTAR PUSTAKA

Abd A’la, Pesantren dan Peran Santri dalam Perubahan Sosial http://blog.sunan-ampel.ac.id, diakses pada tanggal 17 April 2011.
Abdul Munir, Seni Mengelola Lembaga Pendidikan Islam, Ciputat : Lekdis Nusantara, cetakan kelima, 2010.
Ahmad El Chumaedy, Membongkar Tradisionalisme Pendidikan Pesantren; “Sebuah Pilihan Sejarah”, diakses tanggal 15 April 2011.
AM Fatwa, Masa Depan Pesantren, Republika, Sabtu, 26 Mei 2007.                                   
Anis Masykhur, Menakar Modernisasi Pendidikan Pesantren, Depok : Barnea Pustaka, cetakan pertama, 2010
Septian Suhandono, Model Integrasi Pendidikan Pondok Pesantren dan Konsep Kepemimpinan Profetik, http://enewsletterdisdik.wordpress.com, diakses pada tanggal 15 April 2011.


[1] Ibid.
[2] Abd A’la, Pesantren dan Peran Santri dalam Perubahan Sosial http://blog.sunan-ampel.ac.id, diakses pada tanggal 17 April 2011.
[3] Ahmad El Chumaedy, Membongkar Tradisionalisme Pendidikan Pesantren; “Sebuah Pilihan Sejarah”, diakses tanggal 15 April 2011.



[4] Septian Suhandono, Model Integrasi Pendidikan Pondok Pesantren dan Konsep Kepemimpinan Profetik, http://enewsletterdisdik.wordpress.com, diakses pada tanggal 15 April 2011.
[5] AM Fatwa, Masa Depan Pesantren, Republika, Sabtu, 26 Mei 2007.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar