Selasa, 14 Februari 2012

Manajemen dan Penilaian Kinerja Pesantren


Oleh: Ade Pachruddin

Pendahuluan

Secara historis, pesantren merupakan lembaga pendidikan Islam yang di kembangkan secara dinamis oleh masyarakat Indonesia. Karena sebenarnya pesantren merupakan produk budaya masyarakat Indonesia yang sadar sepenuhnya akan pentingnya arti sebuah pendidikan bagi orang pribumi yang tumbuh secara natural. Terlepas dari mana tradisi dan sistem tersebut diadopsi, tidak akan mempengaruhi pola yang unik (khas) dan telah mengakar serta hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat.[1]
Pesantren adalah suatu bentuk lingkungan “masyarakat” yang unik dan memiliki tata nilai kehidupan yang positif. Pada umumnya, pesantren terpisah dari kehidupan sekitarnya. Seolah membentuk komunitas sendiri dengan aturan dan kultur yang khas.
Komplek pesantren minimal terdiri atas rumah kediaman pengasuh , masjid atau mushola, dan asrama santri. Yang ketiganya merupakan rukun untuk adanya suatu pesantren. Tidak ada model atau patokan tertentu dalam pembangunan fisik pesantren. Sehingga penambaahan bangunan demi bangunan dalam lingkungan pesantren hanya mengambil bentuk improvisasi sekenanya belaka. Hal ini khususnya terjadi pada pesantren tradisional yang tumbuh karena gotong-royong masyarakat
Meskipun dalam kondisi fisik yang sederhana, pesantren ternyata mampu menciptakan tata kehidupan tersendiri yang unik, terpisah, dan berbeda dari kebiasaan umum. Bahkan lingkungan dan tata kehidupan pesantren dapat dikatakan sebagai subkultur tersendiri dalam kehidupan masyarakat sekitarnya. Tapi hal ini tidak berarti putus seutuhnya melainkan hanya terpisah secara aturan, baik tertulis maupun tidak tertulis.
Pesantren dilahirkan atas dasar kewajiban dakwah Islamiyah, yakni menyebarkan dan mengembangkan ajaran Islam,. Menurut pengertian dasarnya pesantren adalah ”tempat belajar para santri”, sedangkan pondok berarti rumah atau tempat tinggal sederhana yang terbuat dari bambu. Disamping itu kata ”pondok” juga berasal dari bahasa Arab ”funduq” yang berarti hotel atau asrama.
Pesantren dengan segala keunikan yang dimilikinya masih diharapkan menjadi penopang berkembangnya sistem pendidikan di Indonesia. keaslian dan kekhasan pesantren di samping sebagai khazanah tradisi budaya bangsa, juga merupakan kekuatan penyangga pilar pendidikan untuk memunculkan pemimpin bangsa yang bermoral.
Azyumardi Azra menilai ketahanan pesantren disebabkan  oleh kultur Jawa yang mampu menyerap kebudayaan luar melalui suatu proses interiorisasi tanpa kehilangan identitasnya.[2] Oleh sebab itu, arus globalisasi mengandaikan tuntutan profesionalisme dalam mengembangkan sumber daya manusia yang bermutu. Realitas inilah yang menuntut adanya manajemen pengelolaan lembaga pendidikan sesuai tuntutan zaman. Signifikansi professionalisme manajemen pendidikan menjadi sebuah keniscayaan di tengah dahsyatnya arus industrialisasi dan perkembangan teknologi modern.[3]
Setiap lembaga atau organisasi pasti menjalankan suatu manejemen, dalam hal ini pesantren pun tidak luput akan hal itu, walaupun dalam bentuk yang sangat sederhana untuk pesantren tradisional. Yang berupa pembagian kerja untuk mencapai kinerja seoptimal mungkin.
Kinerja pada dasarnya merupakan hasil kerja secara kualitas dan kuantitas yang dicapai seseorang  dalam melaksanakan tugasnya sesuai tanggung jawab yang diberikan kepadanya.
Untuk menyambut perubahan dan persaingan pada masa sekarang ini, di mana pesantren tidak hanya bersaing dengan pendidikan formal tetapi juga bersaing dengan pesantren lain. Walaupun karisma kyai masih menjadi sesuatu yang sentral, namun lambat laun tradisi “karisma” itu akan semakin terkikis oleh roda jaman, hal ini menjadi catatan penulis untuk mencoba membahas tentang manajemen kinerja di pesantren.

Dasar dan Manajemen Kinerja
a.Pengertian
Begitu pentingnya masalah kinerja ini, sehingga tidak salah bila inti pengelolaan sumber daya manusia adalah bagaimana mengelola kinerja SDM. Mengelola manusia dalam konteks organisasi berarti mengelola manusia agar dapat menghasilkan kinerja yang optimal bagi organisasi. Oleh karenanya kinerja  ini perlu dikelola secara baik untuk mencapai tujuan organisasi, sehingga menjadi suatu konsep manajemen kinerja (performance management).
Menurut definisinya, manajemen kinerja adalah suatu proses strategis dan terpadu yang menunjang keberhasilan organisasi melalui pengembangan performansi SDM.
Kata Manajemen Kinerja merupakan penggabungan dari kata manajemen dan kinerja. Manajemen berasal dari kata to manage yang berarti mengatur. Menurut George R Terry dalam bukunya Principles of Management, Manajemen merupakan suatu proses yang menggunakan metode ilmu dan seni untuk menerapkan fungsi-fungsi perencanaan, pengorganisasian,pengarahan dan pengendalian pada kegiatan-kegiatan dari sekelompokmanusia yang dilengkapi dengan sumber daya/faktor produksi untuk mencapai tujuan yang sudah ditetapkan lebih dahulu, secara efektif dan efisien. Sedangkan menurut John R Schermerhorn Jr  dalam bukunya Management, manajemen adalah proses yang mencakup perencanaan, pengorganisasian, pengarahan dan pengendalian terhadap penggunaan sumber daya yang dimiliki, baik manusia dan material untuk mencapai tujuan.
Dari beberapa definisi manajemen yang diberikan oleh para ahli, dapat disimpulkan manajemen mencakup tiga aspek, yaitu:
a. Pertama : manajemen sebagai proses
b. Kedua : adanya tujuan yang telah ditetapkan
c. Ketiga : mencapai tujuan secara efektif dan efisien
Kata kinerja merupakan singkatan dari kinetika energi kerja yang padanannya dalam bahasa Inggris adalah performance, yang sering diindonesiakan menjadi kata performa. (Wirawan, 2009)
Pengertian Kinerja menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut: (Veithzal Rivai dan Ahmad Fawzi, 2005)
  1. Kinerja merupakan seperangkat hasil yang dicapai dan merujuk pada tindakan pencapaian serta pelaksanaan sesuatu pekerjaan yang diminta (Stolovitch and Keeps, 1992)
  2. Kinerja merupakan suatu fungsi dari motivasi dan kemampuan. Untuk menyelesaikan tugas atau pekerjaan seseorang harus memiliki derajat kesediaan dan tingkat kemampuan tertentu. Kesediaan dan ketrampilan seseorang tidaklah cukup efektif untuk mengerjakan sesuatu tanpa pemahaman yang jelas tentang apa yang akan dikerjakan dan bagaimana mengerjakannya (Hersey and Blanchard, 1993)
Kinerja sebagai fungsi interaksi antara kemampuan (Ability=A), motivasi (motivation=M) dan kesempatan (Opportunity=O) atau Kinerja = ƒ(A x M x O); artinya: kinerja merupakan fungsi dari kemampuan, motivasi dan kesempatan (Robbins,1996)[4]

b.Mengapa Manajemen Kinerja Diperlukan?
pesantren sebagaimana diistilahkan Gus Dur ‘sub kultur’ memiliki dua tanggung jawab secara bersamaan, yaitu sebagai lembaga pendidikan agama Islam dan sebagai bagian integral masyarakat yang bertanggung jawab terhadap perubahan dan rekayasa sosial.[5]
Suatu organisasi dibentuk untuk mencapai tujuan sebuah organisasi. Pencapaian tujuan sebuah organisasi menunjukkan hasil kerja/prestasi organsisasi dan menunjukkan kinerja organisasi. Hasil kerja organisasi diperoleh dari serangkaian aktivitas yang dijalankan. Aktivitas tersebut dapat berupa pengelolaan sumberdaya organisasi maupun proses pelaksanaan kerja yang diperlukan untuk mencapai tujuan organisasi.  Untuk menjamin agar  aktivitas tersebut dapat mencapai hasil yang diharapkan, diperlukan upaya manajemen dalam pelaksanaan aktivitasnya. Dengan demikian, hakikat manajemen kinerja adalah bagaimana mengelola seluruh kegiatan organisasi untuk mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan sebelumnya.
Menurut Costello (1994) manajemen kinerja mendukung tujuan menyeluruh organisasi dengan mengaitkan pekerjaan dari setiap pekerja dan manajer pada misi keseluruhan dari unit kerjanya. Seberapa baik kita mengelola kinerja bawahan akan secara langsung mempengaruhi tidak saja  kinerja masing-masing pekerja secara individu dan unit kerjanya, tetapi juga kinerja seluruh organisasi.
Apabila pihak terkait telah  memahami tentang apa yang diharapkan dari mereka dan mendapat dukungan yang diperlukan untuk memberikan kontribusi pada organisasi secara efisien dan produktif, pemahaman akan tujuan , harga diri dan motivasinya akan meningkat.  Dengan demikian, manajemen kinerja memerlukan kerja sama, saling pengertian dan komunikasi secara terbuka antara atasan dan bawahan
Perencanaan Kinerja Pesantren; Pembagian kerja
Tujuan pendidikan pesantren adalah setiap maksud dan cita-cita yang ingin dicapai pesantren, terlepas apakah cita-cita tersebut tertulis atau hanya disampaikan secara lisan. Terlalu sulit untuk dapat menemukan rumusan tujuan pesantren secara tertulis, yang dapat dijadikan acuan tiap-tiap pesantren.
Namun tujuan pendidikan pesantren berada sekitar terbentuknya manusia yang memiliki kesadaran setinggi-tingginya akan bimbingan agama Islam, yang bersifat menyeluruh, dan diperlengkapi dengan kemampuan setinggi-tingginya untuk mengadakan responsi terhadap tantangan-tantangan dan tuntutan-tuntutan hidup, dalam konteks ruang dan waktu yang ada. Sekaligus melahirkan generasi yang unggul. Karena eksistensi dan ketahanan pesantren adalah akibat dampak positif dari kemampuan melahirkan berbagai daya guna bagi masyarakat.[6]
Akan tetapi secara esensial rumusan tujuan pesantren adalah sebagaimana firman-Nya Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.(al-Taubah :122)

upaya untuk merumuskan kembali lembaga yang bercirikan pesantren yang mampu untuk memproduk siswa (santri) yang benar-benar mempunyai kemampuan profesional serta berakhlak mulia senantiasa perlu dilakukan terus-menerus secara berkesinambungan. [7]
Untuk mencapai tujuan tersebut, perlu adanya perencanaan manajemen kinerja yang berupa pembagian kerja di pondok pesantren. Dalam hal ini kyai/pimpinan pondok mempunyai peranan paling penting dan sentral, namun menurut hemat penulis ada beberapa hal yang harus dibagi dalam kinerja pesantren secara garis besar, dalam hal ini bisa satu kyai menjalankan semua peran ini, atau bisa dibagi-bagi kepada beberapa kyai/ustaz, diantaranya:
1.      Menjalankan peran ke dalam, selaku kyai pondok yang mengurus santri dan mendalami ilmu agama, untuk mewujudkan lulusan-lulusan yang sesuai dengan visi misi pesantren.
2.      Menjalankan peran kesamping, mengayomi dan lebih berinteraksi dengan masyarakat sekitar supaya terjalin hubungan sosial yang harmonis dengan masyarakat.
3.      Menjalankan peran ke atas, mampu melobi pemerintah/pejabat untuk memuluskan administrasi dan bantuan guna pengembangan pesantren.
4.      Mampu menjalankan administrasi pesantren/yayasan dengan rapi dan tertata melalui manajemen kinerja.

Dalam hal ini bisa di katakan bahwa kyai bertindak sebagai manajer dan para ustaz/ustazah di pesantren beserta staf  dan pekerja yang berada dilingkungan pondok merupakan bawahan/pegawai di sebuah organiosasi yang berbentuk pesantren.
Berikut ini ada beberapa dasar yang dapat dijadikan pedoman untuk mengadakan pembagian kerja. Pedoman-pedoman tersebut adalah:
  1. Pembagian kerja atas dasar wilayah atau teritorial, misalnya wilayah timur, barat atau wilayah kecamatan, kabupaten dan lain sebagainya.
  2. Pembagian kerja atas dasar jenis benda yang diproduksi, misalnya pada komponen suatu kendaraan, bagian pemasangan jok mobil, pemasangan rem mobil dan lainnya.
  3. Pembagian kerja atas dasar langganan yang dilayani, misalnya adalah langganan secara individual atau kelompok, pemerintahan atau non pemerintahan dan sebagainya.
  4. Pembagian kerja atas dasar fungsi (rangkaian) kerja, misalnya bagian produksi, bagian gudang, bagian pengiriman dan lainnya.
  5. Pembagian kerja atas dasar waktu, misalnya shif kerja pagi, siang dan malam.
Dari hal tersebut diatas maka akan tergambar atau terlihat pembagian kerja di dalam suatu organisasi, yakni:
  • Jumlah unit organisasi yang ada akan disesuaikan dengan kebutuhan dari organisasi tersebut.
  • Suatu unit organisasi ini harus mempunyai fungsi bulat dan berkaitan dengan yang lainnya.
  • Pembentukan unit baru hanya dilaksanakan bilamana unit yang ada sudah tidak tepat lagi untuk menampung kegiatan yang baru baik dari beban kerja maupun hubungan kerja.
  • Secara garis besar akan berpengaruh pada aktifitas dan sifat dari organisasi tersebut
Pelaksanaan Kinerja Pesantren
Dalam pelaksanaan kinerja yang telah direncanakan sebelumnya di pondok pesantren, tentu hal ini sangat dipengaruhi oleh gaya kepemimpinan dari seorang pimpinan pondok/kyai. Karena sebuah kepemimpinan meliputi segala tindakan yang dilakukan seseorang atau suatu badan yang menyebabkan gerak dari masyarakat.[8] di tiap pesantren mempunyai kyai dengan gaya kepemimpinan yang khas, misalnya, Di pesantren tradisional, Bahan ajar menjadi hak prerogratif kyai. Kyai, dalam dunia pendidikan pesantren menjadi seorang otokrat.[9]
Dalam pelaksanaan manajemen kinerja terdapat lima komponen pokok, yaitu :
a. Perencanaan kinerja, di mana atasan dana bawahan berupaya merumuskan, memahami dan menyepakati target kinerja bawahan dalam rangka mengoptimalkan kontribusinya terhadap pencapaian tujuan-tujuan organisasi.
b. Komunikasi berkelanjutan antara atasan dan bawahan guna memastikan bahwa apa yang telah, sedang dan akan dilakukan bawahan mengarah pada target kinerjanya sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak, hal ini juga berguna untuk mengantisipasi segala persoalan yang timbul.
c. Pengumpulan data dan informasi oleh masing-masing pihak sebagai bukti pendukung realisasi kinerja bawahan. Pengumpulan dapat dilakukan melalui formulir penilaian kinerja, observasi langsung maupun tanya jawab dengan pihak-pihak terkait.
d. Pertemuan tatap muka antara atasan dan bawahan selama periode berjalan. Pada saat inilah bukti-bukti otentik kinerja bawahan diklarifikasi, didiskusikan, dan disimpulkan bersama sebagai kinerja bawahan pada periode tersebut.
e. Diagnosis berbagai hambatan efektivitas kinerja bawahan dan tindak lanjut bimbingan yang dapat dilakukan atasan guna menyingkirkan hambatan-hambatan tersebut guna meningkatkan kinerja bawahan. Dengan adanya diagnosis dan bimbingan ini, bawahan tidak merasa “dipersalahkan” atas kegagalan mencapai target kinerja yang telah disepakati dan sekaligus menunjukkan niatan bahwa persoalan kinerja bawahan adalah persoalan atasan juga.

Untuk dapat menerapkan manajemen Kinerja yang baik untuk menuju organisasi berkinerja tinggi, harus mengikuti kaidah-kaidah berikut ini (www. RiniSatria.net, 10 Jan 2010)
  1. Adanya suatu indikator kinerja (key performance indicator) yang terukur secara kuantitatif dan jelas batas waktunya. Ukuran ini harus dapat menjawab berbagai permasalahan yang dihadapi oleh organisasi tersebut. Jika perusahaan yang berorientasi pada profit, maka ukurannya adalah ukuran finansial seperti omset penjualan, laba bersih, pertumbuhan penjualan dan lain-lain. Sedangkan pada organisasi nirlaba seperti organisasi pemerintahan maka ukuran kinerjanya adalah berbagai bentuk pelayanan kepada masyarakat. Semua harus terukur secara kuantitatif dan dapat dimengerti oleh berbagai pihak yang terkait, sehingga bila nanti dievaluasi dapat diketahui apakah kinerja sudah dapat mencapai target atau belum.  kita tidak bisa memanajemeni sesuatu yang tidak dapat kita ukur. Organisasi yang tidak memiliki indikator kinerja biasanya tidak bisa diharapkan untuk mampu mencapai kinerja yang memuaskan pihak yang berkepentingan (stakeholders). Dalam kaitannya dengan pesantren, mampu mencetak lulusan-lulusan yang telah dirumuskan dalam visi dan misi.
  2. Semua ukuran kinerja tersebut biasanya dituangkan dalam suatu bentuk kesepakatan antara atasan dan bawahan yang sering disebut sebagai suatu kontrak kinerja (performance contract). Dengan adanya kontrak kinerja, maka atasan bisa menilai apakah si bawahan sudah mencapai kinerja yang diinginkan atau belum. Kontrak kinerja ini berisikan suatu kesepakatan antara atasan dan bawahan mengenai indikator kinerja yang ingin dicapai, baik mengenai sasaran pencapaiannya maupun jangka waktu pencapaiannya. Ada dua hal yang perlu dicantumkan dalam kontrak kinerja yaitu sasaran akhir yang ingin dicapai (lag) serta program kerja untuk mencapainya (lead). Keduanya perlu dicantumkan supaya pada saat evaluasi nanti berbagai pihak bersikap secara fair, dan tidak melihat hasil akhir semata, namun juga proses kerjanya. Bisa saja seorang bawahan belum mencapai semua hasil kerja yang ditargetkan, tetapi dia sudah melaksanakan semua program kerja yang sudah digariskan. Tentu saja atasan tetap harus memberikan reward untuk dedikasinya, walaupun sasaran akhir belum tercapai. Hal ini juga bisa menjadi dasar untuk perbaikan di masa mendatang (continuous improvement).
  3. Terdapat suatu proses siklus manajemen kinerja yang baku dan dipatuhi untuk dikerjakan bersama, yaitu :
-          Perencanaan kinerja, berupa penetapan indikator kinerja lengkap dengan berbagai strategi dan program kerja yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang diinginkan.
-          Pelaksanaan, di mana organisasi bergerak sesuai dengan rencana yang telah dibuat, jika ada perubahan akibat adanya perkembangan baru maka lakukan perubahan tersebut.
-          Evaluasi kinerja, yaitu menganalisis apakah realisasi kinerja sesuai dengan rencana yang sudah ditetapkan sebelumnya. Semuanya ini harus serba kuantitatif.
  1. Adanya suatu sistem reward and punishment yang bersifat konstruktif dan konsisten dijalankan. Konsep reward ini tidak selalu harus bersifat finansial, tetapi bisa juga berupa bentuk lain seperti promosi, kesempatan pendidikan dan lain-lain. Reward and punishment diberikan setelah melihat hasil realisasi kinerja, apakah sesuai dengan indikator kinerja yang telah direncanakan atau belum. Tentu saja harus ada suatu performance appraisal atau penilaian kinerja lebih dahulu sebelum reward and punishment. Penerapan punishment ini harus hati-hati, karena dalam banyak hal pembinaan jauh lebih bermanfaat.
  2. Terdapat suatu mekanisme performance appraisal atau penilaian kinerja yang relatif obyektif yaitu dengan melibatkan berbagai pihak. Konsep yang sangat terkenal adalah penilaian 360 derajat, di mana penilaian kinerja dilakukan oleh atasan, bawahan, rekan sekerja, dan pengguna jasa, karena pada prinsipnya manusia itu berpikir secara subyektif, namun dengan berpikir bersama mampu untuk mengubah sikap subyektif itu menjadi mendekati obyektif, atau berpikir bersama jauh lebih obyektif daripada berpikir sendiri-sendiri. Ini adalah semangat dalam konsep penilaian 360 derajat.
  3. Terdapat suatu gaya kepemimpinan (leadership style) yang mengarah kepada pembentukan organisasi berkinerja tinggi. Inti dari kepemimpinan seperti ini adalah adanya suatu proses coaching, counseling, dan empowerment kepada para bawahan atau sumber daya manusia di dalam manusia. Suatu aspek lain yang sangat penting dalam gaya kepemimpinan adalah sikap followership atau menjadi pengikut. Bagaimana jadinya bila semua orang menjadi komandan dalam organisasi? Bukan kinerja tinggi yang tercapai, namun kekacauan yang ada. Pada dasarnya seseorang itu harus memiliki jiwa kepemimpinan, tetapi dalam situasi yang lain dia juga harus memahami bahwa dia merupakan bagian dari sebuah sistem organisasi yang lebih besar yang harus diikuti.
  4. Menerapkan konsep manajemen SDM berbasis kompetensi. Umumnya organisasi yang berkinerja tinggi memiliki kamus kompetensi dan menerapkan kompetensi itu tersebut kepada hal-hal yang penting, seperti manajemen kinerja, rekruitmen, seleksi, pendidikan, pengembangan pegawai, dan promosi. Kompetensi ini meliputi kompetensi inti organisasi, kompetensi perilaku, dan kompetensi teknis yang spesifik dalam pekerjaan. Jika kompetensi ini sudah dibakukan dalam organisasi, maka kegiatan manajemen SDM akan menjadi lebih transparan, dan pimpinan organisasi juga dengan mudah mengetahui kompetensi apa saja yang perlu diperbaiki untuk membawa organisasi menjadi berkinerja tinggi.
Pemberdayaan SDI dan Kompetensi

Untuk mencetak generasi/lulusan yang diharapkan sesuai dengan visi misi pesantren, tentu yang harus pertama diperhatikan adalah sumber daya para pengajar dan pendidik di pesantren tersebut,SDI pendidikan di lingkungan pesantren yang dimaksudkan dalam hal ini tidak lain adalah guru dan seluruh elemen yang terkait dalam pengelolaan pendidikan, bahwa ujung tombak dari semua persoalan pendidikan pada akhirnya kembali pada guru. Seorang guru dituntut untuk memberikan perhatiansebesar-besarnya bagi mutu pendidikan.
SDM pendidikan (guru) adalah sosok dengan kepribadian yang utuh; sebagai pendidik, pemimpin dan pejuang (mujahid). Dengan demikian setiap guru mesti terlibat secara langsung dalam proses idealisasi menuju citra diri yang dalam aktifitas dan peranannya senantiasa dituntut untuk merealisasikannya.
Dalam bahasa organisasi, baik masyarakat maupun mahasiswa dan kepemudaan guru lebih dikenal dengan istilah pengader. Dalam HMI misalnya, pengader HMI harus mampu menempatkan dirinya sebagai uswatun hasanah, memulai dari diri sendiri (ibda’ binafsihi). Hal ini agar guru benar-benar dapat mendapatkan kriteria sebagai manusia agung sebagaimana Rasulullah SAW yang semua itu hanya dapat dilakukan dengan baik melalui sebuah manajemen melalui sebuah pembinaan. Terkait dengan masalah pembinaan ini ayat di bawah ini dapat dijadikan bukti nyata pentingnya sebuah pembinaan untuk dilakukan,

1.PERENCANAAN
Secara umum dapat dipahami bahwa perencanaan Sumber Daya Insani (SDI) merupakan fungsi utama yang harus dilaksanakan dalam lingkungan pendidikan untuk menyediakan lulusan yang tepat pada waktu yang tepat. Kesemuanya itu dalam rangka mencapai tujuan dan berbagai sasaran yang telah dan akan ditetapkan.
Hal ini dapat dimengerti mengingat tanpa sebuah perencanaan yang baik suatu pekerjaan tidak akan pernah sampai pada tujuan yang diharapkan. Oleh karena itu perencanaan adalah keniscayaan bagi siapa yang ingin berhasil tidak terkecuali bila seorang muslim mengharapkan rido dan surga dari Allah SWT. Karena perencanaan merupakan bagian dari sunnatullah, yaitu dengan melihat bagaimana Allah SWT menciptakan alam semesta dengan hak dan perencanaan yang matang dan bertujuan.

2. PELAKSANAAN
Bukan suatu yang berlebihan jika tujuan pendidikan adalah untuk melahirkan manusia yang baik. Karena melalui pendidikanlah transformasi nilai dapat berlangsung dengan baik. Dengan demikian maka sebagai tindak lanjut dari perencanaan yang telah dicanangkan tindak lanjut berupa pelaksanaan menjadi ajang pembuktian kesungguhan dan konsistensi dari arah yang telah ditetapkan sebagai media untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Program pendidikan yang dijalankan merupakan manifestasi dari sebuah tujuan yang terangkum dan terperinci dalam sebuah planning.

3.PENGAWASAN
Pengawasan saat ini lebih populer dengan istilah evaluasi. Praktis seluruh bidang kehidupan memerlukan evaluasi dalam prosesnya. Setidaknya untuk mengetahui seberapa besar perubahan dan hasil yang dicapainya. Terkait dengan dunia pendidikan selain mengevaluasi siswa kepala sekolah atau departemen pendidikan perlu mengevaluasi sumber daya pendidikannya atau guru khususnya kinerjanya selama ini. Karena kinerja merupakan indikator dari ketaatan, loyalitas dan pemahaman.
Dalam hal ini yang dimaksud adalah penilaian yang dilakukan secara sistematis untuk mengetahui hasil pekerjaan para staf  pesantren dan kinerjanya. Disamping itu juga untuk menentukan kebutuhan pelatihan kerja secara tepat, memberikan tangggung jawab yang sesuai kepada karyawan sehingga dapat melaksanakan pekerjaan yang lebih baik di masa mendatang dan sebagai dasar untuk menentukan kebijakan dalam hal promosi jabatan atau penentuan imbalan.
Dengan demikian evaluasi atau pengawasan juga memiliki peran strategis dalam proses menggapai tujuan sebuah organisasi. Dengan kata lain dalam perjalanannya antara perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan harus berjalan secara bersamaan dan dilakukan secara simultan.

Pengukuran Kinerja Pesantren
Tahap-tahap dalam manajemen kinerja meliputi tahap penentuan objectives, penentuan sasaran yang berorientasi pada perilaku, menyiapkan dukungan yang diperlukan, evaluasi dan pengembangan serta memberi penghargaan. Proses manajemen kinerja melibatkan perencanaan, coaching dan review. Dalam perencanaan diidentifikasi dan ditentukan tingkat kinerja, apa sasarannya serta bagaimana perilaku untuk mencapai sasaran, Dalam coaching dilakukan evaluasi, dukungan dan pengarahan secara berkesinambungan melalui diskusi dua arah. Dalam proses review dilakukan evaluasi terhadap pencapaian dan terhadap sasaran yang ditentukan dan hasilnya dijadikan sebagai umpan balik.
Pengukuran kinerja merupakan salah satu hal yang mendasar dalam manajemen kinerja. manfaatnya sebagai landasan untuk memberikan umpan balik, mengidentifikasi butir-butir kekuatan untuk mengembangkan kinerja di masa mendatang, serta mengidentifikasi butir-butir kelemahan sebagai sarana koreksi dan pengembangan. Langkah ini sebagai jawaban terhadap dua persoalan utama yaitu apakah kita sudah mengerjakan hal yang benar dan apakah sudah mengerjakannya dengan baik.
Dalam hal ini, seseorang bisa belajar seberapa besar kinerja mereka melalui sarana informasi seperti komentar baik dari mitra kerja. Namun demikian penilaian kinerja yang mengacu kepada suatu sistem formal dan terstruktur yang mengukur, menilai dan mempengaruhi sifat-sifat yang berkaitan dengan pekerjaan perilaku dan hasil termasuk tingkat ketidakhadiran. Fokus penilaian kinerja adalah untuk mengetahui seberapa produktif seorang karyawan dan apakah ia bisa berkinerja sama atau lebih efektif di masa yang akan datang.






daftar pustaka
Abdul A’la, Pembaruan Pesantren, (Jogjakarta: LKis, 2006),
Ainurrafiq Dawam dan Ahmad Ta’arifin. 2005. Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren. Listafariska
Amin Haedari, dkk. 2004. Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Kmplesitas Global. Jakarta: IRD Press Amin Haedari, dkk. 2004. Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Kmplesitas Global. Jakarta: IRD Press
Azyumardi Azra, Surau di Tengah Krisis: Pesantren dan Perspektif Masyarakat, dalam Raharjo (ed.), Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah, (Jakarta: LP3ES, 1985
Azyumardi Azra, “Pembaharuan Pendidikan Islam: Sebuah Pengantar”, dalam Marwan Saridjo,  Bunga rampai Pendidikan Agama Islam (Jakarta: CV Amissco, 1996
Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial (Jakarta: Dian Rakyat, 1967)
www. RiniSatria.net
terjemah Al-Qur’an departemen agama RI





[1] Ainurrafiq Dawam dan Ahmad Ta’arifin. 2005. Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren. Listafariska Putra., hal. 5
[2] Azyumardi Azra, Surau di Tengah Krisis: Pesantren dan Perspektif Masyarakat, dalam Raharjo (ed.), Pergulatan Dunia Pesantren Membangun dari Bawah, (Jakarta: LP3ES, 1985), h. 173 .
[3]. Ainurrafiq Dawam dan Ahmad Ta’arifin. 2005. Manajemen Madrasah Berbasis Pesantren. Listafariska Putra., hal. 18
[4] www. RiniSatria.net
[5] Amin Haedari, dkk. 2004. Masa Depan Pesantren dalam Tantangan Modernitas dan Tantangan Kmplesitas Global. Jakarta: IRD Press., hal. 76
[6] Abdul A’la, Pembaruan Pesantren, (Jogjakarta: LKis, 2006), h. 15
[7] Azyumardi Azra, “Pembaharuan Pendidikan Islam: Sebuah Pengantar”, dalam Marwan Saridjo,  Bunga rampai Pendidikan Agama Islam (Jakarta: CV Amissco, 1996), hal. 2.

[8]Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial (Jakarta: Dian Rakyat, 1967), hlm. 181.

[9] Ainurrafiq Dawam dan Ahmad Ta’arifin. 2005. Manajemen…, hal. 73

Tidak ada komentar:

Posting Komentar